31 Bab 3 Analisis Data Dalam bab ini, penulis akan menganalisis

advertisement
Bab 3
Analisis Data
Dalam bab ini, penulis akan menganalisis data berdasarkan kasus – kasus yang
menunjukkan latar belakang remaja putri di Jepang mengikuti trend ganguro dan
menghubungkannya dengan unsur psikologis.
3.1 Kasus 1
Kasus berikut merupakan wawancara Louis Templado dengan Hanae Watanabe,
ketua perkumpulan ganguro bernama Angeleek di Shibuya:
Hanae Watanabe adalah seorang ketua geng Angeleek di Shibuya dan dia
mengemukakan, ”jika kamu adalah seorang anggota Angeleek, kamu diwajibkan
untuk hadir dalam setiap pertemuan atau kamu akan dikeluarkan. Jika kamu terus
menerus terlambat hadir, kamu juga akan dikeluarkan. Selain itu, jika kamu tidak
berpakaian sesuai dengan gaya Angeleek, maka tentu saja tidak ada maknanya
kalau kamu menjadi anggota dan tentu saja kamu harus keluar (Templado, 2007).
Kasus di atas menceritakan bahwa seorang gadis remaja bernama Hanae Watanabe
yang merupakan ketua geng ganguro bernama Angeleek mengemukakan beberapa
peraturan yang harus dipatuhi untuk menjadi salah satu anggota geng tersebut dan salah
satunya adalah untuk berpenampilan sesuai dengan ketentuan geng yakni berpenampilan
ganguro. Angeleek adalah lingkaran perkumpulan gal terbesar dan terpopuler di
Shibuya. Menurut analisis saya, terlihat bahwa Angeleek dianggap sebagai perkumpulan
atau geng remaja yang sangat populer di Shibuya, oleh karena itu banyak gadis – gadis
remaja Jepang yang ingin masuk ke dalam perkumpulan tersebut dan untuk itu tentunya
mereka harus mengubah penampilan mereka menjadi ganguro yang tentunya merupakan
salah satu norma kelompok yang telah dicanangkan oleh perkumpulan tersebut, disertai
dengan norma – norma kelompok lainnya yang ditentukan dalam kelompok tersebut.
31
Hanae adalah salah satu gadis remaja Jepang yang sudah tenggelam di dalam rutinitas
kehidupan yang sarat akan nilai groupisme dan meskipun dia menjadi ketua geng, dia
haruslah senantiasa berperilaku sedemikian rupa untuk mempertahankan norma – norma
kelompoknya dan menjadi panutan anggota – anggota yang lain. Salah satunya adalah
dengan mempertahankan penampilan ganguro, setia mengikuti rutinitas para para, dan
aspek – aspek lain yang merupakan ciri khas geng Angeleek. Kasus ini sesuai dengan
teori Mighwar (2006:108) mengenai kelompok yang menyatakan:
Di kalangan teman – teman sekelompoknya, terbentuklah jalinan norma, nilai
dan simbol tersendiri yang kuat yang berbeda dengan apa yang dihadapinya di
rumah mereka. Tak jarang suatu kelompok sahabat menyepakati serangkaian
peraturan, dan norma – norma kelompoknya serta menciptakan kode bahasa
rahasia yang tidak dimengerti oleh siapapun selain anggota kelompok tersebut.
Kasus ini juga memperlihatkan bahwa Hanae bersama dengan anggota – anggota
kelompoknya mencanangkan peraturan dan norma – norma kelompok yang harus
dipatuhi, dan norma- norma tersebut tentunya tidak sama dengan kelompok yang lain.
Norma – norma tersebut tentunya merupakan kreasi kelompok Angeleek yang sama
sekali berbeda dengan norma – norma yang berlaku di rumah maupun di sekolah,
dimana norma – norma tersebut terkesan kurang menyenangkan dan agak kaku.
Kelompok Angeleek yang dikenal sebagai kelompok ganguro terkenal di Shibuya ini
tentu saja tidak ingin dipandang sebagai suatu perkumpulan yang terkesan “alim”.
Mereka ingin menunjukkan ciri khas “pemberani” dan “menantang”, sehingga kelompok
– kelompok semacam ini berlomba – lomba menciptakan kebiasaan – kebiasaan yang
unik sesuai dengan minat masing – masing kelompok dan berlawanan dengan norma
sosial di Jepang pada umumnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Turiel (1978)
mengenai psikologis perilaku remaja, yaitu:
32
Remaja tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku, sederhana, dan absolut
yang diberikan pada mereka selama ini tanpa bantahan. Secara kritis, remaja
akan lebih banyak melakukan pengamatan keluar dan membandingkannya
dengan hal-hal yang selama ini diajarkan dan ditanamkan kepadanya. Baginya
dunia menjadi lebih luas dan seringkali membingungkan, terutama jika ia
terbiasa dididik dalam suatu lingkungan tertentu saja selama masa kanak-kanak.
Posisi Hanae sebagai seorang ketua geng yang tersohor di Shibuya membuat dia
harus mengemban kewajiban yang besar baik secara materi maupun spiritual. Seluruh
anggota Angeleek tentunya memandang dia dan mungkin saja ingin meniru
penampilannya, maka dia harus senantiasa menjaga reputasinya sebagai seorang
pengikut ganguro sekaligus pemimpin suatu perkumpulan yang dipuja – puja oleh para
gadis remaja Jepang pengikut ganguro. Mau tidak mau, dia harus memprioritaskan
penampilan dan juga aktivitas yang berhubungan dengan dunia ganguro sebagai
rutinitas kesehariannya. Jika dia tidak memenuhi kewajibannya sebagai seorang
pimpinan, maka para anggota Angeleek akan memandang sebelah mata terhadap dirinya
dan tentunya nama baik Angeleek di mata para pengikut ganguro akan meredup. Oleh
karena itu, cukup beratlah bagi Hanae untu mengemban posisi yang sangat dipandang
oleh para gadis ganguro. Hal ini sesuai dengan pendapat Setiono (2002) mengenai
psikologi perilaku remaja, yaitu:
Mereka sangat rentan terhadap pendapat orang lain karena mereka menganggap
bahwa orang lain sangat mengagumi atau selalu mengkritik mereka seperti
mereka mengagumi atau mengkritik diri mereka sendiri. Anggapan itu membuat
remaja sangat memperhatikan diri mereka dan citra yang ditampilkan. Remaja
cenderung untuk menganggap diri mereka sangat unik dan bahkan percaya
keunikan mereka akan berakhir dengan kesuksesan dan ketenaran. Pada saat itu,
Remaja akan mulai sadar bahwa orang lain tenyata memiliki dunia tersendiri dan
tidak selalu sama dengan yang dihadapi atau pun dipikirkannya. Anggapan
remaja bahwa mereka selalu diperhatikan oleh orang lain kemudian menjadi
tidak berdasar. Pada saat inilah, remaja mulai dihadapkan dengan realita dan
tantangan untuk menyesuaikan impian dan angan-angan mereka dengan
kenyataan.
33
3.2 Kasus 2
Kasus berikut merupakan wawancara Louis Templado dengan salah satu anggota
geng Angeleek dengan nama julukan Pinky:
“Aku mempunyai rumah tapi aku memiliki tempat dimana aku merasa
dibutuhkan,”kata Pinky seorang pelajar SMU pengikut ganguro generasi ke-9
berusia enam belas tahun yang menyatakan bahwa dia menghabiskan kurang
lebih 30.000 yen per bulan untuk perlengkapan make-up. Itu bukanlah harga
yang murah, namun merupakan harga yang harus dibayar agar dapat masuk ke
dalam lingkaran perkumpulan tersebut (Templado, 2007).
Kasus di atas menceritakan bahwa seorang gadis ganguro dengan nama julukan
Pinky yang berusia 16 tahun telah menghabiskan uang yang tidak sedikit setiap
bulannya hanya untuk kebutuhan kosmetiknya demi memperoleh penampilan ganguro
yang diharapkan. Semua itu dia lakukan untuk diterima di dalam geng Angeleek yang
tersohor di Shibuya. Menurut analisis saya, Pinky merupakan salah satu gadis remaja
yang sangat terobsesi ingin menjadi anggota Angeleek yang dia anggap merupakan
sesuatu yang sangat penting untuk dapat masuk ke dalam perkumpulan yang populer itu
dan dia pun rela menghabiskan begitu banyak uang untuk membuat penampilannya
sebaik mungkin agar dapat diterima dalam perkumpulan tersebut. Jadi Pinky merupakan
salah satu dari sekian banyak gadis remaja Jepang yang merasakan kebosanan dan
kehambaran di rumahnya sendiri dan hendak mencari suasana baru dan teman – teman
yang membuat dia merasa penting dan dibutuhkan. Pinky juga selayaknya gadis remaja
pada umumnya ingin mencari jati diri yang sesungguhnya dengan menjadi seorang
pengikut ganguro, kemudian berusaha sedemikian rupa agar dapat masuk ke dalam geng
Angeleek ini. Hal ini sesuai dengan pernyataan Daters (1990) mengenai pengaruh trend
mode bagi kaum remaja, yaitu:
34
Suatu pakaian atau trend mode juga dapat menjadi sarana bagi seorang remaja
untuk dapat lebih diterima oleh teman – teman sebayanya dan seseorang yang
pakaiannya tidak sesuai dengan trend atau tidak sejalan dengan pakaian yang
sedang musim dikenakan oleh teman – temannya, maka tidak akan dianggap
mampu untuk bersosialisasi. Seorang remaja juga memiliki suatu kebutuhan
untuk memiliki suatu kelompok teman dekat tersendiri dan mengenakan pakaian
yang sesuai sebagai salah satu bentuk mengekspresikan dirinya.
Menurut analisis saya, kasus ini juga memperlihatkan bahwa Pinky merasa bahwa
berkumpul bersama dengan teman – teman di Angeleek lebih nyaman dan
menyenangkan daripada berada di rumah. Berada di lingkungan teman – temannya
memberikan ketenangan batin tersendiri baginya. Pinky kurang merasa betah berada di
rumah, apalagi dikarenakan berbagai macam peraturan dan larangan yang digalakkan di
rumahnya. Oleh karena itu, dengan berkumpul bersama teman – teman gengnya, Pinky
dapat dengan bebas berbuat sesukanya dan tidak perlu membatasi dirinya, selama hal itu
tidak melanggar norma – norma kelompok yang berlaku. Karenanya, Pinky haruslah
senantiasa menjadikan norma – norma kelompok dan kesetiakawanan sebagai
kepentingan utama dalam kehidupan sehari – harinya, agar dia tidak dikucilkan oleh
teman – temannya tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Kumagai (1996:78)
mengenai remaja Jepang yang menyatakan:
Kaum remaja Jepang selalu menemukan kepuasan batin bila sedang bersama
dengan teman – temannya, oleh karena itu remaja Jepang rata – rata memiliki
kelompok sahabat dekat yang cukup besar sehingga kehidupan sehari – harinya
jadi lebih menyenangkan. Seorang remaja tentunya sangat takut bila dikucilkan
oleh teman – teman kelompoknya, oleh karena itu dia menjadi sangat intim dan
terikat dengan teman – teman kelompoknya.
Obsesi Pinky terhadap kelompok Angeleek juga menunjukkan bahwa dia merupakan
salah satu gadis remaja Jepang yang menganggap bahwa keberadaannya maupun
keterikatannya dengan suatu kelompok akan membuat dia lebih percaya diri dan
berharap agar orang – orang di sekitarnya memandang dia sebagai seseorang yang
35
pandai bergaul dan memiliki banyak teman. Jalan pikiran Pinky yang seperti ini
disebabkan karena dia ingin dianggap dewasa dan tidak ingin lagi terlalu didikte maupun
diatur oleh keluarganya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mighwar (2006) mengenai
pandangan kaum remaja terhadap tinggi rendahnya status mereka, yaitu:
Tinggi rendahnya status seseorang, yang menjadi ukuran prestisenya, biasanya
digambarkan dengan hal – hal yang bersifat simbolik dan bagi remaja, hal – hal
yang bersifat simbolik itu menunjukkan status sosial ekonomi yang lebih tinggi
daripada teman – teman lain dalam kelompok, dan bahwa dia bergabung dengan
kelompok dan merupakan anggota yang diterima kelompok karena penampilan
atau perbuatan yang sama dengan anggota kelompok lainnya. Remaja merasa
dirinya harus lebih banyak menyesuaikan diri dengan norma – norma kelompok
sebaya ketimbang norma – norma orang dewasa atau lembaga, karena mereka
ingin dianggap dewasa, bukan anak – anak lagi.
Akan tetapi, perbuatan Pinky yang menghambur – hamburkan banyak uang demi
penampilan ganguro – nya menunjukkan bahwa dia adalah seorang gadis remaja yang
telah terikat dengan kehidupan dan kebiasaan teman – teman di kelompok Angeleek
tersebut. Oleh karena itu, demi memperoleh rasa hormat dan diterimanya serta disenangi
oleh teman – teman di Angeleek, dia harus mengorbankan hal – hal lain yang lebih
penting daripada pakaian dan kosmetik demi obsesinya terhadap Angeleek. Kemudian,
jika dia tidak dapat memenuhi kebutuhan untuk berpenampilan maksimal selayaknya
seorang gadis ganguro, maka tidak mungkin baginya untuk mendapat rasa hormat dari
para anggota Angeleek. Perilaku semacam ini dapat merusak moral dan kepribadian
Pinky sebagai seorang gadis remaja yang mudah tergoda oleh banyak pengaruh negatif
di sekitarnya, terutama budaya kepopuleran dan trend. Hal ini sesuai dengan pendapat
Shields (2005:12) mengenai tanggapan remaja putri terhadap trend secara psikologis,
yaitu:
36
Timbul tenggelamnya suatu trend tentunya membawa dampak – dampak
psikologis terhadap kaum remaja, khususnya remaja putri yang memiliki
kecenderungan untuk mengikuti trend mode. Kebanyakan dari dampak – dampak
tersebut cenderung bersifat negatif dan dapat merusak mental kaum remaja yang
sedang dalam masa pertumbuhan baik fisik maupun pertumbuhan psikologis.
Salah satu dampak buruk yang dapat menimpa kaum remaja putri jika mereka
terlalu terpaku pada perputaran trend adalah mereka akan menjadi manusia yang
konsumtif dan materialistis, karena banyak trend masa kini yang mengacu pada
hal – hal yang berbau kepopuleran dan berharga mahal. Oleh karena itu, kaum
remaja menjadi lebih fanatik akan semua trend yang populer, apalagi yang
harganya cenderung di atas rata – rata. Hal demikianlah yang menjadikan mereka
manusia yang materialistis. Mereka menganggap bahwa memiliki barang yang
sedang populer atau mengikuti trend mode terkini dapat meningkatkan kualitas
hidup dan lebih membahagiakan mereka. Banyak kaum remaja putri yang
berpandangan bahwa benda – benda atau pakaian terkini merupakan sarana
untuk dapat mengakrabkan diri dengan teman – temannya yang populer di
sekolah dan agar mereka dapat diterima oleh teman – teman sebayanya.
Gambar 3.1 Kelompok Angeleek
Sumber: Cherrypop (2007).
3.3 Kasus 3
Kasus berikut ini diambil dari pernyataan salah seorang pengikut ganguro bernama
Yuka Mizuno. Ia turut menjadi seorang gadis ganguro karena mengikuti Buriteri, yakni
seorang model top di majalah Egg. Berikut pernyataannya mengenai Buriteri:
37
Buriteri tidak pernah memperlihatkan wajahnya tanpa make-up. “Bahkan saat
pesta menginap di rumah teman,” kata Mizuno, “satu – satunya benda yang dia
lepaskan hanyalah bulu mata palsunya. Setelah mandi, dia akan menghabiskan
dua sampai tiga jam di kamar mandi berdandan. Kita akan mengetuk – ngetuk
pintu kamar mandi jika kita harus buang air kecil.” Terhadap ini, Buriteri akan
menjawab balik, “aku terlalu malu untuk memperlihatkan wajah asliku!” Dia
berkata bahwa dengan memakai dandanan seperti ini merupakan alat untuk
menyembunyikan kepribadian yang sesungguhnya. Sebenarnya dia sangatlah
pemalu dan canggung (Macias, 2007).
Kasus di atas menceritakan bahwa Buriteri merupakan gadis remaja yang tidak
percaya diri akan wajahnya dan juga kepribadiannya. Oleh karena itu, dia sengaja
menyembunyikan wajahnya di balik dandanan ganguro yang sangat tebal dan sama
sekali mengubah jati dirinya. Menurut analisis saya, kasus ini memperlihatkan bahwa
Buriteri adalah seorang gadis remaja yang malu memperlihatkan jati diri sesungguhnya
dan merasa bahwa jati diri ganguro – nya membuat dia lebih populer dan lebih diterima
oleh teman – temannya. Dengan begitu, Buriteri sebagai seorang gadis remaja yang
sedang berada dalam masa – masa kehidupan yang penuh gejolak dan ketidakyakinan
akan dirinya sendiri ini, pada akhirnya berusaha keras menutup – nutupi kepribadian
maupun penampilan fisik yang sesungguhnya dengan dandanan ganguro. Dia tidak
yakin bahwa dia akan memiliki teman sebanyak yang dia miliki sekarang, jika dia hanya
berpenampilan biasa – biasa saja selayaknya remaja Jepang normal pada umumnya.
Baginya, dengan memiliki penampilan terkini atau unik selayaknya seorang gadis
ganguro, maka dia akan merasa lebih aman dengan dirinya dan merasa bahwa tema –
temannya yang juga pengikut ganguro menganggapnya seseorang yang penting dan bisa
diterima. Dia menganggap bahwa dengan menjaga reputasinya sebagai model ganguro
yang tersohor di kalangan para pengikut trend ganguro, hidupnya akan menjadi lebih
bermakna dan orang – orang akan terus mengingatnya sebagai seseorang yang memiliki
38
tempat di hati para pengikut ganguro. Kasus ini sesuai dengan pandangan Melo (2001)
mengenai faktor psikologis bagi remaja putri untuk mengikuti suatu trend, yaitu:
Jika seorang remaja putri selalu mengenakan pakaian yang sedang trend, maka
remaja putri tersebut cenderung akan memiliki lebih banyak teman dan lebih
populer di kalangan teman sebayanya. Perempuan yang sedang memasuki usia
remaja juga seringkali merasa bahwa dengan memiliki materi tertentu maka
mereka akan memperoleh kepuasan tersendiri dan juga meningkatkan rasa
percaya diri dan penghargaan terhadap diri sendiri, akan tetapi kaum remaja yang
tidak mengikuti trend atau tidak memiliki cukup uang untuk membeli benda –
benda yang mahal, umumnya akan merasa terkucilkan.
Kasus ini juga memperlihatkan bahwa Buriteri merupakan gadis remaja yang sudah
terjerumus dalam budaya kelompok yang mengharuskannya untuk bersikap maupun
berpenampilan sedemikian rupa, sampai – sampai dia lupa akan jati diri yang
sesungguhnya. Dengan perilaku demikian, dia telah meliputi hidupnya dengan kepalsuan
demi mempertahankan rasa hormat teman – teman dan juga para pengikut ganguro yang
menganggap dia sebagai idola. Padahal, perubahan sikap dan perilaku tersebut belum
tentu membuat dia bahagia. Hal ini sesuai dengan pendapat Nakane (1970) mengenai
groupisme yakni:
Kekuatan dan pengaruh kelompok tidak hanya mempengaruhi maupun merasuki
perilaku suatu individu; hal itu bahkan mengubah kreativitas dan juga cara
berpikirnya. Ada yang merasa bahwa hal ini berbahaya dan pelanggaran terhadap
harga diri. Sebaliknya, ada juga yang merasa lebih aman dalam kehidupan
berkelompok.
Rasa malu Buriteri terhadap wajah dan jati diri yang sesungguhnya itu tentu saja
diakibatkan oleh lingkungan sekitarnya yang dapat berupa teman – temannya, orang tua,
sekolah, dan sebagainya. Mungkin saja orang – orang di sekitarnya pernah atau bahkan
seringkali mengkritik dan mencela penampilan, wajah, maupun perilaku Buriteri yang
39
sesungguhnya sebelum dia menjadi seorang ganguro yang telah berubah total. Oleh
karena itu, tentu saja dia tidak lagi merasa nyaman dengan keseluruhan penampilan dan
juga pribadinya yang asli, dan pada akhirnya berusaha mengubah keseluruhan dirinya
dengan harapan agar teman – teman maupun orang lain di sekitarnya lebih menghargai
dirinya yang baru. Hal ini sesuai dengan pendapat Setiono (2002) mengenai psikologi
perilaku remaja, yaitu:
Dalam hal kesadaran diri, pada masa remaja para remaja mengalami perubahan
yang dramatis dalam kesadaran diri mereka . Mereka sangat rentan terhadap
pendapat orang lain karena mereka menganggap bahwa orang lain sangat
mengagumi atau selalu mengkritik mereka seperti mereka mengagumi atau
mengkritik diri mereka sendiri. Anggapan itu membuat remaja sangat
memperhatikan diri mereka dan citra yang ditampilkan. Remaja cenderung untuk
menganggap diri mereka sangat unik dan bahkan percaya keunikan mereka akan
berakhir dengan kesuksesan dan ketenaran. Pada saat itu, Remaja akan mulai
sadar bahwa orang lain tenyata memiliki dunia tersendiri dan tidak selalu sama
dengan yang dihadapi atau pun dipikirkannya. Anggapan remaja bahwa mereka
selalu diperhatikan oleh orang lain kemudian menjadi tidak berdasar. Pada saat
inilah, remaja mulai dihadapkan dengan realita dan tantangan untuk
menyesuaikan impian dan angan-angan mereka dengan kenyataan.
Kasus ini yang memperlihatkan bahwa Yuka menjadi pengikut ganguro karena
mengikuti Buriteri, menunjukkan bahwa Yuka sangat mengidolakan Buriteri dan
menjadikan dia sebagai panutannya, terutama dalam berpenampilan. Dari kasus ini,
terlihat bahwa banyak kaum remaja yang sangat terpengaruh oleh idola mereka dan
kerap kali bahkan cenderung terobsesi secara berlebihan sampai – sampai mereka
menyamakan gaya, perilaku, dan juga penampilan orang yang mereka idolakan. Banyak
dari mereka yang terpengaruh oleh idola mereka karena mereka melihat bahwa seorang
idola memiliki kehidupan yang penuh warna warni dan kemeriahan. Oleh karena itu,
para gadis remaja yang mengubah penampilan dan perilakunya secara total demi
menyamakan dirinya dengan idola kesukaanya adalah semata – mata untuk menciptakan
40
suatu fantasi semu yang memperbolehkan mereka untuk menjalankan kehidupan
rutinitas sehari – hari yang mirip dengan idola mereka. Hal ini sesuai dengan pendapat
Setiono (2002) mengenai psikologi perilaku remaja, yaitu:
Masa remaja adalah periode dimana seseorang mulai bertanya-tanya mengenai
berbagai fenomena yang terjadi di lingkungan sekitarnya sebagai dasar bagi
pembentukan nilai diri mereka. Remaja cenderung untuk menganggap diri
mereka sangat unik dan bahkan percaya keunikan mereka akan berakhir dengan
kesuksesan dan ketenaran. Remaja akan membayangkan apa yang akan
dilakukan oleh para “idola”nya untuk menyelesaikan masalah seperti
itu. Pemilihan idola ini juga akan menjadi sangat penting bagi remaja.
Akan tetapi, perbuatan Yuka dalam meniru penampilan Buriteri sebagai idolanya
merupakan hal yang sebenarnya kurang baik bagi perkembangan mentalnya. Hal itu
disebabkan karena dengan kebiasaannya mengikuti baik penampilan maupun tindak
tanduk Buriteri, maka lambat laun dia akan mulai kehilangan ciri khas dan juga jati
dirinya sendiri. Tentunya, dalam hati kecil Yuka terdapat angan – angan untuk menjadi
seperti Buriteri, dan angan – angan semacam itu tidak selalu berdampak positif bagi
psikologis seorang gadis remaja. Usia remaja adalah usia dimana seseorang menjadi
lebih rentan oleh godaan, dan juga lebih beremosi terhadap segala hal, khususnya kaum
remaja putri pada umumnya. Yuka sebagai seorang gadis remaja yang sedang dalam
pertumbuhan, seharusnya lebih mengeksplorasi dan mengembangkan dirinya sendiri
tanpa meniru – niru orang lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Bernstein (2001)
mengenai pengaruh trend mode terhadap psikologis remaja putri, yaitu:
Kaum remaja putri yang terlalu mengandalkan hidup pada trend juga akan
berakibat buruk pada perkembangan mental mereka, yakni akan mengakibatkan
keinginan yang berlebihan untuk selalu meniru orang lain dan ketidakmampuan
untuk menunjukkan selera maupun jalan pikiran diri sendiri. Bahkan dengan
terlalu mengikuti suatu trend, maka seseorang akan cenderung untuk tidak
mempedulikan kepentingan diri sendiri dan akan menimbulkan perilaku yang
menentang.
41
Gambar 3.2 Model Egg, Buriteri
Sumber: Photo Guide Japan (2005).
3.4 Kasus 4
Kasus berikut merupakan wawancara Breck Eigelberner dengan para gadis remaja
Jepang yang menjadi yamanba, yakni penampilan ganguro yang lebih ekstrim lagi:
Ketika ditanya, mayoritas gadis yamanba menjawab mereka berpakaian
demikian karena itu terlihat “keren” atau “seksi. Lainnya yakni sebagai suatu
bentuk pemberontakan terhadap estetika tradisional kecantikan kulit putih, dan
keinginan untuk berpenampilan yang mengejutkan (Eigelberner, 2007).
Kasus di atas menceritakan bahwa para gadis yamanba yang merupakan salah satu
bentuk dari trend ganguro mengemukakan alasan mereka mengikuti trend tersebut yang
pada dasarnya ingin tampil mengejutkan dan menarik perhatian dengan cara melawan
sudut pandang wanita Jepang pada umumnya yang mendambakan kulit putih. Menurut
42
analisis saya, kasus ini sesuai dengan pendapat Kumagai (1996:74) mengenai remaja
Jepang, yaitu:
Kepribadian remaja Jepang masa kini yang ekspresif dapat dilihat dengan
kegemaran mereka tampil menari – nari mengikuti lagu yang diputar di radio di
depan umum, di jalan raya dan tampil sebagai sebuah band musik, terutama di
daerah yang ramai dengan kaum remaja misalnya Shibuya dan Harajuku di
Tokyo. Kegiatan tersebut adalah salah satu cara bagi kaum remaja Jepang untuk
mengekspresikan emosi dan kepribadian mereka masing – masing. Remaja
Jepang yang hidupnya tak menentu dan hanya memikirkan dirinya sendiri ini
pada dasarnya sibuk bergulat dengan kemelut kehidupan di Jepang yang tersohor
sebagai negara yang kaya akan budaya, adat istiadat, dan norma kesopanan.
Kasus di atas juga menunjukkan bahwa para gadis yamanba ini menganggap bahwa
suatu bentuk penampilan yang berbeda 180 derajat dari penampilan remaja Jepang
normal pada umumnya lebih terlihat menarik dan membuat orang – orang yang
melihatnya merasa takjub dan mengagumi mereka, dibandingkan penampilan yang biasa
– biasa saja. Mereka merupakan kaum remaja yang diliputi dengan rasa tidak puas
dengan segala sesuatu yang datar dan seragam. Oleh karena itu terciptalah berbagai
macam trend mode yang unik untuk menunjukkan emosi dan minat mereka yang
sesungguhnya secara jasmaniah dalam bentuk pakaian dan dandanan, seperti halnya
ganguro maupun yamanba. Hal ini sesuai dengan pernyataan Turiel (1978) mengenai
psikologis perilaku remaja, yaitu:
Remaja tidak lagi menerima hasil pemikiran yang kaku, sederhana, dan absolut
yang diberikan pada mereka selama ini tanpa bantahan. Secara kritis, remaja
akan lebih banyak melakukan pengamatan keluar dan membandingkannya
dengan hal-hal yang selama ini diajarkan dan ditanamkan kepadanya. Baginya
dunia menjadi lebih luas dan seringkali membingungkan, terutama jika ia
terbiasa dididik dalam suatu lingkungan tertentu saja selama masa kanak-kanak.
43
Para gadis yamanba ini yang memiliki penampilan ekstrim, juga menunjukkan
bahwa awalnya mereka memang merupakan gadis – gadis remaja yang berani mencoba
hal – hal baru dan tidak malu untuk bereksperimen dengan penampilan mereka, diikuti
juga dengan tutur sapa serta gaya bicara mereka yang berbeda dengan ciri – ciri gadis
remaja Jepang biasa. Kemudian, pada akhirnya mereka tentunya memilih penampilan
yamanba sebagai wujud dari ekspresi diri mereka yang sesungguhnya. Dari kasus ini,
terlihat bahwa para gadis yamanba pada dasarnya memiliki jiwa petualang yang
menggemari hal – hal unik dan berani, bahkan dapat mengundang kritik pedas maupun
kontroversi. Akan tetapi, jika penampilan mereka mengundang kontroversi dan kritik
pedas dari orang – orang awam di sekitar mereka, mereka malah merasa semakin
percaya diri karena mereka menganggap kritik dan komentar tersebut sebagai bentuk
bahwa ada yang memperhatikan mereka, jadi mereka secara tidak langsung telah
berhasil mewujudkan keinginan untuk menarik perhatian orang lain. Sesungguhnya
keberanian kaum remaja dalam bereksperimen dan mencoba hal – hal baru merupakan
hal yang positif dan patut dikembangkan, selama hal itu tidak merusak moral dan hidup
mereka. Hal ini sesuai dengan pendapat Setiono (2002) mengenai pembentukan jati diri
pada kaum remaja, yaitu:
Salah satu topik yang paling sering dipertanyakan oleh individu pada masa
remaja adalah masalah "Siapakah Saya?" Pertanyaan itu sah dan normal adanya
karena pada masa ini kesadaran diri mereka sudah mulai berkembang dan
mengalami banyak sekali perubahan. Remaja mulai merasakan bahwa mereka
bisa berbeda dengan orangtuanya dan memang ada remaja yang ingin mencoba
berbeda. Inipun hal yang normal karena remaja dihadapkan pada banyak
pilihan. Karenanya, tidaklah mengherankan bila remaja selalu berubah dan ingin
selalu mencoba – baik dalam peran sosial maupun dalam perbuatan. Tujuannya
hanyalah ingin menemukan jati-diri atau identitasnya sendiri. Banyak orangtua
khawatir jika “percobaan peran” ini menjadi berbahaya. Dalam proses
“percobaan peran” biasanya orangtua tidak dilibatkan, kebanyakan karena remaja
takut jika orangtua mereka tidak menyetujui, tidak menyenangi, atau malah
44
menjadi sangat kuatir. Sebaliknya, orangtua menjadi kehilangan pegangan
karena mereka tiba-tiba tidak lagi memiliki kontrol terhadap anak remaja
mereka. Pada saat inilah, kehilangan komunikasi antara remaja dan orangtuanya
mulai terlihat. Orangtua dan remaja mulai berkomunikasi dengan bahasa yang
berbeda sehingga salah paham sangat mungkin terjadi.
Gambar 3.3 Yamanba
Sumber: Flickr (2006).
3.5 Kasus 5
Kasus berikut merupakan wawancara Breck Eigelberner dengan para gadis remaja
Jepang yang menjadi yamanba, yakni trend ganguro dengan dandanan yang lebih
ekstrim:
Meskipun demikian, yamanba saat ini nampaknya menikmati perbedaan mereka
dibandingkan kesan negatif terhadap nama baik dan pandangan orang – orang di
luar kelompok sejenis mereka. “Semua teman – teman kami berpakaian yang
sama jadi kami tak usah peduli apa yang orang lain pikirkan,” kata Chika yang
berusia lima belas tahun (Eigelberner, 2007).
Kasus di atas mengemukakan bahwa para gadis yamanba ini tidak peduli dengan
anggapan orang lain mengenai penampilan mereka yang ekstrim, selama mereka tetap
45
sejalan dengan teman sekelompoknya dan berpenampilan serupa maka mereka akan
selalu merasa nyaman dan tetap percaya diri. Menurut analisis saya, para gadis yamanba
tersebut merasa percaya diri dengan penampilan mereka yang cukup aneh dikarenakan
rasa kompak dan setia kawan yang mereka rasakan bersama teman – teman
sekelompoknya yang berpenampilan serupa. Mereka telah terbiasa dengan kekompakan
bersama teman – teman sekelompoknya dan lebih lama menghabiskan waktu dengan
teman – temannya, karena hanya teman merekalah yang paling memahami emosi dan
segala hasrat yang mereka rasakan, lain halnya dengan orang – orang di rumah dan di
sekolah yang seringkali tentunya tidak berpikiran sama dan bahkan kurang menyetujui
tindak tanduk maupun cara mereka dalam berpenampilan. Kasus ini sesuai dengan teori
Mighwar (2006:111) mengenai kelompok, yang menyatakan:
Pada dasarnya, sikap remaja yang terlihat menonjol pada awalnya adalah sikap
sosialnya, terutama terhadap teman – teman sebayanya yang memiliki minat dan
perilaku yang serupa sehingga mereka membentuk suatu kelompok sahabat. Bagi
remaja, sikap setia kawan terhadap sesama teman di kelompoknya merupakan
suatu hal yang sangat penting dan tidak boleh dilanggar kecuali jika terpaksa.
Seorang remaja selalu berusaha bersikap sesuai dengan norma – norma
kelompoknya. Sikap setia kawan itu selalu berusaha dipertahankan meskipun
seorang remaja dapat menghadapi konflik dengan orang tua maupun dengan
guru.
Kasus di atas juga menunjukkan bahwa para gadis yamanba ini merasa percaya diri
dengan penampilan mereka yang tergolong ekstrim dan seringkali mengundang kritik
tajam dari orang – orang awam yang lebih konservatif, karena mereka tak ingin terikat
dengan norma – norma yang berlaku dalam keluarga maupun lingkungan sekitar mereka
yang mengharuskan mereka untuk bersikap sedemikian rupa, sedangkan mereka yang
menjadi yamanba atau ganguro adalah kaum remaja yang penuh dengan ketidakpuasan
dan rasa ingin memberontak terhadap adat istiadat Jepang yang sarat akan tata krama,
46
dan kekakuan. Oleh karena itu persatuan mereka dengan gadis – gadis remaja Jepang
lain yang memiliki hasrat dan penampilan serupa merupakan salah satu jalan bagi
mereka untuk mewujudkan angan – angan menjadi seseorang yang berbeda dan tidak
tergoyahkan oleh komentar negatif orang – orang di sekitar mereka. Hal ini sesuai
dengan pendapat Setiono (2002) mengenai psikologi perilaku remaja yang menyatakan:
Kemampuan berpikir dalam dimensi moral pada remaja berkembang karena
mereka mulai melihat adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang
mereka percayai dahulu dengan kenyataan yang ada di sekitarnya. Mereka lalu
merasa perlu mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir dengan
“kenyataan” yang baru. Perubahan inilah yang seringkali mendasari sikap
"pemberontakan" remaja terhadap peraturan atau otoritas yang selama ini
diterima bulat-bulat. Konflik nilai dalam diri remaja ini lambat laun akan
menjadi sebuah masalah besar, jika remaja tidak menemukan jalan
keluarnya. Kemungkinan remaja untuk tidak lagi mempercayai nilai-nilai yang
ditanamkan oleh orangtua atau pendidik sejak masa kanak-kanak akan sangat
besar jika orangtua atau pendidik tidak mampu memberikan penjelasan yang
logis, apalagi jika lingkungan sekitarnya tidak mendukung penerapan nilai-nilai
tersebut.
3.6 Kasus 6
Kasus berikut diambil dari artikel The Metamorphosis of the Yamanba Tribe dalam
Syberpunk (2007):
“Pada saat para gadis remaja mulai memperoleh tanning yang semakin lama
semakin gelap, aku memutuskan untuk melakukan hal yang sama agar tidak
tertinggal oleh mereka. Kata yamanba belum muncul waktu itu. Akan tetapi,
ketika orang – orang mulai menjuluki kita yamanba, semuanya pun berubah, “
katanya.
Kasus di atas mengemukakan pernyataan seorang gadis bernama Yoshika
Tsukagawa, yang dulunya merupakan salah seorang model pin-up yamanba yang
populer selama masa kejayaan yamanba. Pada mulanya dia adalah seorang ganguro,
namun karena lambat laun para pengikut ganguro mulai memperbaharui penampilan dan
47
semakin mempertebal dandanannya, berubahlah mereka menjadi yamanba. Oleh karena
itu, Tsukagawa sebagai seorang model harus juga mengikuti perkembangan tersebut.
Menurut analisis saya, Yoshika merupakan salah satu figur publik yang dijadikan
panutan oleh gadis – gadis ganguro dan hal itu membuat dia harus selalu
memperbaharui penampilannya dan menjaga ketenarannya sedemikian rupa sehingga
tetap digemari oleh gadis – gadis remaja pengikut ganguro. Kasus ini sesuai dengan
pernyataan yang ada di Theories of Fashion Costume and Fashion History dalam
Fashion Era (2007) mengenai trend mode, yaitu:
Mode itu adalah suatu bentuk kebebasan untuk mengungkapkan pikiran, isi hati
dan juga merupakan bahasa isyarat dan simbol yang secara non – verbal
mengkomunikasikan tentang suatu individu maupun kelompok. Lalu, mode itu
adalah salah satu hal yang membedakan satu individu dengan individu lainnya,
karena pakaian, aksesoris dan penghias tubuh lainnya sangatlah mudah untuk
diketahui oleh orang lain dalam seketika. Pada mulanya, suatu trend mode harus
mendapat respon positif dari masyarakat, kemudian trend mode tersebut dapat
mewabah dan ditiru semua orang karena kompetisi yang secara tidak langsung
telah dimunculkan oleh mode tersebut. Kemudian, pada akhirnya suatu trend
mode akan tergantikan oleh trend yang lebih baru karena trend mode tersebut
telah menjadi suatu hal yang terlalu biasa di kalangan masyarakat dan sudah tidak
dapat lagi memenuhi posisinya sebagai sesuatu yang unik.
Kasus ini juga menunjukkan bahwa Yoshika merupakan seseorang yang sangat
terpengaruh oleh pandangan orang – orang sekitarnya mengenai kepopulerannya sebagai
model yamanba, sehingga dia mau tidak mau harus senantiasa mengikuti tuntutan
profesi dan menjaga popularitasnya sebagai model yamanba dengan baik, demi
mempertahankan karirnya. Hal ini membuatnya semakin tenggelam di dalam kemelut
kehidupan seorang figur yang senantiasa dipandang baik oleh para penggemar, media
massa, maupun masyarakat awam, dan hal itu akan selalu menuntut dia untuk mengikuti
perkembangan jaman demi memenuhi ketentuan untuk menjadi model yang diminati
48
setiap saat. Hal ini sesuai dengan pendapat Setiono (2002) mengenai psikologi perilaku
remaja, yang menyatakan:
Mereka sangat rentan terhadap pendapat orang lain karena mereka menganggap
bahwa orang lain sangat mengagumi atau selalu mengkritik mereka seperti
mereka mengagumi atau mengkritik diri mereka sendiri. Anggapan itu membuat
remaja sangat memperhatikan diri mereka dan citra yang ditampilkan.
Rasa keharusan bagi Yoshika untuk mengikuti perkembangan jaman dan juga trend
mode ganguro sesuai tuntutan profesinya sebagai model juga disebabkan karena trend
mode itu merupakan sesuatu yang sangat cepat berubah dan sangat dipengaruhi serta
terinspirasi oleh keadaan masyarakat, budaya, dan juga unsur psikologis pengikut trend
tersebut. Oleh karena itu, untuk menjaga kesohorannya dan ciri khasnya sebagai seorang
model ganguro, dia harus bertransformasi menjadi yamanba yang lebih ekstrim
ketimbang ganguro. Perubahan jaman dan juga trend mode yang bertubi – tubi
seringkali merugikan bagi banyak orang, baik dari segi materi maupun psikologis. Segi
materi yang dimaksud di sini adalah kebiasaan menghabiskan uang dengan sia – sia
hanya demi mengikuti suatu trend belaka, dan segi psikologis yang dimaksud adalah
semakin menajamnya peningkatan sifat konsumtif di kalangan remaja putri. Kaum
remaja putri yang dikenal gemar mencoba hal – hal baru serta bergonta – ganti
penampilan agar tidak dianggap “ketinggalan jaman”. Padahal, apapun bentuk trend
mode yang dicoba belum tentu sesusai dengan kepribadian pemakainya. Akan tetapi,
tetap saja banyak kaum remaja yang memaksakan diri untuk mengikuti trend apapun
yang berlangsung hanya karena tuntutan kelompok dan juga tuntutan lingkungan sekitar
yang kebetulan sangat mementingkan penampilan luar. Hal ini sesuai dengan pernyataan
49
yang terdapat di Theories of Fashion Costume and Fashion History dalam Fashion Era
(2007), yaitu:
Mode merupakan hal yang paling cepat berubah dibandingkan unsur kegiatan
lainnya yang dilakukan manusia seperti bahasa, budaya,dan sebagainya. Karena
perubahan yang cepat itulah dapat memicu unsur negatif bagi manusia, yakni
salah satunya dengan mengeluarkan uang secara berlebihan hanya untuk
mengikuti trend yang terus berubah, padahal barang – barang yang dibeli belum
tentu sama sekali berguna. Oleh karena itu, perubahan trend sangatlah memicu
semakin tingginya budaya konsumtif di kalangan masyarakat. Khususnya bagi
generasi muda, mereka sangat senang mengikuti perkembangan trend sebagai
salah satu cara untuk mengalami hal baru dan menarik. Oleh karena itu generasi
mudalah yang seringkali menjadi korban dari trend mode yang sedang
berlangsung, dikarenakan kegemaran mereka dalam mencoba hal – hal baru dan
tidak ingin tertinggal oleh teman – teman sebayanya.
Cara pandang Yoshika terhadap keharusannya untuk mengubah penampilan dari
ganguro menjadi yamanba juga disebabkan oleh pengaruh budaya groupisme yang
melanda sebagian besar masyarakat Jepang, khususnya kaum remaja yang tidak bisa
lepas dari kehidupan bersama teman – teman sekelompoknya, dan membuat mereka jadi
menyamakan perilaku serta kebiasaan – kebiasaan sehari – harinya dengan kelompok
yang mereka masuki. Sebagai seorang model remaja, dia juga mengikuti semua tuntutan
penampilan yang dihadapinya dengan alasan rasa takut dikucilkan dan dianggap remeh
oleh teman – teman serta orang – orang yang mengidolakannya sebagai seorang model
yamanba yang terkenal. Dia dengan rela mengubah terus penampilannya agar dia terus
dielu – elukan dan dipuja di kalangan gadis remaja Jepang yang mengikuti trend
ganguro maupun yamanba. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang terdapat di Clothes
Power dalam Psychology Today (1997) mengenai pengaruh psikologis penampilan
terhadap kehidupan dan perilaku remaja putri, yaitu:
50
Pakaian itu adalah sesuatu yang membuat kita merasa aman, nyaman, dan
penting. Kemudian, bukan hanya itu tetapi juga dapat membantu kita untuk lebih
terlihat unik dan tak terlupakan. Kaum remaja putri yang tumbuh menjadi lebih
dewasa, mereka mencoba untuk memperoleh identitas diri mereka masing –
masing dan pengaruh orang tua pun semakin berkurang terhadap kehidupan
mereka, dan teman – teman sebaya serta media massa akan memiliki pengaruh
yang lebih besar terhadap mereka.
3.7 Kasus 7
Kasus berikut merupakan wawancara Mike Rogers dengan putrinya yang keturunan
Jepang:
Suatu hari, putri sulungku dan beberapa temannya datang ke rumah dan aku
sangat senang bahwa mereka mengekspresikan individualitas mereka dengan
berpakaian dan berpenampilan serupa – dengan hanya sebuah sentuhan yamanba
sebagai pelengkap penampilan mereka. Aku bertanya kenapa mereka berpakaian
seperti ini dan putriku dengan riang memberitahuku, “Semua orang Jepang
kelihatan sama. Itu membosankan. Jadi kita ingin kelihatan berbeda!”
“Jadi kalian ingin kelihatan berbeda dengan berpenampilan yang serupa satu
sama lain? Begitu rupanya (Rogers, 2007).”
Kasus di atas merupakan pertanyaan yang dikemukakan Mike Rogers kepada putri
sulungnya yang setengah Jepang. Terlihat dari kasus ini bahwa putrinya bersama – sama
teman – teman dekatnya bermaksud untuk tampil berbeda dari gadis – gadis remaja
Jepang biasa dan ingin terlihat mencolok, namun pada akhirnya dia jadi terlihat serupa
dengan teman – temannya yang memiliki tujuan sama. Menurut analisis saya, banyak
gadis remaja Jepang menjadi ganguro karena mereka bosan dengan penampilan mereka
yang hampir serupa dengan gadis – gadis remaja Jepang pada umumnya dan mereka
ingin terlihat mencolok serta lain daripada yang lain, namun karena banyak yang
berpikir demikian maka pada akhirnya akan muncul sekelompok remaja yang
penampilannya serupa satu sama lain. Kasus ini sesuai dengan apa yang dikemukakan
51
oleh Teen Market Profile dalam Magazine Publishers of America (2003) mengenai
psikologi remaja pada umumnya, yaitu:
Kaum remaja itu lebih cenderung untuk mengikuti trend mode yang sedang
berlangsung karena sebab – sebab berikut ini:
a. Kaum remaja itu merupakan kaum yang realistik dan optimis dengan rasa
individual yang tinggi, namun tidak senang didominasi oleh generasi
sebelumnya.
b. Suka memegang kendali atas hidupnya dan sangat menggemari hal – hal yang
dianggap menarik bagi mereka.
c. Selalu berharap bahwa mereka dapat menjadi pusat perhatian.
Menurut analisis saya, hal ini juga menunjukkan bahwa putri Mike Rogers
merupakan kaum remaja yang cepat merasa bosan dengan banyak hal, terutama dalam
hal penampilan, maka itu mereka ingin bereksperimen dengan cara mengganti dandanan
mereka secara drastis, misalnya seperti contoh di atas, yakni menjadi ganguro. Mereka
berharap, perbuatan mereka dapat mengundang decak kagum dan menarik perhatian
orang lain di sekitar mereka serta membuat pihak lain percaya bahwa mereka adalah
invididu – individu yang sudah dewasa dan mempunyai hak untuk menyuarakan emosi
serta menunjukkan bahwa mereka adalah gadis remaja yang unik dan tidak
membosankan. Padahal, menurut kasus di atas, pada akhirnya dia dan teman – temannya
memiliki penampilan yang seragam. Hal ini sesuai dengan pendapat Setiono (2002)
mengenai pembentukan jati diri pada remaja, yaitu:
Salah satu topik yang paling sering dipertanyakan oleh individu pada masa
remaja adalah masalah "Siapakah Saya?" Pertanyaan itu sah dan normal adanya
karena pada masa ini kesadaran diri mereka sudah mulai berkembang dan
mengalami banyak sekali perubahan. Remaja mulai merasakan bahwa mereka
bisa berbeda dengan orangtuanya dan memang ada remaja yang ingin mencoba
berbeda. Inipun hal yang normal karena remaja dihadapkan pada banyak
pilihan. Karenanya, tidaklah mengherankan bila remaja selalu berubah dan ingin
selalu mencoba – baik dalam peran sosial maupun dalam perbuatan. Tujuannya
hanyalah ingin menemukan jati-diri atau identitasnya sendiri. Banyak orangtua
khawatir jika “percobaan peran” ini menjadi berbahaya. Dalam proses
“percobaan peran” biasanya orangtua tidak dilibatkan, kebanyakan karena remaja
52
takut jika orangtua mereka tidak menyetujui, tidak menyenangi, atau malah
menjadi sangat kuatir. Sebaliknya, orangtua menjadi kehilangan pegangan
karena mereka tiba-tiba tidak lagi memiliki kontrol terhadap anak remaja
mereka. Pada saat inilah, kehilangan komunikasi antara remaja dan orangtuanya
mulai terlihat. Orangtua dan remaja mulai berkomunikasi dengan bahasa yang
berbeda sehingga salah paham sangat mungkin terjadi.
3.8 Kasus 8
Kasus berikut merupakan wawancara Amanda McCuaig dengan gadis – gadis
remaja Jepang pengikut ganguro:
Yang lainnya menyatakan bahwa ini adalah suatu ekspresi yang berlawanan
dengan wanita ideal di Jepang. Tidak seperti wanita yang pada umumnya
pendiam, penurut, dan pucat seperti yang biasanya diharapkan, gadis – gadis ini
memberontak keluar dari lingkungannyaa, berkulit gelap, dan berperilaku berani,
dan tegas seperti wanita Barat (McCuaig, 2007).
Kasus di atas juga diambil dari wawancara Amanda McCuaig kepada gadis – gadis
remaja pengikut ganguro, yang mengemukakan bahwa mereka ingin tampil berbeda dari
wanita Jepang pada umumnya yang penuh sopan santun dan pendiam serta berkulit
pucat. Dengan begitu, mereka akan tampak lebih tegas dan berani selayaknya wanita
Barat. Menurut analisis saya, kaum remaja Jepang masa kini merupakan generasi
berpandangan modern dan cenderung ingin memberontak dari tekanan budaya serta adat
istiadat Jepang, yakni salah satunya dengan berpenampilan yang berbeda jauh dengan
tolak ukur kecantikan wanita Jepang pada umumnya. Kasus ini sesuai dengan pendapat
Kumagai (1996:74) yang menyatakan:
Remaja Jepang yang hidupnya tak menentu dan hanya memikirkan dirinya
sendiri ini pada dasarnya sibuk bergulat dengan kemelut kehidupan di Jepang
yang tersohor sebagai negara yang kaya akan budaya, adat istiadat, dan norma
kesopanan. Generasi muda Jepang yang berbeda cukup jauh dengan generasi
sebelumnya dalam segi pandangan hidup tentunya akan mengalami kesulitan
untuk menuai sanjungan dan kesan baik dari generasi yang lebih tua, khususnya
yang sangat memandang adat istiadat asli Jepang sebagai panutan hidup.
53
Kasus ini juga memperlihatkan bahwa para gadis remaja Jepang yang mengikuti
ganguro juga merasa terikat dengan adat istiadat Jepang yang tergolong ketat dan penuh
kesopanan serta tata krama yang bagi gadis – gadis ganguro ini terkesan sangat kaku
dan kurang menarik. Maka itu mereka memiliki keinginan mendobrak adat istiadat
tersebut dengan mengubah penampilan mereka menjadi berbeda jauh dengan tolak ukur
masyarakat pada umumnya tentang apa yang disebut cantik dan apa yang biasanya
dianggap pantas bagi seorang gadis remaja Jepang. Saat ini, semakin banyak kaum
remaja merasakan hal yang sama dan mempunyai keinginan untuk menggeliat keluar
dari “penjara” mereka yang menuntut mereka untuk bertindak tidak sesuai dengan minat
maupun perasaan mereka. Hal ini sesuai dengan pendapat Setiono (2002) mengenai
psikologi remaja, yang mengemukakan:
Kemampuan berpikir dalam dimensi moral pada remaja berkembang karena
mereka mulai melihat adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang
mereka percayai dahulu dengan kenyataan yang ada di sekitarnya. Mereka lalu
merasa perlu mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir dengan
“kenyataan” yang baru. Perubahan inilah yang seringkali mendasari sikap
"pemberontakan" remaja terhadap peraturan atau otoritas yang selama ini
diterima bulat-bulat.
3.9 Kasus 9
Kasus berikut diambil dari artikel Ganguro dalam Photo Guide Japan (2005):
Mereka juga memiliki cara tertawa dan bicara yang keras dan blak – blakan.
Gadis – gadis yamanba ini menyatakan bahwa mereka ingin menarik perhatian,
dan mereka sangat merangsang perhatian orang – orang. Mereka juga merasa
lebih percaya diri dan menarik. Kata mereka, tanpa semua bumbu – bumbu yang
dangkal ini, mereka hanyalah gadis remaja biasa yang berwajah biasa, bahkan
jelek, dan membutuhkan peningkatan hidup (baik dalam hal spiritual maupun
tinggi badan).
54
Kasus di atas menceritakan para yamanba yang menyatakan bahwa mereka ingin
memperbaiki penampilan mereka dari seorang gadis yang membosankan menjadi
seorang gadis yang penuh daya tarik dan perubahan ini dianggap dapat membangkitkan
rasa percaya diri mereka. Yamanba adalah salah satu penampilan ganguro namun lebih
ekstrim daripada ganguro. Penampilan mereka yang berubah menjadi yamanba tentunya
turut mengakibatkan perubahan pada sikap dan tutur kata mereka yang rata – rata
menjadi kurang patut diteladani. Menurut analisis saya, para gadis yamanba tersebut
ingin mengungkapkan jati diri, isi hati serta bahasa tubuh dengan penampilan khususnya
yang aneh namun menarik. Kasus ini sesuai dengan pendapat Daters (1990) mengenai
kehidupan kelompok di kalangan remaja, yaitu:
Seorang remaja juga memiliki suatu kebutuhan untuk memiliki suatu kelompok
teman dekat tersendiri dan mengenakan pakaian yang sesuai sebagai salah satu
bentuk mengekspresikan dirinya.
Kasus ini juga memperlihatkan bahwa para gadis yamanba ini mayoritas mengubah
total dandanan serta pakaian mereka menjadi yamanba yang memiliki ciri khas wajah
dan kulit yang berwarna sangat gelap serta rambut yang berwarna – warni, yakni supaya
mereka dapat melarikan diri dari kenyataan bahwa mereka menganggap bahwa wajah
mereka tidaklah cantik dan penampilan mereka cenderung membosankan sehingga
kehilangan rasa percaya diri karena kenyataan yang harus mereka hadapi itu. Oleh
karena itu, dengan tersembunyinya wajah asli mereka di balik dandanan yamanba yang
sangat tebal, mereka akan merasa lebih aman dan lebih percaya diri, serta tak lagi peduli
akan tanggapan orang lain mengenai penampilan mereka. Hal ini sesuai dengan
pendapat Daters (1990) mengenai pengaruh penampilan terhadap psikologis remaja
putri, yaitu:
55
Penampilan merupakan hal yang sangat penting di kalangan remaja putri dan
semua pertanyaan tentang bagaimana caranya berpenampilan maksimal, telah
muncul sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan terkadang
mereka memiliki pandangan bahwa penampilan luar seseorang mendominasi
kualitas keseluruhan orang tersebut. Penampilan seorang remaja putri juga
dianggap lebih penting jika mereka berada di dalam lingkungan sosial maupun
sekolah dibandingkan jika mereka berada di dalam suasana liburan dan istilah
liburan tersebut memiliki maksud secara psikologis.
Kasus di atas juga menunjukkan bahwa para gadis yamanba ini ingin
menyembunyikan wajah asli mereka karena pengaruh lingkungan sekitarnya yakni
teman – teman, sekolah, dan mungkin juga keluarga. Mereka cenderung merasa tertekan
dengan segala tuntutan fisik dan juga mental yang mereka hadapi di lingkungan mereka,
entah itu merasa terkucil karena penampilan yang tidak “modis” atau juga merasa tidak
memiliki keahlian maupun prestasi apapun yang dapat mereka banggakan. Maka dari
itu, munculah keinginan untuk mengubah citra mereka dari gadis remaja biasa yang tak
bermakna apapun menjadi gadis remaja yang penuh dengan keceriaan, keberanian dan
berani memberontak terhadap segala sesuatu yang mereka tidak bisa terima dengan
berkedok “topeng” serta dandanan yamanba. Hal ini sesuai dengan pendapat Setiono
(2002) mengenai psikologi perilaku remaja, yaitu:
Dalam hal kesadaran diri, pada masa remaja para remaja mengalami perubahan
yang dramatis dalam kesadaran diri mereka . Mereka sangat rentan terhadap
pendapat orang lain karena mereka menganggap bahwa orang lain sangat
mengagumi atau selalu mengkritik mereka seperti mereka mengagumi atau
mengkritik diri mereka sendiri. Anggapan itu membuat remaja sangat
memperhatikan diri mereka dan citra yang ditampilkan. Remaja cenderung untuk
menganggap diri mereka sangat unik dan bahkan percaya keunikan mereka akan
berakhir dengan kesuksesan dan ketenaran. Pada saat itu, Remaja akan mulai
sadar bahwa orang lain tenyata memiliki dunia tersendiri dan tidak selalu sama
dengan yang dihadapi atau pun dipikirkannya. Anggapan remaja bahwa mereka
selalu diperhatikan oleh orang lain kemudian menjadi tidak berdasar. Pada saat
inilah, remaja mulai dihadapkan dengan realita dan tantangan untuk
menyesuaikan impian dan angan-angan mereka dengan kenyataan.
56
Download