TINJAUAN PUSTAKA Peranan Media Massa dalam Pembangunan Proses komunikasi yang berlangsung pada tataran masyarakat lebih dimotori oleh media massa. Hal ini rnerupakan sebuah keniscayaan mengingat makna dan eksistensi media massa sebagai institusi penting dalam masyarakat. Makna media massa adalah bentuk komunikasi yang mengggunakan media dan memiliki daya jangkau masyarakat luas. Orientasi pada masyarakat luas inilah yang membedakannya dengan proses komunikasi lainnya. Seperti terlihat dalam persepektif yang mendasarkan pada peringkat organisasi sebagai tempat berlangsungnya komunikasi. Dalam perspektif ini, menurut Mc Quail (1996) komunikasi massa berada padii puncak piramid. Peringkat proses komunikasi : - Masyarakat luas (misalnya komunikasi massa) - Institusi atau organisasi (misalnya sistem politik, badan usaha) - Antarkelompok atau asosiasi (misalnya komunitas seternpbt) - Dalam kelompok atau intragroup (misalnya keluarga) - Antarpribadi atau interpersonal (misalnya dua orang) - Interpersonal / \' (misal proses inforrnasi) Gambar 1. Peringkat proses komunikasi \ I .-yak terjadi Eksistensi media sebagai institusi memiliki fungsi penting. Aswnsi ini didukung oleh dalil yang dikemukakan oleh Mc Quail (1996) yaitu : (1) Media merupakan industri yang berubah dan berkembang yang menciptakan lapangan kerja, barang jasa, dan menghidupkan ha1 yang terkait. Media juga merupakan industri tersendiri yang memiliki peraturan dan norma-noma yang menghubungkan institusi tersebut dengan masyarakat dan institusi lainnya. Di lain fihak institusi media diatur oleh masyarakat. (2) Media massa merupakan surnber kekuatan-alat kontrol, manajemen, dan inovasi dalam masyarakat yang dapat didayagunakan sebagai pengganti kekuatan atau sumber daya lainnya. (3) Media merupakan farurn yang semakin berperan untuk menampilkan peristiwa-peristiwa kehidupan masyarakat, baik yang bertaraf nasional maupun yang bertaraf internasional. (4) Media seringkali berperan sebagai wahana pengembangan kebudayaan, bukan saja dalam pengertiarl bentuk seni dan simbol tetapi dalam pengertian pengembangan tata cara, mode, gaya hidup dan norma-norma. (5) Media telah menjadi slnnber dominan untuk memperoleh gambaran dan citra relaitas sosial, menumbuhkan nilai-nilai dan penilaian normatif yang digabung dengan berita dan hiburan. Selain ha1 tersebut cli atas, media turut berperan aktif sebagai penyalur (desiminator) dan "bank" informasi. Media juga merupakan saluran yang dimanfaatkan untuk mengendalikan arah dan memberikan dorongan terhadap perubahan sosial. Dalam konteks pembangunan, media melakukan peranan untuk membantu mengenalkan perubahan sosial. Dalam ha1 ini media melakukan hal-ha1 seperti : (1) menyampaikan informasii pada masyarakat mengenai pembangunan nasional, memusatkan perhatian masyarakat pada kebutuhan akan perubahan, kesempatankesempatan, atau cara-cara rnengadakan perubahan dan sarana-sarananya serta jika memungkinkan membangkitkan aspirasi nasional; (2) memberikan pada masyarakat untuk turut secara aktif dalam proses pengambilan keputusan, memperluas dialog yang melibatkan semua pihak yang akan memutuskan perubahan, menyampaikan pesan-pesan perubahan secara jelas dan memberikan alternatif-alternatif yang akan didiskusikan serta memperlancar arus informasi secara seimbang; dan (3) memberikan pendidikan (Schramm, 1995 : 5 1). Rogers (1989) dalam tulisannya yang berjudul 'Komunikasi dan Pembangunan, Memudarnya Model Dominan", setelah mengkritisi paradigma pembangunan dominan yang, lebih mengutamakan pertumbuhan material ekonomi, mengedepankan konsep pembangunan yang memperhatikan nilai-nilai seperti kemajuan, persamaan dan kebebasan. Lebih lanjut Rogers menyatakan bahwa munculnya alternatif-alternatif terhadap paradigma lama (konvensional) tentang pembangunan menyiratkan bahwa peranan komunikasi dalam pembangunan juga harus berubah. Menurut Rogers, seiring dengan pendefinisian kembali terhadap konsep pembangunan tersebut, peranan komunikasi mengalami perubahan. Komunikasi yang sebelumnya dianggap memainkan peranan penting pembangunan, khususnya dalarn penyampaian pesan persuasif' dan informatif dari pemerintah pada masyarakat secara 14 hirarkhis ke bawah yang berakibat pada pendekatan dari pendekatan dari atas (top down) yang mengisyaratkar~peranan satu arah dalam komunikasi yang bersifat apartisipatif dan ketergantungan terhadap pemerintah berubah ke arah peranan komunikasi massa yang bersifat perrnisif dan mendukung. Pada kasus tertentu, komunikasi massa bahkan tidak melibatkan diri secara langsung dalam kegiatan pembangunan karena komunikasi massa sekedar mendeskripsikan suatu keberhasilan pembangunan yang dicapai kelompok tertentu. Hal ini secara implisit menyarankan pada kelompok lain untuk lebih giat melakukan yang sama. Disamping itu, komunikasi massa juga memberikan inforrnasi tentang masalah-masalah pembangunan dan berbagai kemungkinan-kemungkinan masalahnya serta inovasi yang tepat dalam menjawab tantangan (kebutuhan masyarakat). Dalam konteks penelitian ini, media merupakan fasilitator bagi masyarakat dalam mengekspresikan pendapatnya tentang format masyarakat yang diidealkan. Pengekspresian pendapat secara bebas ini merupakan wujud pembangunan nonmaterial yang lebih melillat manusia tidak hanya dari aspek jasmani atau materi. Sedangkan bentuk pendapat itu sendiri, yaitu diskursus tentang masyarakat madani juga merupakan proses pembangunan. Diskursus tersebut, pada dasarnya merupakan wujud kepedulian terhadap kondisi masyarakat yang jauh dari idealitas dan merupakan upaya pengembangan masyarakat ke arah yang lebih baik (idealitas). Diskursus Sebagai Wujud Tindakan Komunikatif Para pemikir postmodemisme menisbahkan format masyarakat modem sebagai masyarakat rasional, yakni sebuah masyarakat yang mendasarkan diri pada paradigma rasionalitas, dimana segala aktivitas kehidupannya diukur dengan standar kebenaran rasio. Kebenaran yang menganggap bahwa yang rasional adalah yang operasional, efektif, efisien dapat diotomatisasikan dan dapat dimanipulasi. Hal ini mewujud secara dominan dalam bentuk sistem ekonomi kapitalis dan administrasi birokrasi (Habermas dalam IHardiman, 1993). Sistem ekonomi dan adrninistrasi, tersebut, menurut Habermas telah menyebabkan penyingkiran unsur-unsur komunikatif masyarakat yang pada gilirannya menimbulkan erosi makna. Makna rasio seperti diatas menyingkirkan penilaian-penilaian moral, unsur-unsur subjektif, hasrat-hasrat imaginatif, dan sebagainya. Rasio yang disebutnya rasio mental atau rasio teknologis ini dipisahkan dari praksis yaitu tindakan manusia untuk merealisasikan hidup yang lebih baik. Sehingga rasionalisme ini mengakibatkan krisis dalam masyarakat modem seperti hilangnya makna, anomie, penyakit jiwa, alienasi, dan sebagainya. Menurut Habermas yang dikenal sebagai tokoh teori komunikasi kritis, krisis tersebut di atas dapat diatasi dengan tindakan komunikatif. Tindakan komunikatif ini merupakan tindakan yang diarahkan oleh norma-norrna yang disepakati bersama berdasarkan harapan timbal balik diantara subyek-subyek yang melakukan interaksi. Pemahaman secara timbal balik terhadap simbol-simbol khususnya bahasa sehari-hari sangat penting sebagai medium tindakan ini (Ibid. 78) 16 Teori tindakan komunikatif tersebut mengarah pada sebuah cita-cita universal yakni tenvujudnya sebuah masyarakat komunikatif, yaitu masyarakat yang melakukan kritik dengan tidak melalui revolusi dengan kekerasan melainkan melalui argumentasi. Jenis argumentasi ini antara lain perbincangan atau diskursus (discourse), yang dilakukan untuk mencapai konsensus. Dalam konteks media massa, khususnya surat kabar harian (misalnya Kompas), diskursus (perbincangan) mewujud dalam bentuk tulisan. Pengertian tulisan, menurut Junaedhie (Ensiklopedi Pers Indonesia : 199I), adalah karangan atau berita yang dimaksudkan untuk penerbitan pers. Dalam penelitian ini, tulisan meliputi artikel, tajuk rencana, dan berita. Masyarakat Madani Masyarakat madani (seringkali juga disebut dengan istilah civil society, masyarakat sipil, masyarakat warga, masyarakat kewargaan) merupakan konsep yang dinamis. Konsep ini memiliki makna dan penafsiran yang beragam dari berbagai kalangan. Variabel konteks, setting, dan kepentingan subyek sangat menentukan keragaman makna dan penafsiran, sehingga sampai saat ini upaya melakukan teorisasi tentang masyarakat madani masih terus berlangsung. Menurut Gellner (1999, masyarakat sipil merupakan masyarakat yang terdiri atas berbagai institusi non pemerintah yang cukup kuat untuk mengimbangi negara. Tidak menghalangi negara dari memenuhi peranannya sebagai penjaga perdamaian dan sebagai penengah di antara berbagai kepentingan besar tetapi tidak menghalangi negara dari mendominasi dan mengatomisasi masyarakat. Definisi ini merupakan definisi yang berada pada dua titik ekstrim, yaitu antara definisi yang memaknai masyarakat madani sebagai entitas negara -baik dalam pengertian negara itu sendiri (state of being ) maupun peranan negara yang dominan- dan definisi yang memaknai masyarakat madani sebagai entitas di luar negara -baik masyarakat madani dalam konteks kontradiktif (berada dalam posisi diametral) maupun penyeimbang negara. Meskipun demikian, masyarakat madani lebih cenderung dimaknai sebagai entitas di luar negara. Menurut Karni (1999), civil society merupakan strategi gerakan yang berkonsentrasi pada jalur "bawah" yaitu pemberdayaan masyarakat, yang memiliki muatan visi etik yang berkepentingan memelihara kohesi sosial dan menghindari jebakan titik ekstrim (kebebasan tanpa batas). Oleh karena itu, masyarakat madani memuat variabel otonom, public, dan civic. Lebih dari itu, menurut Azra (1999), masyarakat madani mengacu pada pembentukan masyarakat berkualitas civility, keadaban. Sementara itu, menurut Dawam Raharjo dalam Culla (1999), masyarakat madani lebih mengacu pada penciptaan peradaban, masyarakat madani adalah masyarakat yang etis dan progresif menuju pada terbentuknya peradaban yang unggul. Di Indonesia, sosialisasi dan pengembangan diskursus masyarakat madani terjadi secara serius pada tahun 1990-an. Hal tersebut sebenarnya merupakan imbas dari pemikiran yang terjadi di dunia Barat serta merupakan cara kalangan intelektual Indonesia dalam merespon rezim Orde Baru yang semakin represif. Secara historis, diskursus masyarakat madani baik secara teoritis maupun praksis lahir di Barat. Masyarakat madani (civil society) adalah produk sejarah masyarakat Barat modern, terutama pada saat terjadi transformasi dari masyarakat feodal menuju masyarakat industrial kapitalis. Masyarakat madani sebagai gagasan adalah anak kandung filsafat pencerahan yang memunculkan sekulerisme sebagai pandangan dunia (world view) yang menggantikan agama dan sistem politik demokrasi sebagai pengganti sistem monarkhi. Mengacu pada hasil penelitian Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) bekerja sama dengan The Asia Foundation (TAF) tahun 1999, diskursus mengenai konsep masyarakat madani dari klasik hingga kontemporer, pada hakikatnya berporos pada lima model pemikiran yaitu : 1. Masyarakat madani dipahami sebagai sistem kenegaraan. Artinya masyarakat madani identik dengan negara. Pemaknaan seperti ini muncul pada saat terjadi tahapan lebih lanjut dari evolusi natural society. Kemunculan masyarakat madani untuk meredam konflik dalam masyarakat, sehingga masyarakat tidak jatuh dalam chaos atau ariarkhi dan perilaku setiap warga negara dapat dikontrol dan diawasi secara ketat. 2. Masyarakat madani merupakan sebuah visi etis dalam kehidupan berrnasyarakat. Masyarakat madani bertujuan untuk menumbuhkan tanggung jawab sosial dan kohesi sosial (solidaritas sosial). Pada konteks pemahaman penganut ajaran agama yang taat, model pemikiran ini dapat dimaknai sebagai penegakan ajaran Tuhan dalam ruang dan waktu. Pemahaman seperti ini merupakan solusi atau upaya mengantisipasi perubahan sosial yang diakibatkan oleh modernisme (materialisme, individuali sme). 3. Masyarakat madani sebagai antitesa negara. Masyarakat madani berada dalarn posisi diametral dengan negara. Menurut model pemikiran ini, terdapat batas- 19 batas yang mutlak menjadi wilayah otonom masyarakat sehingga negara tidak dapat masuk. mengembangkan Masyarakat madani adalah ruang bagi warga untuk dapat kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan kepentingannya secara bebas dan tanpa paksaan. Intervensi negara ke dalam ruang tersebut merupakari ha1 yang tidak sah sehingga masyarakat madani hams lebih kuat dan mengontrol negara demi memenuhi kebutuhannya. 4. Masyarakat madani merupakan elemen ideologi kelas dominan. Masyarakat madani adalah tempat perebutan posisi hegemonik di luar negara dan di dalamnya aparat hegenloni mengembangkan hegemoni untuk membentuk konsensus dalam masyarakat. Dalam proses seperti ini, ada kemungkinan muncul kontra hegemoni di luar kekuatan negara. Pada akhirnya, negara terserap ke dalam masyarakat madani sehingga terbentuk masyarakat teratur. 5. Masyarakat madani dimaknai sebagai entitas penyeimbang negara. Masyarakat madani tidak apriori subordinatif terhadap negara, bersifat otonom dan memiliki kapasitas politik cukup tinggi sehingga mampu menjadi kekuatan penyeimbang untuk menahan intervensionis negara. Masyarakat madani juga mampu menjadi sumber legitimasi negara dan pada saat yang sama mampu melahirkan kekuatan kritis reflektif untuk mengwangi derajat konflik dalam masyarakat sebagai akibat formasi sosial modern. Masyarakat madani tidak hanya berorientasi pada kepentingan sendiri tetapi juga memiliki sensitifitas terhadap kepentingan publik. Meskipun model pemikiran masyarakat madani tersebut beragam, menurut H.A.R. Tilaar (1997 : 85-88), perlu ada nilai-nilai esensial dan mutlak yang dipertahankan serta dikembarlgkan di dalarnnya yaitu : 20 1. Memiliki respek terhadap kehidupan yang mencakup nilai-nilai antikekerasan, menghormati tetangga, dan mempertahankan kehidupan kemanusiaan yang memiliki etika. 2. Adanya kebebasan (kemerdekaan) dan persamaan derajat serta hak-hak asasi manusia, termasuk di dalamnya adalah kebebasan berpendapat, kebebasan pers, dan hak untuk memilih. 3. Keadilan dan kesamaan (justice and equity), dua nilai yang merupakan syarat mutlak bagi perdamaian clan kemajuan manusia. Nilai ini mengatasi kesenjangan sosial ekonomi antarkelompok dalam masyarakat, seperti dalam menanggulangi masalah kemiskinan. 4. Saling mengayomi (caring) yang merupakan tali pengikat yang sangat kuat di dalam setiap masyarakat. Masyarakat madani adalah masyarakat yang saling menghormati bukan hanya antar generasi tetapi juga antar kelompok, antar bangsa, antar daerah, antar agama, dan seterusnya. Dengan sikap ini dapat dihindarkan berbagai jenis keresahan, kekerasan, dan peperangan. Selanjutnya, sikap ini dapat memotivasi manusia melaksanakan tugas-tugas voluntir membantu sesama manusia yang membutuhkan. 5. Integritas. Nilai ini merupakan dasar dari kepercayaan sesama manusia dalam bermasyarakat. Integritas memudahkan manusia berbuat kebaikan dan menghindarkan dari perbuatan yang buruk. Masyarakat madani adalah masyarakat yang mengembangkan sikap integritas setiap individunya sebagai manusia yang mengetahui hak dan kewajiban untuk menolong manusia yang pada akhirnya membentuk masyarakat dunia yang adil dan makmur. Sumber Informasi Sumber informasi adalah seseorang yang dijadikan sumber atau referensi (rujukan) dalam berita dan atau komunikator (penulis) artikel. Pada umumnya surnber inforrnasi dalam sebuah diskursus adalah para tokoh akademisi atau cendekiawan, politikus, mahasiswa, budayawan, rohaniawan (tokoh agama). Menurut Dijk dalam Triputra (2000 : 41 I), sumber sebagai aktor berada pada posisi teratas baik individu pada hierarkhi status sosial tertentu maupun posisi dalam kelompoknya atau organisasinya. Dalam konteks media massa, berlaku prinsip jurnalistik yang ketat dalam arti bahwa tokoh (prominentperson) merupakan nilai berita. Tokoh dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995 : 1064) berarti orang yang terkemuka dan kenamaan. T'erkemuka dan kenamaan terlihat dari banyaknya publik yang mengenalinya, sering menjadi pusat pemberitaan, sering diminta konfirmasi mengenai suatu persoalan, dan sebagainya. Sumber informasi yang pada umumnya merupakan tokoh-tokoh dalam kalangan akademisi (cendekiawan), politikus, mahasiswa, budayawan, dan rohaniawan (agamawan). Dalam terminologi salah seorang ahli sosiologi yang sangat concern terhadap masyarakat bawah, Syariati (1995), konsep cendekiawan, politikus, mahasiswa, budayawan, dan rohaniawan tercakup dengan istilah roushanjkr atau intelektual yang artinya seorang yang memiliki konsepsi teoritis dan terlibat secara langsung melakukan perubahan dalam masyarakat. Intelektual dalam kamus besar bahasa Indonesia (1995 : 383) berarti seorang yang cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan. Secara umum, intelektual lebih dikenal sebagai seorang yang memiliki kompetensi dal ilmu pengetahuan, memilikii wawasan yang luas, integritas moral yang tinggi dan mempunyai komitmen pada upaya pengembangan masyarakat yang lebih baik. Realitas Pers Masa Rezim Orde Baru dan Masa Rezim Pasca Orde Baru Pers memiliki pengertian secara luas dan sempit. Secara luas, pers mencakup semua media komunikasi massa seperti radio, televisi, dan film yang berfungsi menyebarkan informasi, berita, gagasan, pikiran, atau perasaan seseorang atau sekelompok orang kepada :yang lainnya, sedangkan secara sempit, pers hanya digolongkan produk-produk penerbitan yang melewati proses percetakan, seperti surat kabar harian, majalah mingguan, majalah tengah bulanan, dan sebagainya yang dikenal sebagai media cetak (Rahrnadi, 1990). Kajian terhadap pers, khususnya dalam penelitian ini yang lebih menunjuk pada pers dalam pengertian sempit, menggunakan pendekatan sistem. Pendekatan sistem merupakan pendekatan yang melihat komunikasi sebagai proses yang bersifat holistik (menyeluruh), sehingga dalam mengkaji komunikasi memperhatikan interelasi antara komponen,-komponen yang hams diteliti terrnasuk lingkungan sebagai tempat komunikasi berlangsung (Rogers dan Rogers dalam Rogers, 1989). Hal tersebut juga dikemukakan oleh Hidayat (2000 : 431), bahwa kajian terhadap pers harus diletakkan dalam totalitas sosial yang lebih luas, sebagai bagian integral dari proses-proses ekonomi, sosial dan politik yang berlangsung dalam masyarakat. Senada juga dengan ungkapan Siebert at al. (1963) bahwa : "To see the social system in their true relationship to the press, one has to look at certain basic beliefs and assumptions which the society ang the state, the relations of the state and the nature of knowledge and truth". 23 Berdasarkan ha1 tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa sistem pers pada suatu negara mencerminkan sistem politik negara tersebut. Sehingga, seperti diungkapkan oleh Sommerlad (1966) bahwa institusi sosial pers mempunyai fimgsi dan sifat yang berbeda antar negara, tergantung pada sistem politik ekonomi dan struktur sosial dari negara tempat pers itu berada. Pada negara yang diperintah oleh rezim otoriter, sistem pers berada di bawah pengawasan rezim secara penuh, yang berbeda dengan negara yang diperintah oleh rezim liberal yang sistem persnya memiliki kebebasan yang penuh. Dalam konteks Indonesia, perkembangan pers khususnya dari masa rezim Orde Baru ke rezim pasca Orde Baru mengalami perubahan. Pada pemerintahan rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto, eksistensi dan peranan pers cenderung menjadi agen pernerintah. Pers berada dalarn pembinaan, pengawasan dan pengendalian pernerintah, khususnya aparatur Departeman Penerangan. Mereka mempunyai wewenang untuk memberi izin usaha dan mengendalikan hampir segala kegiatan media massa, melakukan pembinaan dan pengawasan serta memiliki kekuasaan untuk mencabut izin yang telah diberikan. Sejak Ali Murtopo menjadi Menteri Penerangan (1977- 1982), Departemen Penerangan difimgsikan sebagai "departemen politik" dalam arti mempunyai fimgsi pembinaan politik. Depertemen ini berada di garda paling depan dalarn setiap kampanye pemilu. Fungsi ini semakin terlihat nyata ketika Harmoko menjadi Menteri Penerangan (1982-1997) dan selama tiga periode berturut-turut Harmoko merangkap (1987- 1998) serta menjadi Ketua Umurn Golkar Ketua~ MPR (Maret 1998-November 1998). Hal tersebut merupakan jabatan dan kedudukan strategis. Dalam struktur kekuasaan seperti itu, Departemen Penerangan menjadi lembaga penjaga gerbang inforrnasi yang sangat efektif bagi kepentingan .pemerintah. Selain itu, Departemen Penerangan mempunyai wewenang mencegah tangkal visa bagi wartawan maupun koresponden luar negeri dan mencegah tangkal tayangan siaran langsung televisi dari dan ke luar negeri. Oleh karena itu, juga memiliki wewenang dalam pengaturan agenda informasi dari dan dalam luar negeri (Ishadi dalam Hidayat dkk, 2000). Dengan melihat konipleksitas empirik, Hidayat (dalam Ibiu!) mengatakan bahwa : "Struktur ekonomi-politik pers Orde Baru, dalam banyak dimensinya, memang terbentuk oleh adanya intervensi rezim penguasa. Jelas bahwa rezim penguasa Orde Baru, sebagai agen pelaku sosial, memiliki kapasitas untuk menentukan arah proses-proses komersialisasi, liberalisasi, privatisasi, dan internasionalisasi yang membentuk struktur ekonomi-politik pers pada masa itu melalui berbagai k~ebijakan,praktek politik dan ekonomi mereka bersama para kroni". Eksistensi dan peranan pers seperti tersebut di atas, lebih disebabkan rezim saat itu dengan gaya pemerintahan yang otoriter-birokratik. Rezim yang demikian lebih menginginkan stabilitas politik dan keamanan meskipun dengan menggunakan tindakan-tindakan yang represif (dalam konteks pers, ha1 ini terlihat dalam kasus pembredelan majalah Editor, Detik, dan Tempo melalui SK Menteri Penerangan pada pertengahan tahun 1994,)serta pembodohan masyarakat. Terlebih sejak 1980-an Soeharto dapat dikatakan rnembangun suatu sistem yang tidak demokratis karena politik hanya berputar di seputar dirinya, seperti sistem monarkhi. Rezim ini juga terlalu menekankan fungsi regulatif untuk mengekang kebebasan pendapat, berkumpul, dan berorganisasi (tampak dari paket lima Undang-Undang Politik), kebebasan pers (UU Pokok Pers dan Peraturan Menteri Penerangan Mengenai Kebebasan Pers) (Bhakti dalam Ibid.). Sedangkan pers Indonesia menjelang dan sesudah berakhirnya kekuasaan Soeharto (rezim Orde Baru), terjadi perubahan struktur ekonomi-politik pers. Para jurnalis memiliki kapasitas yang untuk melakukan tindakan signifikan. Terjadi perubahan teks isi media yang memberikan kontribusi pada eskalasi atau akumulasi tekanan-tekanan terhadap stabilitas hegemoni penguasa dan kemapanan struktur politik yang otoriter Orde Barn. Pada masa pasca Orde Baru, terjadi perubahan yang sangat berarti. Izin penerbitan swat khabar dan rnajalah sangat dipermudah. Izin yang sebelumnya berisi keharusan memenuhi 14 syarat diubah menjadi tiga syarat. Izin diberikan dalam waktu yang relatif singkat (dalam kurun waktu tiga sampai tujuh hari setelah perrnohonan diberikan). Plalam masa satu tahun, sekitar 1.500 SIUPP baru dikeluarkan. Kemudahan juga diberikan di bidang siaran radio dan televisi. Paling tidak 200 izin stasiun radio baru dikeluarkan dalam jangka waktu satu tahun. Radioradio dan televisi-televisi swasta tidak lagi diwajibkan merelai siaran berita dari RRI maupun TVRI. Pada rezim ini pers berperan sebagai social control (Ishadi dalam Hidayat dkk, 200 : 228).