Diskursus Masyarakat Madani Dalam Harian

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Peranan Media Massa dalam Pembangunan
Proses komunikasi yang berlangsung pada tataran masyarakat lebih dimotori
oleh media massa. Hal ini rnerupakan sebuah keniscayaan mengingat makna dan
eksistensi media massa sebagai institusi penting dalam masyarakat.
Makna media massa adalah bentuk komunikasi yang mengggunakan media
dan memiliki daya jangkau masyarakat luas. Orientasi pada masyarakat luas inilah
yang membedakannya dengan proses komunikasi lainnya. Seperti terlihat dalam
persepektif yang mendasarkan pada peringkat
organisasi
sebagai tempat
berlangsungnya komunikasi. Dalam perspektif ini, menurut Mc Quail (1996)
komunikasi massa berada padii puncak piramid.
Peringkat proses komunikasi :
- Masyarakat luas
(misalnya komunikasi massa)
- Institusi atau organisasi
(misalnya sistem politik, badan usaha)
- Antarkelompok atau asosiasi
(misalnya komunitas seternpbt)
- Dalam kelompok atau intragroup
(misalnya keluarga)
- Antarpribadi atau interpersonal
(misalnya dua orang)
- Interpersonal
/
\'
(misal proses inforrnasi)
Gambar 1. Peringkat proses komunikasi
\
I
.-yak
terjadi
Eksistensi media sebagai institusi memiliki fungsi penting. Aswnsi ini
didukung oleh dalil yang dikemukakan oleh Mc Quail (1996) yaitu :
(1) Media merupakan industri yang berubah dan berkembang yang menciptakan
lapangan kerja, barang jasa, dan menghidupkan ha1 yang terkait. Media juga
merupakan industri tersendiri yang memiliki peraturan dan norma-noma yang
menghubungkan institusi tersebut dengan masyarakat dan institusi lainnya. Di
lain fihak institusi media diatur oleh masyarakat.
(2) Media massa merupakan surnber kekuatan-alat kontrol, manajemen, dan
inovasi dalam masyarakat yang dapat didayagunakan sebagai pengganti
kekuatan atau sumber daya lainnya.
(3) Media merupakan farurn yang semakin berperan untuk menampilkan
peristiwa-peristiwa kehidupan masyarakat, baik yang bertaraf nasional maupun
yang bertaraf internasional.
(4) Media seringkali berperan sebagai wahana pengembangan kebudayaan, bukan
saja dalam pengertiarl bentuk seni dan simbol tetapi dalam pengertian
pengembangan tata cara, mode, gaya hidup dan norma-norma.
(5) Media telah menjadi slnnber dominan untuk memperoleh gambaran dan citra
relaitas sosial, menumbuhkan nilai-nilai dan penilaian normatif yang digabung
dengan berita dan hiburan.
Selain ha1 tersebut cli atas, media turut berperan aktif sebagai penyalur
(desiminator) dan "bank" informasi.
Media juga merupakan saluran yang
dimanfaatkan untuk mengendalikan arah dan memberikan dorongan terhadap
perubahan sosial.
Dalam konteks pembangunan, media melakukan peranan untuk membantu
mengenalkan perubahan sosial. Dalam ha1 ini media melakukan hal-ha1 seperti :
(1) menyampaikan informasii pada masyarakat mengenai pembangunan nasional,
memusatkan perhatian masyarakat pada kebutuhan akan perubahan, kesempatankesempatan, atau cara-cara rnengadakan perubahan dan sarana-sarananya serta jika
memungkinkan membangkitkan aspirasi nasional; (2) memberikan pada masyarakat
untuk turut secara aktif dalam proses pengambilan keputusan, memperluas dialog
yang melibatkan semua pihak yang akan memutuskan perubahan, menyampaikan
pesan-pesan perubahan secara jelas dan memberikan alternatif-alternatif yang akan
didiskusikan serta memperlancar arus informasi secara seimbang;
dan (3)
memberikan pendidikan (Schramm, 1995 : 5 1).
Rogers
(1989)
dalam tulisannya yang
berjudul
'Komunikasi
dan
Pembangunan, Memudarnya Model Dominan", setelah mengkritisi paradigma
pembangunan dominan yang, lebih mengutamakan pertumbuhan material ekonomi,
mengedepankan konsep pembangunan yang memperhatikan nilai-nilai seperti
kemajuan, persamaan dan kebebasan. Lebih lanjut Rogers menyatakan bahwa
munculnya alternatif-alternatif terhadap paradigma lama (konvensional) tentang
pembangunan menyiratkan bahwa peranan komunikasi dalam pembangunan juga
harus berubah.
Menurut Rogers, seiring dengan pendefinisian kembali terhadap konsep
pembangunan tersebut, peranan komunikasi mengalami perubahan. Komunikasi yang
sebelumnya dianggap memainkan peranan penting pembangunan, khususnya dalarn
penyampaian pesan persuasif' dan informatif dari pemerintah pada masyarakat secara
14
hirarkhis ke bawah yang berakibat pada pendekatan dari pendekatan dari atas (top
down) yang mengisyaratkar~peranan satu arah dalam komunikasi yang bersifat apartisipatif dan ketergantungan terhadap pemerintah berubah ke arah peranan
komunikasi massa yang bersifat perrnisif dan mendukung.
Pada kasus tertentu, komunikasi massa bahkan tidak melibatkan diri secara
langsung dalam kegiatan pembangunan karena komunikasi massa sekedar
mendeskripsikan suatu keberhasilan pembangunan yang dicapai kelompok tertentu.
Hal ini secara implisit menyarankan pada kelompok lain untuk lebih giat melakukan
yang sama. Disamping itu, komunikasi massa juga memberikan inforrnasi tentang
masalah-masalah
pembangunan
dan
berbagai
kemungkinan-kemungkinan
masalahnya serta inovasi yang tepat dalam menjawab tantangan (kebutuhan
masyarakat).
Dalam konteks penelitian ini, media merupakan fasilitator bagi masyarakat
dalam mengekspresikan pendapatnya tentang format masyarakat yang diidealkan.
Pengekspresian pendapat secara bebas ini merupakan wujud pembangunan
nonmaterial yang lebih melillat manusia tidak hanya dari aspek jasmani atau materi.
Sedangkan bentuk pendapat itu sendiri, yaitu diskursus tentang masyarakat madani
juga merupakan proses pembangunan.
Diskursus tersebut,
pada dasarnya
merupakan wujud kepedulian terhadap kondisi masyarakat yang jauh dari idealitas
dan merupakan upaya pengembangan masyarakat ke arah yang lebih baik (idealitas).
Diskursus Sebagai Wujud Tindakan Komunikatif
Para pemikir postmodemisme menisbahkan format masyarakat modem
sebagai masyarakat rasional, yakni sebuah masyarakat yang mendasarkan diri pada
paradigma rasionalitas, dimana segala aktivitas kehidupannya diukur dengan standar
kebenaran rasio. Kebenaran yang menganggap bahwa yang rasional adalah yang
operasional, efektif, efisien dapat diotomatisasikan dan dapat dimanipulasi. Hal ini
mewujud secara dominan dalam bentuk sistem ekonomi kapitalis dan administrasi
birokrasi (Habermas dalam IHardiman, 1993). Sistem ekonomi dan adrninistrasi,
tersebut, menurut Habermas telah menyebabkan penyingkiran unsur-unsur
komunikatif masyarakat yang pada gilirannya menimbulkan erosi makna. Makna
rasio seperti diatas menyingkirkan penilaian-penilaian moral, unsur-unsur subjektif,
hasrat-hasrat imaginatif, dan sebagainya. Rasio yang disebutnya rasio mental atau
rasio teknologis ini dipisahkan dari praksis yaitu tindakan manusia untuk
merealisasikan hidup yang lebih baik. Sehingga rasionalisme ini mengakibatkan
krisis dalam masyarakat modem seperti hilangnya makna, anomie, penyakit jiwa,
alienasi, dan sebagainya.
Menurut Habermas yang dikenal sebagai tokoh teori komunikasi kritis, krisis
tersebut di atas dapat diatasi dengan tindakan komunikatif. Tindakan komunikatif ini
merupakan tindakan yang diarahkan oleh norma-norrna yang disepakati bersama
berdasarkan harapan timbal balik diantara subyek-subyek yang melakukan interaksi.
Pemahaman secara timbal balik terhadap simbol-simbol khususnya bahasa sehari-hari
sangat penting sebagai medium tindakan ini (Ibid. 78)
16
Teori tindakan komunikatif tersebut mengarah pada sebuah cita-cita universal
yakni tenvujudnya sebuah masyarakat komunikatif, yaitu masyarakat yang
melakukan kritik dengan tidak melalui revolusi dengan kekerasan melainkan melalui
argumentasi.
Jenis argumentasi ini antara lain perbincangan atau diskursus
(discourse), yang dilakukan untuk mencapai konsensus.
Dalam konteks media massa,
khususnya surat kabar harian (misalnya
Kompas), diskursus (perbincangan) mewujud dalam bentuk tulisan. Pengertian
tulisan, menurut Junaedhie (Ensiklopedi Pers Indonesia : 199I), adalah karangan
atau berita yang dimaksudkan untuk penerbitan pers. Dalam penelitian ini, tulisan
meliputi artikel, tajuk rencana, dan berita.
Masyarakat Madani
Masyarakat madani (seringkali juga disebut dengan istilah civil society,
masyarakat sipil, masyarakat warga, masyarakat kewargaan) merupakan konsep yang
dinamis. Konsep ini memiliki makna dan penafsiran yang beragam dari berbagai
kalangan. Variabel konteks, setting, dan kepentingan subyek sangat menentukan
keragaman makna dan penafsiran, sehingga sampai saat ini upaya melakukan
teorisasi tentang masyarakat madani masih terus berlangsung.
Menurut Gellner (1999, masyarakat sipil merupakan masyarakat yang terdiri
atas berbagai institusi non pemerintah yang cukup kuat untuk mengimbangi negara.
Tidak menghalangi negara dari memenuhi peranannya sebagai penjaga perdamaian
dan sebagai penengah di antara berbagai kepentingan besar tetapi tidak menghalangi
negara dari mendominasi dan mengatomisasi masyarakat. Definisi ini merupakan
definisi yang berada pada dua titik ekstrim, yaitu antara definisi yang memaknai
masyarakat madani sebagai entitas negara -baik dalam pengertian negara itu sendiri
(state of being ) maupun peranan negara yang dominan- dan definisi yang memaknai
masyarakat madani sebagai entitas di luar negara -baik masyarakat madani dalam
konteks kontradiktif (berada dalam posisi diametral) maupun penyeimbang negara.
Meskipun demikian, masyarakat madani lebih cenderung dimaknai sebagai
entitas di luar negara.
Menurut Karni (1999), civil society merupakan strategi
gerakan yang berkonsentrasi pada jalur "bawah" yaitu pemberdayaan masyarakat,
yang memiliki muatan visi etik yang berkepentingan memelihara kohesi sosial dan
menghindari jebakan titik ekstrim (kebebasan tanpa batas).
Oleh karena itu,
masyarakat madani memuat variabel otonom, public, dan civic. Lebih dari itu,
menurut Azra (1999), masyarakat madani mengacu pada pembentukan masyarakat
berkualitas civility, keadaban. Sementara itu, menurut Dawam Raharjo dalam Culla
(1999), masyarakat madani lebih mengacu pada penciptaan peradaban, masyarakat
madani adalah masyarakat yang etis dan progresif menuju pada terbentuknya
peradaban yang unggul.
Di Indonesia, sosialisasi dan pengembangan diskursus masyarakat madani
terjadi secara serius pada tahun 1990-an. Hal tersebut sebenarnya merupakan imbas
dari pemikiran yang terjadi di dunia Barat serta merupakan cara kalangan intelektual
Indonesia dalam merespon rezim Orde Baru yang semakin represif.
Secara historis, diskursus masyarakat madani baik secara teoritis maupun
praksis lahir di Barat. Masyarakat madani (civil society) adalah produk sejarah
masyarakat Barat modern, terutama pada saat terjadi transformasi dari masyarakat
feodal menuju masyarakat industrial kapitalis. Masyarakat madani sebagai gagasan
adalah anak kandung filsafat pencerahan yang memunculkan sekulerisme sebagai
pandangan dunia (world view) yang menggantikan agama dan sistem politik
demokrasi sebagai pengganti sistem monarkhi.
Mengacu pada hasil penelitian Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF)
bekerja sama dengan The Asia Foundation (TAF) tahun 1999, diskursus mengenai
konsep masyarakat madani dari klasik hingga kontemporer,
pada hakikatnya
berporos pada lima model pemikiran yaitu :
1. Masyarakat madani dipahami sebagai sistem kenegaraan. Artinya masyarakat
madani identik dengan negara. Pemaknaan seperti ini muncul pada saat terjadi
tahapan lebih lanjut dari evolusi natural society.
Kemunculan masyarakat
madani untuk meredam konflik dalam masyarakat, sehingga masyarakat tidak
jatuh dalam chaos atau ariarkhi dan perilaku setiap warga negara dapat dikontrol
dan diawasi secara ketat.
2. Masyarakat madani merupakan sebuah visi etis dalam kehidupan berrnasyarakat.
Masyarakat madani bertujuan untuk menumbuhkan tanggung jawab sosial dan
kohesi sosial (solidaritas sosial). Pada konteks pemahaman penganut ajaran
agama yang taat, model pemikiran ini dapat dimaknai sebagai penegakan ajaran
Tuhan dalam ruang dan waktu. Pemahaman seperti ini merupakan solusi atau
upaya mengantisipasi perubahan sosial yang diakibatkan oleh modernisme
(materialisme, individuali sme).
3. Masyarakat madani sebagai antitesa negara. Masyarakat madani berada dalarn
posisi diametral dengan negara. Menurut model pemikiran ini, terdapat batas-
19
batas yang mutlak menjadi wilayah otonom masyarakat sehingga negara tidak
dapat masuk.
mengembangkan
Masyarakat madani adalah ruang bagi warga untuk dapat
kepribadian
dan
memberi
peluang
bagi
pemuasan
kepentingannya secara bebas dan tanpa paksaan. Intervensi negara ke dalam
ruang tersebut merupakari ha1 yang tidak sah sehingga masyarakat madani hams
lebih kuat dan mengontrol negara demi memenuhi kebutuhannya.
4. Masyarakat madani merupakan elemen ideologi kelas dominan.
Masyarakat
madani adalah tempat perebutan posisi hegemonik di luar negara dan di
dalamnya aparat hegenloni mengembangkan hegemoni untuk membentuk
konsensus dalam masyarakat. Dalam proses seperti ini, ada kemungkinan
muncul kontra hegemoni di luar kekuatan negara.
Pada akhirnya,
negara
terserap ke dalam masyarakat madani sehingga terbentuk masyarakat teratur.
5. Masyarakat madani dimaknai sebagai entitas penyeimbang negara. Masyarakat
madani tidak apriori subordinatif terhadap negara, bersifat otonom dan memiliki
kapasitas politik cukup tinggi sehingga mampu menjadi kekuatan penyeimbang
untuk menahan intervensionis negara. Masyarakat madani juga mampu menjadi
sumber legitimasi negara dan pada saat yang sama mampu melahirkan kekuatan
kritis reflektif untuk mengwangi derajat konflik dalam masyarakat sebagai akibat
formasi sosial modern.
Masyarakat madani tidak hanya berorientasi pada
kepentingan sendiri tetapi juga memiliki sensitifitas terhadap kepentingan publik.
Meskipun model pemikiran masyarakat madani tersebut beragam, menurut
H.A.R. Tilaar (1997 : 85-88), perlu ada nilai-nilai esensial dan mutlak yang
dipertahankan serta dikembarlgkan di dalarnnya yaitu :
20
1. Memiliki respek terhadap kehidupan yang mencakup nilai-nilai antikekerasan,
menghormati tetangga,
dan mempertahankan kehidupan kemanusiaan yang
memiliki etika.
2. Adanya kebebasan (kemerdekaan) dan persamaan derajat serta hak-hak asasi
manusia, termasuk di dalamnya adalah kebebasan berpendapat, kebebasan pers,
dan hak untuk memilih.
3. Keadilan dan kesamaan (justice and equity), dua nilai yang merupakan syarat
mutlak bagi perdamaian clan kemajuan manusia. Nilai ini mengatasi kesenjangan
sosial ekonomi antarkelompok dalam masyarakat, seperti dalam menanggulangi
masalah kemiskinan.
4. Saling mengayomi (caring) yang merupakan tali pengikat yang sangat kuat di
dalam setiap masyarakat. Masyarakat madani adalah masyarakat yang saling
menghormati bukan hanya antar generasi tetapi juga antar kelompok, antar
bangsa, antar daerah, antar agama, dan seterusnya. Dengan sikap ini dapat
dihindarkan berbagai jenis keresahan, kekerasan, dan peperangan. Selanjutnya,
sikap ini dapat memotivasi manusia melaksanakan tugas-tugas voluntir
membantu sesama manusia yang membutuhkan.
5. Integritas. Nilai ini merupakan dasar dari kepercayaan sesama manusia dalam
bermasyarakat.
Integritas memudahkan manusia berbuat kebaikan dan
menghindarkan dari perbuatan yang buruk.
Masyarakat madani adalah
masyarakat yang mengembangkan sikap integritas setiap individunya sebagai
manusia yang mengetahui hak dan kewajiban untuk menolong manusia yang
pada akhirnya membentuk masyarakat dunia yang adil dan makmur.
Sumber Informasi
Sumber informasi adalah seseorang yang dijadikan sumber atau referensi
(rujukan) dalam berita dan atau komunikator (penulis) artikel. Pada umumnya surnber
inforrnasi dalam sebuah diskursus adalah para tokoh akademisi atau cendekiawan,
politikus, mahasiswa, budayawan, rohaniawan (tokoh agama). Menurut Dijk dalam
Triputra (2000 : 41 I), sumber sebagai aktor berada pada posisi teratas baik individu
pada hierarkhi status sosial tertentu maupun posisi dalam kelompoknya atau
organisasinya. Dalam konteks media massa, berlaku prinsip jurnalistik yang ketat
dalam arti bahwa tokoh (prominentperson) merupakan nilai berita.
Tokoh dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995 : 1064) berarti orang yang
terkemuka dan kenamaan. T'erkemuka dan kenamaan terlihat dari banyaknya publik
yang mengenalinya, sering menjadi pusat pemberitaan, sering diminta konfirmasi
mengenai suatu persoalan, dan sebagainya.
Sumber informasi yang pada umumnya merupakan tokoh-tokoh dalam
kalangan akademisi (cendekiawan), politikus,
mahasiswa,
budayawan,
dan
rohaniawan (agamawan). Dalam terminologi salah seorang ahli sosiologi yang sangat
concern terhadap masyarakat bawah, Syariati (1995),
konsep cendekiawan,
politikus, mahasiswa, budayawan, dan rohaniawan tercakup dengan istilah roushanjkr atau intelektual yang artinya seorang yang memiliki konsepsi teoritis dan
terlibat secara langsung melakukan perubahan dalam masyarakat.
Intelektual dalam kamus besar bahasa Indonesia (1995 : 383) berarti seorang
yang cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan. Secara
umum, intelektual lebih dikenal sebagai seorang yang memiliki kompetensi dal
ilmu pengetahuan, memilikii wawasan yang luas, integritas moral yang tinggi dan
mempunyai komitmen pada upaya pengembangan masyarakat yang lebih baik.
Realitas Pers Masa Rezim Orde Baru dan Masa Rezim Pasca Orde Baru
Pers memiliki pengertian secara luas dan sempit. Secara luas, pers mencakup
semua media komunikasi massa seperti radio, televisi, dan film yang berfungsi
menyebarkan informasi, berita, gagasan, pikiran, atau perasaan seseorang atau
sekelompok orang kepada :yang lainnya, sedangkan secara sempit,
pers hanya
digolongkan produk-produk penerbitan yang melewati proses percetakan, seperti
surat kabar harian, majalah mingguan, majalah tengah bulanan, dan sebagainya
yang dikenal sebagai media cetak (Rahrnadi, 1990).
Kajian terhadap pers, khususnya dalam penelitian ini yang lebih menunjuk
pada pers dalam pengertian sempit, menggunakan pendekatan sistem. Pendekatan
sistem merupakan pendekatan yang melihat komunikasi sebagai proses yang bersifat
holistik (menyeluruh), sehingga dalam mengkaji komunikasi memperhatikan
interelasi antara komponen,-komponen yang hams diteliti terrnasuk lingkungan
sebagai tempat komunikasi berlangsung (Rogers dan Rogers dalam Rogers, 1989).
Hal tersebut juga dikemukakan oleh Hidayat (2000 : 431), bahwa kajian terhadap
pers harus diletakkan dalam totalitas sosial yang lebih luas, sebagai bagian integral
dari proses-proses ekonomi, sosial dan politik yang berlangsung dalam masyarakat.
Senada juga dengan ungkapan Siebert at al. (1963) bahwa :
"To see the social system in their true relationship to the press, one has to
look at certain basic beliefs and assumptions which the society ang the state,
the relations of the state and the nature of knowledge and truth".
23
Berdasarkan ha1 tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa sistem pers pada
suatu negara mencerminkan sistem politik negara tersebut.
Sehingga, seperti
diungkapkan oleh Sommerlad (1966) bahwa institusi sosial pers mempunyai fimgsi
dan sifat yang berbeda antar negara, tergantung pada sistem politik ekonomi dan
struktur sosial dari negara tempat pers itu berada. Pada negara yang diperintah oleh
rezim otoriter, sistem pers berada di bawah pengawasan rezim secara penuh, yang
berbeda dengan negara yang diperintah oleh rezim liberal yang sistem persnya
memiliki kebebasan yang penuh.
Dalam konteks Indonesia, perkembangan pers khususnya dari masa rezim
Orde Baru ke rezim pasca Orde Baru mengalami perubahan. Pada pemerintahan
rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto,
eksistensi dan peranan pers
cenderung menjadi agen pernerintah. Pers berada dalarn pembinaan, pengawasan
dan pengendalian pernerintah, khususnya aparatur Departeman Penerangan. Mereka
mempunyai wewenang untuk memberi izin usaha dan mengendalikan hampir segala
kegiatan media massa, melakukan pembinaan dan pengawasan serta memiliki
kekuasaan untuk mencabut izin yang telah diberikan. Sejak Ali Murtopo menjadi
Menteri Penerangan (1977- 1982),
Departemen Penerangan difimgsikan sebagai
"departemen politik" dalam arti mempunyai fimgsi pembinaan politik. Depertemen
ini berada di garda paling depan dalarn setiap kampanye pemilu. Fungsi ini semakin
terlihat nyata ketika Harmoko menjadi Menteri Penerangan (1982-1997) dan selama
tiga periode berturut-turut Harmoko merangkap
(1987- 1998)
serta
menjadi
Ketua Umurn
Golkar
Ketua~ MPR (Maret 1998-November 1998). Hal tersebut
merupakan jabatan dan kedudukan strategis. Dalam struktur kekuasaan seperti itu,
Departemen Penerangan menjadi lembaga penjaga gerbang inforrnasi yang sangat
efektif bagi kepentingan .pemerintah.
Selain itu,
Departemen Penerangan
mempunyai wewenang mencegah tangkal visa bagi wartawan maupun koresponden
luar negeri dan mencegah tangkal tayangan siaran langsung televisi dari dan ke luar
negeri.
Oleh karena itu,
juga memiliki wewenang dalam pengaturan agenda
informasi dari dan dalam luar negeri (Ishadi dalam Hidayat dkk, 2000).
Dengan melihat konipleksitas empirik, Hidayat (dalam Ibiu!) mengatakan
bahwa :
"Struktur ekonomi-politik pers Orde Baru, dalam banyak dimensinya,
memang terbentuk oleh adanya intervensi rezim penguasa. Jelas bahwa rezim
penguasa Orde Baru, sebagai agen pelaku sosial, memiliki kapasitas untuk
menentukan arah proses-proses komersialisasi, liberalisasi, privatisasi, dan
internasionalisasi yang membentuk struktur ekonomi-politik pers pada masa
itu melalui berbagai k~ebijakan,praktek politik dan ekonomi mereka bersama
para kroni".
Eksistensi dan peranan pers seperti tersebut di atas, lebih disebabkan rezim
saat itu dengan gaya pemerintahan yang otoriter-birokratik. Rezim yang demikian
lebih menginginkan stabilitas politik dan keamanan meskipun dengan menggunakan
tindakan-tindakan yang represif (dalam konteks pers, ha1 ini terlihat dalam kasus
pembredelan majalah Editor, Detik, dan Tempo melalui SK Menteri Penerangan
pada pertengahan tahun 1994,)serta pembodohan masyarakat. Terlebih sejak 1980-an
Soeharto dapat dikatakan rnembangun suatu sistem yang tidak demokratis karena
politik hanya berputar di seputar dirinya, seperti sistem monarkhi. Rezim ini juga
terlalu menekankan fungsi regulatif untuk mengekang kebebasan pendapat,
berkumpul, dan berorganisasi (tampak dari paket lima Undang-Undang Politik),
kebebasan pers (UU Pokok Pers dan Peraturan Menteri Penerangan Mengenai
Kebebasan Pers) (Bhakti dalam Ibid.).
Sedangkan pers Indonesia menjelang dan sesudah berakhirnya kekuasaan
Soeharto (rezim Orde Baru), terjadi perubahan struktur ekonomi-politik pers. Para
jurnalis memiliki kapasitas yang untuk melakukan tindakan signifikan.
Terjadi
perubahan teks isi media yang memberikan kontribusi pada eskalasi atau akumulasi
tekanan-tekanan terhadap stabilitas hegemoni penguasa dan kemapanan struktur
politik yang otoriter Orde Barn.
Pada masa pasca Orde Baru, terjadi perubahan yang sangat berarti. Izin
penerbitan swat khabar dan rnajalah sangat dipermudah. Izin yang sebelumnya berisi
keharusan memenuhi 14 syarat diubah menjadi tiga syarat. Izin diberikan dalam
waktu yang relatif singkat (dalam kurun waktu tiga sampai tujuh hari setelah
perrnohonan diberikan).
Plalam masa satu tahun,
sekitar 1.500 SIUPP baru
dikeluarkan. Kemudahan juga diberikan di bidang siaran radio dan televisi. Paling
tidak 200 izin stasiun radio baru dikeluarkan dalam jangka waktu satu tahun. Radioradio dan televisi-televisi swasta tidak lagi diwajibkan merelai siaran berita dari RRI
maupun TVRI. Pada rezim ini pers berperan sebagai social control (Ishadi dalam
Hidayat dkk, 200 : 228).
Download