Aplikasi Contingent Choice Modelling (CCM

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Ekosistem Terumbu Karang
Terumbu karang (coral reefs) merupakan salah satu ekosistem yang amat
penting bagi keberlanjutan sumberdaya yang ada di kawasan pesisir dan lautan.
Terumbu karang memiliki keanekaragaman hayati yang dapat disejajarkan dengan
keanekaragaman hayati di hutan hujan tropis (Ruitenbeek 1992). Terumbu karang
adalah ekosistem dari kumpulan karang-karang dan jenis-jenis biota lain yang
berasosiasi dengannya juga merupakan ekosistem yang unik karena aktivitas
biologisnya. Terumbu karang merupakan ekosistem laut tropis yang terdapat di
perairan dangkal yang jernih dan hangat (lebih dari 22O C). Terumbu adalah
endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat (CaCO3) terutama
yang dihasilkan karang dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan
organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat. Terumbu karang
adalah ekosistem khas tropis (Nyabakken 1992).
Pembentukan terumbu karang merupakan proses yang lama dan kompleks.
Tumbuhnya terumbu karang ini disebabkan karena adanya dua kelompok karang
yang berbeda yaitu hermatipik dan ahermatipik. Karang ahermatipik tersebar
diseluruh dunia sedangkan karang hermatipik hanya tersebar di daerah tropis.
Karang ahermatipik tidak dapat menghasilkan terumbu dan dikenal dengan nonreef building corals yang secara normal hidupnya tidak bergantung pada sinar
matahari. Karang hermatipik dapat menghasilkan terumbu dari kalsium
kaborbonat (CaCo3) sehingga sering disebut reef building corals, hal ini
disebabkan karena dalam jaringan karang hermatipik terdapat sel-sel tumbuhan
sejenis algae (zooxantellae) yang hidup di jaringan-jaringan polyp karang yang
dapat bersimbiosis dan melakukan fotosintesa (Veron 1986).
Karena proses fotosintesa bagi zooxantellae tergantung dari penetrasi
radiasi matahari ke dalam kolom air, maka kedalaman dan kejernihan air
merupakan faktor pembatas pertumbuhan dan perkembangan terumbu dan koloni
karang. Radiasi matahari yang cukup untuk mendukung proses fotosintesa
zooxanthellae adalah penetrasi hingga kedalaman kurang dari 25 meter, sehingga
pertumbuhan terumbu karang yang baik terjadi pada kedalaman tersebut. Hal
inilah yang menyebabkan terumbu karang banyak terdapat di pinggiran pulaupulau dan benua-benua. Kejernihan air juga terkait dengan kandungan sedimen
dalam perairan. Di satu sisi kandungan sedimen yang tinggi akan menghambat
penetrasi radiasi matahari sehingga mengurangi jumlah radiasi yang diperlukan
untuk proses fotosintesa, di sisi lain endapan sedimen di permukaan koloni karang
menyebabkan karang mengeluarkan banyak energi untuk membersihkan diri dari
sedimen tersebut. Akibatnya karang kehilangan banyak energi, sementara proses
fotosintesa untuk menghasilkan energi juga terhambat. Hal itulah yang
menyebabkan terhambatnya pertumbuhan karang (Nyabakken 1992).
Formasi terumbu karang mengikuti topografi yang terbentuk oleh proses
geologi alam. Pemahaman mengenai formasi terumbu karang memberikan
informasi kecenderungan bentuk pertumbuhan yang mendominasi suatu zona
dengan memperhatikan jarak komunitas terumbu karang terhadap daratan ataupun
terhadap laut lepas. Darwin (1842) dalam White (1987) menyatakan tiga
perbedaan formasi yang dikenal dengan teori penenggelaman (Subsidence
Theory):
1. Terumbu karang tepi (fringing reef)
Terumbu karang tepi tumbuh dan berkembang di sepanjang pantai dengan
kedalaman tidak lebih dari 40 m. Terumbu ini tumbuh ke permukaan dan
arah laut terbuka.
2. Terumbu karang penghalang (barrier reef)
Terumbu karang jenis ini berada jauh dari pantai yang dipisahkan oleh
gobah (lagoon) dengan kedalaman 40 - 70 meter. Umumnya terumbu
karang ini memanjang menyusuri pantai. Terumbu karang ini disebut
barrier karena membentuk batas antara laguna dan laut lepas. Terumbu
karang terbesar adalah Great Barrier Reef di Australia, dengan panjang
kurang lebih mencapai 2.000 km di sepanjang pantai timur Australia,
dimulai dari dekat nugini sampai di utara Brisbane.
3. Terumbu karang cincin (atol)
Terumbu karang cincin atau sering disebut atol merupakan terumbu karang
yang berbentuk melingkar seperti cincin atau berbentuk ouval yang
muncul dari perairan dalam dan mengelilingi gobah yang tumbuh di atas
gunung berapi tua dan tenggelam di laut. Dalam proses pembentukan
karang atol, mula-mula karang tumbuh sebagai fringing reef di bagian
yang dangkal mengelilingi suatu pulau vulkanik. Kemudian secara alamiah
perlahan-lahan pulau tersebut tenggelam dan terumbu karang tetap
meneruskan pertumbuhannya makin ke atas, sel baru tumbuh di atas sel
yang mati, sampai akhirnya hanya terumbu karangnya saja yang tersisa.
Bila pulau vulkaniknya tenggelam seluruhnya maka yang akan tersisa atol
melingkar mengelilingi laguna.
Terumbu karang terdiri atas polip-polip karang dan organisme-organisme
kecil lain yang hidup dalam koloni. Bila polip karang ini mati, ia meninggalkan
struktur yang keras membatu terdiri atas bahan mineral yang mengandung
kalsium (limestone). Terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung (shelter)
untuk berbagai fauna yang hidup di dalam kompleks habitat terumbu karang ini
seperti sponge (sponges), akar bahar, kima, berbagai ikan hias, ikan kerapu
(grouper), anemone, teripang, bintang laut, lobster (crustacea), penyu laut, ular
laut, siput laut, moluska dan lain-lain. Karakteristik yang paling mengemuka dari
ikan-ikan yang hidup di lingkungan karang adalah keragamannya dalam hal
jumlah spesies dan perbedaan morfologinya. Diperkirakan daerah Indo-Pasifik
memiliki ikan-ikan karang sebanyak 4.000 spesies (sebesar 18 %) dari ikan laut,
jenis ikan-ikan ini berasosiasi dengan habitat terumbu karang, dan angka
perkiraan
ini
cenderung
meningkat
dengan
bertambahnya
survei-survei
eksplorasi daerah habitat karang yang baru (Murdiyanto 2003).
Terumbu karang sudah ada sejak jaman Ordovician dan sepanjang 450
juta tahun hidup berbagi lautan dengan ikan (Sale 2002). Terumbu karang
sebenarnya dapat juga ditemukan di berbagai laut di belahan dunia seperti di
kutub utara maupun perairan Ugahari, namun terumbu karang hanya dapat
tumbuh dan berkembang dengan baik di daerah tropis (Nyabakken 1992).
2.2
Nilai Ekonomi Terumbu Karang
Terumbu karang merupakan rumah bagi ribuan hewan dan tumbuhan yang
memiliki nilai ekonomi tinggi. Berbagai jenis hewan laut mencari makan dan
berlindung pada ekosistem tersebut. Pada kondisi yang maksimal, terumbu karang
menyediakan ikan-ikan dan moluska hingga mencapai 10 - 30 ton/km2 per
tahunnya. Ekosistem ini merupakan sumber plasma nutfah bagi mahkluk hidup,
baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang (Kusmurtiyah 2004).
Garces (1992) menyebutkan bahwa terumbu karang merupakan salah satu
ekosistem yang mempunyai nilai guna yang signifikan, baik ditinjau dari aspek
ekologi maupun ekonomi. Terumbu karang menyumbang hasil perikanan laut
kurang lebih 10-15% dari total produksi. Terumbu karang juga merupakan
pelindung pantai yang sangat penting dari terpaan gelombang, sehingga stabilitas
pantai bisa tetap terjaga. Di samping itu nilai keindahan, kekayaan biologi sebagai
bagian dari suksesi alam dalam menjaga kelangsungan kehidupan dalam perannya
sebagai sumber plasma nutfah, membuat terumbu karang menjadi kawasan
ekosistem yang sangat penting dari berbagai segi. Terumbu karang juga
merupakan sumber makanan bagi beberapa jenis ikan yang popular di masyarakat.
Terumbu karang juga merupakan tempat hidup berbagai jenis kerang serta
invertebrata lainnya yang menjadi sumber makanan dan dapat diperdagangkan.
Diperkirakan antara 9 - 12 % produksi dunia bersal dari ikan karang (Soedharma
1997).
Menurut Munro dan William dalam Dahuri (1996) dari perairan yang
terdapat ekosistem terumbu karang pada kedalaman 30 m setiap kilometer
perseginya terkandung ikan sebanyak 15 ton. Sementara itu Supriharyono (2000)
menyebutkan bahwa tingginya produktivitas primer di perairan terumbu karang,
memungkinkan ekosistem ini dijadikan tempat pemijahan, pengasuhan dan
mencari makan bagi banyak biota laut. Menurut Salm (1984) dalam Supriharyono
(2000), 16 % dari total hasil ekspor ikan Indonesia berasal dari daerah karang.
Tingginya keanekaragaman (diversity) adalah karena kenyataannya
kehidupan terumbu karang menyediakan habitat yang sangat beragam, masingmasing dengan pasangan spesies yang khas. Demikian pula perbedaan preferensi
terhadap besar kecilnya gelombang air, kuat arus, intensitas cahaya, jumlah algae
dan plankton serta kandungan bahan makanan, kelimpahan, bentuk dan varietas
karang membentuk gosong-gosong karang yang besar dan tersebar di berbagai
kawasan. Tempat-tempat semacam ini biasanya selain dihuni oleh sejumlah besar
spesies ikan disukai pula oleh burung-burung laut yang memakan ikan dan hewanhewan di habitat karang tersebut dan memperkaya kehidupan daerah terumbu
karang. Kawasan habitat karang sering disamakan dengan hutan tropisnya lautan
atau “rainforest of the ocean” sebagai tempat bermukim berbagai organisme laut
yang beragam (Murdiyanto 2003).
Terumbu karang mempunyai peran utama sebagai habitat (tempat tinggal),
tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery
ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi biota yang hidup di terumbu
karang atau sekitarnya. Terumbu karang juga memiliki fungsi yang bernilai jasa
keindahan dan kenyamanan (estetika) serta fungsi pendidikan dan penelitian
karena merupakan suatu ekosistem yang khas dan memiliki keanekaragaman
hayati (biodiversity) (Bengen 1999).
Coremap (1999) menyebutkan bahwa banyak orang menyadari pentingnya
nilai terumbu karang bagi industri wisata. Dengan semakin berkembangnya
industri wisata, jumlah turis yang tertarik pada olahraga air seperti diving dan
snorkelin g jumlahnya makin bertambah. Meski pada tahun 70-an hanya terdapat
sekitar beberapa ratus penyelam-penyelam amatir, sekarang jumlahnya sudah
mencapai ribuan.
Nilai ekonomi dari ekosistem terumbu karang merupakan nilai dari seluruh
instrumen yang ada padanya termasuk sumber makanan dan jasa ekologis. Nilai
dari seluruh instrumen yang terdapat pada ekosistem terumbu karang dapat
dikuantifikasi melalui melalui metode nilai ekonomi total (total economic value).
Berdasarkan teori ekonomi neoklasik seperti consumer surplus dan willingness to
pay dapat didekati nilai ekosistem terumbu karang yang bersifat nilai non pasar
(non market value) (Roberts 1996).
Sedangkan jika dipandang dari sisi ekologi misalnya, nilai dari terumbu
karang bisa berarti pentingnya terumbu karang sebagai tempat produksi bagi
spesies ikan tertentu, ataupun fungsi ekologis lainnya. Demikian juga dari sisi
teknik, nilai terumbu karang bisa saja sebagai pencegah abrasi atau banjir,
pemecah ombak dan sebagainya. Perbedaan mengenai konsepsi nilai tersebut
tentu saja akan menyulitkan dalam memahami pentingnya suatu ekosistem. Oleh
karena itu, diperlukan suatu persepsi yang sama untuk penilaian ekosistem
tersebut. Salah satu tolak ukur yang relatif mudah dan bisa dijadikan persepsi
bersama antara berbagai disiplin ilmu tersebut adalah dengan memberikan “price
tag” (harga) terhadap barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya dan
lingkungan. Dengan demikian kita menggunakan apa yang disebut sebagai nilai
ekonomi dari sumberdaya alam (Fauzi 2004).
Pentingnya keberadaan ekosistem atau sumberdaya terumbu karang bagi
manusia dapat dilihat dalam fungsi ekologisnya bagi biota laut dan lingkungan
sekitarnya, produk berupa barang dan jasa ekosistem yang menghasilkan manfaat
atau nilai ekonomi, seperti yang tersaji pada Tabel 1. berikut ini.
Tabel 1. Barang dan Jasa Ekosistem Terumbu Karang
Sumberdaya terbaharui
Penambangan terumbu karang
Jasa struktur fisik
Jasa biotis
(di dalam ekosistem)
Jasa biotis
(antar ekosistem)
Jasa Bio-geo-kimia
Jasa informasi
Jasa sosial dan budaya
Sumber: Moberg dan Folke (1999)
Produk makanan laut, material dasar
dan obat-obatan, material dasar lainnya
(seperti rumput laut), barang suvenir
dan perhiasan, koleksi karang dan ikan
hidup untuk perdagangan akuarium
Pasir untuk bangunan dan jalan
Perlindungan garis pantai, membentuk
daratan,
mendukung
pertumbuhan
mangrove
dan
padang
lamun,
pembangkitan pasir karang
Merawat habitat, pustaka genetis dan
biodiversitas, regulasi fungsi dan proses
ekosistem, merawat daya kenyal
kehidupan
Mendukung kehidupan “mobile links”,
ekspor produksi organik seperti jaring
makanan (food web) pelagis
Fiksasi nitrogen, kontrol neraca CO2/Ca
Memantau dan rekaman polusi,
pengawasan iklim
Dukungan rekreasi, turisme, nilai
estetika
dan
inspirasi
artistik,
kelangsungan
mata
pencaharian
masyarakat, dukungan budaya, nilai
spiritual dan reliji
Kesemua nilai manfaat ekonomi terumbu karang yang mengalir dalam
bentuk barang dan jasa ini dalam analisis ekonomi dapat diberikan nilai moneter
sebagai manfaat untuk mengestimasi nilai ekonomi ekosistem atau sumberdaya
terumbu karang. Nilai-nilai ini digolongkan dalam nilai manfaat (use value) dan
nilai bukan manfaat (non-use value), yang secara keseluruhan membentuk nilai
ekonomi total (total economic valuation) ekosistem terumbu karang (Adger et al.
1994).
Secara umum manfaat ekosistem terumbu karang secara utuh dapat dilihat
pada Gambar 2. berikut ini (Barton 1994).
Nilai Ekonomi Total
(Total Economic Value)
Nilai Manfaat
(Use Value)
Nilai Non-Manfaat
(Non-Use Value)
Nilai Manfaat
Langsung
(Direct Value)
Nilai Manfaat
Tidak Langsung
(Indirect Value)
Nilai Pilihan
(Option
Value)
-
- Perlindungan
pantai
- Pemijahan ikan
- Rantai
makanan
- Spesies
- Habitat
- Biodiversity
Perikanan
Marikultur
Ikan hias
Pengambilan
karang
- Farmasi
- Pariwisata
- Penelitian
Nilai Eksistensi
(Existence
Value)
Nilai Warisan
(Bequest
Value)
- Diversifikasi
- Rekreasi
- Diversifikasi
- Rekreasi
Gambar 2. Manfaat Ekonomi Terumbu Karang
Nilai ekonomi total dari sumberdaya alam, menurut Barton (1994)
merupakan penjumlahan dari nilai penggunaan langsung dengan nilai penggunaan
tidak langsung, nilai pilihan, nilai eksistensi dan nilai warisan. Nilai penggunaan
langsung terumbu karang adalah nilai ekonomi dari eksploitasi sumberdaya
tersebut, baik yang konsumtif seperti penangkapan ikan konsumsi dan ikan hias,
pengambilan karang, pemanfaatan karang untuk kebutuhan farmasi, maupun yang
non-konsumtif seperti pariwisata ataupun berlayar. Nilai penggunaan langsung
biasanya dicerminkan harga pasar sehingga lebih mudah untuk dinilai.
Nilai penggunaan tidak langsung merupakan nilai dari fungsi-fungsi
ekosistem terumbu karang dalam mendukung sistem produksi dan konsumsi. Nilai
ini sangat terkait dengan kondisi terumbu karang yang sehat (baik). Contohnya
manfaat terumbu karang sebagai pelindung pantai atau sebagai nursery ground,
spawning ground dan feeding ground bagi berbagai jenis biota air.
Nilai pilihan merupakan ekspresi dari preferensi seseorang untuk
membayar demi pelestarian terumbu karang agar bisa dimanfaatkan di masa
depan. Nilai eksistensi merupakan manfaat yang dirasakan masyarakat dari
keberadaan terumbu karang setelah manfaat lainnya dihilangkan. Kepedulian
terhadap spesies-spesies yang terancam punah merupakan salah satu ndikator
i
terhadap pentingnya nilai keberadaan sumberdaya. Sedangkan nilai waris adalah
kemauan
seseorang
untuk
membayar
demi
pelestarian
lingkungan
dan
sumberdaya yang diperuntukkan bagi generasi berikut.
Nilai penggunaan tidak langsung, nilai pilihan, nilai eksistensi dan nilai
waris biasanya tidak diperjual-belikan di pasar, sehingga sering kali sulit untuk
diukur. Bahkan ilmu ekonomi tidak mampu memberi nilai secara tepat bagi nilainilai tersebut, namun hal yang sangat penting bagi para pengambil keputusan
bahwa nilai ekonomi total terumbu karang yang sehat (baik) adalah begitu tinggi,
tidak sekedar terbatas pada nilai-nilai yang dicerminkan harga pasar dan transaksi
pasar (Dixon 2001).
2.3
Konsep Nilai Ekonomi
Nilai adalah merupakan persepsi manusia, tentang makna suatu objek
(sumberdaya) tertentu, tempat dan waktu tertentu pula. Persepsi ini sendiri
merupakan ungkapan, pandangan, perspektif seseorang (individu) tentang atau
terhadap suatu benda dengan proses pemahaman melalui panca indera yang
diteruskan ke otak untuk proses pemikiran, dan di sini berpadu dengan harapan
ataupun norma-norma kehidupan yang melekat pada individu atau masyarakat
tersebut (Turner et al. 1994).
Menurut Freeman III (2003) dalam Adrianto (2006), nilai atau value dapat
dikategorikan ke dalam dua pengertian besar yaitu nilai interinsik (intrinsic value)
atau sering juga disebut sebagai Kantian Value dan nilai instrumental
(instrumental value). Secara garis besar, suatu komoditas memiliki nilai interinsik
apabila komoditas tersebut bernilai di dalam dan untuk komoditas itu sendiri.
Artinya, nilainya tidak diperoleh dari pemanfaatan dari komoditas tersebut, tetapi
bebas dari penggunaan dan fungsi yang terkait dengan alam (nature) dan
lingkungan (environments). Nilai instrumental dar i sebuah komoditas adalah nilai
yang muncul akibat pemanfaatan komoditas tersebut untuk kepentingan tertentu.
Nilai ekonomi secara umum didefinisikan sebagai pengukuran jumlah
maksimum seseorang ingin mengorbankan barang dan jasa untuk memperoleh
barang dan jasa lainnya. Secara formal konsep ini disebut sebagai keinginan
membayar (willingness to pay) seseorang terhadap barang dan jasa yang
dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Nilai ekologis dari ekosistem
dengan menggunakan pengukuran ini bisa diterjemahkan ke dalam bahasa
ekonomi dengan mengukur nilai moneter dari barang dan jasa. Sebagai contoh
jika ekosistem pantai mengalami kerusakan akibat polusi, maka nilai yang hilang
akibat degradasi lingkungan bisa diukur dari keinginan seseorang untuk
membayar agar lingkungan tersebut kembali ke aslinya atau mendekati aslinya
(Fauzi 2006).
Pengertian nilai ekonomi adalah nilai barang dan jasa yang dapat
diperjualbelikan sehingga memberikan pendapatan. Dari konsep ekonomi
kegunaan, kepuasan atau kesenangan yang diperoleh indivudu atau masyarakat
tidak terbatas kepada barang dan jasa yang diperoleh melalui jual beli (transaksi)
saja, tetapi semua barang dan jasa yang memberikan manfaat akan memberikan
kesejahteraan bagi individu atau masyarakat tersebut (Pearce dan Moran 1994).
Nilai ekonomi suatu komoditas (good) atau jasa (service) lebih diartikan
sebagai ”berapa yang harus dibayar” dibanding ”berapa biaya yang harus
dikeluarkan untuk menyediakan barang/jasa tersebut”. Dengan demikian, apabila
ekosistem dan sumberdayanya eksis dan menyediakan barang dan jasa bagi kita,
maka ”keinginan membayar” (willingness to pay) merupakan proxy bagi nilai
sumberdaya tersebut, tanpa mempermasalahkan apakah kita secara nyata
melakukan proses pembayaran (payment) atau tidak (Barbier et al. 1997).
Tergantung keadaannya kita perlu tempatkan value sumberdaya tersebut apakah
flow (dapat diperbaharui) atau stock (tidak dapat terbarukan atau terhabiskan)
(Tietenberg 2001).
Ramdan (2003) menyebutkan bahwa penilaian merupakan upaya untuk
menentukan nilai atau manfaat dari suatu barang atau jasa untuk kepentingan
tertentu manusia atau masyarakat. Penilaian mencakup kegiatan akademis untuk
pengembangan konsep dan metodologi untuk menduga nilai manfaat. Nilai
merupakan persepsi manusia tentang makna suatu objek, bagi orang tertentu, pada
waktu dan tempat tertentu. Persepsi tersebut berpadu dengan harapan ataupun
norma-norma kehidupan yang melekat pada individu atau masyarakat itu. Untuk
menilai berapa besar nilai SDA ini bergantung pada sistem nilai yang dianut.
Sistem nilai tersebut antara lain mencakup apa yang dinilai, kapan dinilai, dimana
dan bagaimana menilainya, kelembagaan penilainya dan sebagainya.
Menurut Krutila (1967) dalam Fauzi (2005) untuk mengukur nilai
sumberdaya dilakukan berdasarkan konsep nilai total (total value) yaitu nilai
kegunaan atau pemanfaatan (use value) dan nilai bukan kegunaan atau non use
value. Dengan mengetahui nilai sumberdaya tersebut, seharusnya kita dapat
memanfaatkan sumberdaya secara efisien. Oleh karena itu, perlu diketahui Nilai
Ekonomi Total atau Total Economic Value (TEV) dari sumberdaya tersebut.
Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value) adalah sebuah konsep yang
sederhana yang ditetapkan untuk nilai total dari beberapa sumberdaya alam, yang
tersusun dari komponen-komponen yang berbeda. Beberapa dari komponen
tersebut mudah untuk dididentifikasi dan dinilai, dan yang lainnya ada yang tidak
diketahui atau tidak bisa diraba. Lebih jauh lagi, Barton (1994) berpendapat
bahwa Nilai Ekonomi Total (Total Economic Value) dari lingkungan sebagai asset
merupakan jumlah dari nilai manfaat (use value) dan non-manfaat (non use
value). Nilai manfaat adalah suatu nilai yang timbul dari pemanfaatan sebenarnya
suatu fungsi atau sumberdaya yang terdapat dalam suatu ekosistem. Nilai manfaat
terdiri dari nilai manfaat secara langsung (direct value), nilai manfaat secara tidak
langsung (indirect value) dan nilai pilihan (option value). Nilai non-manfaat
biasanya terdiri dari nilai eksistensi (existence value) dan nila i masa depan
(bequest value) (Dixon 1998).
Beberapa sumber benefit yang biasa diperoleh bukan pengguna langsung
jasa lingkungan adalah sebagai berikut:
1. Nilai Manfaat Secara Langsung (direct value)
Nilai Manfaat Secara Langsung (direct value) dari sumberdaya alam
biasanya digunakan untuk menunjuk pada pemanfaatan manusia
berkaitan dengan konsumsi dan produksi.
2. Nilai Manfaat Secara Tidak Langsung (indirect value)
Nilai Manfaat Secara Tidak Langsung (indirect value) biasanya
berhubungan dengan minimum level dari infrastruktur ekosistem, yang
tanpa hal itu tidak akan tersedia barang dan jasa.
3. Nilai Pilihan (Option Value)
Seseorang memiliki keinginan untuk membayar jasa lingkungan
meskipun tidak mempunyai rencana untuk menggunakan jasa
lingkungan tersebut sebagai pilihan untuk memanfaatkannya di masa
datang. Contohnya seseorang yang memiliki mobil yang walaupun
tidak
ada
rencana
untuk
memanfaatkan
transportasi
umum,
berkeinginan untuk membayar sesuatu untuk mempertahankan operasi
transportasi umum tersebut sebagai pilihan lain kalau suatu saat
mobilnya mogok atau rusak, maka membayar sebagai pilihan untuk
memanfaatkannya di masa datang.
4. Nilai Eksistensi Keberadaan (Existence Value)
Nilai atau haraga yang diberikan oleh seseorang terhadap eksistensi
barang lingkungan tertentu misalnya objek tertentu, spesies atau alam
dengan didasarkan pada etika atau norma tertentu. Contohnya orang
mau membayar sesuatu agar ikan paus di lautan tetap ada atau hidup
meskipun mereka tidak mempunyai niat untuk pergi melihat.
5. Nilai Masa Depan (Bequest Value)
Orang
biasa
jadi
membayar
bagi
ketersediaan
barang-barang
lingkungan tertentu seperti objek, spesies dan alam untuk generasi
yang akan datang.
Dengan demikian, nilai suatu barang lingkungan terdiri dari nilai yang
diperoleh langsung oleh pengguna barang atau jasa tersebut (user values) dan nilai
dari bukan pengguna jasa. Konsep dasar yang digunakan adalah surplus ekonomi
(economic surplus) yang diperoleh dari penjumlahan surplus oleh konsumen
(consumers surplus; CS) dan surplus ole h produsen (producers surplus; PS).
Surplus konsumen terjadi apabila jumlah maksimum yang mampu konsumen
bayar lebih besar dari jumlah yang secara aktual harus dibayar untuk mendapatkan
barang atau jasa. Selisih jumlah tersebut disebut consumers surplus (CS) dan tidak
dibayarkan dalam konteks memperoleh barang yang diinginkan. Sementara itu,
produsers surplus (PS) terjadi ketika jumlah yang diterima oleh produsen lebih
besar dari jumlah yang harus dikeluarkan untuk memproduksi sebuah barang atau
jasa (Grigalunas dan Congar 1995; Freeman III 2003 dalam Adrianto 2004).
Green (1992) diacu dalam Fauzi (2004) memandang bahwa menggunakan
pendekatan surplus untuk mengukur manfaat sumberdaya alam merupakan
pengukuran yang tepat karena sumberdaya dinilai berdasarkan alternatif
penggunaan terbaiknya (best alternative use). Surplus ekonomi dibedakan ke
dalam surplus konsumen, surplus produsen dan resource rent (rente sumberdaya).
P
Supply Curve
Consumers
Surplus
Pe
Producers
Surplus
Demand Curve
Qe
Q
Sumber: Titienberg (2001)
Gambar 3. Consumer Surplus dan Producer Surplus
2.4
Valuasi Ekonomi
Penggunaan metode analisis biaya dan manfaat (Benefit-Cost Analysis atau
CBA) yang konvensional sering tidak mampu menjawab permasalahan yang
terjadi pada sumberdaya dan lingkungan, sebab konsep ini sering tidak
memasukkan manfaat ekologis di dalam analisisnya. Begitu juga ketika kita
mengetahui kerusakan lingkungan terjadi akibat aktivitas ekonomi, misalnya
pengambil kebijakan sering tidak mampu mengkuantifikasikan kerusakan tersebut
dengan metode ekonomi yang konvensional. Permasalahan-permasalahan ini
kemudian menjadi dasar pemikiran lahirnya konsep valuasi ekonomi (Fauzi dan
Anna 2005).
Pemikiran mengenai valuasi ekonomi sebenarnya bukanlah merupakan
sesuatu hal yang baru. Konsep ini sudah dimulai sejak tahun 1902 ketika Amerika
melahirkan undang-undang River and Harbour Act of 1902 yang mewajibkan
para ahli untuk melaporkan seluruh manfaat dan biaya yang ditimbulkan oleh
proyek-proyek yang dilakukan di sungai pelabuhan. Konsep ini kemudian lebih
berkembang setelah PD II, dimana konsep manfaat dan biaya lebih diperluas ke
pengukuran yang sekunder atau tidak langsung dan yang tidak nampak
(intangible). Dengan berkembangnya ilmu ekonomi lingkungan pada 1980-an,
konsep valuasi ekonomi sumberdaya dan lingkungan kemudian menjadi meluas
dan mampu menjembatani kelemahan-kelemahan yang ada pada metode Benefit –
Cost Analysis (Fauzi 2004).
Lebih jauh lagi Fauzi (2005) menyebutkan bahwa valuasi ekonomi dapat
didefinisikan sebagai upaya untuk memberikan nilai kuantitatif terhadap barang
dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan, baik atas nilai
pasar (market value) maupun nilai non pasar (non market value). Penilaian
ekonomi sumberdaya merupakan suatu alat ekonomi (economic tools) yang
menggunakan teknik penilaian tertentu untuk mengestimasi nilai uang dari barang
dan jasa yang diberikan oleh suatu sumberdaya alam. Tujuan dari penilaian
ekonomi antara lain digunakan untuk menunjukkan keterkaitan antara konservasi
sumberdaya alam dan pembangunan ekonomi, maka valuasi ekonomi dapat
menjadi suatu peralatan penting dalam peningkatan apriesiasi dan kesadaran
masyarakat terhadap lingkungan itu sendiri.
Akar dari konsep penilaian ini sebenarnya berlandaskan dari teori ekonomi
neo-klasikal yang menekankan pada kepuasan atau keperluan konsumen.
Berdasarkan pemikiran neo-klasikal ini dikemukakan bahwa penilaian setiap
individu pada barang dan jasa tidak lain adalah selisih antara keinginan membayar
(willingness to pay) dengan biaya untuk mensuplai barang dan jasa tersebut
(Barbier et al. 1997 diacu dalam Fauzi 1999).
Menurut suparmoko (2000) ada beberapa alasan mengapa satuan moneter
diperlukan dalam valuasi ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan. Tiga alasan
utamanya adalah:
1. Satuan moneter dapat digunakan untuk menilai tingkat kepedulian
seseorang terhadap lingkungan.
2. Satuan moneter dari manfaat dan biaya sumberdaya alam dan
lingkungan dapat menjadi pendukung untuk keberpihakan terhadap
kualitas lingkungan.
3. Satuan moneter dapat dijadikan sebagai bahan pembanding secara
kuantitatif terhadap beberapa alternatif suatu kebijakan tertentu
termasuk pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan.
Valuasi ekonomi adalah nilai ekonomi yang terkandung dalam suatu
sumberdaya alam, baik nilai guna maupun nilai fungsional yang harus
diperhitungkan dalam menyusun kebijakan pengelolaannya. Sehingga alokasi dan
alternatif penggunaannya dapat ditentukan secara benar dan mengenai sasaran.
Valuasi ekonomi dilakukan karena sumberdaya alam bersifat public good, terbuka
dan tidak mengikuti hukum kepemilikan dan tidak ada mekanisme pasar dimana
harga dapat berperan sebagai instrumen penyeimbang antara permintaan dan
penawaran. Selain itu, manusia dipandang sebagai homoeconomicus yang
cenderung memaksimalkan manfaat total (Kusumastanto 2000).
Valuasi ekonomi merupakan analisis non-market (non-pasar) karena
didasarkan pada mekanisme pemberian nilai moneter pada produk barang dan jasa
yang tidak terpasarkan. Jika produk yang terpasarkan dapat digambarkan dalam
kurva permintaan dengan kemiringan negatif (downward slopping) maka kurva
permintaan menggambarkan marginal valuation yang merupakan gambaran
keinginan membayar (Willingness to Pay = WTP) seseorang untuk memperoleh
barang daripada tidak sama sekali. Pada barang yang tidak terpasarkan seperti
keanekaragaman hayati, nilai estetika dan sebagainya, kurva permintaan lebih
menggambarkan trade off antara kualitas satu produk dengan karakteristik lainnya
(Fauzi 2004).
Fauzi (2006) menyebutkan bahwa secara umum, teknik valuasi ekonomi
sumberdaya yang tidak dapat dipasarkan (non-market valuation)
dapat
digolongkan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah teknik valuasi
yang mengandalkan harga implisit dimana Willingness to Pay terungkap melalui
model yang dikembangkan. Beberapa teknik yang termasuk ke dalam kelompok
pertama ini adalah Travel Cost Method, Hedonic Pricing dan Random Utility
Model. Kelompok kedua adalah teknik valuasi yang didasarkan pada survei
dimana keinginan membayar atau WTP diperoleh langsung dari responden, yang
langsung diungkapkan secara lisan maupun tertulis. Teknik valuasi yang termasuk
dalam kelompok ini adalah Contingent Valuation Method dan Discrete Choice
Method. Berikut adalah beberapa penjelasan mengenai beberapa metode valuasi
yang tidak dapat dipasarkan:
1. Travel Cost Method
Travel Cost Method atau TCM dapat dikatakan sebagai metode
tertua untuk pengukuran nilai ekonomi tidak langsung. Metode ini
kebanyakan digunakan untuk menganalisis permintaan terhadap
rekreasi di alam terbuka (outdoor recreation), seperti memancing,
berbutu, hiking dan sebagainya. Secara prinsip, metode ini mengkaji
biaya yang dikeluarkan setiap individu untuk mendatangi tempattempat rekreasi di atas.
2. Hedonic Pricing Method
Teknik Hedonic Pricing dikembangkan dari teori atribut
(karakteristik) Yang dikemukakan oleh Lancaster (1966). Teknik ini
pada prinsipnya adalah mengestimasi nilai implisit karakteristik atau
atribut yang melekat pada suatu produk dan mengkaji hubungan antara
karakteristik yang dihasilkan tersebut dengan permintaan barang dan
jasa.
3. Random Utility Model
Secara konseptual random utility model memiliki kesamaan
dengan travel cost method, namun random utility model tidak hanya
fokus pada jumlah kunjungan rekreasi wisatawan ke suatu lokasi
wisata pada waktu tertentu. Model ini fokus pada pilihan-pilihan yang
berkaitan dengan alternatif lokasi wisata. Model ini digunakan pada
saat faktor-faktor pengganti lokasi wisata tersedia untuk setiap
individu, sehingga nilai dari karakteristik-karakteristik satu alternatif
atau lebih lokasi wisata dapat diukur.
4. Contingent Valuation Method
Metode ini disebut contingent (tergantung) karena pada
prakteknya informasi yang diperoleh sangat tergantung pada hipotesis
yang dibangun, misalnya seberapa besar biaya yang harus ditanggung,
bagaimana pembayaran, dan sebagainya. Pendekatan Contingent
Valuation Method (CVM) sering digunakan untuk mengukur nilai
pasif (non-pemanfaatan) sumberdaya alam atau sering dikenal dengan
nilai keberadaan. CVM pada hakikatnya bertujuan untuk mengetahui
keinginan membayar (WTP) dari masyarakat, misalnya perbaikan
kualitas lingkuangan (air, udara dan sebagainya) dan keinginan
menerima (Willingness to Accept atau WTA) kerusakan suatu
lingkungan.
5. Discrete Choice Method
Discrete choice model dapat digunakan untuk menganalisis
atau memprediksi pembuat keputusan (responden) untuk memilih satu
alternatif dari suatu kumpulan alternatif-alternatif secara menyeluruh.
Model ini mempunyai banyak aplikasi pada saat beberapa respon
bersifat terpisah atau kualitatif secara alami. Responden diminta untuk
memilih satu dari beberapa alternatif-alternatif lainnya.
Download