proposal penelitian - Universitas Sumatera Utara

advertisement
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Definisi, Epidemiologi dan Klasifikasi Obesitas
Obesitas merupakan suatu kelainan komplek pengaturan nafsu makan
dan metabolisme energi yang dikendalikan oleh beberapa faktor biologik
spesifik.3 Faktor genetik diketahui sangat berpengaruh bagi perkembangan
penyakit ini. Secara fisiologis obesitas didefinisikan sebagai akumulasi lemak
yang tidak normal atau berlebihan dijaringan adiposa sehingga dapat
mengganggu kesehatan.3
Menurut data World Health Organization (WHO) pada tahun 2007,
prevalensi obesitas dari beberapa negara bervariasi secara dramatis dan diduga
diatas 1,7 miliar yang overweight dan 310 juta penderita obesitas.1 Menurut
data lain dari National Health and Nutrition Examination Surveys (NHANES)
tahun 2006 dinyatakan bahwa 72 juta orang dewasa di Amerika mempunyai
IMT > 30 kg/m2 dan prevalensi penderita obesitas menetap dalam beberapa
tahun terakhir, dengan prevalensi 31,1 % pada pria dan 33,2 % pada wanita.2
Insiden obesitas di negara-negara berkembang juga semakin
meningkat, sehingga saat ini banyaknya orang dengan obesitas di dunia
hampir sama jumlahnya dengan mereka yang menderita kelaparan. Di
Indonesia sendiri, walaupun belum ada penelitian epidemiologi yang baku
mengenai obesitas, data yang ada saat ini ternyata menunjukkan terjadinya
penambahan jumlah penduduk dengan obesitas, khususnya pada kota besar.
Hal ini diwakili dengan hasil penelitian di Depok pada tahun 2003 yang
mendapatkan 44 % orang dengan berat badan lebih dan obesitas, dan angka ini
ternyata meningkat tajam apabila dibandingkan dengan angka yang diperoleh
pada tahun 1992 di Jakarta pusat sebesar 17,1 %.3
Universitas Sumatera Utara
Mengukur lemak tubuh secara langsung sangat sulit dan sebagai
pengganti dipakai body mass index (BMI) atau indeks massa tubuh (IMT)
untuk menentukan berat badan lebih dan obesitas pada orang dewasa.3
IMT merupakan indikator yang paling sering digunakan dan praktis
untuk mengukur tingkat populasi berat lebih dan obesitas pada orang dewasa.
Pengukuran ini merupakan langkah awal dalam menentukan derajat
adipositas, dan dikatakan berkorelasi kuat dengan jumlah massa lemak
tubuh.12,13 Untuk penelitian epidemiologi digunakan IMT atau indeks Quetelet
yaitu berat badan dalam kg dibagi tinggi badan dalam meter kuadrat (m2).
Karena IMT menggunakan tinggi badan, maka pengukurannya harus
dilakukan dengan teliti.3
Klasifikasi IMT yang direkomendasikan untuk digunakan adalah
klasifikasi yang diadopsi dari the National Institute of Health (NIH) dan
World Health Organization (WHO), yang tertera pada tabel 1 dibawah ini.
Definisi berat badan lebih dan obesitas sangat tergantung dengan ras.
Klasifikasi NIH dan WHO sering digunakan untuk ras kulit putih, hispanik
dan ras kulit hitam. Untuk ras Asia , dikatakan berat badan lebih apabila IMT
antara 23 hingga 29,9 kg/m2 dan obesitas apabila IMT > 30 kg/m2.13,14
Tabel 2.1 Klasifikasi berat badan lebih dan obesitas berdasarkan IMT 13
Kategori
Berat badan kurang
Kisaran normal
Berat badan lebih
IMT (kg/m2)
< 18,5
18,5-24,9
> 25
Pra-Obesitas
25,0-29,9
Obesitas Tingkat I
30,0-34,9
Obesitas Tingkat II
35,0-39,9
Obesitas Tingkat III
> 40,0
Universitas Sumatera Utara
Wilayah Asia Pasifik pada saat ini telah menggunakan klasifikasi dan kriteria
obesitas sendiri seperti yang terdapat didalam tabel dibawah ini.15
Satu hal yang perlu dicatat pada semua kriteria tersebut adalah bahwa
obesitas (obesitas abdominal ) merupakan salah satu parameter yang penting
dalam menegakkan diagnosis sindroma metabolik. Bahkan pada kriteria sindroma
metabolik dari IDF, obesitas abdominal merupakan parameter yang mutlak
diperlukan.10
Tabel 2.2 Kategori berat badan berdasarkan klasifikasi Asia-Pasifik 15
Resiko Komorbiditas
Klasifikasi
IMT
Lingkar Perut
(kg/m2)
Berat badan kurang
< 18,5
< 90 cm (lakilaki)
≥ 90 cm (laki-laki)
< 80 cm (wanita)
≥ 80 cm (wanita)
Rendah (resiko
Sedang
meningkat pada
klinis lain
Kisaran normal
Berat badan lebih
18,5-22,5
Sedang
Meningkat
≥ 23,0
Beresiko
23,0-24,9
Meningkat
Moderat
Obesitas I
25,0-29,9
Moderat
Berat
Obesitas II
≥ 30,0
Berat
Sangat berat
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1 Patogenesis intoleransi glukosa pada penderita obesitas, dikutip dari
Bray 2004
Selanjutnya untuk memahami mekanisme terjadinya obesitas lebih lanjut
perlu pemahaman yang lebih. Tidak sekedar hanya semata-mata ketidak
seimbangan antara energi asupan dan energi pengeluaran, namun juga proses yang
mendasarinya. Telah diketahui bahwa regulasi energi pada tubuh manusia
diperankan oleh otak melalui sistem saraf yang mempengaruhi kerja hormon dan
sinyal yang terkait pada asupan nutrisi.16
Hipotalamus merupakan pusat regulasi metabolisme energi. Selain
pengaturan secara hormonal, hipotalamus dapat pula mengenali jenis makanan.
Seperti yang ditemukan pada penelitian yaitu long chain fatty acid-CoA berperan
dalam integrasi metabolisme karbohidrat dan lemak, yang terkait dengan
melacortin circuit.17
2.2 C-Rekatif Protein (CRP)
CRP pertama kali didiskripsikan oleh William Tillet dan Thomas Francis
di Institut Rockefeller pada tahun 1930. Mereka mengekstraksi protein dari serum
Universitas Sumatera Utara
pasien yang menderita Pneumonia pneumococcus yang akan membentuk
presipitasi dengan C - Polisakarida dari dinding sel Pneumococcus. Karena reaksi
antara protein dan polisakarida menyebabkan presipitasi maka protein ini diberi
nama C-Reactive Protein.10,15
CRP adalah sebuah reaktan fase akut yang diproduksi di hepatosit hati
dengan induksi sitokin IL-6 yang dapat meningkat kadarnya dalam serum sampai
1000 kali lipat selama cedera dan infeksi. Kadar CRP meningkat pada individu
obesitas yang memiliki jaringan adiposa yang banyak.7
Bukti terbaru menunjukkan bahwa hs-CRP berperan utama dalam proses
fisiologis pada sindroma metabolik. Tingginya kadar hs-CRP telah terbukti
menjadi prediktor independen resiko kardiovaskular untuk semua derajat
keparahan sindroma metabolik, juga berkorelasi dengan obesitas abdominal pada
pria dengan dislipidemia aterogenik sebuah karakteristik klinis yang penting pada
sindroma metabolik.Woman’s Health Study menyatakan hs-CRP yang tinggi
berkorelasi dengan resisitensi insulin pada wanita non diabetes hal ini
memberikan bukti tambahan hubungan antara peradangan dengan resiko diabetes
melitus tipe 2 dan penyakit kardiovaskular.9
Pada ateroskleoris dan obesitas dimana terjadi inflamasi kronis dan
kerusakan jaringan yang terjadi hanya sedikit (small injury), tidak mengakibatkan
peningkatan kadar CRP yang sangat tinggi, melainkan berada dalam rentang kadar
yang rendah (< 10 mg/L) sehingga dikembangkan suatu pemeriksaan yang disebut
hs-CRP (high sensitivity - C Reactive protein).18
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2 Jalur inflamasi pada penderita obesitas, dikutip dari Vincent,2006
Hs-CRP dapat digunakan untuk mendeteksi inflamasi pada proses
aterosklerosis karena dapat mengukur kadar CRP dalam kuantitas yang sangat
kecil dan diukur dengan metode yang sangat sensitif.11
Gambar 2.3 Peran CRP dalam pembentukan Aterosklerosis
Universitas Sumatera Utara
Pada tahun 2003, American Heart Association dan Centers for Disease
Control (AHA / CDC) merekomendasikan bahwa hs-CRP dapat digunakan
sebagai suatu marker untuk menilai resiko kejadian kardiovaskular dan
merupakan prediktor independen yang kuat untuk penyakit kardiovaskular dan
berperan aktif dalam perkembangan plak aterosklerosis. Dalam rekomendasi
tersebut, nilai cut off hs-CRP > 3 mg/L dianggap sebagai resiko tinggi untuk
terjadinya PJK.13
Kondisi-kondisi yang sering menyebabkan peningkatan kadar hs-CRP
antara lain infeksi, baik oleh karena bakteri maupun virus, trauma, pembedahan,
luka bakar, infark jaringan, penyakit autoimun dan penyakit keganasan dengan
kadar CRP bervariasi diatas 10 mg/L. Nilai CRP stabil untuk jangka waktu yang
lama, tidak dipengaruhi oleh intake makanan, usia, jenis kelamin dan tidak ada
variasi sirkadian. Pada individu sehat tanpa inflamasi, kadar CRP < 1 mg/L
dengan median 0.8 mg/L. Bilamana terdapat stimulus yang bersifat akut, dapat
terjadi peningkatan hingga 10.000 kali dari nilai normalnya. Untuk penyebab
infeksi bakteri, penyakit auto immun dan keganasan, nilai CRP dapat mencapai
lebih dari 100 mg/L. Dalam waktu yang relatif singkat ( 6 – 8 jam ) setelah
terjadinya reaksi radang akut / kerusakan jaringan, sintesis dan sekresi dari CRP
meningkat dengan tajam, mempunyai waktu paruh 19 jam, dan hanya dalam
waktu 24- 48 jam telah mencapai nilai puncaknya. Kadar CRP akan kembali ke
kadar asalnya dalam waktu 2 minggu setelah proses inflamasi atau infeksi hilang.
Oleh karena keuntungan itu, CRP sangat berguna untuk menegakkan diagnostik
inflamasi dan penyakit infeksi. hs - CRP merupakan pemeriksaan yang dapat
mengukur konsentrasi CRP yang sangat sedikit sehingga bersifat lebih sensitif
dengan range pengukuran antara 0,3 – 300 mg/L. Baik untuk memeriksa adanya
suatu inflamasi kronis derajat rendah (low level inflammation). Pemeriksaan hsCRP yang sangat sensitif ini dapat digunakan untuk memperkirakan risiko PJK
dimana proses aterosklerosis sebagai penyebab utama PJK terjadi proses inflamasi
kronis derajat rendah. 13
Universitas Sumatera Utara
AHA / CDC
12
membagi nilai cut off hs-CRP berdasarkan resiko
terjadinya PJK yaitu :
- hs-CRP < 1,0 mg/L
 risiko terkena PJK rendah (Low risk)
- hs-CRP 1,0 - 3,0 mg/L  risiko terkena PJK sedang (intermediate risk)
- hs-CRP > 3,0 mg/L (< 10 mg/L)  risiko terkena PJK tinggi (high risk)
Penelitian tentang hs-CRP, DPP study tahun 2005 pada kelompok pria
dengan TGT yang mendapat metformin terjadi penurunan kadar hs-CRP sebesar
7% sedangkan kelompok kontrol terjadi kenaikan kadar hs-CRP 5%. Selvin dkk
pada tahun 2007 menyimpulkan bahwa penurunan berat badan merupakan strategi
non farmakologis yang efektif untuk menurunkan kadar CRP. Penelitian di
Indonesia Djoko Hardiman tahun 2008 di Semarang, penelitian dilakukan pada
populasi prediabetes dimana pada kelompok dengan metformin terjadi penurunan
kadar hs-CRP, PAI-1, VCAM dan fibrinogen dan pada kelompok kontrol terjadi
peningkatan semua marker inflamasi tersebut.
2.3 Manajemen Klinik Obesitas
Pemahaman tentang hubungan antara obesitas dan sindroma metabolik
serta peranan otak dalam pengaturan energi , merupakan titik tolak yang penting
dalam manjemen klinik penderita obesitas. Pendekatan manajemen modifikasi
pola hidup merupakan dasar tidak hanya pada obesitas tapi juga pada sindroma
metabolik. Penurunan berat badan 10-25 % sudah memberikan perbaikan profil
metabolik. Penanganan yang terintegrasi dalam manajemen berat badan mencakup
diet, aktivitas fisik dan yang terpenting adalah perubahan perilaku.10
Modifikasi pola hidupmedis merupakan terapi awal yang dilakukan pada
pasien obesitas. Nurses Health Study dan the Health Professionals' Study
melaporkan bahwa dengan peningkatan aktivitas fisik sedang (moderate)
disamping masukan diet yang standar, selama 12 minggu atau lebih pada populasi
beresiko diabetes akan menurunkan resiko sebesar 26 hingga 38 % .8
Obat-obatan dapat diberikan sebagai bagian manajemen berat badan. Dua
obat yang digunakan dalam manajemen berat badan yang paling sering
dibicarakan dalam dua tahun terakhir adalah sibutramine dan orlistrat.8 Kedua
Universitas Sumatera Utara
obat ini dikatakan disamping dapat menurunkan berat badan, juga mempunyai
efek positif dalam perbaikan profil metabolik.8
Satu penelitian lain BIGuanide and Prevention of Risk in Obesitasity
(BIGPRO) juga mendapatkan hasil terjadinya perbaikan profil lipid dan IMT
setelah diberikan metformin dengan dosis 2 x 850 mg dibandingkan dengan
kelompok kontrol pada mereka dengan resiko kardiometabolik.18 Dalam satu
referensi dirangkumkan hasil beberapa studi penggunaan metformin pada
penderita berat badan lebih dan obesitas seperti yang terdapat pada tabel berikut :
Tabel 2.3 Rangkuman beberapa penelitian Metformin pada obesitas11
Universitas Sumatera Utara
Kesemua penelitian penggunaan metformin pada populasi obesitas yang
termasuk pada tabel diatas menggunakan IMT > 30 kg/m2 dan menggunakan
klasifikasi obesitas menurut WHO.20 Terdapat juga satu penelitian yang dilakukan
di China yang menggunakan metformin pada populasi obesitas dan hipertensi
dengan IMT ≥ 25 kg/m2, dengan suatu kesimpulan adanya perbaikan antropometri
dan profil kadar glukosa puasanya. 21
Universitas Sumatera Utara
Download