KERUKUNAN HIDUP BERTETANGGA FONDASI KERUKUNAN BERNEGARA Oleh : Daswanto SALAH SATU ASPEK yang berkait kelindan dengan kebaikan dan kebajikan hidup dan kehidupan manusia dijelaskan oleh Allah SWT di dalam Al-Qur’an adalah berbuat baik kepada tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh QS. An-Nisa’:36). Statemen Allah SWT ini perlu kita telisik secara lebih mendalam, karena ia merupakan syariat yang diturunkan dari langit untuk menciptakan sebuah keharmonisan bagi manusia yang menghuni persada bumi ciptaan Allah Yang Maha Pencipta ini. Setiap manusia mesti hidup bermasyarakat dan mesti bergaul dengan orang lain. Dan manusia itu menurut kodratnya adalah makhluk sosial yang mencari kesempurnaan hidupnya melalui masyarakat. Inilah dasar pemikiran dari Filosof Aris Toteles mengatakan manusia itu adalah “zoon politicon”( makhluk social). Konsepsi Aris Toteles adalah mengadopsi konsepsi ilahi, konsepsi qur’ani dan konsepsi islami. Di sini semakin jelas bagi kita bahwa Allah SWT mengajarkan kepada kita bahwa manusia itu tidak boleh tidak mesti hidup bermasyarakat, membutuhkan masyarakat, dan tidak dapat melepaskan diri dari masyarakat. Makna masyarakat dalam konteks ini bisa bersifat sosiologis maupun antropologis. Namun secara lebih menukik masyarakat disini adakalanya adalah keluarga, yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak; adakalanya tetangga, yang terdiri dari orang-orang yang bertempat tinggal disekeliling tempat tinggal kita; adakalanya pula bangsa, yaitu masyarakat dalam bentuk yang lebih luas lagi. Dalam tulisan ini, kita lebih memfokuskan diri pada masyarakat dalam makna tetangga. Di dalam kamus Bahasa Indonesia tetangga dalam bentuk noun diberi makna (1) Satu orang/satu rumah yang rumahnya berdekatan atau sebelah menyebelah; jiran; (2) orang yang tempat tinggalnya (rumahnya) berdekatan. Sedangkan dalam bentuk kata kerja “bertetangga” dimaknai dengan : (1) menjadi tetangga; (2) mempunyai tetangga. Mengapa persoalan berbuat baik kepada tetangga menjadi sebuah wahyu yang diturunkan Allah di dalam Al-Qur’an?. Secara logika sederhana kita dapat memahaminya bahwa peranan tetangga bagi kehidupan kita, sangatlah penting dan sangatlah kita rasakan, karena mereka itulah yang berada disekitar tempat tinggal kita (tetangga yang dekat, Waljaari dzii al-qurba). Begitu pentingnya, sehingga kadangkala melebihi peranan keluarga atau family kita sendiri yang tempat tinggalnya jauh dari tempat tinggal kita (tetangga yang jauh (Waljaari al-junubi). Demikian dikatakan oleh Ibnu Abbas ra. Sedangkan Al-Imam Al-Qurthubi di dalam Al-Jami’ li ahkam AlQur’an berkata: “Adapun tetangga, maka Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk memeliharanya, menunaikan haknya, dan berpesan untuk memelihara tanggungannya di dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya. Bukankah kamu melihat Allah Ta’ala menguatkan penyebutan tetangga setelah dua orang ibu-bapak dan karib-kerabat. Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata:“atas dasar ayat inilah, maka berbuat baik kepada tetangga adalah diperintahkan dan dianjurkan, baik muslim maupun kafir. Itu adalah pendapat yang benar. Al-Ihsan (berbuat baik) adakalanya bermakna:”memberi bantuan”. Dan adakalanya bermakna “mempergauli dengan baik, mencegah bahaya dan memelihara orang yang di bawahnya”. Sementara itu, Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam Fath Al-Bari memberikan pemaknaan terhadal frase “tetangga dekat dan tetangga jauh”. Tetangga dekat adalah yang ada hubungan kekerabatan di antara keduanya. Tetangga jauh adalah kebalikannya. Namun ada juga pendapat di kalangan ulama yang memaknai tetangga dekat adalah “seorang muslim” dan tetangga jauh adalah “selain muslim”. Adapun batasan tetangga terdapat perbedaan pendapat dalam konsepsinya. Al-Uza’I dan Ibnu Syihab berpendapat “empat puluh rumah dari setiap arah”. Baik utara-selatan maupun timur-barat. Sedangkan Ali Bin Abi Thalib berkata : “Siapa saja yang mendengar panggilan, maka dia adalah tetangga masjid”. Ibnu Hajar dalam Al-Fath berkata: “Ibnu Wahb telah mengeluarkan riwayat dari Yunus dari Ibnu Syihab, tetangga itu adalah empat puluh rumah dari sebelah kanan, sebelah kiri, dari bagian belakang dan bagian depannya”. Pendapat lain adalah barangsiapa tinggal bersama seseorang di suatu tempat/kota, maka dia adalah tetangga. Sementara itu, Pemerintah Republik Indonesia melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 1983 menetapkan jumlah warga dalam satu Rukun Tetangga (RT) sebanyak 30 Kepala Keluarga (KK) untuk desa dan 50 Kepala Keluarga (KK) untuk Kelurahan. Dari makna kata “tetangga” tersebut di atas, semakin jelas bagi kita bahwa kerukunan hidup bertetangga adalah sebuah kewajiban yang diperintahkan oleh Allah SWT dengan memakai redaksi “berbuat baik kepada tetangga dekat dan tetangga jauh”. Demikian pula sebaliknya, Rasulullah SAW melarang kita untuk tidak “menyakiti tetangga”. Beliau mengkategorikan menyakiti tetangga termasuk akhlak yang tercela dan termasuk salah satu perbuatan yang terkutuk dalam pandangan syariat Islam. Di samping itu, berbuat jahat terhadap tetangga dapat melenyapkan keimanan seseorang. “ Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi SAW bersabda, “Demi Allah, seseorang itu tidaklah sempurna imannya. “Demi Allah, seseorang itu tidaklah sempurna imannya. “Demi Allah, seseorang itu tidaklah sempurna imannya. Ada seorang yang bertanya, “Siapakah seseorang yang tidak sempurna imannya itu wahai Rasulullah ?”. Beliau bersabda, “ Orang yang tetangganya tidak aman karena gangguannya” (HR. Bukhari dan Muslim). Di lain hadis dikemukakan, “Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka ia tidak mengganggu tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau (kalau tidak bisa berkata baik) hendaklah diam” (HR. Bukhari dan Muslim). Firman Allah SWT dalam Surah An-Nisa’ dan sabda Rasulullah SAW tersebut di atas memberikan suatu makna psikologis dan sosiologis kepada kita yang hidup di abad yang centang perenang dengan berbagai bentuk dekandensi moral, kehidupan yang tidak ramah, tidak sopan, penuh intrik dan konflik ini yang terjadi dimana-mana di sekeliling kita, baik di perdesaan apalagi diperkotaan. Bahkan akhir-akhir ini, kita diresahkan oleh sebuah peristiwa yang tidak berperikemanusiaan, yaitu berupa pelecehan seksual, perselingkuhan dengan suami atau isteri tetangga, kejahatan seksual terhadap anak-anak, termasuk anak-anak tetangga oleh tetangga. Suasana rukun dan kerukunan mulai terganggu bahkan terkoyak dan tercabik-cabik, pada kita bertetangga dekat, dalam makna sesama muslim dan bertetangga jauh dalam makan selain muslim. Esensi perintah Allah dan Rasulullah SAW adalah “berbuat baik kepada tetangga dan tidak menyakiti tetangga”, sehingga tercipta suasana sejuk, teduh, aman dan nyaman atau dalam istilah yang lebih tepatnya “terciptanya kerukunan hidup bertetangga”. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa rumah tangga-rumah tangga yang rukun, akan melahirkan keluarga yang rukun, keluarga-keluarga yang rukun akan melahirkan tetangga-tetangga yang rukun, dan tetangga-tetangga yang rukun akan melahirkan kelompok masyarakat yang rukun (RT/RW yang rukun). Rukun Tetangga-rukun tetangga dan Rukun Warga-rukun warga yang rukun akan melahirkan dusun/lingkungan yang rukun, dan seterusnya desa, kelurahan dan negeri yang rukun, kecamatan yang rukun, kabupaten/kota yang rukun, propinsi yang rukun dan akhirnya Negara yang rukun dan damai. Tegasnya kerukunan hidup bertetangga adalah fondasi bagi tegaknya kerukunan Negara, dalam konteks ini adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kerukunan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah amanah Allah SWT, amanah Rasulullah SAW, dan amanah Negara. Kesatuan Negara adalah sesuatu yang paling urgen bagi bangsa dan warga bangsa Indonesia untuk mewujudkan tujuan bernegara sebagaimana diamanatkan di dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat, yaitu : (1) melindungi segenap dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) memajukan kesejahteraan umum; (3) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan social. Dalam upaya mengoptimalkan peranan kerukunan tetangga di dalam menjamin dan menjaga kerukunan nasional dan kerukunan Negara, maka pemerintah mengeluarkan produk hukum pembentukan Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 1983. Rukun Tetangga dimaknai dengan organisasi masyarakat yang diakui dan dibina oleh Pemerintah, untuk memelihara dan melestarikan nilai-nilai kehidupan di dalam masyarakat Indonesia yang berdasarkan kegotongroyongan dan kekeluargaan serta untuk membantu meningkatkan kelancaran tugas pemerintah dalam pembangunan dan kemasyarakatan di desa dan kelurahan. Sedangkan Rukun Warga (RW) dimaknai dengan pembagian wilayah di Indonesia di bawah dusun atau lingkungan. Adapun salah satu fungsi Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) adalah memelihara kerukunan hidup warga, sedangkan salah satu fungsi Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) adalah penanganan masalah kemasyarakatan yang dihadapi warga. Dengan demikian, dari perspektif ini tidaklah berlebihan jika kita menyebut bahwa RT dan RW adalah sokoguru di dalam membina kerukunan warga. RT dan RW adalah fondasi kerukunan masyarakat sebagai terminal awal untuk mewujudkan kerukunan Negara. Konsepsi kerukunan RT dan RW sebagai tulang punggung ketukunan nasional dan Negara di dalam Diinul Islam terekspresikan pada postulat bahwa terhadap tetangga dekat dan tetangga jauh, wajib kita santuni dan wajib kita berbuat baik kepada semuanya. Hanya saja,, tetangga yang dekat dengan kita perlu mendapat prioritas daripada tetangga yang jauh, sebab kita lebih sering bergaul dan berhubungan dengan tetangga yang dekat dan mereka lebih banyak terlibat dalam kehidupan rumah tangga kita. Rasulullah SAW bersabda : “Dari Aisyah ra, ia berkata, “Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya mempunyai dua tetangga kemudian kepada tetangga yang mana saya harus memberi ?”. Beliau menjawab, “Kepada tetangga yang pintunya lebih dekat dengan kamu” (HR. Bukhari). Sedangkan dari Abdullah bin Umar ra ia berkata, “ Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik teman menurut Allah yaitu orang yang paling baik terhadap temannya, dan sebaik-baik tetangga menurut Allah Ta’ala adalah orang yang paling baik terhadap tetangganya” (HR. Tirmidzi). Sebagai tetangga kita harus saling tolong menolong, saling menghargai, saling menghormati, baik tetangga itu kaya atau miskin, pejabat atau rakyat jelata, pintar atau awam. Karena Rasulullah memerintahkan, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hormatilah tetangga” (HR. Muslim). “Tidaklah masuk surga orang yang tetangganya tidak aman karena gangguannya”. Rasulullah SAw mengajarkan sebuah keteladanan bagi kita di dalam mewujudkan kerukunan hidup bertetangga. Diriwayatkan oleh Abu Dzar ra ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Wahai Abu Dzar, bila kamu memasak makanan yang berkuah maka perbanyaklah airnya (kuahnya) dan perhatikanlah tetanggamu” (HR. Muslim). Dari Abu Dzar, ia berkata, “Sesungguhnya kekasih saya Rasulullah SAW berpesan kepada saya, “Bila kamu memasak makanan yang berkuah maka perbanyaklah airnya, kemudian lihatlah tetangga-tetanggamu dan berikanlah mereka dengan cara yang baik”. Dari Abu Hurairah ra ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, “Wahai wanita-wanita Islam, janganlah seorang tetangga merasa hina untuk memberi sesuatu kepada tetangganya walaupun hanya berupa kikil kambing” (HR. Bukhari dan Muslim). Jika suasana ini benar-benar tumbuh dan terbangun di tengah-tengah masyarakat warga bangsa dari satu RT ke RT lainnya, dari satu RW ke RW lainnya, maka inilah buah dari kemampuan kita mengimplementasikan konsepsi masyarakat berkasih sayang (masyarakat marhamah) yang diperintahkan Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW dan dimuat di dalam firman-Nya dan sabdanya. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat dan menjadi iktibar bagi kita semua, amin ya rabbal ‘alamin.