AR_0081 - balitbang riau

advertisement
KERUKUNAN HIDUP BERTETANGGA FONDASI KERUKUNAN
BERNEGARA
Oleh : Daswanto
SALAH SATU ASPEK yang berkait kelindan dengan kebaikan dan kebajikan hidup dan
kehidupan manusia dijelaskan oleh Allah SWT di dalam Al-Qur’an adalah berbuat baik kepada
tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh QS. An-Nisa’:36). Statemen Allah SWT ini perlu
kita telisik secara lebih mendalam, karena ia merupakan syariat yang diturunkan dari langit
untuk menciptakan sebuah keharmonisan bagi manusia yang menghuni persada bumi ciptaan
Allah Yang Maha Pencipta ini. Setiap manusia mesti hidup bermasyarakat dan mesti bergaul
dengan orang lain. Dan manusia itu menurut kodratnya adalah makhluk sosial yang mencari
kesempurnaan hidupnya melalui masyarakat. Inilah dasar pemikiran dari Filosof Aris Toteles
mengatakan manusia itu adalah “zoon politicon”( makhluk social). Konsepsi Aris Toteles
adalah mengadopsi konsepsi ilahi, konsepsi qur’ani dan konsepsi islami. Di sini semakin jelas
bagi kita bahwa Allah SWT mengajarkan kepada kita bahwa manusia itu tidak boleh tidak mesti
hidup bermasyarakat, membutuhkan masyarakat, dan tidak dapat melepaskan diri dari
masyarakat.
Makna masyarakat dalam konteks ini bisa bersifat sosiologis maupun antropologis.
Namun secara lebih menukik masyarakat disini adakalanya adalah keluarga, yang terdiri dari
ayah, ibu, dan anak-anak; adakalanya tetangga, yang terdiri dari orang-orang yang bertempat
tinggal disekeliling tempat tinggal kita; adakalanya pula bangsa, yaitu masyarakat dalam bentuk
yang lebih luas lagi. Dalam tulisan ini, kita lebih memfokuskan diri pada masyarakat dalam
makna tetangga. Di dalam kamus Bahasa Indonesia tetangga dalam bentuk noun diberi makna
(1) Satu orang/satu rumah yang rumahnya berdekatan atau sebelah menyebelah; jiran; (2)
orang yang tempat tinggalnya (rumahnya) berdekatan. Sedangkan dalam bentuk kata kerja
“bertetangga” dimaknai dengan : (1) menjadi tetangga; (2) mempunyai tetangga.
Mengapa persoalan berbuat baik kepada tetangga menjadi sebuah wahyu yang diturunkan
Allah di dalam Al-Qur’an?. Secara logika sederhana kita dapat memahaminya bahwa peranan
tetangga bagi kehidupan kita, sangatlah penting dan sangatlah kita rasakan, karena mereka itulah
yang berada disekitar tempat tinggal kita (tetangga yang dekat, Waljaari dzii al-qurba). Begitu
pentingnya, sehingga kadangkala melebihi peranan keluarga atau family kita sendiri yang tempat
tinggalnya jauh dari tempat tinggal kita (tetangga yang jauh (Waljaari al-junubi). Demikian
dikatakan oleh Ibnu Abbas ra. Sedangkan Al-Imam Al-Qurthubi di dalam Al-Jami’ li ahkam AlQur’an berkata: “Adapun tetangga, maka Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk
memeliharanya, menunaikan haknya, dan berpesan untuk memelihara tanggungannya di
dalam kitab-Nya dan melalui lisan Rasul-Nya. Bukankah kamu melihat Allah Ta’ala
menguatkan penyebutan tetangga setelah dua orang ibu-bapak dan karib-kerabat.
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata:“atas dasar ayat inilah, maka berbuat baik
kepada tetangga adalah diperintahkan dan dianjurkan, baik muslim maupun kafir. Itu adalah
pendapat yang benar. Al-Ihsan (berbuat baik) adakalanya bermakna:”memberi bantuan”. Dan
adakalanya bermakna “mempergauli dengan baik, mencegah bahaya dan memelihara orang
yang di bawahnya”. Sementara itu, Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam Fath Al-Bari memberikan
pemaknaan terhadal frase “tetangga dekat dan tetangga jauh”. Tetangga dekat adalah yang
ada hubungan kekerabatan di antara keduanya. Tetangga jauh adalah kebalikannya. Namun ada
juga pendapat di kalangan ulama yang memaknai tetangga dekat adalah “seorang muslim” dan
tetangga jauh adalah “selain muslim”. Adapun batasan tetangga terdapat perbedaan pendapat
dalam konsepsinya. Al-Uza’I dan Ibnu Syihab berpendapat “empat puluh rumah dari setiap
arah”. Baik utara-selatan maupun timur-barat. Sedangkan Ali Bin Abi Thalib berkata : “Siapa
saja yang mendengar panggilan, maka dia adalah tetangga masjid”. Ibnu Hajar dalam Al-Fath
berkata: “Ibnu Wahb telah mengeluarkan riwayat dari Yunus dari Ibnu Syihab, tetangga itu
adalah empat puluh rumah dari sebelah kanan, sebelah kiri, dari bagian belakang dan bagian
depannya”. Pendapat lain adalah barangsiapa tinggal bersama seseorang di suatu tempat/kota,
maka dia adalah tetangga. Sementara itu, Pemerintah Republik Indonesia melalui Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 1983 menetapkan jumlah warga dalam satu Rukun
Tetangga (RT) sebanyak 30 Kepala Keluarga (KK) untuk desa dan 50 Kepala Keluarga (KK)
untuk Kelurahan.
Dari makna kata “tetangga” tersebut di atas, semakin jelas bagi kita bahwa kerukunan
hidup bertetangga adalah sebuah kewajiban yang diperintahkan oleh Allah SWT dengan
memakai redaksi “berbuat baik kepada tetangga dekat dan tetangga jauh”. Demikian pula
sebaliknya, Rasulullah SAW melarang kita untuk tidak “menyakiti tetangga”. Beliau
mengkategorikan menyakiti tetangga termasuk akhlak yang tercela dan termasuk salah satu
perbuatan yang terkutuk dalam pandangan syariat Islam. Di samping itu, berbuat jahat terhadap
tetangga dapat melenyapkan keimanan seseorang. “ Dari Abu Hurairah ra bahwa Nabi SAW
bersabda, “Demi Allah, seseorang itu tidaklah sempurna imannya. “Demi Allah, seseorang itu
tidaklah sempurna imannya. “Demi Allah, seseorang itu tidaklah sempurna imannya. Ada
seorang yang bertanya, “Siapakah seseorang yang tidak sempurna imannya itu wahai
Rasulullah ?”. Beliau bersabda, “ Orang yang tetangganya tidak aman karena gangguannya”
(HR. Bukhari dan Muslim). Di lain hadis dikemukakan, “Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah
SAW bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka ia tidak
mengganggu tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
hendaklah ia memuliakan tamunya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
maka hendaklah ia berkata yang baik atau (kalau tidak bisa berkata baik) hendaklah diam”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Firman Allah SWT dalam Surah An-Nisa’ dan sabda Rasulullah SAW tersebut di atas
memberikan suatu makna psikologis dan sosiologis kepada kita yang hidup di abad yang centang
perenang dengan berbagai bentuk dekandensi moral, kehidupan yang tidak ramah, tidak sopan,
penuh intrik dan konflik ini yang terjadi dimana-mana di sekeliling kita, baik di perdesaan
apalagi diperkotaan. Bahkan akhir-akhir ini, kita diresahkan oleh sebuah peristiwa yang tidak
berperikemanusiaan, yaitu berupa pelecehan seksual, perselingkuhan dengan suami atau isteri
tetangga, kejahatan seksual terhadap anak-anak, termasuk anak-anak tetangga oleh tetangga.
Suasana rukun dan kerukunan mulai terganggu bahkan terkoyak dan tercabik-cabik, pada kita
bertetangga dekat, dalam makna sesama muslim dan bertetangga jauh dalam makan selain
muslim.
Esensi perintah Allah dan Rasulullah SAW adalah “berbuat baik kepada tetangga dan
tidak menyakiti tetangga”, sehingga tercipta suasana sejuk, teduh, aman dan nyaman atau
dalam istilah yang lebih tepatnya “terciptanya kerukunan hidup bertetangga”. Dengan
demikian dapat diasumsikan bahwa rumah tangga-rumah tangga yang rukun, akan melahirkan
keluarga yang rukun, keluarga-keluarga yang rukun akan melahirkan tetangga-tetangga yang
rukun, dan tetangga-tetangga yang rukun akan melahirkan kelompok masyarakat yang rukun
(RT/RW yang rukun). Rukun Tetangga-rukun tetangga dan Rukun Warga-rukun warga yang
rukun akan melahirkan dusun/lingkungan yang rukun, dan seterusnya desa, kelurahan dan negeri
yang rukun, kecamatan yang rukun, kabupaten/kota yang rukun, propinsi yang rukun dan
akhirnya Negara yang rukun dan damai. Tegasnya kerukunan hidup bertetangga adalah fondasi
bagi tegaknya kerukunan
Negara, dalam konteks ini adalah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Kerukunan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah amanah Allah SWT,
amanah Rasulullah SAW, dan amanah Negara. Kesatuan Negara adalah sesuatu yang paling
urgen bagi bangsa dan warga bangsa Indonesia untuk mewujudkan tujuan bernegara
sebagaimana diamanatkan di dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat, yaitu : (1)
melindungi segenap dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2) memajukan kesejahteraan umum;
(3) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan social.
Dalam upaya mengoptimalkan peranan kerukunan tetangga di dalam menjamin dan
menjaga kerukunan nasional dan kerukunan Negara, maka pemerintah mengeluarkan produk
hukum pembentukan Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) melalui Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 1983. Rukun Tetangga dimaknai dengan organisasi masyarakat
yang diakui dan dibina oleh Pemerintah,
untuk memelihara dan melestarikan nilai-nilai
kehidupan di dalam masyarakat Indonesia yang berdasarkan kegotongroyongan dan
kekeluargaan serta untuk membantu meningkatkan kelancaran tugas pemerintah dalam
pembangunan dan kemasyarakatan di desa dan kelurahan. Sedangkan Rukun Warga (RW)
dimaknai dengan pembagian wilayah di Indonesia di bawah dusun atau lingkungan.
Adapun salah satu fungsi Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) adalah
memelihara kerukunan hidup warga, sedangkan salah satu fungsi Rukun Tetangga (RT) dan
Rukun Warga (RW) adalah penanganan masalah kemasyarakatan yang dihadapi warga. Dengan
demikian, dari perspektif ini tidaklah berlebihan jika kita menyebut bahwa RT dan RW adalah
sokoguru di dalam membina kerukunan warga. RT dan RW adalah fondasi kerukunan
masyarakat sebagai terminal awal untuk mewujudkan kerukunan Negara.
Konsepsi kerukunan RT dan RW sebagai tulang punggung ketukunan nasional dan
Negara di dalam Diinul Islam terekspresikan pada postulat bahwa terhadap tetangga dekat dan
tetangga jauh, wajib kita santuni dan wajib kita berbuat baik kepada semuanya. Hanya saja,,
tetangga yang dekat dengan kita perlu mendapat prioritas daripada tetangga yang jauh, sebab kita
lebih sering bergaul dan berhubungan dengan tetangga yang dekat dan mereka lebih banyak
terlibat dalam kehidupan rumah tangga kita. Rasulullah SAW bersabda : “Dari Aisyah ra, ia
berkata, “Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya mempunyai dua tetangga
kemudian kepada tetangga yang mana saya harus memberi ?”. Beliau menjawab, “Kepada
tetangga yang pintunya lebih dekat dengan kamu” (HR. Bukhari). Sedangkan dari Abdullah
bin Umar ra ia berkata, “ Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik teman menurut Allah yaitu
orang yang paling baik terhadap temannya, dan sebaik-baik tetangga menurut Allah Ta’ala
adalah orang yang paling baik terhadap tetangganya” (HR. Tirmidzi). Sebagai tetangga kita
harus saling tolong menolong, saling menghargai, saling menghormati, baik tetangga itu kaya
atau miskin, pejabat atau rakyat jelata, pintar atau awam. Karena Rasulullah memerintahkan,
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hormatilah tetangga” (HR.
Muslim). “Tidaklah masuk surga orang yang tetangganya tidak aman karena gangguannya”.
Rasulullah SAw mengajarkan sebuah keteladanan bagi kita di dalam mewujudkan
kerukunan hidup bertetangga. Diriwayatkan oleh Abu Dzar ra ia berkata, “Rasulullah SAW
bersabda, “Wahai Abu Dzar, bila kamu memasak makanan yang berkuah maka perbanyaklah
airnya (kuahnya) dan perhatikanlah tetanggamu” (HR. Muslim). Dari Abu Dzar, ia berkata,
“Sesungguhnya kekasih saya Rasulullah SAW berpesan kepada saya, “Bila kamu memasak
makanan yang berkuah maka perbanyaklah airnya, kemudian lihatlah tetangga-tetanggamu
dan berikanlah mereka dengan cara yang baik”. Dari Abu Hurairah ra ia berkata, “Rasulullah
SAW bersabda, “Wahai wanita-wanita Islam, janganlah seorang tetangga merasa hina untuk
memberi sesuatu kepada tetangganya walaupun hanya berupa kikil kambing” (HR. Bukhari
dan Muslim).
Jika suasana ini benar-benar tumbuh dan terbangun di tengah-tengah masyarakat warga
bangsa dari satu RT ke RT lainnya, dari satu RW ke RW lainnya, maka inilah buah dari
kemampuan kita mengimplementasikan konsepsi masyarakat berkasih sayang (masyarakat
marhamah) yang diperintahkan Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW dan dimuat di dalam
firman-Nya dan sabdanya. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat dan menjadi iktibar bagi kita
semua, amin ya rabbal ‘alamin.
Download