Al-Qur`an - Google Sites

advertisement
Al-Qur’an
Diskursus tanah dalam al-Qur ’an dengan
berbagai varian penjelasannya secara teologis
berporos pada kesadaran bahwa semuanya
adalah milik Allah dan sudah seharusnya
digunakan untuk kepentingan yang sudah
digariskan Allah. Manusia sebagai pemegang
mandat (khalîfah Allâh fî al-ardh) diperintahkan
untuk menggunakan amanat pengelolaan bumi
dan isinya dalam kerangka ketaatan kepada Allah SWT. Bumi merupakan ajang bagi manusia
untuk berlomba mengukir prestasi hidup
(musâbaqah fî al-khairât) untuk kepentingan
setelah hidup yaitu kehidupan akhirat. Etika yang
terpenting dari cara kita menjaga sumber daya
alam bumi dan isinya adalah dengan cara
menjaga alam agar terhindar dari kerusakan baik
kerusakan material maupun spiritual. Ajaran alQur’an kepada manusia untuk mengelola tanah
dan isinya secara benar, pada saat yang sama
juga dibarengi dengan larangan mengeksploitasi
tanah.
Diskursus T
anah dalam Al-Qur’an
Tanah
Oleh Ridwan*
Kata Kunci: al-Qur’an, tanah, manusia, khalifah.
Pendahuluan
Persoalan seputar pertanahan dalam Islam memiliki kaitan erat
dengan konsep penciptaan awal manusia sebagai salah satu penghuni
bumi yang diciptakan dari tanah. Manusia diciptakan oleh Allah dari
tanah kemudian hidup sebagai manusia di atas tanah dan akan mati
untuk kembali ke tanah dan selanjutnya akan dimintai
pertanggungjawaban oleh Allah atas apa yang dilakukan selama hidup
di dunia hidup di muka bumi dan di atas tanah. Hidup manusia di muka
bumi akan bermakna ketika keberadaanya mampu menghadirkan
kemaslahatan hidup untuk menjalankan misi sebagai khalifah Allah untuk
memakmurkan tanah sebagai ladang musâbaqah fî al-khairât. Kahadiran
manusia berasal dari tanah, bertugas memakmurkan tanah dan pada
saatnya akan kembali ke tanah sebagai jembatan menghadap sang
pencipta, inilah salah satu dimensi teologis dari tanah.
Diskursus Tanah dalam al-Qur’an ... Oleh Ridwan
Kualitas kehidupan manusia di hadapan Allah ketika manusia mampu
memerankan dirinya secara baik sebagai pribadi yang diberi amanat Allah
untuk memakmurkan tanah sebagai bagian dari fasilitas dan sarana untuk
melakukan pengabdian kepada-Nya sesuai yang digariskan oleh Islam
baik yang tertuang dalam al-Qur’an maupun Hadis sebagai landasan
etik sekaligus yuridis yang memandu kehidupan manusia.
Di dalam Islam, kepemilikan tanah oleh seseorang dalam konteks
individual dalam relasi sosial secara yuridis diakui, di mana pemilik tanah
mempunyai kewenangan untuk menggunakan (tasharruf) sesuai dengan
keinginanya. Kewenangan manusia atas kepemilikan harta (proverty right)
dalam kaidah hukum Islam dilindungi dalam bingkai hifdz al-mâl sebagai
salah satu prinsip al-kulliyât al-khams. 1 Tanah, di samping sebagai
instrumen ekonomis, juga mempunyai kandungan sosial-humanistik.2 Oleh
karena itu dalam Islam tidak diperbolehkan untuk melakukan praktek
monopoli3 aset / harta. Dengan demikian pemilikan harta oleh seseorang
haruslah disertai dengan pertanggungjawaban secara moral.
Membincang persoalan tanah dalam Islam haruslah mendasarkan
pada sumber-sumber normative-tekstual (al-Qur’an dan Hadis) sebagai
sumber yang otoritatif dengan melalui proses pengkajian secara mendalam
untuk kemudian dicari makna konteksnya. Dari proses pengkajian
tersebut, maka akan diketahui kedudukan dan fungsi tanah serta tata
cara memakmurkan tanah baik dalam kedudukannya sebagai salah satu
instrumen ibadah maupun tanah sebagai instrumen ekonomis.
Wacana Tanah dalam Teks al-Qur’an
Pengertian tanah dalam arti luas berarti segala sesuatu yang terdapat
di permukaan bumi seperti tanah gunung, hutan, isi dalam tanah seperti
bahan galian / tambang, kekayaan laut dan di atas permukaan bumi seperti
hujan, angin, keadaan iklim, geografi dan sebagainya. 4 Al-Qur’an
menggunakan kata tanah dengan arti dan maksud yang berbeda-beda.
Seruan al-Qur’an maupun Hadis Nabi kepada manusia sebagai penghuni
bumi untuk menjadikan tanah sebagai salah satu fasilitas untuk
kemaslahatan hidup selama di dunia. Mengkaji ayat-ayat al-Qur’an
berkaitan dengan tanah, akan ditemukan beberapa ketentuan dasar
tentang tanah yang unsurnya antara lain sebagai berikut.
322
Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008
Diskursus Tanah dalam al-Qur’an ... Oleh Ridwan
1. Gunung
Salah satu unsur bumi adalah gunung yang menjadi sumber kehidupan
umat manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam beberapa
ayat al-Qur’an disinggung tentang gunung dan manfaatnya bagi manusia,
antara lain dalam surat al-Hijr ayat 19-20: “Bumi kami bentangkan dan
kami tegakan gunung-gunung di atasnya, dan kami tumbuhkan di atasnya
tiap suatu (tumbuh-tumbuhan) dengan ukuran (timbangan). Dan kami
adakan untukmu di bumi tempat mencari penghidupan.”
Di dalam ayat lain dijelaskan tentang fungsi gunung sebagai sumber
kehidupan yang disenangi manusia dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya yaitu surat an-Nazi’at ayat 32-33 : “Dan gunung-gunung ditegakanNya untuk kesenangan bagimu dan bagi ternakmu.”
2. Hutan
Hutan merupakan salah satu komponen penting bumi yang berguna
bagi kehidupan manusia baik untuk kepentingan bahan bakar, bangunan
ataupun resapan air serta perlindungan dari bahaya banjir yang akan
merusak bumi ataupun tanah tempat pemukiman penduduk. Berkaitan
dengan fungsi hutan ini al-Qur’an dalam surat al-Mukminun ayat 20
menyatakan: “Dan pohon yang tumbuh dibukit Thurisina yang
menghasilkan minyak dan bumbu untuk orang-orang yang makan (yaitu
buah Zaitun).”
Sedangkan pada surat An-Nur ayat 35, Allah menyatakan fungsi
pepohonan sebagai sumber berkah (kebaikan) bagi manusia yaitu: “Pelita
itu ada dalam kaca, dan kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti
mutiara yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya
(yaitu) pohon Zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak
pula di sebelah barat (nya).”
3. Hewan Ternak
Hewan-hewan ternak yang mendiami bumi menurut al-Qur’an adalah
bagian dari fasilitas Allah yang diberikan kepada manusia untuk
melengkapi kehidupanya. Hewan memberikan daging, susu dan lemak
untuk tujuan yang bersifat ekonomis ataupun untuk perhiasan. Semua
kegunaan binatang yang hidup di atas bumi untuk kepentingan manusia
oleh al-Qur’an disinggung pada beberapa ayat antara lain dinyatakan
pada surat Thaha ayat 54 : “Makanlah kamu daripadanya dan berilah makan
Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008
323
Diskursus Tanah dalam al-Qur’an ... Oleh Ridwan
binatang-binatang ternakmu, sesungguhnya semua itu mengandung tanda-tanda
yang membuktikan kemakmuran Allah, bagi orang-orang yang berakal pikiran.”
Sedangkan pada ayat lain Allah menjelaskan binatang ternak
berkaitan dengan fungsinya untuk manusia lebih rinci sebagaimana
dinyatakan dalam al-Qur’an surat An-Nahl ayat 5-8. “Binatang-binatang
ternak diciptakan untukmu, dengannya kamu mendapatkan (pakaian) panas
dan manfaat dan di antara kamu makan dagingnya. Pada binatang-binatang
itu kamu mendapatkan keindahan, ketika kamu membawanya ke kandang
dan ketika melepaskanya. Binatang-binatang itu membawa beban kamu ke
negeri yang tidak dapat kamu sampai melainkan dengan susah payah.
Sesungguhnya, Tuhan kamu melimpahkan belas kasihan dengan rahmat-Nya.
Dan Dia ciptakan kuda, bighal dan keledai supaya kamu mengendarainya dan
menjadi perhiasan. Dan Dia menciptakan apa yang kamu tidak ketahui.”
Masih berkaitan dengan fungsi-fungsi binatang bagi kesejahteraan
hidup manusia Allah dalam surat Yasin ayat 71-73 menyatakan: “Tidakkah
mereka melihat dan memikirkan, bahwa kami telah menciptakan untuk mereka
binatang-binatang ternak di antara jenis mahluk yang telah kami ciptakan
dengan kekuasaan kami, lalu mereka memilikinya? Dan kami jinakan dia untuk
kegunaan mereka, maka sebagian darpadana menjadi kendaraan mereka, dan
sebagian lagi mereka makan. Dan mereka memperoleh berbagai manfaat dan
kegunaan binatang-binatang ternak itu dan juga memperoleh minuman, maka
mengapa tidak mau bersyukur.”
4. Kekayaan Mineral dan Kandungan Isi Bumi
Kandungan isi bumi sangatlah bermacam-macam bentuknya seperti
kandungan air mineral ataupun bahan-bahan tambang lainnya seperti
besi, tembaga, emas ataupun perak. Dalam kaitan dengan kandungan
bumi ini, Allah dalam surat al-Hadid ayat 25 menjelaskan tentang nilai
manfaat dari besi sebagai salah satu kandungan isi bumi yang artinya:
“Dan kami turunkan besi yang mempunyai kekuatan dan faedah bagi manusia.”
5. Iklim dan Hujan
Iklim dan hujan merupakan bagian penting kehidupan di bumi yang
akan menentukan struktur dan tingkat kesuburan tanah yang berguna
bagi ummat manusia. Keadaan tanah akan menentukan tingkat
kesuburan tanaman yang hidup di atasnya. Dalam surat an-Nahl ayat
10-11 Allah berfirman: “Dia menurunkan air dari langit, diantaranya untuk
324
Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008
Diskursus Tanah dalam al-Qur’an ... Oleh Ridwan
minuman kamu dan diantaranya untuk tumbuh-tumbuhan, di sana kamu
menggembalakan ternakmu. Dia tumbuhkan untukmu dengan air itu tanamantanaman, zaitun, kurma, anggur dan bermacam-macam buah.”
Pada ayat lain al-Qur’an menjelaskan tentang pentingnya air bagi
manusia untuk dikonsumsi sebagai salah satu sumber kehidupannya
sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Waqi’ah ayat 68-68 sebagai berikut:
“Adakah kamu lihat air yang kamu minum? Kamukan yang menurunkanya
dari awan atau Kamikah yang menurunkanya?”
Dengan mendasarkan pada kajian sumber-sumber tekstual di atas,
maka diskursus tanah dalam al-Qur’an dengan berbagai varian yang
terkandung dalam tanah berporos pada kesadaran bahwa semuanya
adalah milik Allah dan sudah seharusnya digunakan untuk kepentingan
yang sudah digariskan Allah. Inilah sesungguhnya esensi dari manifestasi
sikap syukur seorang hamba terhadap berbagai nikmat yang diberikan
sang penciptanya. Manusia sebagai pemegang mandat (khalîfah Allâh fî
al-ardh) diperintahkan untuk menggunakan amanat pengelolaan bumi
dan isinya dalam kerangka ketaatan kepada Allah SWT.
Kedudukan dan Fungsi Tanah
Islam mengajarkan kepada umatnya agar meletakan dan
memposisikan persoalan harta (kekayaan duniawi) termasuk kepemilikan
atas tanah dalam tinjauan yang relatif, yaitu perlunya kesadaran bahwa
harta kekayaan yang bersifat duniawi hakikatnya adalah milik Allah dan
sifat kepemilikanya bersifat semu. Artinya, bahwa kepemilikan manusia
terhadap hartanya dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu. Kepemilikan
manusia atas harta benda tidak lebih sebuah amanah (titipan, as a trust).5
Kepemilikan harta benda dalam Islam berbeda secara idiologis dengan
system ekonomi yang beridiologi liberal-kapitalistik dan komunistik.
Aliran liberal kapitalistik yang bersumber dari teori laisser faire laisser
aller memandang hak milik sebagai hak mutlak, setiap orang (individu)
bebas untuk mencari, memiliki dan menggunakan menurut kemauanya
sendiri secara bebas sehingga memberi ruang yang bebas lahirnya praktek
monopoli dan eksploitasi untuk menindas kelompok ekonomi lemah.
Sedangkan system ekonomi komunisme tidak mengakui hak milik
perorangan, karena semua harta benda dimiliki dan dikuasai oleh negara.6
Islam berada di antara dua ekstrimitas ideologi besar yang memposisikan
Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008
325
Diskursus Tanah dalam al-Qur’an ... Oleh Ridwan
sebagai sistem idiologi sintetis dengan mengedepankan prinsip moderatisme
(wasatiyah).
Kepemilikan seseorang atas tanah sebagaimana kepemilikan atas
harta benda yang lainya dalam konteks yuridis maupun etika sosial
haruslah dipandang sebagai kepemilikan yang di dalamnya juga harus
mempertimbangkan aspek-aspek yang bersifat sosial. Kebebasan seseorang
atas hak propertinya hakikatnya juga dibatasi oleh hak-hak orang lain
baik secara individual maupun kelompok. Dalam konteks ini telah diatur
dalam Hadis Nabi tentang fungsi-fungsi sosial yang melekat pada hak
milik atas tanah dihubungkan dengan kepentingan-kepentingan orang
lain dan public sphare (ruang publik).7
Dalam doktrin Islam, Allah adalah pencipta dan pemilik mutlak dari
setiap kekuatan dan kekayaan di alam semesta ini. Kalaupun manusia
secara individu mempunyai hak untuk memiliki harta termasuk harta
dalam bentuk tanah, maka sifat kepemilikanya secara teologis bersifat
nisbi dan relatif karena pemilik hakikinya adalah Allah. Hal ini
ditegaskan Allah dalam surat Ali Imran ayat 109 : “Kepunyaan Allahlah
segala yang ada di langit dan di bumi, dan kepada Allahlah dikembalikan
segala sesuatu.”
Jika manusia menyatakan kepemilikan dan hak guna terhadap
terhadap barang dan jasa bersifat eksklusif dan tak terbatas maka
sesungguhnya ia telah menyangkal karunia yang telah diberikan Allah
kepadanya. Kepemilikan yang tak terbatas inilah yang merupakan dasar
dari etika ekonomi yang hedonistic dan individualistic yang menyebabkan
ketidakmerataan pendapatan dan kekayaan diantara manusia.8 Paradigma
ekonomi Islam mendasarkan pada asumsi perlunya distribusi kekayaan
yang merata dengan pola mengeluarkan hak Allah untuk para fakir miskin
melalui zakat yang bersifat altruistik. Atas dasar ini maka Islam mengecam
kepemilikan harta secara monopolik dengan praktek konglomerasi,
sebagaimana dinyatakan oleh Allah SWT dalam al-Qur’an surat al-Hasyr
ayat 7.
Sistem ekonomi Islam menyediakan peluang-peluang yang sama (yaitu
hak terhadap harta dan bebas berusaha) dan pada saat yang sama
menjamin keseimbangan dalam distribusi kekayaan yang semata-mata
bertujuan untuk memelihara kestabilan dalam sy stem ekonomi. Hak
akan harta hak milik perorangan dan kebebasan tidak diberikan tanpa
batasan seperti dalam system kapitalis, tetapi diimbangi dengan batasan-
326
Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008
Diskursus Tanah dalam al-Qur’an ... Oleh Ridwan
batasan moral dan undang-undang. Dengan demikian system ekonomi
yang dikembangkan Islam adalah menyeimbangkan kebutuhan material
dan kebutuhan etika sosial.9
Dalam sistem ekonomi Islam, hak individu dalam kepemilikan pribadi
tidak boleh tak terbatas, karena hal demikian dapat dipertahankan
dengan merampas hak orang lain. Manusia bukanlah pemilik mutlak
atas kekayaanya, sebaliknya harta yang dimilikinya tidak lebih sebagai
amanah.10 Dalam bingkai teologis Islam, seluruh alam raya diciptakan
untuk digunakan oleh manusia dalam melanjutkan evolusinya, hingga
mencapai tujuan penciptaan. Semua diciptakan oleh Allah untuk satu
tujuan.11 sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an surat Shaad ayat 28:
“Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya
dengan sia-sia (tanpa tujuan)”
Adapun berkaitan dengan fungsi tanah bagi manusia dapat
dikategorikan menjadi beberapa fungsi pokok yaitu :
1. Tanah sebagai Tempat Tinggal dan Kesenangan Hidup
Ketentuan tentang tanah sebagai fasilitas Allah yang diberikan untuk
manusia antara lain dijelaskan dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat
29 yang artinya” Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi
untuk kamu dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikaNYA tujuh langit,
dan Dia maha mengetahui segala sesuatu”. Ayat ini merupakan legitimasi
teologis bahwa bumi dan seluruh isinya adalah fasilitas Allah untuk
kemaslahatan hidup manusia. Dalam kaidah fiqhiyah ayat ini menjadi
dasar perumusan kaidah “ al-ashlu fi al-asyyâ’ al-ibâhah”11 yang berarti
hukum asal segala sesuatu adalah mubah /boleh untuk dimanfaatkan.
Hukum kebolehan ini berlaku dalam bidang mu’amalah selama tidak
ada dalil lain yang menyatakan bahwa sesuatu itu haram hukumnya.
Kemudian pada surat al-Baqarah ayat 22 dijelaskan tentang
kedudukan tanah sebagai tempat dimana manusia bertempat tinggal dan
tempat/ladang mencari rizki yang disediakan oleh Allah sebagaimana
dinyatakan oleh Allah: “Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan
bagimu dan langit sebagai atap. Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu
Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rizki untukmu.
Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal
kamu mengetahui.”
Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008
327
Diskursus Tanah dalam al-Qur’an ... Oleh Ridwan
Ayat lain yang menjelaskan isyarat posisi tanah sebagai tempat tinggal
dinyatakan oleh Allah dalam surat al-Baqarah ayat 36: “Dan bagi kamu
ada tempat kediaman di atas bumi dan kesenangan hidup sampai waktu yang
ditentukan”.
Pada ayat 36 surat al-Baqarah di atas sangat jelas bahwa walaupun
bumi disediakan sebagai tempat tinggal dan kesenangan hidup, tetapi
Allah memberi peringatan bahwa apa yang bisa dinikmati dalam
kehidupan di muka bumi tidak bersifat abadi tetapi bersifat sementara.
Kesadaran manusia akan sifat kesementaraan hidup di muka bumi
diperlukan untuk menciptakan kesadaran bahwa semua kenikmatan yang
ada tidak lebih sebuah amanat yang perlu dikelola dan ditunaikan
sebagaimana tuntunan agama.
2. Tanah Sebagai Tempat Mencari Rizki
Tanah atau bumi tempat dimana kehidupan manusia berlangsung,
oleh Allah sudah disediakan berbagai rizki sesuai dengan kadarnya.
Beberapa ketentuan normatif tentang fungsi tanah sebagai tempat mencari
rizki dapat dilihat dalam beberapa ayat sebagai berikut:
- Al-Qur’an surat al-Jumuat ayat 10: “Apabila telah ditunaikan shalat,
maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah
kepada Allah sebanyak-bayaknya supaya kamu beruntung.”
- Al-Qur’an surat al-Mulk ayat 15 Allah juga berfirman: “Dialah yang
menjadikan bumi itu mudah bagimu, maka berjalanlah disegala penjurunya
dan makanlah sebagian dari rezki-Nya”.
Jaminan kehidupan mahluk yang melata di atas bumi termasuk
manusia oleh Allah sudah dijamin untuk dicukupi rizkinya dengan
mendasarkan pada kadar usaha yang dilakukanya sebagaimana
dinyatakan Allah dalam al-Qur’an surat Hudd ayat 6. “Tidak ada suatu
binatang melata di muki bumi melainkan Allah yang memberi rizkinya. Dia
mengetahui tempat diamnya dan tempat penyimpanananya. Semuanya tertulis
dalam kitab yang nyata.”
Semua yang ada di atas bumi adalah harta milik bersama umat
manusia dan tujuan Allah menjadikan itu untuk memenuhi kebutuhan
manusia. Tidak ada satupun yang mutlak menjadi milik seorang individu,
dan selama seseorang menjadi pemilik suatu barang, maka tak seorangpun
berhak mengganggunya. Tetapi pemilik benda itu sendiri tidak boleh
menyimpan miliknya melebihi dari kebutuhanya, tetapi harus dibagikanya
328
Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008
Diskursus Tanah dalam al-Qur’an ... Oleh Ridwan
kepada masyarakat lain, karena ada pula hak orang lain. Dengan
demikian maka setiap benda termasuk tanah haruslah memfungsikan
fungsi-fungsi social.
3. Tanah sebagai Amanat Allah
Tanah dan segala isinya dalam Islam merupakan fasilitas sekaligus
amanat Allah untuk manusia agar digunakan sesuai dengan apa yang
telah digariskan Allah dalam rangka memerankan dirinya sebagai khalîfah
Allâh fî al-ardh. Peran kekhalifahan manusia di atas bumi yang dibebankan
kepada manusia oleh Allah merupakan penghargaan sekaligus
kepercayaan Allah kepada manusia sebagai mahluk yang terhormat dan
paling sempurna dibanding mahluk lainya. Bumi di mana manusia hidup
merupakan ajang bagi manusia untuk berlomba mengukir prestasi hidup
(musâbaqah fî al-khairât) untuk kepentingan setelah hidup yaitu
kehidupan akhirat. Dalam al-Qur’an surat al-An’am ayat 165 Allah
berfirman: “Dan Dialah Allah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di
bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian yang lain beberapa
derajat untuk menguji atas apa yang diberikan-Nya kepadamu”.
Menurut ayat di atas posisi kehidupan di dunia (bumi) bagi manusia
adalah dalam kerangka menjalankan fungsi-fungsi kekhalifahan yang
dalam proses menjalani kehidupanya terdapat perbedaan-perbedaan
kualitas hidupnya (derajat). Perbedaan-perbedaan kualitas hidup tersebut
disebabkan perbedaan tingkat kemampuanya dalam menjalankan amanat
Allah bukan karena perbedaan jenis kelamin ataupun atribut-atribut
kemanusiaan lainya. Kenikmatan kehidupan dunia yang dimiliki oleh
seseorang haruslah berdampak pada kehidupan orang lain yang kurang
beruntung atau hidup dalam kekurangan dengan membagi sebagian
kenikmatan itu dengan orang lain. Semangat berbagi dengan sesama
merupakan salah salah satu spirit dasar bagi etika kehidupan beragama
yang digagas oleh Islam. Semangat berbagai atas berbagai kenikmatan
dengan orang lain inilah merupakan esensi dari syukur seorang hamba
kepada Allah. Syukur adalah menggunakan fasilitas Allah dijalan yang
diridhai Allah.
Etika yang terpenting dari cara kita menjaga sumber daya alam bumi
dan isinya adalah dengan cara menjaga alam agar terhindar dari
kerusakan. Kerusakan di bumi terdiri dari dua bentuk yaitu kerusakan
materi dan kerusakan spiritual. Kerusakan materiil misalnya matinya
Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008
329
Diskursus Tanah dalam al-Qur’an ... Oleh Ridwan
manusia, tercemarnya alam, terlantarnya sumber daya alam. Sedangkan
kerusakan spiritual adalah tersebarnya kedhaliman, kejahatan, rusaknya
hati nurani dan tumpulnya otak. Kedua jenis kerusakan tersebut adalah
bagian dari tindakan buruk yang tidak diridhai Allah.13
Teori yang mendasari pemahaman manusia tentang lingkungannya
disebut ekologi. Ekologi atau ilmu tentang lingkungan adalah suatu
cabang ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara mahluk
hidup dengan lingkungannya. Istilah ekologi berasal dari kata ‘oikos’
yang berarti tempat tinggal atau rumah, dan ‘logos’ yang berarti telaah
atau studi. Dengan demikian yang dimaksud dengan ekologi adalah ilmu
tentang tempat tinggal mahluk hidup.
Bagi mahluk hidup, bumi merupakan habitat atau tempat tinggal.
Bagi kehidupan liar, habitat merupakan unsur penting kehidupan
termasuk didalamnya manusia. Di muka bumi ini, terdapat berbagai jenis
ekosistem, seperti hutan, rawa, gunung dan sungai yang membentuk lands
cape yang kompleks. Setiap mahluk hidup menempati habitatnya masingmasing yang menjadi pembatas aktifitas hidup mereka.14
Kerangka Etika Pengelolaan Tanah
Dalam perspektif teologis-ekonomis tanah dengan berbagai
kandungan isi dan fungsinya bagi umat manusia merupakan factor
produksi yang paling penting. Sedangkan manusia adalah mahluk Allah
yang diberi mandat untuk mengelola bumi dan isinya dalam kapasitas
sebagai khalîfah Allâh fî al-ardh. Peran-peran kehalifahan manusia di atas
bumi meniscayakan perlunya kemampuan untuk bisa mengelolanya secara
baik dan benar. Dalam kaitanya manusia sebagai khalifah di atas bumi,
Allah dalam al-Qur’an surat al-An’am ayat165 berfirman: “Dan Dialah
Allah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan
sebagian kamu atas sebagian yang lain beberapa derajat untuk menguji atas
apa yang diberikan-Nya kepadamu”.
Dalam melaksanakan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi,
manusia diperintahkan untuk memakmurkan (mengelola) tanah secara
baik Mandat Allah kepada manusia untuk memakmurkan bumi
dijelaskan dalam al-Qur’an surat Hud ayat 61. “Dia telah menciptakan
kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu
mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kapada-Nya. Sesungguhnya
Tuhanku amat dekat lagi memperkenankan doa hamba-Nya.”
330
Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008
Diskursus Tanah dalam al-Qur’an ... Oleh Ridwan
Mandat Allah kepada manusia untuk mengelola bumi dan isinya
merupakan amanah yang dijalankan sesuai dengan rambu-rambu yang
sudah digariskan oleh Allah SWT. Landasan bagi pengelolaan alam /
lingkungan dalam Islam dibangkai dalam empat kerangka dasar sebagai
bingkai dalam proses pengelolaannya. Empat prinsip dasar itu adalah
prinsip tauhîd ,khilâfah, istishlâh dan prinsip halâl-harâm (legal).
Pertama, prinsip tauhîd berarti bahwa setiap aktivitas manusia
haruslah mendasarkan pada keyakinan akan kemahatunggalan Allah
dengan memberikan apresiasi kepada ciptaan-Nya. Dengan bingkai
tauhid maka ilmu yang dimiliki oleh seseorang adalah bagian dari amanat
Allah, sehingga seluruh aktifitasnya diarahkan pada pemenuhan terhadap
garis-garis fitrah yang telah dirumuskan Allah melalui al-Qur’an.
Ketika manusia dalam pengelolaan sumber daya alam / lingkungan
tidak memperhatikan koridor yang sudah dibuat Allah dalam al-Qur’an,
maka ia telah melanggar prinsip tauhid, maka Allah akan membinasakan
mereka sebagai akibat dari pelanggaran-pelanggaran hukum Allah.
Pelanggaran terhadap hukum Allah berarti pelanggaran terhadap tatanan
kehidupan manusia yang berdampak pada penyengsaraan ummat. Tesis
ini didasarkan pada asumsi dasar bahwa tujuan akhir dari hukum Islam
adalah menciptakan tatanan kehidupan yang maslahat.
Kedua, prinsip kepemimpinan atau khilâfah sebagai instrumen penting
dalam perumusan teori lingkungan dalam Islam. Konsep khilafah menjadi
penting karena posisi manusia sebagai mahluk yang diberi mandat oleh
Allah untuk memelihara. Dalam praktiknya, peran kekhalifahan manusia
bisa saja berbalik menjadi peran-peran yang justeru membahayakan
kehidupan manusia itu sendiri ketika peran itu tidak beri sinaran etika
Islam yang berporos pada tauhid. Peran kekhalifahan bisa dimaknai dalam
lingkup individual sebagai manusia atau kekhalifahan dalam arti pihak
yang mempunyai otoritas untuk membuat regulasi (pemerintah)
Dalam konteks kekhalifahan sebagai lembaga / institusi pemerintah,
dalam sejarah Islam, khalifah Umar ibn Khattab telah memberi contoh
dalam mengontrol hal-hal yang kecil terkait pengendalian dan pembagian
sumber daya alam sehingga tidak mengakibatkan kecemburuan sosial.
Sedangkan contoh ataupun keteladanan dari figur khalifah yang
disinggung oleh al-Qur’an dengan menampilkan figur Nabi Daud sebagai
khalifah dalam penegakan keadilan di muka bumi. Dalam al-Qur’an
surat Shaad ayat 26 Allah berfirman: “Hai Daud, sesungguhnya kami
Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008
331
Diskursus Tanah dalam al-Qur’an ... Oleh Ridwan
menjadikan engkau kahalifah di atas bumi, maka berilah keputusan di antara
manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia
akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.”
Ketiga, prinsip istishlâh atau kemaslahatan umum (al-mashlalah al‘âmmah) merupakan syarat mutlak dalam pertimbangan pemeliharaan
lingkungan. Visi Islam dalam pemeliharaan lingkungan adalah konsep
ishlah yaitu usaha memperbaiki terhadap tatanan kehidupan manusia.
Konsep dasar istishlah dalam konteks ini adalah pemanfaatan secara
berkesinambungan, mencukupi generasi hari ini sama halnya dengan yang
akan diperoleh oleh generasi yang akan datang.
Menurut hipotesis Lovelock (1979) bumi merupakan mahluk hidup
yang disebut dengan gala. Bumi dapat menjadi sakit atau tidak dapat
memulihkan seperti kondisinya yang semula apabila terjadi pengurasan
(eksploitasi) yang melebihi kemampuan lingkungan untuk pulih kembali.
Bumi dan ekosistemnya mempunyai sifat awal yaitu mampu memperbaiki
diri (homeostatic).15 Eksploitasi berlebihan adalah sumber terjadinya
bencana di atas bumi, sebagaimana disinggung oleh Allah dalam alQur’an surat Asy-Syu’ara’ayat 151-152: “Dan janganlah menuruti perintah
orang yang melewati batas, yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak
mengadakan perbaikan.”
Keempat, prinsip halal dan haram sebagai prinsip hukum ataupun
rambu-rambu yiridis yang mengikat manusia untuk tidak melaksanakan
perbuatan yang dilarang (haram) dan pada saat yang sama al-Qur’an
menganjurkan melakukan perbuatan yang boleh (halal) dalam rangka
memakmurkan bumi. Dengan demikian bingkai yuridis halal dan haram
merupakan alat pengendalian secara moral dan yuridis bagi manusia
dalam menjalankan fungsi-fungsi sebagai khalîfah fî al-ardh.
Keempat pilar di atas yaitu tauhid, khilafah, istishlâh dan halal-haram
merupakan kunci yang digambarkan menjadi akar semua pemecahan
penataan masalah ekologi secara islami. Dari kerangka dasar syari’at
tersebut merupakan fondasi (azas) umum yang akan berkembang
mempengaruhi system ketauhidan, kekhilafahan dan kemaslahatan.
Sistem ini harus berjalan bersama-sama membentuk institusi-institusi yang
akan menyatukan visi, kebijakan dan pembangunan.
Islam sangat mementingkan pengairan guna meningkatkan produksi
pertanian. Karena itu dalam Islam telah diatur bahwa seseorang yang
tanahnya dekat saluran air, berhak mengairi ladangnya, tetapi ia harus
332
Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008
Diskursus Tanah dalam al-Qur’an ... Oleh Ridwan
membiarkan air itu mengalir ke ladang-ladang lainya bila kebutuhanya
telah terpenuhi atau untuk kepentingan orang lain yang membutuhkan
air untuk kepentingan konsumtif. Apabila ada seseorang yang melarang
orang lain untuk mengambil air padahal orang tersebut telah berlebih
air, maka termasuk tindakan dosa.16
Tanah sebagai bagian dari jenis harta benda merupakan salah satu
instrumen atau sarana memperoleh kebaikan (ibadah). Berkaitan dengan
tanah sebagai instrumen ibadah antara lain disinggung dalam Hadis dari
Qatadah dari Anas Rasulullah bersabda: “Tidak ada seorang muslim yang
menanami suatu tanaman atau bercocok tanam di atasnya, kemudian dimakan
burung, manusia atau hewan kecuali baginya pahala sedekah.”17
Dalam Hadis lain riwayat sahabat Anas, Rasulallah juga bersabda:
“Tujuh perkara yang pahalanya akan selalu mengalir bagi seorang hamba setelah
ia meninggal dunia di alam kuburnya yaitu seorang yang mengajarkan ilmu,
orang menyewakan aliran sungai, membuat sumur, bercocok tanam kurma,
membangun masjid, orang yang mewariskan mushaf al-Qur’an dan orang
yang meninggalkan anak saleh yang selalu memohonkan ampun kepada orang
tuanya.”18
Kedua Hadis di atas memberikan gambaran bahwa tanah sebagai
tempat di mana tumbuh-tumbuhan atau tanaman berada, pemiliknya
mempunyai kesempatan untuk bersedekah sebagai bagian dari amal
ibadah. Kesempatan amal kebaikan itu sangat luas maknanya tidak hanya
berkaitan dengan pemanfaatan oleh manusia saja, tetapi juga ketika
binatang ikut merasakan manfaat dari tanaman itu maka pemiliknya akan
mendapat pahala sedekah. Dalam posisi demikian, jelas sekali bahwa
pemilik tanah dengan tanaman yang ada dalam lahan itu ketika
keberadaannya bermanfaat bagi mahluk hidup, maka pemiliknya akan
mendapat pahala yang tidak akan berhenti walaupun pemiliknya sudah
meninggal dunia.
Ketentuan ajaran Islam kepada manusia untuk mengelola tanah dan
isinya secara benar, pada saat yang sama juga dibarengi dengan larangan
mengeksploitasi tanah. Upaya pelestarian kekayaan bumi, Islam
mengajarkan perlunya menjaga keseimbangan hidup lingkungan sekitar
dalam bentuk larangan untuk menebang pohon secara liar/dhalim atau
bahkan menebang pohon tanpa tujuan (‘abatsan wa dhalaman).
Alam jagad raya ini diciptakan oleh Allah sebagai fasilitas Allah untuk
manusia sebagai khalifah di muka bumi untuk dimanfaatkan sebagai
Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008
333
Diskursus Tanah dalam al-Qur’an ... Oleh Ridwan
instrumen ibadah kepada-Nya sekaligus sebagai instrumen ekonomis.
Dalam konsep Ibadah kepada Allah adakalanya dalam bentuk ibadah
mahdhah (murni) yaitu ibadah dalam konteks hubungan vertical
hubungan yang bersifat pribadi antara seorang hamda (al-‘abd) dengan
al-Khâliq. Model ibadah ini akan melahirkan kesalihan yang bersifat
individual. Sedangkan bentuk ibadah lain adalah ibadah ghairu mahdhah
yaitu ibadah kepada Allah yang implemetasinya dapat dirasakan langsung
oleh masyarakat. Model ibadah diistilahkan dengan hablum minannas yang
akan melahirkan kesalihan sosial.
Penutup
Dalam bingkai teologis Islam, seluruh alam raya termasuk didalamnya
tanah dan isinnya diciptakan Allah untuk digunakan manusia dalam
melanjutkan evolusinya, hingga mencapai tujuan penciptaan. Pengertian
tanah dalam arti luas berarti segala sesuatu yang terdapat di permuakaan
bumi seperti tanah gunung, hutan, isi dalam tanah seperti bahan galian /
tambang, kekayaan laut dan dia atas permukaan bumi seperti hujan,
angin, keadaan iklim, geografi dan sebagainya. al-Qur’an menggunakan
kata tanah dengan arti dan maksud yang berbeda-beda. Seruan al-Qur’an
maupun Hadis Nabi kepada manusia sebagai penghuni bumi untuk
menjadikan tanah sebagai salah satu fasilitas untuk kemaslahatan hidup
selama di dunia.
Landasan bagi pengelolaan alam / lingkungan dalam Islam dibangkai
dalam empat kerangka dasar sebagai bingkai dalam proses pengelolaannya.
Empat prinsip dasar itu adalah prinsip tauhid ,khilafah, istishlah dan
prinsip halal-haram (legal).
Ketika manusia dalam pengelolaan sumber daya alam / lingkungan
tidak memperhatikan koridor yang sudah dibuat Allah dalam al-Qur’an,
maka ia telah melanggar prinsip tauhid, maka Allah akan membinasakan
mereka sebagai akibat dari pelanggaran-pelanggaran hukum Allah.
Pelanggaran terhadap hukum Allah berarti pelanggaran terhadap tatanan
kehidupan manusia yang berdampak pada penyengsaraan ummat. Tesis
ini didasarkan pada asumsi dasar bahwa tujuan akhir dari hukum Islam
adalah menciptakan tatanan kehidupan yang maslahah.[]
Catatan Akhir:
334
Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008
Diskursus Tanah dalam al-Qur’an ... Oleh Ridwan
*Penulis lahir di kota Bumiayu Kabupaten Brebes Jawa Tengah pada
tanggal 5 Januari 1972 dari pasangan H. Hasan Bisri dan Hj. Masyitoh.
Sekarang ini sedang menempuh studi lanjut S3 di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Aktifitas sehari-harinya di STAIN Purwokerto sebagai dosen di
Jurusan Syari’ah STAIN Purwokerto yang beralamat di Jl. A Yani No. 40
A Purwokerto Telp. 0281-635624. Adapun tempat tinggal penulis di Jl.
Riyanto, Gg. Dahlia Rt. 04 / 02 Sumampir Purwokerto Utara, Banyumas,
dengan No HP. 08156569509.
1
Dalam kaidah hukum Islam dikenal lima prinsip dasar yang
terumuskan dalam konsep al-Kulliyat al-khams yaitu: khifdz al-dîn (agama),
nafs (jiwa), aql (akal), mâl (harta) dan nasl (keturunan).
2
Lihat al-Qur’an surat Adz-Dzariyat ayat 19.
3
Larangan monopoli dalam Islam secara konseptual diqiyaskan dengan
larangan menimbun barang (al-ihtikâr) berdasarkan hadis :
‫ ا
ا ل ل رل ا‬
'() !‫" إ‬#$% ! ‫ ا و‬
Lihat, Imam Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah, Juz 2 (Bairut: Dar al-Fikr,
tt) h. 728.
4
Afzalur Rahman, Economic Doctrines of Islam, alih bahasa Soeroyo,
Nastangin (Yogyakarta: Bhakti Wakaf, 1995) h. 241.
5
Lihat al-Qur’an surat al-Maidah ayat 17.
6
Dirjen Bimas Islam Depag RI, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf
Produktif Strategis di Indonesia, (Jakarta: Depag RI, 2003), h. 12-13.
7
Muhammad Abi Sahl al-Syarakhsyi, Al-Mabsûth, Juz 15 (Bairut: Daar
al-Ma’rifah, tt), h. 55-56.
8
S. Waqar Ahmad Husaini, Islamic Environmental Sytem Engineering,
alih bahasa Anas Mahyudin ( Bandung: Pustaka, 1983) h. 295.
9
Afzalur Rahman, Economic. h. 12-13.
10
Syed Nawwab Haider Naqvi, Islam, Economics, and Society, alih
bahasa, M. Saiful Anam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003) h. 147.
11
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan,
1992) h. 295.
12
Mukhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum
Fiqh Islam (Bandung: PT al-Maarif, 1986) h. 500.
13
Yusuf Qardhawi, Daurul Qiyaam wa al-Akhlaq fi al-Iqtishadi al-Islamy,
alih bahasa Zainal Arifin (Jakarta: Gema Insani Press, 1995) h.119.
Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008
335
Diskursus Tanah dalam al-Qur’an ... Oleh Ridwan
14
Fachruddin M. Mangunjaya, Konservasi Alam dalam Islam (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2005) h. 8-9.
15
Fachruddin M. Mangunjaya, Konservasi. h. 28.
16
Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Baari (Bairut: Dar alMa’rifah, 1379 H) h. 34.
17
Muhammad ibn Isa Abu Isa At-Tirmidzi, Al-Jâmi Ash-Shâhih Sunan
Tirmidzi juz 2 (Bairut: Daar al-Ihya At-Turats, t.tp) h. 666.
18
Ali Ibn Abi Bakr Al-Haitami, Majma’ al-Zawâid juz 1 (Bairut: Dar
al-Kutub Al-Arabi, 1407 H) h. 167.
DAFTAR PUSTAKA
Afzalur Rahman, Economic Doctrines of Islam, alih bahasa Soeroyo,
Nastangin, Yogyakarta: Bhakti Wakaf, 1995.
Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bâri, Bairut: Dar al-Ma’rifah,
1379 H.
Ali Ibn Abi Bakr Al-Haitami, Majma’ al-Zawâid juz 1, Bairut: Dar alKutub Al-Arabi, 1407 H.
Dirjen Bimas Islam Depag RI, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf
Produktif Strategis di Indonesia, Jakarta: Depag RI, 2003.
Imam Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah, Juz 2, Bairut: Daar al-Fikr, tt.
Fachruddin M. Mangunjaya, Konservasi Alam dalam Islam, Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 2005.
Muhammad ibn Isa Abu Isa At-Tirmidzi, Al-Jâmi Ash-Shâhih Sunan Tirmidzi
juz 2, Bairut: Dar al-Ihya At-Turats, t.tp.
Muhammad Abi Sahl al-Syarakhsyi, Al-Mabsûth, Juz 15, Bairut: Dar alMa’rifah, tt.
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1992
Mukhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh
Islam, Bandung: PT al-Maarif, 1986.
336
Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008
Diskursus Tanah dalam al-Qur’an ... Oleh Ridwan
S. Waqar Ahmad Husaini, Islamic Environmental Sytem Engineering, alih
bahasa Anas Mahyudin, Bandung: Pustaka, 1983.
Syed Nawwab Haider Naqvi, Islam, Economics, and Society, alih bahasa,
M. Saiful Anam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Yusuf Qardhawi, Dârul Qiyâm wa al-Akhlâq fi al-Iqtishâdi al-Islâmy, alih
bahasa Zainal Arifin, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008
337
Diskursus Tanah dalam al-Qur’an ... Oleh Ridwan
338
Teologia, Volume 19, Nomor 2, Juli 2008
Download