PolMark Indonesia-Political Consulting Relasi dan Pengabaian Lima Tahunan 29 Maret 2012 - Dua tahun menjelang Pemilihan Umum 2014, partai politik giat mendekati rakyat. Hingga mendekati pelaksanaan pemilu nanti, kondisi ini seolah menegaskan siklus lima tahunan, di mana relasi antara parpol dan konstituensi mendekati ”masa-masa terbaik”. Semakin mendekati pemilu, rakyat semakin dirasa penting bagi peserta pemilu yang membutuhkan suara mereka untuk bisa berkuasa. Lewat ”serangan udara”, media massa, rakyat disodori wajah para calon pemimpinnya. Sementara ”serangan darat” pun bisa dilakukan dengan beragam cara, termasuk yang paling kentara adalah pemasangan umbul-umbul partai di setiap lokasi bencana. Benarkah ini ukuran kesiapan calon peserta pemilu? Idealnya tentu lebih dari itu. Menurut pengajar ilmu politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Ari Dwipayana, ukuran kesiapan parpol menyangkut faktor 5-M. Kelima faktor itu adalah, pertama, kader (”man”). Kedua, misi yang tecermin dari tawaran program kerja. Ketiga, sumber daya, termasuk ”money” yang siap dimobilisasi untuk pemenangan pemilu. Keempat, mesin elektoral yang bergerak karena kaderisasi, bukan semata oleh lembaga konsultan profesional kampanye. Kelima, ”mengakarkan diri” dengan membangun konstituensi dan memperluas segmen pendukung. ”Itu 5-M yang mesti disiapkan oleh partai menjelang pemilu,” kata Ari pada pertengahan Maret lalu. Kecenderungan saat ini, misi dan mesin parpol yang jalan sehingga kegiatan parpol diserahkan kepada lembaga konsultan profesional untuk mengelola kampanye. Aksi dan bantuan sosial juga masih menjadi cara instan untuk mengakarkan diri kepada masyarakat. Ari juga memprediksi, dalam dua tahun ke depan, parpol pasti akan langsung disibukkan dengan pertarungan internal dalam hal pengisian daftar calon anggota legislatif. Jika sistem seleksi internal tidak terumuskan dengan jelas dan terbuka, praktik jegal-menjegal antarkandidat dikhawatirkan menguat. Parpol yang kekurangan kader pun bisa mengundang tokoh di luar partainya dengan kompensasi dukungan massa dan sumber dana. Peneliti The Indonesian Institute, Hanta Yuda AR, berpandangan, selama ini kehadiran parpol hanya dilakukan mendekati pemilu dengan jor-joran dana kampanye. Hal seperti ini sebenarnya tak perlu terjadi jika parpol terus ”kampanye”. Hal ini terutama melalui diperlihatkannya kinerja terbaik oleh para kadernya yang duduk di parlemen ataupun di kekuasaan eksekutif. Namun, yang terjadi malahan sebaliknya. ”Relasi ’intim’ antara partai dan pemilih hanya terjadi siklus lima tahunan. Partai-partai kalau masih jauh dari pemilu lebih fokus dan prioritas pada akumulasi kapital untuk membiayai kampanye menjelang pemilu,” ujar Hanta. Menurut Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ahmad Fauzi Ray Rangkuti, tidak ada ukuran yang jelas untuk menyatakan sebuah parpol di Indonesia siap atau tak siap mengikuti pemilu. Kesiapan isu yang hendak diusung dalam kampanye, kompetisi internal yang demokratis untuk mengisi jabatan publik, dan pencarian dana yang transparan tak terlihat menonjol dilakukan parpol. Hal yang mencuat hanya soal iklan parpol dan penyebutan nama kandidat presiden yang hendak diusung parpol bersangkutan. Kondisi itu dipengaruhi antara lain budaya politik demokratik yang belum tumbuh sepenuhnya dalam parpol. Desentralisasi kewenangan parpol belum sepenuhnya berjalan. Kekuasaan dan kewenangan pengurus pusat, atau bahkan figur ketua umum, tetap dominan. ”Sistem pemilu kita boleh demokratik, tetapi sistem kepartaian kita tetap sentralistik dengan budaya figurisme yang kuat. Tentu ini bukan perkembangan menarik,” ucap Ray. Siklus lima tahunan menggambarkan secara jelas naik-turunnya relasi intim dan pengabaian. Selepas dari bilik suara, rakyat seolah menjadi prioritas entah nomor berapa. (sumber: Kompas) http://www.polmarkindonesia.com Powered by Joomla! Generated: 2 November, 2017, 16:44