I. PENDAHULUAN 1.Latar Belakang Penelitian Koksidiosis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh parasit protozoa, yang digolongkan ke dalam Filum Apicomplexa, KeIas Sporozoasida, Sub Kelas Coccidiasina, Ordo Coccidiorida, Sub Ordo Eimeriorina, Familia Eimeriidae dan Genus Eimeria (Levine, 1980 dalam Levine, 1985) . Penyakit ini menimbulkan banyak masalah dan kerugian pada peternakan ayam, berupa kematian, morbiditas, penurunan berat badan, berkurangnya pertambahan berat badan, terlambatnya masa bertelur disertai dengan berkurangnya jumlah telur yang diproduksi, penurunan efisiensi pakan, peningkatan biaya pengobatan serta upah tenaga kerja (Ashadi, 1979). Penularan t e j a d i karena ookistanya dapat terbawa bersama aliran angin, debu, air, serta pakan dan air minum, alat-alat peternakan, sehingga peternakan ayam selalu terancam bahaya koksidiosis. Pada saat ini diketahui paling sedikit 9 jenis Eimeria pada ayam yaitu Eirneria tenella, Eimeria necatrix, Eimeria maxima, Eirneria acwvulina, Eimeria mitts, Eimeria praecox, Eimeria brunetti, E i m m ' a hagani dan Eimeria mivati. merupakan jenis yang paling patogen, disusul E. fenella E. necatrix, E. brunetti dan E. maxima (Conway dan M c Kenzie, 1991). Mortalitas yang ditimbulkan oleh jenis yang paling patogen biasanya tidak tinggi (kurang lebih 20%), akan tetapi kadang-kadang mencapai 90%, sehingga secara ekonomis mendatangkan banyak kerugian, karena angka morbiditasnya yang tinggi, sehingga dibutuhkan sejumlah obat-obatan dan tenaga k e j a yang lebih banyak apabila penyakit ini menyerang suatu peternakan. Perhitungan kasar kerugian pada peternakan ayam di dunia akibat penyakit ini diperkirakan separuhnya untuk biaya pengobatan setiap tahunnya (Long, 1990). Menurut Smith I1 dan Mc Gruder (1997), biaya pengobatan penyakit koksidiosis di seluruh dunia mencapai 350 juta dolar Amerika per tahun. Sedangkan kerugian akibat koksidiosis pada ayam termasuk blaya pengobatan di seluruh dunia mencapai satu milyar dolar Amerika pertahun (Weber, 1997). Dalam upaya penanggulangan penyakit koksidiosis, pencegahan utama yang dilakukan di Indonesia adalah pemakaian anti coccidia yang diberikan melalui air minum dan pakan. Namun pemakaian obat-obatan tersebut secara terus menerus dapat mengakibatkan timbulnya galur yang resisten, sehingga pemakaiannya akan menjadi tidak efektif lagi d a n mengakibatkan keterbatasan dalam pemilihan anti coccidia (Long dan Rose, 1982; Braunius, 1996; Chapman, 1996; Edgar, 1993; Mc Dougald dan Reid, 1997; Paeffgen, Lohner dan Raether, 1995). Masalah lain yaitu adanya residu dalam daging, sehingga produk peternakan yang bersangkutan tidak layak untuk dikonsumsi oleh manusia (Ikeda dan Niinuma, 1992). Kemudian muncul berbagai alternatif penanggulangan koksidiosis antara lain modifikasi kandang dengan sistem baterai, yang efektifitasnya kurang dapat diharapkan, mengingat belum ada disinfektan yang benar-benar efektif terhadap coccidia (Long d a n Rose, 1982; Janssen Pharmaceutica, 1992; Mc Dougald dan Reid, 1997; Weber, 1997). Imunisasi tampaknya merupakan alternatif terbaik untuk pengendalian penyakit ini (Long, 1978), meskipun masing-masing jenis mempunyai kekebalan spesifik. Kekebalan terhadap satu jenis tidak berlaku bagi jenis yang lain (Danforth dan Augustine, 1985). Penggunaan vaksin diharapkan dapat mengatasi keadaan ini d a n tetap menjadi bahan pemikiran. Di Indonesia, beberapa peternakan besar sudah menggunakan vaksin aktif terhadap koksidiosis yang diimpor, tetapi hasilnya kurang memuaskan karena galur yang digunakan berbeda dengan galur lokal (Ashadi, 1980). Vaksin impor ini mengandung 8 jenis Eirneria yang hidup termasuk pula jenis yang patogen, sehingga apabila terjadi wabah, maka koksidiosis yang disebabkan oleh E. tenella dan E. necatrix akan muncul. Selain itu penggunaan vaksin hidup hanya efektif untuk pengendalian koksidiosis pada ayam pembibit d a n pete1ur ( Braunius, 1996; Conway, 1996; Danforth, 1997; Mc Dougald dan Reid, 1997; Ruff, 1997; Watkins, 1997; Williams, 1997). Pada dasarnya kebutuhan ookista untuk pembuatan vaksin melibatkan kepentingan ekonomis. Dalam ha1 ini kebutuhan akan ookista untuk diradiasi yang harus dalam jumlah besar dipandang tidak ekonomis (Long d a n Rose, 1982). Dengan demikian radio vaksin masih belum dapat dianjurkan di Iapangan. Meskipun demikian apabila dengan radiasi parasit benar-benar terlemahkan, maka metode ini boleh menjadi pertimbangan. Dalam usaha pembuatan vaksin terhadap coccidia juga telah dilakukan pembandingan antara penggunaan biakan jaringan d a n ayam, dilihat dari segi ekonomis (Ashadi dan Handajani, 1995). Sampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai stadium mana dalam siklus hidup Tampaknya E. fenella stadium yang aseksual berperan dalam merupakan menginduksi sumber antigen kekebalan. yang dapat menginduksi reaksi kekebalan yang protektif (Jeffers d a n Long, 1985; Wisher, 1986). Dengan mengetahui sumber antigen yang imunogenik , diharapkan dapat dikembangkan pembuatan bahan imunisasi terhadap coccidia, yang dapat bekerja pada beberapa stadium secara bersamaan, mengingat stadium-stadium tersebut memiliki susunan antigen yang berbeda. Seperti menurut Wisher (1986), bahwa susunan protein antigen sporozoit E. feneln terdiri dari protein dengan berat molekul 47, 26, 21 dan 18 kilodalton. Sedangkan menurut McDonald, Wisher, Rose dan Jeffers (1988), galur WIS-F-96 memiliki susunan 71, 54, 25, 24, 22 dan 20 kilodalton dan galur WIS memiliki susunan 71 dan 20 kilodalton. Murray, Bhogal, Crane dan McDonald (1986), menyatakan bahwa susunan protein antigen sporozoit galur Merck terdiri dari protein dengan berat molekul 235, 105, 94, 82, 71, 68, 45 dan 26 kilodalton. Demikian pula stadium aseksual tainnya memiliki susunan protein yang juga berbeda . Menurut Xie, Gilbert d a n McDougald (1992), merozoit E. tenella galur WIS memiliki susunan protein antigen 79, 114, 138, 251 kilodalton. Sedangkan menurut Hasbullah, Nakamura, Kawaguchi, Nakai dan Ogimoto (1991), merozoit galur NIAH memiliki susunan 95, 66, 29, 28, 25, 23 dan 14 kilodalton. Selanjutnya teknologi antibodi monoklonal mulai dipelajari kaitannya dengan penyakit koksidiosis dan kegunaannya imunisasi pasif terhadap penyakit ini pada ayam. dalam sebagai bahan Teknologi ini merupakan penggabungan dua macam sel, yaitu antara sel mieloma d a n sel limfosit B, sehingga dapat dihasilkan antibodi dalam jumlah besar yang spesifik terhadap antigen tertentu. Akan tetapi penelitian yang telah dilakukan lebih banyak menggunakan stadium sporozoit sebagai antigen, mengingat stadium ini yang melakukan penetrasi pada induk semang (Danforth d a n Augustine, 19851, sehingga perIu dipelajari pembuatan antibodi monoklonal terhadap parasit penyebab koksidiosis pada ayam yang berasal dari stadium lain selain stadium sporozoit. Merozoit dalam ha1 ini merupakan stadium yang paling bersifat patogenik, yang menyebabkan munculnya gejala klinis 3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : (1) Mempelajari kemungkinan memproduksi antibodi monoklonal terhadap koksidiosis yang disebabkan oleh E. tenella (2) Mengetahui efektifitas kerja secara in uitro d a n in uivo. dari antibodi monoklonal tersebut 4. Hipotesis Antibodi terhadap merozoit E. fenella dapat diproduksi dalam biakan sel tunggal (monoklonal) dan dapat digunakan sebagai bahan pengendalian terhadap koksidiosis sekum pada ayam secara pasif yang disebabkan oleh protozoa tersebut.