I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Wader (Rasbora lateristriata) merupakan salah satu jenis ikan air tawar lokal Indonesia. Wader merupakan kelompok yang terdiri atas beberapa jenis ikan, bahkan dapat berasal dari genus yang berbeda, antara lain dari genus Rasbora dan Puntius. Setiap jenis memiliki sifat yang berbeda, baik ukuran tubuh, kecepatan pertumbuhan, dan rasa dagingnya (Budiharjo, 2002). Ikan wader banyak dikonsumsi oleh masyarakat sebagai protein hewani. Ikan wader termasuk ikan yang digemari banyak orang karena rasanya yang gurih dan dapat dimasak dengan berbagai cara pengolahan seperti wader presto, wader krispi, dan berbagai olahan lain yang dapat dikonsumsi sebagai lauk. Permintaan pasar akan ikan wader terus meningkat namun keberadaan wader di alam saat ini semakin hari semakin sulit untuk ditemukan (Budiharjo, 2002). Kebanyakan ikan wader yang ditemukan masih berukuran kecil. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat eksploitasi yang berlebihan terhadap ikan wader di alam. Eksploitasi yang dilakukan antara lain adalah dengan menggunakan sengatan listrik dan potassium untuk menangkap wader, dengan demikian dapat merusak keberlangsungan hidup wader. Oleh sebab itu, saat ini mulai dilakukan adanya pembudidayaan ikan wader untuk melestarikan keberadaannya (Ahmad & Nofrizal, 2011). Seperti ikan pada umumnya, wader merupakan perishable food atau bahan pangan yang mudah rusak. Hal ini disebabkan karena ikan mengandung kadar air dan protein cukup tinggi yakni sebesar 18,4 gram per 100 gram daging (Anonim, 2012). Pembusukan ikan juga disebabkan oleh degradasi daging ikan karena aktivitas enzim, perubahan biokimia dan pertumbuhan mikroorganisme (Ashie et al., 1996). Segera setelah ikan mati, enzim yang terdapat pada ikan mulai aktif mendegradasi daging ikan menjadi substansi yang lebih sederhana dan mikroorganisme yang terdapat pada isi perut, insang dan kulit berkembangbiak secara cepat. Bakteri pembusuk mulai memproduksi produk yang mengandung sulfur yang menimbulkan bau yang tidak enak dan toksin racun (Hultin, 1991). 1 Tindakan penanganan yang baik untuk mempertahankan kesegaran ikan salah satunya adalah dengan penerapan rantai dingin. Penanganan ikan harus dimulai segera setelah ikan diangkat dari air tempat hidupnya, dengan perlakuan suhu rendah serta memperhatikan faktor kebersihan dan kesehatan (Panai et al., 2013). Pendinginan merupakan salah satu proses pengawetan yang menggunakan suhu rendah untuk menghambat aktivitas enzim dan mikrobia. Pendinginan akan memperpanjang masa simpan ikan (Sitakar et al., 2016). Penerapan rantai dingin dapat dilakukan dengan menggunakan es atau dengan pembekuan. Suhu yang diaplikasikan pada teknik pendinginan tersebut juga bervariasi. Beberapa penelitian telah dilakukan terkait dengan pengaruh suhu dan waktu penyimpanan terhadap mutu ikan. Dergal et al. (2013) melakukan penelitian mengenai penyimpanan Oreochromis niloticus pada penyimpanan 4° C. Oucif et al. (2012) melaksanakan penelitian mengenai Atlantic mackerel (Scomber scombrus) yang disimpan pada suhu 4° C. Karami et al. (2013) telah melakukan penelitian mengenai pengaruh penyimpanan beku terhadap kandungan asam lemak, indeks kualitas kimia, dan sifat sensoris pada filet Oreochromis niloticus. Oleh karena itu perlu diadakan untuk mengetahui pengaruh suhu penyimpanan wader pari (Rasbora lateristriata) disamping karena penelitian mengenai wader pari masih jarang dilakukan, penelitian ini juga dilakukan untuk mengetahui daya simpan wader pari terhadap suhu freezer (-20° C), chiller (4°C), dan es (10° C). 2. Tujuan 1. Mengetahui pengaruh suhu penyimpanan terhadap daya simpan wader pari. 2. Mengetahui batas akhir lama penyimpanan masing-masing perlakuan. 3. Kegunaan Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam memilih perlakuan penyimpanan yang tepat untuk wader pari (Rasbora lateristriata). 2