STIGMA FOUNDATION ISI : • Buprenorphine (Subutex) • PEmahaman Negara Menghambat Hak Korban NAPZA • Surat Edaran Mahkamah Agung No 7 Tahun 2007 (SEMA) LINGUA E D I T I O N 2 1 M A Y 2 0 0 9 Buprenorphine (Subutex) Buprenorphine, nama dagangnya adalah Subutex, digunakan untuk perawatan ketergantungan narkotik (opiate). Biasanya dijual dalam bentuk pil dan digunakan dengan sub lingual (taruh di bawah lidah). Tujuan utamanya adalah mencegah gejala putus zat dari seseorang, dengan menstimulasi reseptor didalam otak. Subutex mempunyai reaksi yang lebih besar terhadap reseptor otak daripada obatobatan yang lain seperti heroin dan methadone, menggantikan dan mengalihkan keinginan untuk menggunakan lagi Subutex sangat mengikat kuat ke reseptor, membuat dampak methadone dan heroin akan menjadi kecil atau tidak berdampak sama sekali. Obat ini umumnya digunakan untuk program perawatan narkotik dan di resepkan dengan dosis berbeda. Dampak dari Subutex tak sebanyak dari opiate yang lain, memberikan perasaan “normal” kepada seseorang. Penggunaan Subutex tidak untuk sesekali. Ini digunakan untuk metode perawatan berkelanjutan dan akan berbahaya jika pemakaian dihentikan terlalu cepat Jika digunakan dengan obat-obatan yang lain (anti depresan, alkohol, obat dokter, dll), dampaknya akan menjadi tinggi dan menyebabkan resiko pada kesehatan secara serius. Subutex akan menyebabkan over dosis dan kematian, jika disuntikkan. Jangan menggunakan obat-obatan Efek samping Subutex (buprenorphine) dapat menyebabkan ketergantungan. Jika penggunaan Subutex tiba-tiba dihentikan, seseorang dapat mengalami gejala putus zat dan/atau adanya keinginan kambuh lagi dan menggunakan obatobatan adiktif kembali. Subutex diatur dengan dosis harian 12mg sampai 16mg per hari Ketergantungan Subutex Klasifikasi Subutex sangat sedikit dari jenis opiate lain. Dan juga sangat mahal, sehingga mudah untuk didapat di black market. Faktor ini memicu angka kecanduan terhadap Subutex semakin meningkat. Dunia internasional sudah mulai merasakan akibat dari Subutex, yang berkaitan di dalam International Herald Tribune : yang lain tanpa persetujuan petugas kesehatan saat menggunakan Subutex “Pengkonsumsian buprenorphine meningkat tiga kali lipat dari tahun 2000 ke 2004, sesuai Badan Kontrol Narkotik Internasional-UN, peningkatan 1.7 milliar DDD (defined daily dose), penegasan dosis harian dari data statistic pengkonsumsian obat WHO “Di beberapa Negara seperti Finlandia, pelaporan 2005 badan Finlandia mengatakan “penggunaan gelap buprenorphine sebagai pengganti opiate menjadi hal terpenting, sebagian pasar gelap, hampir menggantikan heroin.” Faktanya buprenorphine harganya lebih murah dari heroin dan dapat diakses mudah di pengembangan pasar illegal yang ada di beberapa Negara. Contohnya, pembuatan buprenorphine di India, diselundupkan ke Nepal dan Sri Lanka juga Bangladesh, 90 persen dari Negara itu penggunaannya disuntikkan sesuai laporan tahun lalu dari UN Drug and Crime, laporan tahun 2004 dari U.S. National Drug Intelligence Center daftar “menguntungkan” pasar gelap untuk Subutex di Inggris, Jerman dan New Zealand . Dengan kondisi seperti ini, diinisiasilah masuknya Suboxone. Suboxone berlainan dengan Subutex, ditambah bahan yang bernama naloxone. Umumnya sebagai pengobatan dasar. Dan efeknya sama seperti Subutex. Pemahaman Negara Menghambat Hak Korban NAPZA Terkait pemahaman di negaranegara berkembang, seperti Indonesia yang melihat masalah NAPZA sebagai masalah keamanan ketimbang masalah kesehatan. Penegakan hukum menjadi prioritas ketimbang pemulihan kesehatan terkait pengguna Narkotika yang notabenenya adalah korban. Kebijakan Narkotika yang sekarang berpandangan bahwa kebijakan publik lebih banyak terarah pada keamanan publik ketimbang kesehatan publik, ini perlu di geser sedikit-sedikit guna melindungi korban-korban Narkotika di Indonesia. Kebijakan ini perlu dipertimbangkan kembali sehingga permasalahan Narkotika tidak hanya dianggap sebagai permasalahan penegakan hukum saja tetapi permasalahan kesehatan juga menjadi penting untuk di implementasikan sesuai amanat Undang-Undang No 22 thaun 1997 tentang Narkotika. Pemahaman Negara terkait kebijakan yang di hasilkan; Undang-Undang nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang terdiri dari 15 BAB, 104 Pasal diantaranya terdapat 23 Pasal pemidanaan, dari 23 Pasal pemidanaan terkait Narkotika hanya tiga pasal saja yang sering di pergunakan, yaitu: Pasal 78, Pasal 80 dan Pasal 82. Mengapa hanya tiga pasal ini saja yang sering di pergunakan? gan korban, akan tetapi pasal-pasal tersebut tidak bisa di implementasikan pada kasus-kasus yang terjadi di lapangan. Bisa dibilang juga maraknya "pasal karet" terkait perlindungan hak korban, ini sama saja tidak ada upaya Negara nyata dalam perlindungan hak pengguna Narkotika Terkait maraknya penggunaan Narkotika illegal di masyarakat merupakan suatu tanda adanya suatu sistem baru yang terbentuk secara tidak disadari oleh masyarakat sehingga penggunaan narkotika illegal dengan mudah dan nyaman didapatkan. Hal ini disebabkan adanya sistem baru tersebut di luar dari hukum yang berlaku. Artinya penegakkan hukum tidak seimbang dengan perlindungan korban Narkotika. Dimana perlindungan korban tidak menjadi prioritas karena di dalam ketiga pasal tersebut tidak ada upaya perlindungan korban Narkotika. Walaupun dalam UU Narkotika menyebutkan dalam pasal nya tentang perlindun- Terlepas tentang penggunaan narkotika legal maupun illegal, ketika seseorang menjadi korban Narkotika — maka Negara wajib menyediakan akses layanan pemulihan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan korban. Surat Edaran Mahkamah Agung No 7 Tahun 2009 (SEMA) UU Narkotika dan Psikotropika No 22 tahun 1997 menempatkan pengguna NAPZA sebagai pelaku tindak pidana kriminal dan memberikan solusi pemenjaraan untuk pengguna NAPZA sebagai jalan keluar atau biasa dikamuflasekan dengan efek jera. STIGMA Foundation Jl. H. Nawi I No 1 A Gandaria Selatan Jakarta 12420 Phone: 021-765 1501 E-mail: [email protected] Blog: www.stigma-foundation.blogspot.com Fungsi lembaga pemasyarakatan yang diharapkan adalah membina narapidana yang sedang menjalani hukuman agar dapat kembali kepada masyarakat dan melakukan hubungan sosial dengan masyarakat lainnya tanpa stigma dan diskriminasi Coba telaah kembali apakah pemenjaraan adalah solusi bagi pengguna NAPZA ?! PRO EMPOWERMENT !! Faktanya ….. Telah dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba Kedalam Panti Terapi atau Rehabilitasi 1. Memperhatikan bahwa sebagian besar Narapidana dan tahanan kasus narkoba adalah masuk kategori pemakai atau bahkan sebagai korban yang jika dilihat dari aspek kesehatan mereka sesungguhnya orang-orang yang menderita sakit, oleh karena itu memenjarakan yang bersangkutan bukanlah langkah yang tepat karena telah mengabaikan kepentingan perawatan dan pengobatan; 2. Kondisi Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) saat ini tidak mendukung, karena dampak negative keterpengaruhan oleh perilaku criminal lainnya dapat memperburuk kondisi kejiwaan, kesehatan yang diderita para narapidana narkotika dan psikotropika akan semakin berat. Oleh karena itu diharapkan para Hakim sedapat mungkin menerapkan pemidanaan sebagaimana yang dimaksud ketentuan UndangUndang No 5 Tahun 1997 tentang Narkotika, yang dikutip sebagai berikut : a). Pasal 41 Undang-UIndang No 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika : Pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang psikotropika dapat diperintahkan oleh hakim yang memutus perkara tersebut untuk menjalanai pengobata dan/ atau perawatan b). Pasal 47 Undang-Undang no 22 Tahun 1997 tentang Narkotika : (1). Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat : a. Memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika; atau b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan apabila pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan bersalah melakukan tindak pidana narkotika (2). Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkotika sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a, diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman (3). Penerapan pemidanaan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 41 UndangUndang No 5 Tahun 1997 dan Pasal 47 Un- dang-Undang No 22 tahun 1997 hanya dapat dijatuhkan pada klasifikasi tindak pidana swbagai berikut : 1. Terdakwa saat ditangkap oleh penyidik dalam kondisi tertangkap tangan; 2. Pada saat tertangkap tangan sesuai butir 1 diatas, ditemukan barang bukti satu kali pakai. Contoh : • • • • Heroin/putaw : maksimal 0,15 gram • • Ekstacy : maksimal 1 butir/tablet Kokain : maksimal 0,15 gram Morphin : maksimal 0,15 gram Ganja : maksimal 1 linting rokok dan/ atau 0,005 gram Shabu : maksimal 0,25 gram • Dan lain-lain termasuk dalam narkotika Golongan I s/d III dan psikotropika Golongan I s/d IV 3. Surat keterangan uji laboratoris positif menggunakan narkoba berdasarkan permintaan Penyidik; 4. Bukan residivis kasus narkoba; 5. Perlu surat keterangan dari Dokter Jiwa/ Psikiater (Pemerintah) yang ditunjuk oleh Hakim; 6. Tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan merangkap menjadi pengedar/ produsen gelap narkoba (4). Dalam hal Hakim menjatuhkan pemidanaan berupa perintah untuk dilakukan hukum berupa rehabilitasi atas diri Terdakwa, Majelis harus menunjukkan secara tegas dan jelas tempat rehabilitasi yang terdekat, dalam amar putusannya tempattempat rehabilitasi yang dimaksud adalah : a. Unit pelaksana Teknis D & R BNN Lido Bogor; b. Rumah Sakit Ketergantungan Obat, Cibubur Jakarta dan di seluruh Indonesia (Depkes RI); c. Panti Rehabilitasi UPTD; d. Rumah sakit Jiwa di seluruh Indonesia; atau e. Tempat-tempat rujukan panti rehabilitasi yang diselenggarakan oleh masyarakat yang mendapatkan akreditasi dari departemen Kesehatan atau Departemen Sosial (dengan biaya sendiri); (5). Untuk menjatuhkan lamanya proses rehabilitasi, Hakim harus dengan sungguhsungguh mempertimbangkan kondisi/taraf kecanduan Terdakwa sehingga wajib diperlukan adanya keterangan ahli dan sebagai standar dalam proses terapi dan rehabilitasi sebagai berikut : a. Detoksifikasi lamanya 1 (satu) bulan b. Primary Program lamanya 6 (enam) bulan c. Re-entry Program lamanya 6 (enam) bulan