BAB I PENDAHULUAN

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Ukuran perusahaan adalah rata–rata total penjualan bersih untuk tahun yang
bersangkutan sampai beberapa tahun. Dalam hal ini penjualan lebih besar dari
pada biaya variabel dan biaya tetap, maka akan diperoleh jumlah pendapatan
sebelum pajak. Sebaliknya jika penjualan lebih kecil dari pada biaya variabel dan
biaya tetap maka perusahaan akan menderita kerugian (Brigham dan Houston
2001). Ukuran perusahaan merupakan inventory controlability yang seharusnya
dalam skala ekonomis besarnya perusahaan menunjukkan pencapaian operasi
lancar dan pengendalian persediaan (Mukhlasin, 2002). Sedangkan menurut Ferry
dan Jones (dalam Sujianto, 2001), ukuran perusahaan menggambarkan besar
kecilnya suatu perusahaan yang ditunjukkan oleh total aktiva, jumlah penjualan,
rata–rata total penjualan dan rata–rata total aktiva. Jadi, ukuran perusahaan
merupakan ukuran atau besarnya asset yang dimiliki oleh perusahaan.
Keadaan yang dikehendaki oleh perusahaan adalah perolehan laba bersih
sesudah pajak karena bersifat menambah modal sendiri. Laba operasi ini dapat
diperoleh jika jumlah penjualan lebih besar dari pada jumlah biaya variabel dan
biaya tetap. Agar laba bersih yang diperoleh memiliki jumlah yang dikehendaki
maka pihak manajemen akan melakukan perencanaan penjualan secara seksama,
serta dilakukan pengendalian yang tepat, guna mencapai jumlah penjualan yang
dikehendaki. Manfaat pengendalian manajemen adalah untuk menjamin bahwa
organisasi telah melaksanakan strategi usahanya dengan efektif dan efisien.
Perusahaan
yang berada
pada pertumbuhan
penjualan
yang tinggi
membutuhkan dukungan sumber daya organisasi (modal) yang semakin besar,
demikian juga sebaliknya, pada perusahaan yang tingkat pertumbuhan
penjualannya rendah kebutuhan terhadap sumber daya organisasi (modal) juga
semakin kecil. Jadi konsep tingkat pertumbuhan penjualan tersebut memiliki
hubungan yang positif, tetapi implikasi tersebut dapat memberikan efek yang
berbeda terhadap struktur modal yaitu dalam penentuan jenis modal yang akan
digunakan.
Apabila perusahaan dihadapkan pada kebutuhan dana yang semakin
meningkat akibat pertumbuhan penjualan, dan dana dari sumber intern sudah
digunakan semua, maka tidak ada pilihan lain bagi perusahaan untuk
menggunakan dana yang berasal dari luar perusahaan, baik hutang maupun
dengan mengeluarkan saham baru.
Menurut Riyanto (1995), suatu perusahaan yang besar yang sahamnya
tersebar sangat luas, setiap perluasan modal saham hanya akan mempunyai
pengaruh yang kecil terhadap kemungkinan hilangnya atau tergesernya
pengendalian dari pihak yang dominan terhadap perusahaan bersangkutan.
Sebaliknya, perusahaan yang kecil, dimana sahamnya tersebar hanya di
lingkungan kecil, penambahan jumlah saham akan mempunyai pengaruh yang
besar terhadap kemungkinan hilangnya kontrol pihak dominan terhadap
perusahaan yang bersangkutan.
Dengan demikian, maka perusahaan yang besar akan lebih berani
mengeluarkan saham baru dalam memenuhi kebutuhan untuk membiayai
pertumbuhan penjualan dibandingkan dengan perusahaan yang kecil.
Perusahaan dengan ukuran yang lebih besar memiliki akses yang lebih besar
untuk mendapat sumber pendanaan dari berbagai sumber, sehingga untuk
memperoleh pinjaman dari krediturpun akan lebih mudah karena perusahaan
dengan ukuran besar memiliki probabilitas lebih besar untuk memenangkan
persaingan atau bertahan dalam industri. Pada sisi lain, perusahaan dengan skala
kecil lebih fleksibel dalam menghadapi ketidakpastian, karena perusahaan kecil
lebih cepat bereaksi terhadap perubahan yang mendadak. Oleh karena itu,
memungkinkan perusahaan besar tingkat leveragenya akan lebih besar dari
perusahaan yang berukuran kecil.
Dari uraian yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa besar kecilnya
(ukuran) perusahaan akan berpengaruh terhadap struktur modal dengan
didasarkan pada kenyataan bahwa semakin besar suatu perusahaan mempunyai
tingkat pertumbuhan penjualan yang tinggi sehingga perusahaan tersebut akan
lebih berani mengeluarkan saham baru dan kecenderungan untuk menggunakan
jumlah pinjaman juga semakin besar pula. Dari penelitian yang dilakukan oleh
para ahli yang menyatakan bahwa ukuran perusahaan mempunyai pengaruh yang
positif, yang berarti kenaikan ukuran perusahaan akan diikuti dengan kenaikkan
struktur modal adalah penelitian yang dilakukan Sekar, Saidi, Harjudi,
Augustinus, dan Janny.
Francis (1986), Grubber dan Elton (1995) serta Fama dan French (1995)
dalam Panjaitan, dkk (2004) berpendapat bahwa perusahaan yang mempunyai
nilai skala kecil cenderung kurang menguntungkan dibandingkan dengan
perusahaan yang berskala besar. Perusahaan kecil hanya memiliki faktor-faktor
pendukung untuk memproduksi barang dengan jumlah terbatas. Oleh karena itu,
perusahaan yang berskala kecil mempunyai risiko yang lebih besar dari pada
perusahaan besar. Perusahaan yang mempunyai risiko yang besar biasanya
menawarkan return yang besar untuk menarik investor.
Miswanto dan Husnan (1999) dalam penelitiannya mengenai pengaruh ukuran
perusahaan pada risiko bisnis menemukan bahwa besar kecilnya perusahaan
mempengaruhi risiko bisnis. Dari penelitiannya diperoleh bukti empiris bahwa
perusahaan kecil memiliki risiko dan return yang lebih tinggi dibanding
perusahaan besar.
Menurut agency theory, adanya pemisahan antara kepemilikan dan
pengelolaan perusahaan dapat menimbulkan konflik. Terjadinya konflik yang
disebut agency conflict disebabkan pihak-pihak yang terkait yaitu prinsipal (pihak
yang menerima kontrak atau pemegang saham) dan agen (pihak yang menerima
kontrak dan mengelola dana prinsipal) mempunyai kepentingan yang saling
bertentangan. Jika agen dan prinsipal berupaya memaksimalkan utilitasnya
masing-masing, serta memiliki keinginan dan motivasi yang berbeda, maka ada
alasan untuk percaya bahwa agen (manajemen) tidak selalu bertindak sesuai
keinginan prinsipal (Jensen dan Meckling, 1976). Pemikiran bahwa pihak
manajemen dapat melakukan tindakan yang hanya memberikan keuntungan bagi
dirinya sendiri didasarkan pada suatu asumsi yang menyatakan setiap orang
mempunyai perilaku yang mementingkan diri sendiri. Keinginan, motivasi dan
utilitas yang tidak sama antara manajemen dan pemegang saham menimbulkan
kemungkinan manajemen bertindak merugikan pemegang saham, antara lain
berperilaku tidak etis dan cenderung melakukan kecurangan akuntansi.
Konflik keagenan dapat mengakibatkan adanya sifat manajemen melaporkan
laba secara oportunis untuk memaksimumkan kepentingan pribadinya. Jika hal ini
terjadi akan mengakibatkan rendahnya kualitas laba. Subramanyam (1996) dalam
Siregar dan Utama (2005) menyatakan bahwa salah satu ukuran kinerja
perusahaan yang sering digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan adalah
laba yang dihasilkan perusahaan. Laba yang diukur atas dasar akrual dianggap
sebagai ukuran yang lebih baik atas kinerja perusahan dibandingkan arus kas
operasi karena akrual mengurangi masalah waktu dan mismatching yang terdapat
dalam penggunaan arus kas dalam jangka pendek (Dechow, 1994).
Dalam prosesnya dasar akrual memungkinkan adanya perilaku manajer dalam
melakukan rekayasa laba atau earnings management guna menaikkan atau
menurunkan angka akrual dalam laporan laba rugi. Standar Akuntansi Keuangan
(SAK) memberikan kelonggaran (fleksibility principles) dalam memilih metode
akuntansi yang digunakan dalam penyusunan laporan keuangan. Kelonggaran
dalam metode ini dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan nilai laba yang
berbeda-beda di setiap perusahaan.
Dalam pandangan teori keagenan dimana terdapat pemisahan antara pihak
agen dan prinsipal yang mengakibatkan munculnya potensi konflik dapat
mempengaruhi kualitas laba yang dilaporkan. Pihak manajemen yang mempunyai
kepentingan tertentu akan cenderung menyusun laporan laba yang sesuai dengan
tujuannya dan bukan demi untuk kepentingan prinsipal.
Pada tahun 2001 tercatat skandal keuangan di perusahaan publik yang
melibatkan manipulasi laporan keuangan oleh PT Lippo Tbk dan PT Kimia
Farma Tbk (Boediono, 2005). Hal tersebut membuktikan bahwa praktik
manipulasi laporan keuangan tetap dilakukan oleh pihak korporat meskipun sudah
menjauhi periode krisis tahun 1997-1998. Salah satu penyebab kondisi ini adalah
kurangnya penerapan corporate governance. Bukti menunjukkan lemahnya
praktik corporate governance di Indonesia mengarah pada defisiensi pembuatan
keputusan dalam perusahaan dan tindakan perusahaan (Alijoyo et al., 2004).
Dalam kondisi seperti ini diperlukan suatu mekanisme pengendalian yang
dapat mensejajarkan perbedaan kepentingan antara kedua belah pihak.
Mekanisme corporate governance memiliki kemampuan dalam kaitannya
menghasilkan suatu laporan keuangan yang memiliki kandungan informasi laba
(Boediono, 2005).
Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI, 2001) merumuskan
tujuan dari corporate governance adalah untuk menciptakan nilai tambah bagi
semua pihak yang berkepentingan (stakeholders). Corporate governance yang
mengandung
empat
unsur
penting
yaitu
keadilan,
transparasi,
pertanggungjawaban dan akuntabilitas diharapkan dapat menjadi suatu jalan
dalam mengurangi konflik keagenan. Dengan adanya tata kelola perusahaan yang
baik, diharapkan nilai perusahaan akan dinilai dengan baik oleh investor.
Ada empat mekanisme corporate governance yang sering dipakai dalam
berbagai penelitian mengenai corporate governance yang bertujuan untuk
mengurangi konflik keagenan, yaitu komite audit, komisaris independen,
kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial.
Komite audit mempunyai peran yang sangat penting dan strategis dalam hal
memelihara kreditabilitas proses penyusunan laporan keuangan. Karena jika
komite audit berjalan dengan efektif maka control terhadap perusahaan akan lebih
baik sehingga konflik keagenan yang terjadi akibat keinginan manajemen untuk
meningkatkan kesejahteraannya sendiri dapat diminimalisasi.
Komisaris independen diharapkan mampu meningkatkan peran dewan
komisaris sehingga tercipta good corporate governance di dalam perusahaan.
Struktur kepemilikan (kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional) oleh
beberapa peneliti dipercaya mampu mempengaruhi jalannya perusahaan yang
pada akhirnya berpengaruh pada kinerja perusahaan dalam mencapai tujuan
perusahaan yaitu maksimalisasi nilai perusahaan. Hal ini disebabkan oleh karena
adanya kontrol yang mereka miliki (Wahyudi dan Pawestri, 2006).
Bagi perusahaan yang menerbitkan saham di pasar modal harga saham yang
ditransaksikan di bursa merupakan indikator nilai perusahaan. Laba yang tidak
menunjukkan informasi yang sebenarnya tentang kinerja manajemen dapat
menyesatkan pihak pengguna laporan. Jika laba seperti ini digunakan oleh
investor untuk membentuk nilai pasar perusahaan, maka laba tidak dapat
menjelaskan nilai pasar perusahaan yang sebenarnya. Bagi investor, laporan laba
dianggap mempunyai informasi untuk menganalisis saham yang diterbitkan oleh
emiten (Boediono, 2005).
Apakah yang dimaksud dengan kualitas laba (earnings quality)?. Yee (2006)
mengungkapkan bahwa untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu dipahami
bahwa laporan laba memiliki dua peranan. Pertama, sebagai atribut dasar
(fundamental attributes), dan kedua sebagai atribut pelaporan keuangan (financial
reporting attributes). Laba fundamental (fundamental earnings) adalah ukuran
profitabilitas akuntansi yang mengukur kemampuan perusahaan untuk membayar
dividen di masa depan. Pada sisi lain, laba yang dilaporkan (reported earnings)
merupakan pertanda kurang baik yang harus diumumkan oleh perusahaan.
Kualitas laba menunjuk pada seberapa cepat dan tepat laba yang dilaporkan
mengungkapkan laba fundamental. Semakin tinggi kualitas laba, maka semakin
cepat dan tepat laba yang dilaporkan menyampaikan nilai sekarang dari dividen
yang diharapkan. Kualitas laba menjadi perhatian para pengguna laporan
keuangan Karena laba berperan penting dalam pembuatan perjanjian dan
keputusan investasi.
Dari uraian di atas maka saya selaku penulis tertarik untuk mengambil judul
“Pengaruh Mekanisme Corporate Governance Terhadap Kualitas Laba Pada
Perusahaan Yang Terdaftar Dalam Indeks LQ45 Tahun 2008-2010”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, maka yang
menjadi permasalah dalam penulisan ini adalah :
1. Apakah komite audit sebagai mekanisme corporate governance berpengaruh
terhadap kualitas laba?
2. Apakah proporsi dewan komisaris independen sebagai mekanisme corporate
governance berpengaruh terhadap kualitas laba?
3. Apakah kepemilikan institusional sebagai mekanisme corporate governance
berpengaruh terhadap kualitas laba?
4. Apakah kepemilikan manajerial sebagai mekanisme corporate governance
berpengaruh terhadap kualitas laba?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berikut ini akan dijelaskan secara rinci mengenai tujuan dan manfaat
penelitian:
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini, yakni :
a. Untuk menganalisa dan menginvestigasi secara parsial pengaruh
mekanisme corporate governance terhadap kualitas laba
b. Untuk menganalisa dan menginvestigasi secara simultan pengaruh
mekanisme corporate governance terhadap kualitas laba
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan hasil penelitian ini yaitu :
a. Perusahaan
Informasi yang disajikan diharapkan dapat memberikan manfaat dalam
mengembangkan ilmu dalam kegiatan teoritis dan memberikan
masukan kepada para pemakai laporan keuangan dan praktisi
penyelenggara perusahaan sehingga dapat meningkatkan nilai dan
pertumbuhan perusahaan.
b. Investor
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan masukan untuk
pengambilan keputusan mengenai investasi pada perusahaan.
c. Masyarakat
Adapun manfaat yang bisa diambil untuk masyarakat diharapkan
menjadi
referensi
penelitian
selanjutnya
dan
menambah
perbendaharaan kepustakaan untuk dijadikan sumbangan pemikiran
bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya akuntansi serta dapat
dijadikan bahan penelitian lebih lanjut.
Download