BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Definisi Hipertensi Definisi hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup istirahat atau tenang (Kemenkes RI, 2014). Seseorang dikatakan hipertensi apabila tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan diastolik ≥90 mmHg (Mansjoer et al., 2001). Hipertensi didefinisikan oleh JNC 7 sebagai tekanan yang lebih tinggi dari 140/90 mmHg (Chobanian et al., 2003). Tekanan darah sistolik adalah tekanan darah pada waktu jantung menguncup (sistol), adapun tekanan darah diastolik adalah tekanan darah pada saat jantung mengendor kembali (diastol) (Chin & Badri, 2012). Ada beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan hipertensi diantaranya yaitu riwayat keluarga, individu dengan riwayat keluarga hipertensi mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi daripada orang yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi. Obesitas juga merupakan salah satu faktor risiko, hal ini disebabkan karena lemak dapat menimbulkan sumbatan pada pembuluh darah sehingga dapat meningkatkan tekanan darah, stres atau situasi yang menimbulkan distres dan menciptakan tuntutan fisik dan psikis pada seseorang (Hall et al., 2001). 6 7 Diagnosis hipertensi tidak boleh ditegakkan berdasarkan sekali pengukuran, kecuali bila tekanan darah diastolik (TDD) > 120 mmHg dan/atau tekanan darah sistolik (TDS) > 210 mmHg. Diagnosis hipertensi ditegakkan bila dari pengukuran berulang-ulang tersebut diperoleh nilai ratarata TDD > 90 mmHg dan/atau TDS > 140 mmHg (Setiawati dan Bustami, 1995). Hipertensi sering disebut sebagai silent killer karena pasien dengan hipertensi esensial biasanya tidak ada gejala (asimptomatik). Penemuan fisik yang utama adalah meningkatnya tekanan darah. Pengukuran rata-rata dua kali ditentukan untuk mendiagnosis hipertensi. Tekanan darah ini digunakan untuk mendiagnosis dan mengklasifikasikan sesuai dengan tingkatannya (Depkes RI, 2006). Banyak orang yang tidak menyadari bahwa dirinya mengalami hipertensi, disebabkan karena pada gejala hipertensi tidak terlalu terlihat nyata dan pada stadium awal belum meninggalkan gangguan yang serius pada kesehatan (Gunawan, 2001). Tekanan darah adalah tekanan yang dihasilkan oleh darah terhadap pembuluh darah. Tekanan darah dipengaruhi volume darah dan elastisitas pembuluh darah. Peningkatan tekanan darah disebabkan peningkatan volume darah atau elastisitas pembuluh darah. Sebaliknya, penurunan volume darah akan menurunkan tekanan darah (Ronny dkk., 2010). Klasifikasi hipertensi dapat dilihat pada tabel I. 8 Tabel I . Klasifikasi Hipertensi untuk Dewasa Umur ≥ 18 tahun berdasarkan JNC 7 (Chobanian et al., 2003) Kategori Normal Prehipertensi Hipertensi Derajat I Derajat II Sistolik (mmHg) <120 120-139 dan atau Diastolik (mmHg) <80 80-89 140-159 ≥160 atau atau 90-99 ≥100 2. Klasifikasi Hipertensi 1) Berdasarkan penyebab dikenal dua jenis hipertensi, yaitu : a. Hipertensi primer (esensial) Hipertensi primer merupakan hipertensi yang penyebabnya tidak diketahui. Lebih dari 95% kasus hipertensi masuk dalam kelompok ini. Hipertensi esensial dapat disebabkan oleh multifaktor (faktor genetik dan lingkungan). Faktor genetik dapat mempengaruhi hiperaktivitas susunan saraf simpatis, sistem reninangiotensin, ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca intraseluler. Faktor lingkungan dapat berupa obesitas, alkohol dan merokok (Mansjoer dkk., 2001). b. Hipertensi sekunder Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang diketahui penyebabnya dan ini menyangkut ±10% dari kasus-kasus hipertensi. Hipertensi ini sebagai akibat dari suatu penyakit dan kondisi kebiasaan (life style). Pada sekitar 5-10% penderita hipertensi penyebabnya adalah penyakit ginjal, pada sekitar 1-2% penyebabnya adalah kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu (misalnya pil KB) (Sheps, 2005). 9 2) Berdasarkan bentuk hipertensi dikenal 3 jenis hipertensi yaitu : a. Hipertensi diastolik (diastolic hypertension) Hipertensi diastolik yaitu peningkatan tekanan diastolik tanpa diikuti peningkatan tekanan sistolik. Biasanya ditemukan pada anakanak dan dewasa muda. b. Hipertensi sistolik (isolated systolic hypertension) Hipertensi sistolik yaitu peningkatan tekanan sistolik tanpa diikuti peningkatan tekanan diastolik. Umumnya ditemukan pada usia lanjut. c. Hipertensi campuran (sistol dan diastol yang meninggi) Hipertensi campuran yaitu peningkatan tekanan darah pada sistol dan diastol (Gunawan, 2001). 3. Mekanisme Hipertensi Sembilan puluh persen sampai 95% hipertensi bersifat idiopatik (hipertensi esensial). Beberapa faktor diduga berperan dalam defek primer pada hipertensi esensial, dan mencakup, baik pengaruh genetik maupun lingkungan. Penurunan ekskresi natrium pada tekanan arteri normal mungkin merupakan peristiwa awal dalam hipertensi esensial. Penurunan ekskresi natrium kemudian dapat menyebabkan meningkatnya volume cairan, curah jantung, dan vasokonstriksi perifer sehingga tekanan darah meningkat (Kumar et al, 2007). Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). ACE memegang peranan fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah 10 mengandung angiotensinogen yang diproduksi hati, yang oleh hormon renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I (dekapeptida yang tidak aktif). Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II (oktapeptida yang sangat aktif). Angiotensin II berpotensi besar meningkatkan tekanan darah karena bersifat sebagai vasoconstrictor melalui dua jalur, yaitu: 1) Meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis) sehingga urin menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkan, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian instraseluler. Akibatnya volume darah meningkat sehingga meningkatkan tekanan darah. 2) Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang berperan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah (Gray, 2005). 11 4. Faktor Risiko Hipertensi 1) Faktor yang tidak dapat dikontrol (irreversible) a. Faktor usia Faktor usia sangat berpengaruh terhadap hipertensi karena dengan bertambahnya umur maka semakin tinggi mendapat risiko hipertensi. Insiden hipertensi makin meningkat dengan meningkatnya usia. Ini sering disebabkan oleh perubahan alamiah di dalam tubuh yang mempengaruhi jantung, pembuluh darah dan hormon, karena pengerasan pembuluh darah yang semakin lama semakin mengeras seiring bertambahnya usia seseorang. Pada laki-laki meningkat pada usia lebih dari 45 tahun sedangkan pada wanita meningkat pada usia lebih dari 55 tahun. b. Jenis kelamin Jenis kelamin juga sangat erat kaitannya terhadap terjadinya hipertensi di mana pada masa muda dan paruh baya lebih tinggi penyakit hipertensi pada laki-laki dan pada wanita lebih tinggi setelah umur 55 tahun, ketika seorang wanita mengalami menopause. Secara umum tekanan darah pada laki – laki lebih tinggi daripada perempuan. Pada perempuan risiko hipertensi akan meningkat setelah masa menopause yang mununjukkan adanya pengaruh hormon (Julius, 2008). Sebelum menopause wanita dilindungi oleh hormon esterogen yang berperan dalam meningkatkan HDL, dimana HDL berperan 12 penting dalam pencegahan proses aterosklerosis (Price dan Wilson, 2006). c. Keturunan (genetik) Riwayat keluarga juga merupakan masalah yang memicu masalah terjadinya hipertensi, hipertensi cenderung merupakan penyakit keturunan. Jika seorang dari orang tua kita memiliki riwayat hipertensi, maka sepanjang hidup kita memiliki kemungkinan 25% terkena hipertensi (Gunawan, 2001). 2) Faktor yang dapat dikontrol (reversible) a. Pola asupan garam Badan kesehatan dunia World Health Organization (WHO) merekomendasikan pola konsumsi garam yang dapat mengurangi risiko terjadinya hipertensi. Kadar sodium yang direkomendasikan adalah tidak lebih dari 100 mmol (sekitar 2,4 gram sodium atau 6 gram garam) per hari. Pada populasi dengan asupan natrium lebih dari 6 gram per hari, tekanan darahnya meningkat lebih cepat dengan meningkatnya umur serta kejadian hipertensi lebih sering ditemukan. Asupan garam kurang dari 3 gram tiap hari menyebabkan hipertensi yang rendah. Jika asupan garam antara 5-15 gram per hari, prevalensi hipertensi meningkat menjadi 15-20%. Pengaruh asupan garam terhadap timbulnya hipertensi terjadi melalui peningkatan volume plasma, curah jantung dan tekanan darah. Garam mempunyai sifat menahan air. Mengkonsumsi garam lebih atau makan-makanan yang 13 diasinkan dengan sendirinya akan menaikkan tekanan darah. Hindari pemakaian garam yang berlebih atau makanan yang diasinkan. Hal ini tidak berarti menghentikan pemakaian garam sama sekali dalam makanan. Sebaliknya jumlah garam yang dikonsumsi batasi (Wijayakusuma, 2000). b. Merokok Merokok merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan hipertensi, sebab rokok mengandung nikotin. Menghisap rokok menyebabkan nikotin terserap oleh pembuluh darah kecil dalam paruparu dan kemudian akan diedarkan hingga ke otak. Di otak, nikotin akan memberikan sinyal pada kelenjar adrenal untuk melepas epinefrin atau adrenalin yang akan menyempitkan pembuluh darah dan memaksa jantung untuk bekerja lebih berat karena tekanan darah yang lebih tinggi. Karbon monoksida dalam asap rokok akan menggantikan ikatan oksigen dalam darah. Hal tersebut mengakibatkan tekanan darah meningkat karena jantung dipaksa memompa untuk memasukkan oksigen yang cukup ke dalam organ dan jaringan tubuh lainnya (Astawan, 2002). c. Kurangnya aktivitas fisik Pada orang yang tidak aktif melakukan kegiatan fisik cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi. Hal tersebut mengakibatkan otot jantung bekerja lebih keras pada setiap kontraksi. Makin keras usaha otot jantung dalam memompa darah, makin besar 14 pula tekanan yang dibebankan pada dinding arteri sehingga meningkatkan tahanan perifer yang menyebabkan kenaikkan tekanan darah. Kurangnya aktivitas fisik juga dapat meningkatkan risiko kelebihan berat badan yang akan menyebabkan risiko hipertensi meningkat (Amir, 2002). d. Dislipidemia Dislipidemia merupakan kelainan kadar lemak dalam darah, misalnya kenaikan kadar kolesterol. Kandungan darah yang berlebih dalam darah dapat menyebabkan timbunan kolesterol pada dinding pembuluh darah. Hal ini dapat membuat pembuluh darah menyempit dan akibatnya tekanan darah meningkat (Waspadji, 2004). e. Konsumsi alkohol Konsumsi alkohol menjadi salah satu faktor penyebab hipertensi karena alkohol dapat mempengaruhi kenaikan tekanan darah yang disebabkan adanya peningkatan kortisol dan meningkatkan volume sel darah merah (Waspadji, 2004). f. Obesitas Obesitas memiliki kolerasi positif dengan hipertensi. Semakin besar massa tubuh, semakin banyak darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dan makanan ke jaringan tubuh. Ini berarti volume darah yang beredar melalui pembuluh darah menjadi meningkat sehingga memberi tekanan lebih besar pada dinding arteri (Amir, 2002). 15 g. Stres Stres juga merupakan masalah yang memicu terjadinya hipertensi dimana hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis peningkatan saraf dapat menaikan tekanan darah secara intermiten (tidak menentu). Stres yang berkepanjangan dapat mengakibatkan tekanan darah menetap tinggi, walaupun hal ini belum terbukti akan tetapi angka kejadian di masyarakat perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di pedesaan. Hal ini dapat dihubungkan dengan pengaruh stres yang dialami kelompok masyarakat yang tinggal di kota (Dunitz, 2001). Stres tidak menyebabkan hipertensi yang menetap tetapi stres berat dapat menyebabkan kenaikan tekanan darah yang bersifat sementara yang sangat tinggi. Jika periode stres sering terjadi maka akan mengalami kerusakan pada pembuluh darah, jantung dan ginjal sama halnya seperti yang menetap (Amir, 2002). 5. Terapi Hipertensi Tujuan dalam pengobatan hipertensi adalah untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas. Morbiditas dan mortalitas berhubungan dengan kerusakan organ target seperti pada kejadian kardiovaskuler, gagal jantung dan gagal ginjal (Depkes RI, 2006). Tujuan penanganan hipertensi adalah menurunkan kesakitan dan kematian dari hipertensi. Pengobatan hipertensi pada dasarnya dilakukan secara bertahap. Bila harus segera diberikan obat antihipertensi, maka pilihan obat pertama yang 16 diberikan umumnya memilih salah satu obat antihipertensi dari lima obat yang ada (diuretik, Β-blocker, ACE inhibitor, Antagonis Reseptor angiotensin II, Calcium Channel bloker, serta kombinasi obat antihipertensi dalam dosis kecil). Pemilihan obat antihipertensi awal berdasarkan pada ada tidaknya indikasi dan kontraindikasi. Strategi pengobatan hipertensi harus dimulai dengan perubahan gaya hidup berupa diet rendah garam, mengurangi konsumsi alkohol, berhenti merokok, olahraga teratur dan penurunan berat badan bagi pasien dengan berat badan lebih (Gunawan et al., 2008). 1) Terapi farmakologi Untuk sebagian besar pasien hipertensi, terapi dimulai secara bertahap dan target tekanan darah tercapai secara progresif dalam beberapa minggu. Dianjurkan untuk menggunakan obat antihipertensi dengan masa kerja panjang atau yang memberikan efikasi 24 jam dengan pemberian sekali sehari. Pilihan memulai terapi dengan satu jenis obat antihipertensi atau dengan kombinasi tergantung pada tekanan darah awal dan ada tidaknya komplikasi. Jika terapi dimulai dengan satu jenis obat dan dalam dosis rendah kemudian tekanan darah belum mencapai target, maka langkah selanjutnya adalah meningkatkan dosis obat tersebut atau berpindah ke antihipertensif lain dengan dosis rendah. Efek samping umumnya bisa dihindari dengan menggunakan dosis rendah, baik tunggal maupun kombinasi. Sebagian besar pasien memerlukan kombinasi obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah, tetapi terapi kombinasi 17 dapat meningkatkan biaya pengobatan dan menurunkan kepatuhan pasien karena jumlah obat yang harus diminum bertambah (Yogiantoro, 2006). Terdapat 5 golongan obat yang bekerja sebagai obat penurun tekanan darah yaitu Angiotensin Converting Enzym Inhibitor (ACEI), Angiotensin Receptor Blocker (ARB), Beta Blocker (BB), Calcium Channel Blockers atau Calcium antagonist (CCB) dan diuretik tipe thiazide (Chobanian et al., 2003). a. Diuretik Diuretik bekerja dengan meningkatkan ekskresi natrium, air dan klorida sehingga menurunkan volume darah dan cairan ekstra seluler. Akibatnya terjadi penurunan curah jantung dan tekanan darah. Selain mekanisme tersebut, beberapa diuretik juga menurunkan resistensi perifer sehingga menambah efek hipotensinya (Tanu, 2007). Obatobatan jenis diuretik bekerja dengan mengeluarkan cairan tubuh (Iewat kencing), sehingga volume cairan tubuh berkurang mengakibatkan daya pompa jantung menjadi lebih ringan dan berefek turunnya tekanan darah. Digunakan sebagai obat pilihan pertama pada hipertensi tanpa adanya penyakit lainnya. Diuretik terdiri dari golongan thiazide, diuretik kuat, dan diuretik hemat kalium. a) Thiazide Thiazide merupakan agen diuretik yang paling efektif untuk menurunkan tekanan darah. Obat diuretik jenis thiazide harus digunakan sebagai pengobatan awal pada semua pasien dengan hipertensi, baik 18 penggunaan secara tunggal maupun secara kombinasi dengan satu kelas antihipertensi lainnya (ACEI, ARB, BB, CCB). Diuretik golongan thiazide ini bekerja pada hulu tubuli distal dengan cara menghambat reabsorpsi natrium klorida. Efeknya lebih lemah dan lambat tetapi tertahan lebih lama (6-48 jam) dan terutama digunakan dalam terapi pemeliharaan hipertensi dan kelemahan jantung. Contoh dari golongan thiazide adalah hidroklorothiazide (HCT) dan indapamid. b) Diuretik kuat Diuretik kuat bekerja di ansa henle asenden bagian epitel tebal dengan cara menghambat kotransport NA+, K+, Cl- dan menghambat resorpsi air dan elektrolit. Contoh obat dari diuretik kuat adalah furosemid dan torasemid. c) Diuretik hemat kalium Diuretik hemat kalium merupakan diuretik yang lemah jika digunakan tunggal, biasanya dalam penggunaanya dilakukan kombinasi dengan obat hipertensi lain seperti ACE inhibitor, beta bloker, ARB. Contoh obat dari diuretik hemat kalium ini adalah spironolakton dan amilorid (Tanu, 2007). b. β- blocker Mekanisme kerja obat antihipertensi ini adalah melalui penurunan daya pompa jantung. Jenis obat ini tidak dianjurkan pada penderita yang telah diketahui mengidap gangguan pernafasan seperti asma 19 bronkhial. Beta bloker bekerja dengan menghambat adrenoreseptor beta di jantung, pembuluh darah perifer, bronkus, pankreas dan hati (BPOM RI, 2015). Bekerja pada jantung untuk meringankan stres sehingga jantung memerlukan lebih sedikit darah dan oksigen sehingga menurunkan tekanan darah. Contoh obat yang termasuk beta bloker adalah kardioselektif (atenolol, bisoprolol), nonselektif (propanolol, timolol) (Depkes RI, 2006). c. Calcium Channel Blocker atau Calcium antagonist (CCB) Calcium Channel Blocker (CCB) bekerja menurunkan tekanan darah dengan memperlambat pergerakan kalsium ke dalam sel jantung dan dinding arteri (pembuluh darah yang membawa darah dari jantung ke jaringan), sehingga arteri menjadi relax dan menurunkan tekanan dan aliran darah ke jantung. Obat yang termasuk dalam golongan CCB ini adalah amlodipin, nifedipin, verapamil, diltiazem (Depkes RI, 2006). Ada dua subkelas CCB, dihidropiridine dan nondihidropiridine. Keduanya sangat berbeda satu sama lain. Efektifitas antihipertensinya hampir sama, tetapi ada perbedaan pada efekfarmakodinamik yang lain. Efek samping dari dihidropiridin adalah pusing, flushing, sakit kepala, edema perifer, mood changes dan gangguan gastrointestinal. Efek samping pusing, sakit kepala dan edema perifer lebih jarang terjadi pada nondihidropiridin verapamil dan diltiazem karena vasodilatasinya tidak sekuat dihidropiridin (Depkes RI, 2006). 20 d. Angiotensin Converting Enzym Inhibitor (ACEI) ACE inhibitor menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron. Selain itu degradasi bradikinin juga dihambat sehingga kadar bradikinin dalam darah meningkat dan berperan dalam efek vasodilatasi ACE-Inhibitor. Vasodilatasi secara langsung akan menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosteron akan menyebabkan ekskresi air, natrium dan retensi kalium. ACE inhibitor juga memblok degradasi bradikinin dan merangsang sintesa zat yang menyebabkan vasodilatasi. Peningkatan bradikinin meningkatkan efek penurunan tekanan darah dan berperan terhadap efek samping terjadinya batuk kering yang sering terjadi pada penggunaan ACE inhibitor. Contoh obat yang termasuk dalam golongan ini adalah captopril, lisinopril dan enalapril (Nafrialdi, 2007). e. Angiotensin II Receptor Blocker (ARB) Dengan mencegah efek angiotensin II, senyawa-senyawa ini merelaksasi otot polos sehingga mendorong vasodilatasi, meningkatkan ekskresi garam dan air di ginjal, menurunkan volume plasma dan mengurangi hipertrofi sel. Antagonis reseptor angiotensin II secara teoritis juga mengatasi beberapa kelemahan ACE inhibitor (Oates & Brown, 2007). Tidak seperti pada ACE inhibitor, obat ini tidak menghambat degradasi bradikinin, sehingga efek samping batuk menahun tidak terjadi. Contoh dari obat ini adalah losartan dan 21 valsartan. Pemberian Angiotensin Reseptor Blocker menurunkan tekanan darah tanpa mempengaruhi frekuensi denyut jantung. Pemberian jangka panjang tidak mempengaruhi lipid dan glukosa darah (Priyanto, 2009). f. Penghambat Adrenoseptor Alpa (Alpha Bloker) Alpha bloker bekerja dengan menghambat reseptor alfa pasca sinaptik dan menimbulkan vasodilatasi, namun jarang menyebabkan takikardi. Obat ini menurunkan tekanan darah dengan cepat setelah dosis pertama, sehingga harus hati-hati pada pemberian pertama. Contoh dari obat ini adalah daksazosin dan indoramin (BPOM RI, 2015). g. Vasodilator Vasodilator menurunkan tekanan darah dengan bekerja pada ginjal untuk mengeluarkan kelebihan garam dari darah. Hal ini menaikkan aliran urin dan keinginan untuk urinasi, sehingga menurunkan jumlah air dalam tubuh dan membantu menurunkan tekanan darah. Contoh obat yang termasuk vasodilator adalah hidralazin (Depkes RI, 2006). h. Agonis α 2 Central Klonidin, guanabenz, guafacine dan metildopa menurunkan tekanan darah terutama dengan merangsang reseptor α2 adrenergic di otak. Perangsangan ini menurunkan aliran simpatetik, Penurunan aktivitas simpatetik, bersamaan dengan meningkatnya aktivitas parasimpatetik, dapat menurunkan denyut jantung (Saseen dan Maclaughlin, 2008). 22 Dosis terapi obat-obat antihipertensi menurut JNC 7 Tahun 2003 dapat dilihat pada tabel II. Tabel II. Dosis Terapi Obat-Obat Antihipertensi (Chobanian et al., 2003) Golongan Diuretik thiazide Nama Obat chlorothiazide chlorthalidone hydrochlorothiazide polythiazide indapamide metolazone Diuretik kuat Diuretik hemat kalium Antagonis aldosteron β blocker BBs with intrinsic sympathomimetic activity Combined alphaand BBs ACEIs bumetanide furosemide torsemide amiloride triamterene eplerenone spironolactone atenolol betaxolol bisoprolol metoprolol metoprolol extended release nadolol propranolol propranolol long acting timolol acebutolol penbutolol pindolol carvedilol labetalol benazepril captopril enalapril fosinopril lisinopril moexipril perindopril quinapril ramipril trandolapril Dosis (mg/hari) 125-500 12.5-25 12.5-50 2-4 1.25-2.5 0.5-1.0 2.5-5 0.5-2 20-80 2.5-10 5-10 50-100 50-100 25-50 25-100 5-20 2.5-10 50-100 Frekuensi 1-2 1 1 1 1 1 1 2 2 1 1-2 1-2 1 1 1 1 1 1 50-100 40-120 40-160 1 1 1 60-180 20-40 200-800 10-40 10-40 12.5-50 200-800 10-40 25-100 5-40 10-40 10-40 7.5-30 4-8 10-80 2.5-20 1-4 1 1 2 1 2 2 2 1 2 1-2 1 1 1 1 1 1 1 23 Tabel II. Lanjutan….. Angiotensin II antagonists CCBs non Dihydropyridines CCBs Dihydropyridines candesartan eprosartan irbesartan losartan olmesartan telmisartan valsartan diltiazem extended release verapamil immediate release verapamil long acting amlodipine felodipine isradipine nicardipine sustained release nifedipine longacting nisoldipine 8-32 400-800 150-300 25-100 20-40 20-80 80-320 180-420 120-540 1 1-2 1 1-2 1 1 1-2 1 1 80-320 2 120-480 2.5-10 2.5-20 2.5-10 1-2 1 1 2 60-120 2 30-60 10-40 1 1 2) Terapi non farmakologi Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa pengobatan non farmakologi merupakan intervensi wajib yang harus dilakukan pada setiap pengobatan hipertensi (Sneltzer & Bare, 2002). Terapi non farmakologi dengan menghindarkan faktor risiko seperti merokok, minum alkohol, hyperlipidemia dan stres. Olahraga yang teratur dibuktikan dapat menurunkan tekanan perifer, sehingga dapat menurunkan tekanan darah. Dengan olahraga akan timbul perasaan santai dan dapat menurunkan berat badan, sehingga dapat menurunkan tekanan darah (Soeparman, 1990). Diet yang kaya buah-buahan, sayuran dan rendah lemak serta rendah lemak jenuh atau diet DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension) dapat 24 menurunkan tekanan darah. Algoritma penanganan hipertensi menurut JNC 7 Tahun 2003 dapat dilihat pada gambar 1. Modifikasi gaya hidup Tak mencapai sasaran TD <140/90 mmHg atau <130/80 mmHg pada penderita DM atau penyakit ginjal kronik Pilihan obat untuk terapi permulaan Tanpa penyakit penyerta Dengan penyakit penyerta Hipertensi derajat 1 Hipertensi derajat 2 (TDS 140-159 mmHg atau TDD 90-99 mmHg). Umumnya diberikan diuretik golongan thiazide. Bisa menggunakan kombinasi ACEI, ARB, BB, CCB (TDS ≥ 160 mmHg atau TDD ≥ 100 mmHg) Umumnya diberikan kombinasi 2 macam obat (biasanya diuretik gol. thiazide dan penghambat ACEI, atau ARB atau BB, atau CCB Obat antihipertensi lain (ACEI, ARB, diuretic, BB, CCB) jika dibutuhkan Target tekanan darah tidak tercapai Peningkatan dosis atau menambah obat sampai target tekanan darah tercapai. Konsultasi dengan spesialis hipertensi Gambar 1. Algoritma penanganan hipertensi menurut JNC 7 Tahun 2003 25 6. Terapi Kombinasi Penggunaan terapi kombinasi obat secara rasional bertujuan untuk mempertahankan tekanan darah menggunakan dua antihipertensi yang memiliki tempat aksi dan golongan yang berbeda. Penggunaan dosis rendah dari dua obat yang berbeda dapat juga mengurangi efek klinis dan metabolik yang terjadi pada dosis maksimal dari tablet kombinasi. Keuntungan potensial ini yang mendasari beberapa peneliti untuk menggunakan terapi antihipertensi kombinasi sebagai terapi awal, terutama pada pasien dengan risiko kerusakan organ yang tinggi atau pada tingkat hipertensi yang lebih parah (Skolnik et al., 2000). Terapi kombinasi seharusnya melibatkan antihipertensi dari kelas yang berbeda karena kombinasi antara antihipertensi dengan mekanisme yang sama kurang efektif (Kalra et al., 2010). Kombinasi obat yang efektif menurut JNC 7 adalah ACEI dengan CCB, ACEI dengan diuretik jenis thiazide, ARB dengan diuretik jenis thiazide, beta blocker dengan diuretik jenis thiazide. Ada 6 alasan pengobatan kombinasi pada hipertensi dianjurkan: 1) Mempunyai efek aditif. 2) Mempunyai efek sinergisme. 3) Mempunyai sifat saling mengisi. 4) Penurunan efek samping masing-masing obat. 5) Mempunyai cara kerja yang saling mengisi pada organ target tertentu. 6) Adanya “fixed dose combination” akan meningkatkan kepatuhan pasien (adherence)(Depkes, 2006). 26 Fixed-dose combination yang paling efektif adalah sebagai berikut: 1. Penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI) dengan diuretik 2. Penyekat reseptor angiotensin II (ARB) dengan diuretik 3. Penyekat beta dengan diuretik 4. Diuretik dengan agen penahan kalium 5. Penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI) dengan antagonis kalsium 6. Agonis α-2 dengan diuretik 7. Penyekat α-1 dengan diuretik (Depkes RI, 2006). B. Kerangka Pemikiran Hipertensi merupakan salah satu penyakit paling mematikan di dunia. Sebanyak 1 miliar orang di dunia atau 1 dari 4 orang dewasa menderita penyakit ini. WHO memperkirakan pada tahun 2025 mendatang, diproyeksikan sekitar 29% warga dunia terkena hipertensi. Tanda awal gejala hipertensi sering tidak diketahui. Penggunaan obat yang rasional sangat penting untuk meningkatkan keberhasilan terapi. Rasionalitas pada penelitian ini diukur dari tepat obat, tepat indikasi dan tepat dosis. Pasien prolanis di Puskesmas Karangpandan tergolong cukup banyak yang menderita penyakit hipertensi karena berdasarkan studi pendahuluan yang diperoleh, hipertensi merupakan salah satu penyakit terbanyak di Puskesmas Karangpandan Pola penggunaan dan evaluasi obat berdasarkan tepat dosis, tepat obat dan tepat indikasi perlu diteliti agar pelaksanaan terapi dapat semakin berjalan optimal, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pola dan rasionalitas penggunaan obat antihipertensi pada pasien prolanis di Puskesmas Karangpandan Kabupaten Karanganyar. Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian 27 C. Keterangan Empirik Penelitian yang dilakukan (Woro dan Abdul, 2012) berjudul penggunaan obat pada pasien hipertensi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang menyebutkan bahwa jenis kelamin merupakan salah satu faktor risiko. Hasil pengelompokkan berdasarkan jenis kelamin diketahui bahwa perempuan lebih banyak menderita hipertensi dibandingkan laki-laki dengan ditemukannya 64 pasien wanita dan 36 pasien laki-laki. Berdasarkan evaluasi ketepatan dosis, ketepatan obat dan ketepatan indikasi, dinyatakan kriteria ketepatan dosis sebesar 95%, ketepatan obat 81% dan ketepatan indikasi 98%. Menurut penelitian Heri (2014) menunjukkan bahwa pola penggunaan obat di RSUP Djamil tahun 2011 paling banyak menggunakan HCT sebagai terapi hipertensi dengan persentase sebesar 35,5%. Kombinasi obat lebih banyak digunakan daripada monoterapi dengan jumlah pasien yang diberikan kombinasi obat sebanyak 252 pasien (66,3%) dan monoterapi sebanyak 128 pasien (33,7%).