BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Definisi Hipertensi

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Definisi Hipertensi
Definisi hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan
darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90
mmHg pada dua kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam
keadaan cukup istirahat atau tenang (Kemenkes RI, 2014). Seseorang
dikatakan hipertensi apabila tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan diastolik
≥90 mmHg (Mansjoer et al., 2001). Hipertensi didefinisikan oleh JNC 7
sebagai tekanan yang lebih tinggi dari 140/90 mmHg (Chobanian et al., 2003).
Tekanan darah sistolik adalah tekanan darah pada waktu jantung menguncup
(sistol), adapun tekanan darah diastolik adalah tekanan darah pada saat jantung
mengendor kembali (diastol) (Chin & Badri, 2012).
Ada beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan hipertensi
diantaranya yaitu riwayat keluarga, individu dengan riwayat keluarga
hipertensi mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi
daripada orang yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi.
Obesitas juga merupakan salah satu faktor risiko, hal ini disebabkan karena
lemak dapat menimbulkan sumbatan pada pembuluh darah sehingga dapat
meningkatkan tekanan darah, stres atau situasi yang menimbulkan distres dan
menciptakan tuntutan fisik dan psikis pada seseorang (Hall et al., 2001).
6
7
Diagnosis
hipertensi
tidak
boleh
ditegakkan
berdasarkan
sekali
pengukuran, kecuali bila tekanan darah diastolik (TDD) > 120 mmHg
dan/atau tekanan darah sistolik (TDS) > 210 mmHg. Diagnosis hipertensi
ditegakkan bila dari pengukuran berulang-ulang tersebut diperoleh nilai ratarata TDD > 90 mmHg dan/atau TDS > 140 mmHg (Setiawati dan Bustami,
1995).
Hipertensi sering disebut sebagai silent killer karena pasien dengan
hipertensi esensial biasanya tidak ada gejala (asimptomatik). Penemuan fisik
yang utama adalah meningkatnya tekanan darah. Pengukuran rata-rata dua kali
ditentukan untuk mendiagnosis hipertensi. Tekanan darah ini digunakan untuk
mendiagnosis dan mengklasifikasikan sesuai dengan tingkatannya (Depkes RI,
2006). Banyak orang yang tidak menyadari bahwa dirinya mengalami
hipertensi, disebabkan karena pada gejala hipertensi tidak terlalu terlihat nyata
dan pada stadium awal belum meninggalkan gangguan yang serius pada
kesehatan (Gunawan, 2001).
Tekanan darah adalah tekanan yang dihasilkan oleh darah terhadap
pembuluh darah. Tekanan darah dipengaruhi volume darah dan elastisitas
pembuluh darah. Peningkatan tekanan darah disebabkan peningkatan volume
darah atau elastisitas pembuluh darah. Sebaliknya, penurunan volume darah
akan menurunkan tekanan darah (Ronny dkk., 2010). Klasifikasi hipertensi
dapat dilihat pada tabel I.
8
Tabel I . Klasifikasi Hipertensi untuk Dewasa Umur ≥ 18 tahun berdasarkan JNC 7
(Chobanian et al., 2003)
Kategori
Normal
Prehipertensi
Hipertensi
Derajat I
Derajat II
Sistolik (mmHg)
<120
120-139
dan
atau
Diastolik (mmHg)
<80
80-89
140-159
≥160
atau
atau
90-99
≥100
2. Klasifikasi Hipertensi
1) Berdasarkan penyebab dikenal dua jenis hipertensi, yaitu :
a. Hipertensi primer (esensial)
Hipertensi primer merupakan hipertensi yang penyebabnya tidak
diketahui. Lebih dari 95% kasus hipertensi masuk dalam kelompok ini.
Hipertensi esensial dapat disebabkan oleh multifaktor (faktor genetik
dan lingkungan). Faktor genetik dapat mempengaruhi hiperaktivitas
susunan saraf simpatis, sistem reninangiotensin, ekskresi Na,
peningkatan Na dan Ca intraseluler. Faktor lingkungan dapat berupa
obesitas, alkohol dan merokok (Mansjoer dkk., 2001).
b. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang diketahui penyebabnya
dan ini menyangkut ±10% dari kasus-kasus hipertensi. Hipertensi ini
sebagai akibat dari suatu penyakit dan kondisi kebiasaan (life style).
Pada sekitar 5-10% penderita hipertensi penyebabnya adalah penyakit
ginjal, pada sekitar 1-2% penyebabnya adalah kelainan hormonal atau
pemakaian obat tertentu (misalnya pil KB) (Sheps, 2005).
9
2) Berdasarkan bentuk hipertensi dikenal 3 jenis hipertensi yaitu :
a. Hipertensi diastolik (diastolic hypertension)
Hipertensi diastolik yaitu peningkatan tekanan diastolik tanpa
diikuti peningkatan tekanan sistolik. Biasanya ditemukan pada anakanak dan dewasa muda.
b. Hipertensi sistolik (isolated systolic hypertension)
Hipertensi sistolik yaitu peningkatan tekanan sistolik tanpa diikuti
peningkatan tekanan diastolik. Umumnya ditemukan pada usia lanjut.
c. Hipertensi campuran (sistol dan diastol yang meninggi)
Hipertensi campuran yaitu peningkatan tekanan darah pada sistol
dan diastol (Gunawan, 2001).
3.
Mekanisme Hipertensi
Sembilan puluh persen sampai 95% hipertensi bersifat idiopatik
(hipertensi esensial). Beberapa faktor diduga berperan dalam defek primer
pada hipertensi esensial, dan mencakup, baik pengaruh genetik maupun
lingkungan. Penurunan ekskresi natrium pada tekanan arteri normal mungkin
merupakan peristiwa awal dalam hipertensi esensial. Penurunan ekskresi
natrium kemudian dapat menyebabkan meningkatnya volume cairan, curah
jantung, dan vasokonstriksi perifer sehingga tekanan darah meningkat (Kumar
et al, 2007).
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin
II dari angiotensin I oleh angiotensin I-converting enzyme (ACE). ACE
memegang peranan fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah
10
mengandung angiotensinogen yang diproduksi hati, yang oleh hormon renin
(diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I (dekapeptida yang
tidak aktif). Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah
menjadi angiotensin II (oktapeptida yang sangat aktif). Angiotensin II
berpotensi besar meningkatkan tekanan darah karena bersifat sebagai
vasoconstrictor melalui dua jalur, yaitu:
1) Meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH
diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal
untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya
ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis)
sehingga urin menjadi
pekat
dan tinggi
osmolalitasnya. Untuk
mengencerkan, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara
menarik cairan dari bagian instraseluler. Akibatnya volume darah
meningkat sehingga meningkatkan tekanan darah.
2) Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron
merupakan hormon steroid yang berperan penting pada ginjal. Untuk
mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi
ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal.
Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara
meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan
meningkatkan volume dan tekanan darah (Gray, 2005).
11
4. Faktor Risiko Hipertensi
1) Faktor yang tidak dapat dikontrol (irreversible)
a. Faktor usia
Faktor usia sangat berpengaruh terhadap hipertensi karena dengan
bertambahnya umur maka semakin tinggi mendapat risiko hipertensi.
Insiden hipertensi makin meningkat dengan meningkatnya usia. Ini
sering disebabkan oleh perubahan alamiah di dalam tubuh yang
mempengaruhi jantung, pembuluh darah dan hormon, karena
pengerasan pembuluh darah yang semakin lama semakin mengeras
seiring bertambahnya usia seseorang. Pada laki-laki meningkat pada
usia lebih dari 45 tahun sedangkan pada wanita meningkat pada usia
lebih dari 55 tahun.
b. Jenis kelamin
Jenis kelamin juga sangat erat kaitannya terhadap terjadinya
hipertensi di mana pada masa muda dan paruh baya lebih tinggi
penyakit hipertensi pada laki-laki dan pada wanita lebih tinggi setelah
umur 55 tahun, ketika seorang wanita mengalami menopause. Secara
umum tekanan darah pada laki – laki lebih tinggi daripada perempuan.
Pada perempuan risiko hipertensi akan meningkat setelah masa
menopause yang mununjukkan adanya pengaruh hormon (Julius,
2008). Sebelum menopause wanita dilindungi oleh hormon esterogen
yang berperan dalam meningkatkan HDL, dimana HDL berperan
12
penting dalam pencegahan proses aterosklerosis (Price dan Wilson,
2006).
c. Keturunan (genetik)
Riwayat keluarga juga merupakan masalah yang memicu masalah
terjadinya hipertensi, hipertensi cenderung merupakan penyakit
keturunan. Jika seorang dari orang tua kita memiliki riwayat hipertensi,
maka sepanjang hidup kita memiliki kemungkinan 25% terkena
hipertensi (Gunawan, 2001).
2) Faktor yang dapat dikontrol (reversible)
a. Pola asupan garam
Badan kesehatan dunia World Health Organization (WHO)
merekomendasikan pola konsumsi garam yang dapat mengurangi
risiko terjadinya hipertensi. Kadar sodium yang direkomendasikan
adalah tidak lebih dari 100 mmol (sekitar 2,4 gram sodium atau 6 gram
garam) per hari. Pada populasi dengan asupan natrium lebih dari 6
gram per hari, tekanan darahnya meningkat lebih cepat dengan
meningkatnya umur serta kejadian hipertensi lebih sering ditemukan.
Asupan garam kurang dari 3 gram tiap hari menyebabkan hipertensi
yang rendah. Jika asupan garam antara 5-15 gram per hari, prevalensi
hipertensi meningkat menjadi 15-20%. Pengaruh asupan garam
terhadap timbulnya hipertensi terjadi melalui peningkatan volume
plasma, curah jantung dan tekanan darah. Garam mempunyai sifat
menahan air. Mengkonsumsi garam lebih atau makan-makanan yang
13
diasinkan dengan sendirinya akan menaikkan tekanan darah. Hindari
pemakaian garam yang berlebih atau makanan yang diasinkan. Hal ini
tidak berarti menghentikan pemakaian garam sama sekali dalam
makanan.
Sebaliknya
jumlah
garam
yang
dikonsumsi
batasi
(Wijayakusuma, 2000).
b. Merokok
Merokok merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan
hipertensi, sebab rokok mengandung nikotin. Menghisap rokok
menyebabkan nikotin terserap oleh pembuluh darah kecil dalam paruparu dan kemudian akan diedarkan hingga ke otak. Di otak, nikotin
akan memberikan sinyal pada kelenjar adrenal untuk melepas epinefrin
atau adrenalin yang akan menyempitkan pembuluh darah dan
memaksa jantung untuk bekerja lebih berat karena tekanan darah yang
lebih tinggi. Karbon monoksida dalam asap rokok akan menggantikan
ikatan oksigen dalam darah. Hal tersebut mengakibatkan tekanan darah
meningkat karena jantung dipaksa memompa untuk memasukkan
oksigen yang cukup ke dalam organ dan jaringan tubuh lainnya
(Astawan, 2002).
c. Kurangnya aktivitas fisik
Pada orang yang tidak aktif melakukan kegiatan fisik cenderung
mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi. Hal tersebut
mengakibatkan otot jantung bekerja lebih keras pada setiap kontraksi.
Makin keras usaha otot jantung dalam memompa darah, makin besar
14
pula tekanan yang dibebankan pada dinding arteri sehingga
meningkatkan tahanan perifer yang menyebabkan kenaikkan tekanan
darah. Kurangnya aktivitas fisik juga dapat meningkatkan risiko
kelebihan berat badan yang akan menyebabkan risiko hipertensi
meningkat (Amir, 2002).
d. Dislipidemia
Dislipidemia merupakan kelainan kadar lemak dalam darah,
misalnya kenaikan kadar kolesterol. Kandungan darah yang berlebih
dalam darah dapat menyebabkan timbunan kolesterol pada dinding
pembuluh darah. Hal ini dapat membuat pembuluh darah menyempit
dan akibatnya tekanan darah meningkat (Waspadji, 2004).
e. Konsumsi alkohol
Konsumsi alkohol menjadi salah satu faktor penyebab hipertensi
karena alkohol dapat mempengaruhi kenaikan tekanan darah yang
disebabkan adanya peningkatan kortisol dan meningkatkan volume sel
darah merah (Waspadji, 2004).
f. Obesitas
Obesitas memiliki kolerasi positif dengan hipertensi. Semakin
besar massa tubuh, semakin banyak darah yang dibutuhkan untuk
memasok oksigen dan makanan ke jaringan tubuh. Ini berarti volume
darah yang beredar melalui pembuluh darah menjadi meningkat
sehingga memberi tekanan lebih besar pada dinding arteri (Amir,
2002).
15
g. Stres
Stres juga merupakan masalah yang memicu terjadinya hipertensi
dimana hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui
aktivitas saraf simpatis peningkatan saraf dapat menaikan tekanan
darah secara intermiten (tidak menentu). Stres yang berkepanjangan
dapat mengakibatkan tekanan darah menetap tinggi, walaupun hal ini
belum terbukti akan tetapi angka kejadian di masyarakat perkotaan
lebih tinggi dibandingkan dengan di pedesaan. Hal ini dapat
dihubungkan dengan pengaruh stres
yang dialami kelompok
masyarakat yang tinggal di kota (Dunitz, 2001). Stres tidak
menyebabkan hipertensi yang menetap tetapi stres berat dapat
menyebabkan kenaikan tekanan darah yang bersifat sementara yang
sangat tinggi. Jika periode stres sering terjadi maka akan mengalami
kerusakan pada pembuluh darah, jantung dan ginjal sama halnya
seperti yang menetap (Amir, 2002).
5. Terapi Hipertensi
Tujuan dalam pengobatan hipertensi adalah untuk mengurangi morbiditas
dan mortalitas. Morbiditas dan mortalitas berhubungan dengan kerusakan
organ target seperti pada kejadian kardiovaskuler, gagal jantung dan gagal
ginjal (Depkes RI, 2006). Tujuan penanganan hipertensi adalah menurunkan
kesakitan dan kematian dari hipertensi.
Pengobatan hipertensi pada dasarnya dilakukan secara bertahap. Bila harus
segera diberikan obat antihipertensi, maka pilihan obat pertama yang
16
diberikan umumnya memilih salah satu obat antihipertensi dari lima obat yang
ada (diuretik, Β-blocker, ACE inhibitor, Antagonis Reseptor angiotensin II,
Calcium Channel bloker, serta kombinasi obat antihipertensi dalam dosis
kecil). Pemilihan obat antihipertensi awal berdasarkan pada ada tidaknya
indikasi dan kontraindikasi. Strategi pengobatan hipertensi harus dimulai
dengan perubahan gaya hidup berupa diet rendah garam, mengurangi
konsumsi alkohol, berhenti merokok, olahraga teratur dan penurunan berat
badan bagi pasien dengan berat badan lebih (Gunawan et al., 2008).
1) Terapi farmakologi
Untuk sebagian besar pasien hipertensi, terapi dimulai secara bertahap
dan target tekanan darah tercapai secara progresif dalam beberapa minggu.
Dianjurkan untuk menggunakan obat antihipertensi dengan masa kerja
panjang atau yang memberikan efikasi 24 jam dengan pemberian sekali
sehari. Pilihan memulai terapi dengan satu jenis obat antihipertensi atau
dengan kombinasi tergantung pada tekanan darah awal dan ada tidaknya
komplikasi. Jika terapi dimulai dengan satu jenis obat dan dalam dosis
rendah kemudian tekanan darah belum mencapai target, maka langkah
selanjutnya adalah meningkatkan dosis obat tersebut atau berpindah ke
antihipertensif lain dengan dosis rendah. Efek samping umumnya bisa
dihindari dengan menggunakan dosis rendah, baik tunggal maupun
kombinasi.
Sebagian
besar
pasien
memerlukan
kombinasi
obat
antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah, tetapi terapi kombinasi
17
dapat meningkatkan biaya pengobatan dan menurunkan kepatuhan pasien
karena jumlah obat yang harus diminum bertambah (Yogiantoro, 2006).
Terdapat 5 golongan obat yang bekerja sebagai obat penurun tekanan
darah yaitu Angiotensin Converting Enzym Inhibitor (ACEI), Angiotensin
Receptor Blocker (ARB), Beta Blocker (BB), Calcium Channel Blockers
atau Calcium antagonist (CCB) dan diuretik tipe thiazide (Chobanian et
al., 2003).
a. Diuretik
Diuretik bekerja dengan meningkatkan ekskresi natrium, air dan
klorida sehingga menurunkan volume darah dan cairan ekstra seluler.
Akibatnya terjadi penurunan curah jantung dan tekanan darah. Selain
mekanisme tersebut, beberapa diuretik juga menurunkan resistensi
perifer sehingga menambah efek hipotensinya (Tanu, 2007). Obatobatan jenis diuretik bekerja dengan mengeluarkan cairan tubuh (Iewat
kencing), sehingga volume cairan tubuh berkurang mengakibatkan daya
pompa jantung menjadi lebih ringan dan berefek turunnya tekanan
darah. Digunakan sebagai obat pilihan pertama pada hipertensi tanpa
adanya penyakit lainnya. Diuretik terdiri dari golongan thiazide,
diuretik kuat, dan diuretik hemat kalium.
a) Thiazide
Thiazide merupakan agen diuretik yang paling efektif untuk
menurunkan tekanan darah. Obat diuretik jenis thiazide harus digunakan
sebagai pengobatan awal pada semua pasien dengan hipertensi, baik
18
penggunaan secara tunggal maupun secara kombinasi dengan satu
kelas antihipertensi lainnya (ACEI, ARB, BB, CCB). Diuretik
golongan thiazide ini bekerja pada hulu tubuli distal dengan cara
menghambat reabsorpsi natrium klorida. Efeknya lebih lemah dan
lambat tetapi tertahan lebih lama (6-48 jam) dan terutama
digunakan dalam terapi pemeliharaan hipertensi dan kelemahan
jantung. Contoh dari golongan thiazide adalah hidroklorothiazide
(HCT) dan indapamid.
b) Diuretik kuat
Diuretik kuat bekerja di ansa henle asenden bagian epitel tebal
dengan cara menghambat kotransport NA+, K+, Cl- dan
menghambat resorpsi air dan elektrolit. Contoh obat dari diuretik
kuat adalah furosemid dan torasemid.
c) Diuretik hemat kalium
Diuretik hemat kalium merupakan diuretik yang lemah jika
digunakan tunggal, biasanya dalam penggunaanya dilakukan
kombinasi dengan obat hipertensi lain seperti ACE inhibitor, beta
bloker, ARB. Contoh obat dari diuretik hemat kalium ini adalah
spironolakton dan amilorid (Tanu, 2007).
b. β- blocker
Mekanisme kerja obat antihipertensi ini adalah melalui penurunan
daya pompa jantung. Jenis obat ini tidak dianjurkan pada penderita
yang telah diketahui mengidap gangguan pernafasan seperti asma
19
bronkhial. Beta bloker bekerja dengan menghambat adrenoreseptor beta
di jantung, pembuluh darah perifer, bronkus, pankreas dan hati (BPOM
RI, 2015). Bekerja pada jantung untuk meringankan stres sehingga
jantung memerlukan lebih sedikit darah dan oksigen sehingga
menurunkan tekanan darah. Contoh obat yang termasuk beta bloker
adalah kardioselektif (atenolol, bisoprolol), nonselektif (propanolol,
timolol) (Depkes RI, 2006).
c. Calcium Channel Blocker atau Calcium antagonist (CCB)
Calcium Channel Blocker (CCB) bekerja menurunkan tekanan
darah dengan memperlambat pergerakan kalsium ke dalam sel jantung
dan dinding arteri (pembuluh darah yang membawa darah dari jantung
ke jaringan), sehingga arteri menjadi relax dan menurunkan tekanan
dan aliran darah ke jantung. Obat yang termasuk dalam golongan CCB
ini adalah amlodipin, nifedipin, verapamil, diltiazem (Depkes RI,
2006). Ada dua subkelas CCB, dihidropiridine dan nondihidropiridine.
Keduanya sangat berbeda satu sama lain. Efektifitas antihipertensinya
hampir sama, tetapi ada perbedaan pada efekfarmakodinamik yang lain.
Efek samping dari dihidropiridin adalah pusing, flushing, sakit kepala,
edema perifer, mood changes dan gangguan gastrointestinal. Efek
samping pusing, sakit kepala dan edema perifer lebih jarang terjadi
pada nondihidropiridin verapamil dan diltiazem karena vasodilatasinya
tidak sekuat dihidropiridin (Depkes RI, 2006).
20
d. Angiotensin Converting Enzym Inhibitor (ACEI)
ACE inhibitor menghambat perubahan angiotensin I menjadi
angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi
aldosteron. Selain itu degradasi bradikinin juga dihambat sehingga
kadar bradikinin dalam darah meningkat dan berperan dalam efek
vasodilatasi
ACE-Inhibitor.
Vasodilatasi
secara
langsung
akan
menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosteron akan
menyebabkan ekskresi air, natrium dan retensi kalium. ACE inhibitor
juga memblok degradasi bradikinin dan merangsang sintesa zat yang
menyebabkan vasodilatasi. Peningkatan bradikinin meningkatkan efek
penurunan tekanan darah dan berperan terhadap efek samping
terjadinya batuk kering yang sering terjadi pada penggunaan ACE
inhibitor. Contoh obat yang termasuk dalam golongan ini adalah
captopril, lisinopril dan enalapril (Nafrialdi, 2007).
e. Angiotensin II Receptor Blocker (ARB)
Dengan mencegah efek angiotensin II, senyawa-senyawa ini
merelaksasi otot polos sehingga mendorong vasodilatasi, meningkatkan
ekskresi garam dan air di ginjal, menurunkan volume plasma dan
mengurangi hipertrofi sel. Antagonis reseptor angiotensin II secara
teoritis juga mengatasi beberapa kelemahan ACE inhibitor (Oates &
Brown, 2007). Tidak seperti pada ACE inhibitor, obat ini tidak
menghambat degradasi bradikinin, sehingga efek samping batuk
menahun tidak terjadi. Contoh dari obat ini adalah losartan dan
21
valsartan.
Pemberian Angiotensin Reseptor Blocker menurunkan
tekanan darah tanpa mempengaruhi frekuensi denyut jantung.
Pemberian jangka panjang tidak mempengaruhi lipid dan glukosa darah
(Priyanto, 2009).
f. Penghambat Adrenoseptor Alpa (Alpha Bloker)
Alpha bloker bekerja dengan menghambat reseptor alfa pasca
sinaptik dan menimbulkan vasodilatasi, namun jarang menyebabkan
takikardi. Obat ini menurunkan tekanan darah dengan cepat setelah
dosis pertama, sehingga harus hati-hati pada pemberian pertama.
Contoh dari obat ini adalah daksazosin dan indoramin (BPOM RI,
2015).
g. Vasodilator
Vasodilator menurunkan tekanan darah dengan bekerja pada ginjal
untuk mengeluarkan kelebihan garam dari darah. Hal ini menaikkan
aliran urin dan keinginan untuk urinasi, sehingga menurunkan jumlah
air dalam tubuh dan membantu menurunkan tekanan darah. Contoh obat
yang termasuk vasodilator adalah hidralazin (Depkes RI, 2006).
h. Agonis α 2 Central
Klonidin, guanabenz, guafacine dan metildopa menurunkan tekanan
darah terutama dengan merangsang reseptor α2 adrenergic di otak.
Perangsangan ini menurunkan aliran simpatetik, Penurunan aktivitas
simpatetik, bersamaan dengan meningkatnya aktivitas parasimpatetik,
dapat menurunkan denyut jantung (Saseen dan Maclaughlin, 2008).
22
Dosis terapi obat-obat antihipertensi menurut JNC 7 Tahun 2003 dapat
dilihat pada tabel II.
Tabel II. Dosis Terapi Obat-Obat Antihipertensi (Chobanian et al., 2003)
Golongan
Diuretik thiazide
Nama Obat
chlorothiazide
chlorthalidone
hydrochlorothiazide
polythiazide
indapamide
metolazone
Diuretik kuat
Diuretik hemat
kalium
Antagonis
aldosteron
β blocker
BBs with intrinsic
sympathomimetic
activity
Combined alphaand BBs
ACEIs
bumetanide
furosemide
torsemide
amiloride
triamterene
eplerenone
spironolactone
atenolol
betaxolol
bisoprolol
metoprolol
metoprolol extended
release
nadolol
propranolol
propranolol long
acting
timolol
acebutolol
penbutolol
pindolol
carvedilol
labetalol
benazepril
captopril
enalapril
fosinopril
lisinopril
moexipril
perindopril
quinapril
ramipril
trandolapril
Dosis
(mg/hari)
125-500
12.5-25
12.5-50
2-4
1.25-2.5
0.5-1.0
2.5-5
0.5-2
20-80
2.5-10
5-10
50-100
50-100
25-50
25-100
5-20
2.5-10
50-100
Frekuensi
1-2
1
1
1
1
1
1
2
2
1
1-2
1-2
1
1
1
1
1
1
50-100
40-120
40-160
1
1
1
60-180
20-40
200-800
10-40
10-40
12.5-50
200-800
10-40
25-100
5-40
10-40
10-40
7.5-30
4-8
10-80
2.5-20
1-4
1
1
2
1
2
2
2
1
2
1-2
1
1
1
1
1
1
1
23
Tabel II. Lanjutan…..
Angiotensin II
antagonists
CCBs non
Dihydropyridines
CCBs
Dihydropyridines
candesartan
eprosartan
irbesartan
losartan
olmesartan
telmisartan
valsartan
diltiazem extended
release
verapamil immediate
release
verapamil long
acting
amlodipine
felodipine
isradipine
nicardipine sustained
release
nifedipine longacting
nisoldipine
8-32
400-800
150-300
25-100
20-40
20-80
80-320
180-420
120-540
1
1-2
1
1-2
1
1
1-2
1
1
80-320
2
120-480
2.5-10
2.5-20
2.5-10
1-2
1
1
2
60-120
2
30-60
10-40
1
1
2) Terapi non farmakologi
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa pengobatan non
farmakologi merupakan intervensi wajib yang harus dilakukan pada setiap
pengobatan hipertensi (Sneltzer & Bare, 2002). Terapi non farmakologi
dengan menghindarkan faktor risiko seperti merokok, minum alkohol,
hyperlipidemia dan stres. Olahraga yang teratur dibuktikan dapat
menurunkan tekanan perifer, sehingga dapat menurunkan tekanan darah.
Dengan olahraga akan timbul perasaan santai dan dapat menurunkan berat
badan, sehingga dapat menurunkan tekanan darah (Soeparman, 1990). Diet
yang kaya buah-buahan, sayuran dan rendah lemak serta rendah lemak
jenuh atau diet DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension) dapat
24
menurunkan tekanan darah. Algoritma penanganan hipertensi menurut
JNC 7 Tahun 2003 dapat dilihat pada gambar 1.
Modifikasi gaya hidup
Tak mencapai sasaran TD <140/90 mmHg atau <130/80
mmHg pada penderita DM atau penyakit ginjal kronik
Pilihan obat untuk terapi permulaan
Tanpa penyakit penyerta
Dengan penyakit
penyerta
Hipertensi derajat 1
Hipertensi derajat 2
(TDS 140-159 mmHg
atau TDD 90-99
mmHg). Umumnya
diberikan diuretik
golongan thiazide.
Bisa menggunakan
kombinasi ACEI,
ARB, BB, CCB
(TDS ≥ 160 mmHg
atau TDD ≥ 100
mmHg)
Umumnya diberikan
kombinasi 2 macam
obat (biasanya diuretik
gol. thiazide dan
penghambat ACEI, atau
ARB atau BB, atau
CCB
Obat antihipertensi
lain (ACEI, ARB,
diuretic, BB, CCB)
jika dibutuhkan
Target tekanan
darah tidak tercapai
Peningkatan dosis atau menambah obat sampai target tekanan
darah tercapai. Konsultasi dengan spesialis hipertensi
Gambar 1. Algoritma penanganan hipertensi menurut JNC 7 Tahun 2003
25
6. Terapi Kombinasi
Penggunaan terapi kombinasi obat secara rasional bertujuan untuk
mempertahankan tekanan darah menggunakan dua antihipertensi yang
memiliki tempat aksi dan golongan yang berbeda. Penggunaan dosis rendah
dari dua obat yang berbeda dapat juga mengurangi efek klinis dan metabolik
yang terjadi pada dosis maksimal dari tablet kombinasi. Keuntungan potensial
ini yang mendasari beberapa peneliti untuk menggunakan terapi antihipertensi
kombinasi sebagai terapi awal, terutama pada pasien dengan risiko kerusakan
organ yang tinggi atau pada tingkat hipertensi yang lebih parah (Skolnik et al.,
2000). Terapi kombinasi seharusnya melibatkan antihipertensi dari kelas yang
berbeda karena kombinasi antara antihipertensi dengan mekanisme yang sama
kurang efektif (Kalra et al., 2010).
Kombinasi obat yang efektif menurut JNC 7 adalah ACEI dengan CCB,
ACEI dengan diuretik jenis thiazide, ARB dengan diuretik jenis thiazide, beta
blocker dengan diuretik jenis thiazide. Ada 6 alasan pengobatan kombinasi
pada hipertensi dianjurkan:
1) Mempunyai efek aditif.
2) Mempunyai efek sinergisme.
3) Mempunyai sifat saling mengisi.
4) Penurunan efek samping masing-masing obat.
5) Mempunyai cara kerja yang saling mengisi pada organ target tertentu.
6) Adanya “fixed dose combination” akan meningkatkan kepatuhan pasien
(adherence)(Depkes, 2006).
26
Fixed-dose combination yang paling efektif adalah sebagai berikut:
1. Penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI) dengan diuretik
2. Penyekat reseptor angiotensin II (ARB) dengan diuretik
3. Penyekat beta dengan diuretik
4. Diuretik dengan agen penahan kalium
5. Penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI) dengan antagonis kalsium
6. Agonis α-2 dengan diuretik
7. Penyekat α-1 dengan diuretik (Depkes RI, 2006).
B. Kerangka Pemikiran
Hipertensi merupakan salah satu
penyakit paling mematikan di
dunia. Sebanyak 1 miliar orang di
dunia atau 1 dari 4 orang dewasa
menderita penyakit ini. WHO
memperkirakan pada tahun 2025
mendatang, diproyeksikan sekitar
29%
warga
dunia
terkena
hipertensi.
Tanda awal gejala hipertensi sering
tidak diketahui. Penggunaan obat
yang rasional sangat penting untuk
meningkatkan keberhasilan terapi.
Rasionalitas pada penelitian ini
diukur dari tepat obat, tepat
indikasi dan tepat dosis.
Pasien prolanis di Puskesmas
Karangpandan tergolong cukup
banyak yang menderita penyakit
hipertensi karena berdasarkan
studi pendahuluan yang diperoleh,
hipertensi merupakan salah satu
penyakit terbanyak di Puskesmas
Karangpandan
Pola penggunaan dan evaluasi
obat berdasarkan tepat dosis, tepat
obat dan tepat indikasi perlu
diteliti agar pelaksanaan terapi
dapat semakin berjalan optimal,
maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian tentang pola
dan rasionalitas penggunaan obat
antihipertensi pada pasien prolanis
di
Puskesmas
Karangpandan
Kabupaten Karanganyar.
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian
27
C. Keterangan Empirik
Penelitian yang dilakukan (Woro dan Abdul, 2012) berjudul penggunaan obat
pada pasien hipertensi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat Dr.
Kariadi Semarang menyebutkan bahwa jenis kelamin merupakan salah satu faktor
risiko. Hasil pengelompokkan berdasarkan jenis kelamin diketahui bahwa
perempuan lebih banyak menderita hipertensi dibandingkan laki-laki dengan
ditemukannya 64 pasien wanita dan 36 pasien laki-laki. Berdasarkan evaluasi
ketepatan dosis, ketepatan obat dan ketepatan indikasi, dinyatakan kriteria
ketepatan dosis sebesar 95%, ketepatan obat 81% dan ketepatan indikasi 98%.
Menurut penelitian Heri (2014) menunjukkan bahwa pola penggunaan obat di
RSUP Djamil tahun 2011 paling banyak menggunakan HCT sebagai terapi
hipertensi dengan persentase sebesar 35,5%. Kombinasi obat lebih banyak
digunakan daripada monoterapi dengan jumlah pasien yang diberikan kombinasi
obat sebanyak 252 pasien (66,3%) dan monoterapi sebanyak 128 pasien (33,7%).
Download