4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Morfologi Hewan Karang Terumbu karang terbentuk dari kalsium karbonat yang sangat banyak (CaCo3), batuan kapur, yang merupakan hasil deposisi dari makhluk hidup (Castro & Huber 2007). Terumbu karang terutama disusun oleh karang-karang jenis anthozoa dari kelas scleractinia, yang mana termasuk hermatypic coral atau jenis karang yang mampu membuat bangunan atau kerangka karang dari kalsium karbonat (Vaughan & Wells 1943 in Supriharyono 2007). Struktur bangunan kapur (CaCo3) tersebut cukup kuat sehingga koloni karang mampu menahan gaya gelombang air laut. Sedangkan asosiasi organisme-organisme yang dominan hidup disini disamping scleractinian corals adalah alga yang banyak diantaranya juga mengandung kapur (Dawes 1981 in Supriharyono 2007). Ada dua tipe karang, yaitu karang yang membentuk bangunan kapur (hermatypic corals) dan yang tidak dapat membentuk bangunan karang (ahermatypic corals). Hermatypic corals adalah binatang karang yang dapat membentuk bangunan karang dari kalsium karbonat, sehingga sering dikenal juga sebagai reef-building corals. Sedangkan ahermatypic coral adalah binatang karang yang tidak dapat membentuk bangunan karang (Supriharyono 2007) Kemampuan hermatypic coral membentuk bangunan kapur tidak lepas dari proses hidup binatang ini. Binatang karang ini dalam hidupnya bersimbiosis dengan sejenis alga (zooxanthellae) yang hidup di jaringan-jaringan polip binatang karang tersebut, dan melaksanakan fotosintesa. Hasil samping dari aktifitas fotosintesa tersebut adalah endapan kapur kalsium karbonat, yang struktur dan bangunannya khas. Ciri ini akhirnya digunakan untuk menetukan jenis atau spesies binatang karang. Karena aktifitas tersebut, maka peran cahaya matahari sangat penting bagi hermatypic coral. Sehingga jenis binatang karang ini umumnya hidup di perairan pantai atau laut yang cukup dangkal, yang mana penetrasi cahaya matahari masih sampai ke dasar perairan (Supriharyono 2007). Zooxanthellae adalah algae bersel tunggal dengan ukuran mikroskopis yang memerlukan cahaya matahari untuk berfotosintesis. Zooxanthellae merupakan alga dari jenis Gymnodinium microadriaticum atau dikenal juga dengan jenis Simbiodinium (Ronsen 1988 in Efendie 2009). Adanya simbiosis dengan zooxanthellae menyebabkan karang berwarna coklat, hijau, atau biru. Dalam keadaan tertentu misalnya akibat 5 tekanan lingkungan atau adanya penyakit yang menyerang karang, zooxanthellae dapat keluar dari karang sehingga menyebabkan karang menjadi putih pucat dan bisa menyebabkan kematian (Veron 1986 in Pratama 2005). Zooxanthellae mendapat perlindungan dari karang dan menggunakan beberapa hasil sampingan metabolisme karang seperti karbondioksida, amonia, nitrat, dan fosfat sebagai bahan makanan. Sebaliknya karang mendapat keuntungan dari pelepasan bahan-bahan organik termasuk glukose, gliserol dan asam amonia yang dikeluarkan oleh zooxanthellae (Hutabarat & Evans 1985). Simbiosis antara zooxanthellae dengan polip karang dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Simbiosis antara zooxanthellae dan polip karang (Castro & Huber 2007) Karang pembentuk terumbu merupakan koloni dengan sejumlah besar polippolip kecil dengan diameter 1-3 mm, namun seluruh koloni dapat menjadi besar. Beberapa jenis polip soliter dengan diameter sampai 25 cm, misalnya fungia (Suwignyo et al. 2005). Setiap individu karang yang disebut polip menempati mangkuk kecil yang dinamakan koralit. Tiap mangkuk koralit mempunyai beberapa septa yang tajam dan berbentuk daun yang tumbuh keluar dari dasar koralit, dimana septa ini merupakan dasar penentuan spesies karang (Bengen 2002). Setiap polip berbentuk seperti cangkir dengan lingkaran tentakel yang mengelilingi bagian tengah yang berfungsi sebagai mulut sekaligus anus. Tentakel memberi informasi melalui sel-sel penyengat (nematocysts) yang berfungsi sebagai alat pertahanan dan menangkap mangsa (Bermuda Coexploration 2000 in Soehartono & Mardiastuti 2003). Anatomi polip karang dapat dilihat pada Gambar 3. 6 Gambar 3. Anatomi polip karang (Sumich 1999 in Bengen 2002) 2.2. Klasifikasi Hewan Karang Klasifikasi hewan karang pembentuk terumbu yang ditransplantasikan menurut Wells (1954) in Suharsono (2008) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Cnidaria Kelas : Anthozoa Sub kelas : Zoantharia Ordo : Scleractinia Famili : Pocilliporidae Genus : 1. Stylophora 2. Pocillopora Spesies : 1. Stylophora pistillata 2. Pocillopora verrucosa Filum Cnidaria merupakan salah satu filum yang besar dari hewan air dan kebanyakan merupakan hewan air laut. Kebanyakan hidup berkoloni, dimana setiap individu saling terhubung. Filum ini dua bentuk karakteristik polimorfisme yang diperoleh dari daur hidupnya, yaitu polip dan medusa (Kolzof 1990 in Prawidya 2003). Anggota kelas Anthozoa merupakan cnidaria yang berpolip dan tidak mempunyai tahap medusoid. Memiliki polip khusus dibanding kelas Hydrozoa. Kebanyakan hidup berkoloni dan dapat mencapai ukuran besar, walaupun sebenarya individu polipnya kecil (Ruppert & Barnes 1987 in Prawidya 2003). Ordo Scleractinia sering disebut dengan karang batu, karena menghasilkan rangka. Rangkanya terdiri dari kalsium karbonat dan terpisah oleh epidermis pada 7 basal disc (lapisan basal). Proses pemisahan ini menghasilkan mangkuk kapur, yang merupakan tempat polip bernaung. Pada dasar mangkuk, terdapat sklerosepta. Setiap sklerosepta ini terbentuk ke atas sampai ke dasar polip, menahan lapisan basal. Selama polip hidup, akan terus dihasilkan kalsium karbonat di bawah jaringan yang hidup (Ruppert & Barnes 1987 in Prawidya 2003). Famili Pocilloporidae terdiri dari genus Pocillopora, Seriatopora, Stylophora, Palaustrea dan Madracis. Semuanya dapat ditemukan di perairan Indonesia. Koloni bercabang atau submasif, ditutupi oleh bintil-bintil (verrucosae). Koralit hampir tenggelam, kecil, kolumella, diantara koralit dipenuhi duri-duri kecil (Suharsono 2008). Genus Stylophora memiliki percabangan yang tumpul, kolumella menonjol, dengan septa terlihat jelas, diantara koralit ditutupi duri-duri kecil dan permukaan koloni terlihat kasar (Schweigger 1819 in Suharsono 2008). Spesies Stylophora pistillata (Gambar 4) memiliki koloni bercabang dengan percabangan pendek dengan ujung tumpul. Koloni biasanya berbentuk submasif dengan cabang pendek berupa kolom atau lempengan tebal. Koralit menonjol pada satu sisi dan pada sisi lain tenggelam dan tidak tersusun teratur. Biasanya berwarna kuning cerah dengan ujung berwarna ungu atau putih. Jenis ini umum ditemui di perairan yang dangkal dan tersebar di seluruh perairan Indonesia (Esper 1979 in Suharsono 2008). Gambar 4. Fragmen jenis Stylophora pistillata (Dok. PKSPL-IPB 2009) Genus Pocillopora memiliki ciri-ciri koloni hampir bercabang, submasif, koralit hampir tenggelam, septa bersatu dengan kolumella, percabangan relatif besar dengan 8 permukaan berbintil-bintil yang disebut verrucosae (Lamarck 1816 in Suharsono 2008). Spesies Pocillopora verrucosa (Gambar 5) memiliki karakteristik koloni dapat mencapai ukuran besar dengan percabangan yang agak tegak ke atas, gemuk pada pangkal dan agak melebar di bagian atas dengan percabangan menimbulkan kesan teratur dan memiliki verrucosae yang tersebar merata dengan ukuran yang tidak seragam. Biasanya berwarna kuning pucat dan coklat muda dan tersebar di seluruh perairan Indonesia (Ellis & Solander 1786 in Suharsono 2008). Gambar 5. Fragmen jenis Pocillopora verrucosa (Dok. PKSPL-IPB 2009) 2.3. Sistem Reproduksi 2.3.1. Reproduksi seksual Binatang karang berkembang biak secara seksual dan aseksual (Supriharyono 2007). Perkembangbiakkan secara seksual melalui pemijahan atau pertemuan antara ovarium dan testes. Reproduksi seksual karang dimulai dengan pembentukan calon gamet sampai terbentuknya gamet matang, proses ini disebut gametogenesis. Selanjutnya gamet yang masak dilepaskan dalam bentuk telur atau planula. Masingmasing jenis karang mempunyai variasi dalam melepaskan telur yang telah dibuahi dan pertumbuhan terjadi di luar (broadcaster). Sedang karang yang lain pembuahan terjadi di dalam induknya dierami untuk beberapa saat dan dilepaskan sudah dalam bentuk planula (broader) (Coremap fase II 2006). Proses reproduksi seksual pada hewan karang dapat dilihat dari Gambar 6. 9 Gambar 6. Reproduksi seksual pada hewan karang (Nybakken 19 1992) 2.3.2. Reproduksi aseksual seksual Reproduksi aseksual pada karang umumnya dilakukan dengan cara m membentuk tunas yang akan menjadi individu baru pada induk, dan pembentukan tunas yang terus-menerus menerus merupakan mekanisme untuk menambah ukuran koloni, tetapi tidak untuk menambah koloni baru (Nybakken 1992). Reproduksi aseksual karang melalui fragmentasi dan an pertunasan (budding). ( ). Reproduksi melalui pertunasan, tergantung pada jenisnya, polip baru tumbuh secara ekstratentrakular atau intratentakular (Gambar 7). Pada pertunasan ekstratentakular, polip yang baru tumbuh dari setengah bagian tubuh ke bawah (Gambar (Gam 7-A). Pada pertunasan intertentakular, polip baru tumbuh dari penyekatan membujur mulai dari oral disk ke arah aboral (Gambar 7 7-B). Proses pertunasan diikuti pembentukan sklerosepta dan mangkuk karang dari masingmasing masing polip baru (Suwignyo et al. 2005). Gambar 7.. Reproduksi aseksual pada hewan karang A. Pertunasan ekstratentakular, B. Pertunasan intratentakular (Suwignyo (S et al. 2005). 10 2.4. Faktor-faktor Pembatas Kehidupan Karang Terumbu karang di dunia tersebar hanya pada daerah 32 oLU sampai 32 oLS, dimana garis lintang yang mengelilingi bumi ini merupakan batas maksimum bagi karang untuk dapat tumbuh dengan baik. Organisme pembangun karang hanya dapat hidup di perairan yang dangkal dimana terdapat sinar matahari yang cukup, sehingga memberi kesan bahwa cara hidup mereka seolah-olah seperti tumbuhan (Hutabarat & Evans 1985). Selain itu, karang pembentuk terumbu juga dapat tumbuh dengan baik di daerah-daerah tertentu dimana sedimentasi sedikit dan terhindar dari arus dingin (Suharsono 1996). Karang membutuhkan karakteristik lingkungan perairan yang spesifik untuk dapat tumbuh dan hidup dengan baik. Rachmawati (2001) menyatakan bahwa terdapat parameter utama yang berpengaruh terhadap keberadaan terumbu karang, yaitu suhu, salinitas, cahaya matahari, kekeruhan dan nutrisi. Adapun faktor-faktor lain yang mempengaruhi yaitu sedimentasi, sirkulasi arus dan gelombang, kedalaman perairan (Dahuri 2003 ; Nybakken 1992). Faktor-faktor fisika dan kimia yang mempengaruhi kehidupan karang dapat dilihat pada Gambar 8. Gambar 8. Faktor-faktor fisik yang bekerja pada polip karang (Nybakken 1992). 2.4.1. Suhu Suhu air merupakan faktor penting yang menetukan kehidupan karang. Menurut Wells (1995) in Supriharyono (2007) suhu yang baik untuk pertumbuhan karang adalah berkisar antara 25-29 oC. Berdasarkan Dirjen PHKA (2008) suhu optimal untuk pertumbuhan karang sebesar 26-30OC, dan menurut baku mutu air laut untuk biota laut Kep.51 MENKLH (2004) suhu optimal untuk pertumbuhan karang sebesar 28- 11 30OC. Karena sifat hidup ini ekosistem terumbu karang umumnya tumbuh di daerah tropis, walaupun ada diantaranya yang dapat hidup di daerah sub-tropis seperti di perairan Bemuda, perairan sebelah selatan Jepang, dan perairan sebelah selatan Afrika Selatan (Supriharyono 2007). Nybakken (1992) menyatakan bahwa hampir semua terumbu karang di dunia hanya ditemukan pada perairan yang dibatasi oleh permukaan yang isoterm 20oC. Karang hermatipik dapat bertahan selama beberapa waktu pada suhu agak dibawah 20oC, tetapi menurut Wells (1957) in Nybakken (1992) tidak ada terumbu karang yang mampu berkembang pada suhu tahunan dibawah 18oC. Terumbu karang dapat mentoleransi suhu sampai kira-kira 36-40oC, studi yang dilakukan oleh Coles & Jokiel (1978) dan Neudecker (1981) in Supriharyono (2007) mengenai pengaruh limbah suhu, menjelaskan bahwa perubahan suhu secara mendadak sekitar 4-6oC di bawah atau diatas ambang batas dapat mengurangi pertumbuhan karang, bahkan dapat mematikannya (Supriharyono 2007). 2.4.2. Salinitas Menurut Nybakken (1992), Karang hermatipik tidak dapat bertahan pada salinitas yang menyimpang dari salinitas normal, yaitu 32-35 PSU. Adanya aliran sungai yang bermuara ke perairan pantai menyebabkan penurunan salinitas pada perairan pantai, sehingga hal ini dapat mempengaruhi kehidupan karang sehingga pertumbuhannya menjadi tidak normal. Nilai salinitas dapat menurun hingga 20 PSU ataupun dapat naik melebihi 50 PSU secara temporal (Rachmawati 2001). Namun demikian, ada juga terumbu karang yang dapat hidup pada perairan yang memiliki kadar salinitas yang tinggi, yaitu sebesar 42 PSU seperti di Teluk Persia, wilayah Timur Tengah (Nybakken 1992). 2.4.3. Intensitas cahaya matahari Cahaya matahari merupakan salah satu parameter utama yang berpengaruh dalam pembentukan terumbu karang. Penetrasi cahaya merangsang terjadinya proses fotosintesis oleh zooxanthellae simbiotik dalam jaringan karang. Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis akan berkurang dan bersamaan dengan itu, kemampuan karang untuk membentuk terumbu (CaCO3) akan berkurang pula (Dahuri 2003). Cahaya memiliki korelasi penting dengan kedalaman, karena seberapa kedalaman yang memungkinkan untuk pertumbuhan karang, tergantung dari seberapa jauh cahaya matahari mampu menembus kolom air (Rachmawati 2001). 12 Terumbu karang umumnya tumbuh pada kedalaman 25 m atau kurang. Pada perairan yang jernih, kedalaman tersebut dapat bertambah hingga lebih dari 40 m, namun jarang ditemukan tumbuh dengan baik pada kedalaman lebih dari 50 m (Rachmawati 2001). Hal ini menerangkan mengapa struktur ini terbatas hingga pinggiran benuabenua atau pulau-pulau (Nybakken 1992). 2.4.4. Arus Arus diperlukan dalam proses pertumbuhan karang dalam hal menyuplai makanan berupa mikroplankton. Arus juga berperan dalam proses pembersihan dari endapan-endapan material dan menyuplai oksigen yang berasal dari laut lepas. Oleh karena itu, sirkulasi arus sangat berperan penting dalam proses transfer energi (Dahuri 2003). Arus berperan dalam pemindahan nutrien, larva, dan sedimen. Sampah juga dapat berpindah dengan bantuan arus yang membawanya ke tempat lain. Karenanya kecepatan arus dan turbulensi memiliki pengaruh terhadap morfologi dan komposisi taksonomi ekosistem terumbu karang (Rachmawati 2001). Rachmawati (2001) menyatakan bahwa gelombang yang cukup kuat akan menghalangi pengendapan sedimen pada koloni karang. Struktur terumbu karang yang masif, cukup kuat menahan gelombang yang besar. Pada daerah yang terkena gelombang yang cukup kuat, bagian ujung sebelah luar terumbu akan membentuk karang masif atau bentuk bercabang dengan cabang yang sangat tebal dan ujung yang datar. Sebaliknya pada perairan yang lebih tenang, akan terbentuk koloni yang berbentuk memanjang dan bercabang dengan cabang yang lebih ramping. 2.4.5. Kekeruhan dan sedimentasi Kekeruhan dan sedimen juga merupakan faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi pertumbuhan karang. Kekeruhan air dapat megurangi penetrasi atau intensitas cahaya di dalam air (Supriharyono 2007). Pengaruh sedimentasi terhadap pertumbuhan binatang karang dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Sedimen dapat langsung mematikan binatang karang apabila sedimen tersebut ukurannya cukup besar atau banyak sehingga menutupi polip karang (Bak 1978 in Supriharyono 2007). Pengaruh tidak langsung adalah melalui turunnya peneterasi cahaya matahari untuk fotosintesis, dan banyaknya energi yang dikeluarkan untuk menghalau sedimen tersebut, yang berakibat turunnya laju pertumbuhan karang (Pastorok & Bilyard 1985 in Supriharyono 2007). Ketika laju sedimentasi di perairan karang tinggi, laju pertumbuhan karang biasanya rendah (Supriharyono 2007). 13 Sedimentasi dan eutrofikasi (pengkayaan nutrien) merupakan salah satu penyebab utama degradasi ekosistem terumbu karang di dunia (Ginsburg 1993 in McClanahan 1997). Menurut McClanahan (1997), beberapa jenis karang seperti jenis Pocillopora, Favia, dan Montipora menunjukkan penurunan ukuran koloni pada kondisi perairan yang mengandung sedimentasi yang tinggi. Sedimentasi pada perairan juga dapat mempengaruhi keberadaan unsur hara yang terdapat pada perairan tersebut. Menurut Supriharyono (2007), unsur-unsur hara yang terikat pada sedimen tersebut dapat merangsang pertumbuhan alga di perairan karang. Selain itu, sedimen yang kaya akan unsur hara akan menyebabkan peningkatan kesuburan di perairan sekitar terumbu karang dan mempercepat laju pertumbuhan makroalga. Rachmawati (2001) menggolongkan laju sedimentasi kedalam tiga kategori, yaitu kecil, bila laju kurang dari 10 mg/cm2/hari, memberikan dampak dalam penurunan regenerasi, kelimpahan, dan keragaman spesies. Termasuk kedalam kategori sedang bila laju sedimentasi 10-50 mg/cm2/hari, dapat dianggap berbahaya karena terjadi proses destruktif secara besar-besaran. Bila laju telah melebihi 50 mg/cm2/hari dapat menimbulkan kematian komunitas karang dan kerusakan terumbu karang. 2.4.6. Nutrien (nitrat, amonia, ortofosfat) Perairan karang biasanya mengandung nutrien anorganik yang rendah (Grover 2003). Nitrat dan amonia adalah sumber utama nitrogen untuk produktivitas primer perairan laut (Codicpoti 1989 in Grover 2003). Kisaran konsentrasi nitrogen pada perairan karang sebesar 0,3-1,0 μmol/L nitrat, dan sebesar 0-0,4 μmol/L amonia (Bythell 1990 ; D’Ellia & Wiebe 1990 ; Furnas 1991 in Grover 2003). Menurut Grover (2003), karang keras memiliki kemampuan untuk mengawetkan unsur hara dengan mengakumulasikan sisa-sisa metabolisme dari binatang induk (karang). Unsur hara ini dimanfaatkan zooxanthellae terutama apabila perairan sekitarnya miskin unsur hara (Muscatine 1973 in Supriharyono 2007). Dengan adanya kemampuan dalam mengawetkan unsur hara ini, maka ekosistem terumbu karang tidak membutuhkan masukan nutrien yang lebih besar (Charpy 2001). Nitrat dapat dihasilkan oleh oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan (Effendi 2003). Amonia merupakan salah satu senyawa kimia yang bersifat racun bagi biota perairan jika jumlahnya berlebihan di perairan. Kadar amonia yang tinggi bisa menjadi indikasi adanya pencemaran bahan organik. Sumber amonia di perairan adalah pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat 14 di dalam tanah dan air, yang berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati) oleh mikroba dan jamur. Tinja dari biota akuatik yang merupakan limbah aktivitas metabolisme juga banyak mengeluarkan amonia. Sumber amonia yang lain adalah reduksi gas nitrogen yang berasal dari proses difusi udara atmosfer, limbah industri, dan domestik. Amonia juga dapat dihasilkan dari proses denitrifikasi nitrat pada kondisi perairan yang kurang oksigen. Amonia dan garamgaramnya bersifat mudah larut dalam air. Avertebrata air lebih toleran terhadap toksisitas amonia dari pada ikan (Effendi 2003). Fosfor merupakan unsur yang esensial bagi tumbuhan tingkat tinggi dan alga, sehingga unsur ini menjadi faktor pembatas bagi tumbuhan dan alga akuatik serta sangat mempengaruhi tingkat produktivitas perairan. Ortofosfat merupakan salah satu bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik. Keberadaan fosfor secara berlebihan yang disertai dengan keberadaan nitrogen di perairan dapat menstimulir ledakan pertumbuhan alga di perairan (Effendi 2003). Nilai parameter lingkungan yang baik untuk pertumbuhan karang berdasarkan baku mutu yang ditetapkan oleh MENKLH 2004 dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Baku mutu air laut untuk biota laut Parameter Satuan a. Fisika m Kecerahan NTU Kekeruhan OC Suhu b. Kimia PSU Salinitas Mg/l Amonia total (NH3-N) Mg/l Fosfat (PO4-P) Nitrat (NO3-N) Mg/l *) Baku mutu berdasarkan Kep.51/MENKLH/I/2004 Baku Mutu* 5-10% <5 28-30 33-34 0,3 0,015 0,008 Nutrien yang tinggi di perairan dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman dan alga pada perairan tersebut juga meningkat, sehingga hal ini dapat menyebabkan terganggunya kehidupan dan pertumbuhan karang. Peningkatan kesuburan di perairan sekitar terumbu karang dan mempercepat laju pertumbuhan makroalga. Biomassa makroalga yang besar dapat menutupi karang sehingga memiliki efek seperti halnya penutupan karang oleh partikel sedimen yang besar (Rachmawati 2001). 15 Pengaruh dari alga terhadap organisme karang dimulai dari peningkatan nutrien pada perairan terumbu karang. Hal ini memberikan pengaruh terhadap struktur dan fungsi komunitas karang (Tomascik & Sander 1987; Wittenberg & Hunte 1992 in Tanner1995). Salah satu hipotesis yang berkaitan dengan peningkatan nutrien adalah seiring dengan peningkatan nutrien, pertumbuhan alga akan meningkat. Hal ini memungkinkan alga bersaing dengan organisme karang ataupun organisme sessile (Birkeland 1977,1988; Pastorok & Bilyard 1985 in Tanner 1995). 2.5. Laju Kalsifikasi Karang Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa setiap koloni hermatypic corals mengandung alga (zooxanthellae) yang hidup bersimbiosis dengan koloni karang. Zooxanthellae yang hidup di koloni karang ini selain memproduksi karbon juga memproduksi kalsium karbonat (kapur) atau kalsifikasi, untuk membentuk bangunan karang. Sehingga jenis karang ini disebut reef building corals, atau jenis karang yang dapat membuat bangunan karang dari kapur. Kecepatan atau laju kalsifikasi ini tidak sama untuk setiap spesies. Spesies-spesies tertentu tumbuhnya sangat cepat, yaitu bisa > 2 cm / bulan (umumnya branching corals), namun ada pula spesies karang (umumnya karang masif) yang tumbuhnya sangat lambat, yaitu hanya < 1cm /tahun. Disamping faktor spesies, kecepatan tumbuh karang juga ditentukan oleh kondisi lingkungan hidup mereka berada. Pada perairan yang memiliki kondisi lingkungannya mendukung pertumbuhan karang, maka biasanya karang biasanya tumbuh lebih cepat dibandingkan di daerah yang tercemar. Laju kalsifikasi karang juga ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu cahaya, suhu perairan, kekeruhan, sedimentasi, serta kedalaman perairan (Supriharyono 2007). Menurut Timotius (2003) kalsium karbonat yang terbentuk kemudian membentuk endapan menjadi hewan karang. Sementara itu, karbondioksida akan diambil oleh zooxanthellae untuk fotosintesis. Pengambilan atau pemanfaatan karbon (CO2) dalam jumlah yang sangat besar untuk keperluan kalsifikasi yang kemudian menghasilkan terumbu karang sebaran vertikal dan horizontal yang amat luas, menjadikan terumbu karang sebagai carbon sink. 2.6. Kerusakan Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat rentan. Kerusakan terumbu karang dapat diakibatkan baik oleh proses alami maupun proses antropogenik. Menurut Herianto (2007), kerusakan ekosistem terumbu karang dapat 16 digolongkan berdasarkan penyebab kerusakannya, yakni aktivitas manusia secara langsung, dan tidak langsung, faktor biologis, dan faktor fisik. 2.6.3. Faktor aktivitas manusia Menurut Ikawati et al. (2001), kerusakan terumbu karang yang disebabkan oleh ulah manusia (antropogenik) merupakan penyebab terbesar kerusakan terumbu karang. Hal ini disebabkan ketidaktahuan manusia akan manfaat dan fungsi terumbu karang. Beberapa jenis kegiatan manusia yang berdampak secara langsung dalam kerusakan terumbu karang menurut Herianto (2007) seperti aktivitas penambangan karang, pengeboman karang, penggunaan sianida atau potas, penangkapan ikan dengan bubu, penangkapan ikan dengan muroami, jangkar perahu, serta adanya kegiatan pariwisata perairan. Kegiatan yang bedampak secara tidak langsung yang menyebabkan kerusakan terumbu karang seperti proses sedimentasi yang merupakan hasil dari kegiatan penambangan di laut ataupun dari daratan yang terbawa oleh sungai ke laut. Selain itu, adanya pencemaran limbah perkotaan dan minyak bumi yang dapat memasok nutrisi yang berlebih ke laut sehingga dapat memicu pertumbuhan alga tertentu secara cepat (blooming algae) yang dapat menganggu kehidupan karang (Herianto 2007). 2.6.2. Faktor biologis Menurut Herianto (2007), faktor biologis yang dapat merusak ekosistem terumbu karang seperti adanya predasi dari predator yang bersifat aktif dan agresif untuk mendapatkan makanan, sehingga dapat menghambat atau mematikan pertumbuhan karang yang lainnya. Selain adanya predasi, penyakit yang disebabkan oleh bakteri juga dapat menyebabkan kerusakan terumbu karang. Jenis penyakit yang sering ditemukan pada terumbu karang seperti white band disease, black band disease, dan vibrio AK-1. White band disease ditandai dengan adanya warna putih pada sebagian koloni karang, sedang sebagian lagi berwarna normal. Black band disease ditandai dengan warna hitam pada jaringan karang yang sedang terserang atau berwarna putih jika karang telah mati (bleaching). Penyakit vibrio AK-1 terjadi jika bakteri ini terdapat pada suhu lingkungan yang naik diatas normal. Kerusakan akibat bakteri ini ditandai dengan memutihnya jaringan karang, akan tetapi warna putihnya biasanya berupa bercak-bercak yang tidak merata. Proses bio-erosi juga merupakan salah satu penyebab kerusakan terumbu karang. Bio-erosi disebabkan oleh terdegradasinya kapur kerangka tubuh karang 17 (CaCO3) yang disebabkan oleh organisme lain baik secara kimiawi maupun mekanis (Herianto 2007). 2.6.3. Faktor fisik Faktor fisik yang dapat merusak ekosistem terumbu karang menurut Herianto (2007) seperti kenaikan suhu air laut, pasang surut, radiasi sinar ultra violet, penurunan salinitas, gunung berapi, gempa bumi, tsunami, taifun dan badai. Kerusakan akibat alam ini tidak dapat dicegah secara langsung karena diluar kuasa manusia. Selain itu, dibandingkan dengan kerusakan karena ulah manusia, kerusakan terumbu karang karena faktor alam jumlahnya relatif kecil (Ikawati et al. 2001). 2.7. Transplantasi Karang 2.7.1. Pengertian dan pemanfaatan transplantasi karang Transplantasi karang adalah pencangkokan atau pemotongan karang hidup untuk ditanam ditempat lain atau di tempat yang karangnya telah mengalami kerusakan, bertujuan untuk pemulihan atau pembentukan terumbu karang alami. Transplantasi karang berperan dalam mempercepat regenerasi terumbu karang yang telah rusak, dan dapat pula dipakai untuk membangun daerah terumbu karang baru yang sebelumnya tidak ada (Harriot & Fisk 1988 in Soedharma 2007). Manfaat dari transplantasi karang menurut Soedharma (2007) adalah : 1. Mempercepat regenerasi terumbu karang yang telah rusak. 2. Rehabilitasi lahan-lahan kosong atau yang rusak. 3. Menciptakan komunitas baru dengan memasukkan spesies baru kedalam ekosistem terumbu karang di daerah tertentu. 4. Konservasi plasma nutfah, disebut juga konservasi dari sumber keanekaragaman hayati. 5. Pengembangan populasi karang yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan atau langka. 6. Menambah karang dewasa ke dalam populasi sehingga produksi larva di ekosistem karang yang rusak tersebut dapat ditingkatkan. 7. Keperluan perdagangan. Transplantasi karang telah dipelajari dan dikembangkan sebagai teknologi pilihan dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang terutama pada daerah-daerah yang memiliki nilai ekonomi tinggi (Harriot & Fisk 1988 in Soedharma 2007). Tujuan kegiatan transplantasi yaitu perbanyakan koloni karang dengan bantuan manusia 18 untuk rehabilitasi lahan-lahan kosong atau yang rusak agar dapat menciptakan komunitas baru dengan memasukkan spesies baru kedalam ekosistem terumbu karang di daerah tertentu (Soedharma 2007). 2.7.2.Metode transplantasi karang Metode transplantasi karang dapat dilakukan secara langsung di alam ataupun pada ruang terkontrol (Soedharma 2007). Metode yang sering dilakukan pada transplantasi karang seperti metode patok, metode jaring, metode jaring dan substrat, metode jaring dan rangka, metode jaring, rangka, dan substrat, serta metode rantai. Beberapa teknik pelekatan karang yang ditransplantasikan adalah semen, lem plastik, penjepit baja, dan kabel listrik plastik (Coremap fase II 2006). 2.8. Penelitian Transplantasi Karang di Indonesia Untuk mengetahui kecepatan pertumbuhan karang, berbagai penelitian tentang transplantasi karang telah dilakukan di Indonesia. Penelitian-penelitian ini banyak dilakukan oleh instansi-instansi yang bergerak dibidang khususnya terumbu karang, lembaga-lembaga non-profit, serta penelitian dari mahasiswa perguruan tinggi di Indonesia. Beberapa penelitian transplantasi yang pernah dilakukan di Indonesia disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Beberapa penelitian transplantasi karang di Indonesia Lokasi Spesies Lama Penelitian Acropora tenuis Pulau Pari (Sadarun 1999) Zona Windward, Leeward, dan goba Pulau Pari (Johan 2000) Pantai Selatan Bunaken (Supit 2000) Laju Pertumbuhan (mm/bulan) 32,6-33,3 Kelangsungan Hidup (%) 90 A. formosa 45,8-46,3 83,33 A. hyachintus 43,8-44,4 100 31,9-32,2 100 A. nasuta 47,9-48,1 100 A. yongei 48,8-49,1 100 A. aspera 33,0-33,3 100 A. digitifera 21,1-24,3 100 A. valida 49,0-41,2 100 A. glauca 20,1 100 A. formosa 3,7 89 1,6 97 4,2 90 P = 6,48 - A. divaricata A. donei 5 bulan 6 bulan A. acuminata Pocillopora damcornis 6 bulan Pengamatan pertambahan tunas dan perambatan pada substrat keramik perlakuan dengan jumlah cabang dan perambatan pada substrat keramik Pengukuran pertumbuhan dengan Alizarin- 19 Tabel 2. (Lanjutan) Pantai Malalayang (Supit 2000) Pocillopora damcornis Reds 6 bulan Porites nigrescens Utara dan Selatan Pulau Pari (Cahyadi 2001) 5 bulan Montipora digitata Selatan Pulau Pari (Herdiana 2001) Selatan Pulau Pari (Aziz 2001) Selatan Pulau Pari (Alhusna 2002) Acropora micropthalma 5 bulan A. intermedia Acropora intermedia Millepora tenela Trachypillia geoffroyi Wellsophyllia radiata Acropora formosa 6 bulan 5 bulan Hydnopora rigida Euphyllia sp Selatan Pulau Pari (Subhan 2002) Cynarina lacrymalis 6 bulan Plerogyra sinuosa Heliopora corerolea Selatan Pulau Pari (Syahrir 2003) Tubipora musica Seriatopora hystrix 6 bulan Pocillopora damicornis Montipora foliosa Montipora spumosa Pulau Pari (Prawidya 2003) Montipora porites 5 bulan Pavona cactus Hydnopora rigida Perairan Tabolong, Acropora valensiennesi 2 bulan P = 5,91 P potong atas = 13,2 P potong tengah = 16,8 P potong bawah = 13,1 P potong atas = 11,2 P potong tengah = 16,8 P potong bawah = 14,3 P = 90 ; L = 139 / P = 103 ; L = 82,2 P = 104 ; L = 154 / P = 127 ; L = 213 100 100 95 100 100 100 83,33 / 66,67 83,33 / 79,17 T = 2,5 ; P = 2,5 66,67 T = 2,8 ; L = 4,7 100 T=6;L=9 33,33 T = 7 ; L = 12 66,67 1. P = 8,3 ; L1 = 2,1 ; L2 = 2,3 2. P = 14,1 ; L1 = 16,7 ; L2 = 14,3 1. P = 4,6 ; L1 = 2,1 ; L2 = 2,5 2. P = 5,4 ; L1 = 6,1 ; L2 ; 5,1 T = 1,4 ; L = 2,7 ; P = 2,8 T = 0,3 ; L = 2,2 ; P = 1,1 T = 2,2 ; L = 1 ; P = 1,1 T = 4,2 ; D = 10,6 T = 2,5 ; D = 3,6 T = 7,4 ; D = 12,6 perlakuan dengan usia koloni berdasarkan potongan pada karang 100 100 77,78 22,22 33,33 perlakuan pada posisi penanaman (vertikal dan horizontal) rasio pertumbuhan lebar dan tinggi koloni karang Perbandinag laju petumbuhan koloni induk (1) dan koloni transplan (2) Laju pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup 100 55,56 100 T = 3,7 ; D = 5,4 100 T = 4,9 ; D = 6 T = 18,27 ; L = 23,14 T = 18,26 ; L = 26,53 T = 22,96 ; L = 26,99 T = 35,89 ; L = 48,00 66,67 P=7 100 Rasio pertumbuhan diameter koloni dan tinggi koloni karang 88,89 100 77,78 100 Laju pertumbuhan dan tingkat kelangsungan idup Laju pertumbuhan, 20 Tabel 2. (Lanjutan) Kupang (Kaleka 2004) Kuta, Bali (Alfaridy, 2009) Acropora brueggenanni P = 6,25 100 Acropora formosa P = 6,7 100 L=5;T=3 - L=9;T=3 - L=5;T=3 - L = 10 ; T = 3 - L=4;T=3 - L=8;T=3 - L=4;T=2 - L=8;T=2 - Acropora spp Stasiun 1 (3 bulan) Stasiun 1 (5 bulan) Stasiun 2 (3 bulan) Stasiun 2 (5 bulan) Stasiun 3 (3 bulan) Stasiun 3 (5 bulan) Stasiun 4 (3 bulan) Stasiun 4 (5 bulan) pertambahan tunas, tingkat ketahanan hidup 2.9. Keadaan Umum Lokasi Penelitian Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terletak di sebelah Utara Teluk Jakarta. Lokasinya berada antara 06°00’40” dan 05°54’40” Lintang Selatan dan 106°40’45” dan 109°01’19” Bujur Timur. Kepulauan seribu terdiri atas rangkaian mata rantai 105 pulau yang terbentang vertikal dari Teluk Jakarta hingga Pulau Sebira di arah utara yang merupakan pulau terjauh dengan jarak kurang lebih 150 km dari pantai Jakarta Utara. Kedalaman perairan Kepulauan Seribu sangat bervariasi. Namun umumnya memiliki kedalaman 30 meter, meskipun ada beberapa lokasi tercatat kedalaman hingga 70 meter, yaitu sebelah utara Pulau Pari dan utara Pulau Semak Daun. Hampir semua pulau memiliki paparan pulau karang (reef flat) yang luas hingga 20 kali lebih luas dari pulau yang bersangkutan dengan kedalaman bervariasi dari 50 cm pada pasang terendah hingga 1 meter, pada jarak 60 meter hingga 80 meter dari garis pantai. Dasar rataan karang merupakan variasi antara pasir, karang mati, sampai karang batu hidup. Pada dasar laut, tepi rataan karang sering diikuti oleh daerah tubir dengan kemiringan curam hingga mencapai 70O mencapai dasar laut dengan kedalaman bervariasi dari 10 meter hingga 75 meter (Noor 2003 ; Estradivari et al. 2007). Kondisi perairan Kepulauan Seribu secara umum memiliki kisaran suhu permukaan perairan pada musim barat berkisar antara 28,5°C-30,0°C, sedangkan pada musim timur permukaan antara 28,5°C-31,0°C. Kisaran salinitas permukaan berkisar antara 30-34 PSU pada musim barat (Desember-Maret) maupun pada musim timur (Juni-September). Kondisi arus permukaan pada Kepulauan Seribu pada musim barat 21 berkecepatan maksimum 0,5 m/detik, sedangkan pada musim timur kecepatan maksimumnya 0,5 m/detik (www.kepulauanseribu.net 2003). Pulau Karya merupakan salah satu pulau yang terdapat di wilayah perairan Kepulauan Seribu. Pulau Karya terletak di Kelurahan Pulau Panggang Kecamatan Kepulauan Seribu Utara memiliki luas daratan sebesar ±6 ha. Pulau ini terletak bersebelahan dengan Pulau Panggang yang merupakan pulau yang memiliki kepadatan penduduk yang cukup padat, serta Pulau Pramuka yang sering dikunjungi wisatawan sebagai lokasi wisata bahari (www.kepulauanseribu.net 2009).