2. tinjauan pustaka

advertisement
4
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Morfologi Hewan Karang
Terumbu karang terbentuk dari kalsium karbonat yang sangat banyak (CaCo3),
batuan kapur, yang merupakan hasil deposisi dari makhluk hidup (Castro & Huber
2007). Terumbu karang terutama disusun oleh karang-karang jenis anthozoa dari
kelas scleractinia, yang mana termasuk hermatypic coral atau jenis karang yang
mampu membuat bangunan atau kerangka karang dari kalsium karbonat (Vaughan &
Wells 1943 in Supriharyono 2007). Struktur bangunan kapur (CaCo3) tersebut cukup
kuat sehingga koloni karang mampu menahan gaya gelombang air laut. Sedangkan
asosiasi organisme-organisme yang dominan hidup disini disamping scleractinian
corals adalah alga yang banyak diantaranya juga mengandung kapur (Dawes 1981 in
Supriharyono 2007).
Ada dua tipe karang, yaitu karang yang membentuk bangunan kapur
(hermatypic corals) dan yang tidak dapat membentuk bangunan karang (ahermatypic
corals). Hermatypic corals adalah binatang karang yang dapat membentuk bangunan
karang dari kalsium karbonat, sehingga sering dikenal juga sebagai reef-building corals.
Sedangkan ahermatypic coral adalah binatang karang yang tidak dapat membentuk
bangunan karang (Supriharyono 2007)
Kemampuan hermatypic coral membentuk bangunan kapur tidak lepas dari
proses hidup binatang ini. Binatang karang ini dalam hidupnya bersimbiosis dengan
sejenis alga (zooxanthellae) yang hidup di jaringan-jaringan polip binatang karang
tersebut, dan melaksanakan fotosintesa. Hasil samping dari aktifitas fotosintesa
tersebut adalah endapan kapur kalsium karbonat, yang struktur dan bangunannya
khas. Ciri ini akhirnya digunakan untuk menetukan jenis atau spesies binatang karang.
Karena aktifitas tersebut, maka peran cahaya matahari sangat penting bagi hermatypic
coral. Sehingga jenis binatang karang ini umumnya hidup di perairan pantai atau laut
yang cukup dangkal, yang mana penetrasi cahaya matahari masih sampai ke dasar
perairan (Supriharyono 2007).
Zooxanthellae adalah algae bersel tunggal dengan ukuran mikroskopis yang
memerlukan cahaya matahari untuk berfotosintesis. Zooxanthellae merupakan alga
dari jenis Gymnodinium microadriaticum atau dikenal juga dengan jenis Simbiodinium
(Ronsen 1988 in Efendie 2009). Adanya simbiosis dengan zooxanthellae menyebabkan
karang berwarna coklat, hijau, atau biru. Dalam keadaan tertentu misalnya akibat
5
tekanan lingkungan atau adanya penyakit yang menyerang karang, zooxanthellae
dapat keluar dari karang sehingga menyebabkan karang menjadi putih pucat dan bisa
menyebabkan kematian (Veron 1986 in Pratama 2005). Zooxanthellae mendapat
perlindungan dari karang dan menggunakan beberapa hasil sampingan metabolisme
karang seperti karbondioksida, amonia, nitrat, dan fosfat sebagai bahan makanan.
Sebaliknya karang mendapat keuntungan dari pelepasan bahan-bahan organik
termasuk glukose, gliserol dan asam amonia yang dikeluarkan oleh zooxanthellae
(Hutabarat & Evans 1985). Simbiosis antara zooxanthellae dengan polip karang dapat
dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Simbiosis antara zooxanthellae dan polip karang (Castro & Huber 2007)
Karang pembentuk terumbu merupakan koloni dengan sejumlah besar polippolip kecil dengan diameter 1-3 mm, namun seluruh koloni dapat menjadi besar.
Beberapa jenis polip soliter dengan diameter sampai 25 cm, misalnya fungia
(Suwignyo et al. 2005). Setiap individu karang yang disebut polip menempati mangkuk
kecil yang dinamakan koralit. Tiap mangkuk koralit mempunyai beberapa septa yang
tajam dan berbentuk daun yang tumbuh keluar dari dasar koralit, dimana septa ini
merupakan dasar penentuan spesies karang (Bengen 2002). Setiap polip berbentuk
seperti cangkir dengan lingkaran tentakel yang mengelilingi bagian tengah yang
berfungsi sebagai mulut sekaligus anus. Tentakel memberi informasi melalui sel-sel
penyengat (nematocysts) yang berfungsi sebagai alat pertahanan dan menangkap
mangsa (Bermuda Coexploration 2000 in Soehartono & Mardiastuti 2003). Anatomi
polip karang dapat dilihat pada Gambar 3.
6
Gambar 3. Anatomi polip karang (Sumich 1999 in Bengen 2002)
2.2. Klasifikasi Hewan Karang
Klasifikasi hewan karang pembentuk terumbu yang ditransplantasikan menurut
Wells (1954) in Suharsono (2008) adalah sebagai berikut :
Kingdom
: Animalia
Filum
: Cnidaria
Kelas
: Anthozoa
Sub kelas
: Zoantharia
Ordo
: Scleractinia
Famili
: Pocilliporidae
Genus
: 1. Stylophora
2. Pocillopora
Spesies
: 1. Stylophora pistillata
2. Pocillopora verrucosa
Filum Cnidaria merupakan salah satu filum yang besar dari hewan air dan
kebanyakan merupakan hewan air laut. Kebanyakan hidup berkoloni, dimana setiap
individu saling terhubung. Filum ini dua bentuk karakteristik polimorfisme yang
diperoleh dari daur hidupnya, yaitu polip dan medusa (Kolzof 1990 in Prawidya 2003).
Anggota kelas Anthozoa merupakan cnidaria yang berpolip dan tidak
mempunyai tahap medusoid. Memiliki polip khusus dibanding kelas Hydrozoa.
Kebanyakan hidup berkoloni dan dapat mencapai ukuran besar, walaupun sebenarya
individu polipnya kecil (Ruppert & Barnes 1987 in Prawidya 2003).
Ordo Scleractinia sering disebut dengan karang batu, karena menghasilkan
rangka. Rangkanya terdiri dari kalsium karbonat dan terpisah oleh epidermis pada
7
basal disc (lapisan basal). Proses pemisahan ini menghasilkan mangkuk kapur, yang
merupakan tempat polip bernaung. Pada dasar mangkuk, terdapat sklerosepta. Setiap
sklerosepta ini terbentuk ke atas sampai ke dasar polip, menahan lapisan basal. Selama
polip hidup, akan terus dihasilkan kalsium karbonat di bawah jaringan yang hidup
(Ruppert & Barnes 1987 in Prawidya 2003).
Famili Pocilloporidae terdiri dari genus Pocillopora, Seriatopora, Stylophora,
Palaustrea dan Madracis. Semuanya dapat ditemukan di perairan Indonesia. Koloni
bercabang atau submasif, ditutupi oleh bintil-bintil (verrucosae).
Koralit hampir
tenggelam, kecil, kolumella, diantara koralit dipenuhi duri-duri kecil (Suharsono
2008).
Genus Stylophora memiliki percabangan yang tumpul, kolumella menonjol,
dengan septa terlihat jelas, diantara koralit ditutupi duri-duri kecil dan permukaan
koloni terlihat kasar (Schweigger 1819 in Suharsono 2008).
Spesies Stylophora pistillata (Gambar 4) memiliki koloni bercabang dengan
percabangan pendek dengan ujung tumpul.
Koloni biasanya berbentuk submasif
dengan cabang pendek berupa kolom atau lempengan tebal. Koralit menonjol pada
satu sisi dan pada sisi lain tenggelam dan tidak tersusun teratur. Biasanya berwarna
kuning cerah dengan ujung berwarna ungu atau putih. Jenis ini umum ditemui di
perairan yang dangkal dan tersebar di seluruh perairan Indonesia (Esper 1979 in
Suharsono 2008).
Gambar 4. Fragmen jenis Stylophora pistillata (Dok. PKSPL-IPB 2009)
Genus Pocillopora memiliki ciri-ciri koloni hampir bercabang, submasif, koralit
hampir tenggelam, septa bersatu dengan kolumella, percabangan relatif besar dengan
8
permukaan berbintil-bintil yang disebut verrucosae (Lamarck 1816 in Suharsono
2008).
Spesies Pocillopora verrucosa (Gambar 5) memiliki karakteristik koloni dapat
mencapai ukuran besar dengan percabangan yang agak tegak ke atas, gemuk pada
pangkal dan agak melebar di bagian atas dengan percabangan menimbulkan kesan
teratur dan memiliki verrucosae yang tersebar merata dengan ukuran yang tidak
seragam. Biasanya berwarna kuning pucat dan coklat muda dan tersebar di seluruh
perairan Indonesia (Ellis & Solander 1786 in Suharsono 2008).
Gambar 5. Fragmen jenis Pocillopora verrucosa (Dok. PKSPL-IPB 2009)
2.3. Sistem Reproduksi
2.3.1. Reproduksi seksual
Binatang karang berkembang biak secara seksual dan aseksual (Supriharyono
2007). Perkembangbiakkan secara seksual melalui pemijahan atau pertemuan antara
ovarium dan testes. Reproduksi seksual karang dimulai dengan pembentukan calon
gamet sampai terbentuknya gamet matang, proses ini disebut gametogenesis.
Selanjutnya gamet yang masak dilepaskan dalam bentuk telur atau planula. Masingmasing jenis karang mempunyai variasi dalam melepaskan telur yang telah dibuahi
dan pertumbuhan terjadi di luar (broadcaster). Sedang karang yang lain pembuahan
terjadi di dalam induknya dierami untuk beberapa saat dan dilepaskan sudah dalam
bentuk planula (broader) (Coremap fase II 2006). Proses reproduksi seksual pada
hewan karang dapat dilihat dari Gambar 6.
9
Gambar 6. Reproduksi seksual pada hewan karang (Nybakken 19
1992)
2.3.2. Reproduksi aseksual
seksual
Reproduksi aseksual pada karang umumnya dilakukan dengan cara m
membentuk
tunas yang akan menjadi individu baru pada induk, dan pembentukan tunas yang
terus-menerus
menerus merupakan mekanisme untuk menambah ukuran koloni, tetapi tidak
untuk menambah koloni baru (Nybakken 1992). Reproduksi aseksual karang melalui
fragmentasi dan
an pertunasan (budding).
(
). Reproduksi melalui pertunasan, tergantung
pada jenisnya, polip baru tumbuh secara ekstratentrakular atau intratentakular
(Gambar 7). Pada pertunasan ekstratentakular, polip yang baru tumbuh dari setengah
bagian tubuh ke bawah (Gambar
(Gam
7-A). Pada pertunasan intertentakular, polip baru
tumbuh dari penyekatan membujur mulai dari oral disk ke arah aboral (Gambar 7
7-B).
Proses pertunasan diikuti pembentukan sklerosepta dan mangkuk karang dari masingmasing
masing polip baru (Suwignyo et al. 2005).
Gambar 7.. Reproduksi aseksual pada hewan karang A. Pertunasan ekstratentakular,
B. Pertunasan intratentakular (Suwignyo
(S
et al. 2005).
10
2.4.
Faktor-faktor Pembatas Kehidupan Karang
Terumbu karang di dunia tersebar hanya pada daerah 32 oLU sampai 32 oLS,
dimana garis lintang yang mengelilingi bumi ini merupakan batas maksimum bagi
karang untuk dapat tumbuh dengan baik. Organisme pembangun karang hanya dapat
hidup di perairan yang dangkal dimana terdapat sinar matahari yang cukup, sehingga
memberi kesan bahwa cara hidup mereka seolah-olah seperti tumbuhan (Hutabarat &
Evans 1985). Selain itu, karang pembentuk terumbu juga dapat tumbuh dengan baik di
daerah-daerah tertentu dimana sedimentasi sedikit dan terhindar dari arus dingin
(Suharsono 1996).
Karang membutuhkan karakteristik lingkungan perairan yang spesifik untuk
dapat tumbuh dan hidup dengan baik. Rachmawati (2001) menyatakan bahwa
terdapat parameter utama yang berpengaruh terhadap keberadaan terumbu karang,
yaitu suhu, salinitas, cahaya matahari, kekeruhan dan nutrisi. Adapun faktor-faktor
lain yang mempengaruhi yaitu sedimentasi, sirkulasi arus dan gelombang, kedalaman
perairan (Dahuri 2003 ; Nybakken 1992).
Faktor-faktor fisika dan kimia yang
mempengaruhi kehidupan karang dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Faktor-faktor fisik yang bekerja pada polip karang (Nybakken 1992).
2.4.1. Suhu
Suhu air merupakan faktor penting yang menetukan kehidupan karang. Menurut
Wells (1995) in Supriharyono (2007) suhu yang baik untuk pertumbuhan karang
adalah berkisar antara 25-29 oC. Berdasarkan Dirjen PHKA (2008) suhu optimal untuk
pertumbuhan karang sebesar 26-30OC, dan menurut baku mutu air laut untuk biota
laut Kep.51 MENKLH (2004) suhu optimal untuk pertumbuhan karang sebesar 28-
11
30OC. Karena sifat hidup ini ekosistem terumbu karang umumnya tumbuh di daerah
tropis, walaupun ada diantaranya yang dapat hidup di daerah sub-tropis seperti di
perairan Bemuda, perairan sebelah selatan Jepang, dan perairan sebelah selatan Afrika
Selatan (Supriharyono 2007).
Nybakken (1992) menyatakan bahwa hampir semua terumbu karang di dunia
hanya ditemukan pada perairan yang dibatasi oleh permukaan yang isoterm 20oC.
Karang hermatipik dapat bertahan selama beberapa waktu pada suhu agak dibawah
20oC, tetapi menurut Wells (1957) in Nybakken (1992) tidak ada terumbu karang yang
mampu berkembang pada suhu tahunan dibawah 18oC.
Terumbu karang dapat
mentoleransi suhu sampai kira-kira 36-40oC, studi yang dilakukan oleh Coles & Jokiel
(1978) dan Neudecker (1981) in Supriharyono (2007) mengenai pengaruh limbah
suhu, menjelaskan bahwa perubahan suhu secara mendadak sekitar 4-6oC di bawah
atau diatas ambang batas dapat mengurangi pertumbuhan karang, bahkan dapat
mematikannya (Supriharyono 2007).
2.4.2. Salinitas
Menurut Nybakken (1992), Karang hermatipik tidak dapat bertahan pada
salinitas yang menyimpang dari salinitas normal, yaitu 32-35 PSU. Adanya aliran
sungai yang bermuara ke perairan pantai menyebabkan penurunan salinitas pada
perairan pantai, sehingga hal ini dapat mempengaruhi kehidupan karang sehingga
pertumbuhannya menjadi tidak normal. Nilai salinitas dapat menurun hingga 20 PSU
ataupun dapat naik melebihi 50 PSU secara temporal (Rachmawati 2001). Namun
demikian, ada juga terumbu karang yang dapat hidup pada perairan yang memiliki
kadar salinitas yang tinggi, yaitu sebesar 42 PSU seperti di Teluk Persia, wilayah Timur
Tengah (Nybakken 1992).
2.4.3. Intensitas cahaya matahari
Cahaya matahari merupakan salah satu parameter utama yang berpengaruh
dalam pembentukan terumbu karang. Penetrasi cahaya merangsang terjadinya proses
fotosintesis oleh zooxanthellae simbiotik dalam jaringan karang. Tanpa cahaya yang
cukup, laju fotosintesis akan berkurang dan bersamaan dengan itu, kemampuan
karang untuk membentuk terumbu (CaCO3) akan berkurang pula (Dahuri 2003).
Cahaya memiliki korelasi penting dengan kedalaman, karena seberapa
kedalaman yang memungkinkan untuk pertumbuhan karang, tergantung dari
seberapa jauh cahaya matahari mampu menembus kolom air (Rachmawati 2001).
12
Terumbu karang umumnya tumbuh pada kedalaman 25 m atau kurang. Pada perairan
yang jernih, kedalaman tersebut dapat bertambah hingga lebih dari 40 m, namun
jarang ditemukan tumbuh dengan baik pada kedalaman lebih dari 50 m (Rachmawati
2001). Hal ini menerangkan mengapa struktur ini terbatas hingga pinggiran benuabenua atau pulau-pulau (Nybakken 1992).
2.4.4. Arus
Arus diperlukan dalam proses pertumbuhan karang dalam hal menyuplai
makanan berupa mikroplankton. Arus juga berperan dalam proses pembersihan dari
endapan-endapan material dan menyuplai oksigen yang berasal dari laut lepas. Oleh
karena itu, sirkulasi arus sangat berperan penting dalam proses transfer energi
(Dahuri 2003). Arus berperan dalam pemindahan nutrien, larva, dan sedimen. Sampah
juga dapat berpindah dengan bantuan arus yang membawanya ke tempat lain.
Karenanya kecepatan arus dan turbulensi memiliki pengaruh terhadap morfologi dan
komposisi taksonomi ekosistem terumbu karang (Rachmawati 2001).
Rachmawati (2001) menyatakan bahwa gelombang yang cukup kuat akan
menghalangi pengendapan sedimen pada koloni karang. Struktur terumbu karang
yang masif, cukup kuat menahan gelombang yang besar. Pada daerah yang terkena
gelombang yang cukup kuat, bagian ujung sebelah luar terumbu akan membentuk
karang masif atau bentuk bercabang dengan cabang yang sangat tebal dan ujung yang
datar.
Sebaliknya pada perairan yang lebih tenang, akan terbentuk koloni yang
berbentuk memanjang dan bercabang dengan cabang yang lebih ramping.
2.4.5. Kekeruhan dan sedimentasi
Kekeruhan dan sedimen juga merupakan faktor lingkungan yang sangat
mempengaruhi pertumbuhan karang. Kekeruhan air dapat megurangi penetrasi atau
intensitas cahaya di dalam air (Supriharyono 2007). Pengaruh sedimentasi terhadap
pertumbuhan binatang karang dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung.
Sedimen dapat langsung mematikan binatang karang apabila sedimen tersebut
ukurannya cukup besar atau banyak sehingga menutupi polip karang (Bak 1978 in
Supriharyono 2007). Pengaruh tidak langsung adalah melalui turunnya peneterasi
cahaya matahari untuk fotosintesis, dan banyaknya energi yang dikeluarkan untuk
menghalau sedimen tersebut, yang berakibat turunnya laju pertumbuhan karang
(Pastorok & Bilyard 1985 in Supriharyono 2007). Ketika laju sedimentasi di perairan
karang tinggi, laju pertumbuhan karang biasanya rendah (Supriharyono 2007).
13
Sedimentasi dan eutrofikasi (pengkayaan nutrien) merupakan salah satu
penyebab utama degradasi ekosistem terumbu karang di dunia (Ginsburg 1993 in
McClanahan 1997). Menurut McClanahan (1997), beberapa jenis karang seperti jenis
Pocillopora, Favia, dan Montipora menunjukkan penurunan ukuran koloni pada
kondisi perairan yang mengandung sedimentasi yang tinggi. Sedimentasi pada
perairan juga dapat mempengaruhi keberadaan unsur hara yang terdapat pada
perairan tersebut. Menurut Supriharyono (2007), unsur-unsur hara yang terikat pada
sedimen tersebut dapat merangsang pertumbuhan alga di perairan karang. Selain itu,
sedimen yang kaya akan unsur hara akan menyebabkan peningkatan kesuburan di
perairan sekitar terumbu karang dan mempercepat laju pertumbuhan makroalga.
Rachmawati (2001) menggolongkan laju sedimentasi kedalam tiga kategori,
yaitu kecil, bila laju kurang dari 10 mg/cm2/hari, memberikan dampak dalam
penurunan regenerasi, kelimpahan, dan keragaman spesies. Termasuk kedalam
kategori sedang bila laju sedimentasi 10-50 mg/cm2/hari, dapat dianggap berbahaya
karena terjadi proses destruktif secara besar-besaran. Bila laju telah melebihi 50
mg/cm2/hari dapat menimbulkan kematian komunitas karang dan kerusakan terumbu
karang.
2.4.6. Nutrien (nitrat, amonia, ortofosfat)
Perairan karang biasanya mengandung nutrien anorganik yang rendah (Grover
2003). Nitrat dan amonia adalah sumber utama nitrogen untuk produktivitas primer
perairan laut (Codicpoti 1989 in Grover 2003). Kisaran konsentrasi nitrogen pada
perairan karang sebesar 0,3-1,0 μmol/L nitrat, dan sebesar 0-0,4 μmol/L amonia
(Bythell 1990 ; D’Ellia & Wiebe 1990 ; Furnas 1991 in Grover 2003). Menurut Grover
(2003), karang keras memiliki kemampuan untuk mengawetkan unsur hara dengan
mengakumulasikan sisa-sisa metabolisme dari binatang induk (karang). Unsur hara ini
dimanfaatkan zooxanthellae terutama apabila perairan sekitarnya miskin unsur hara
(Muscatine 1973 in Supriharyono 2007). Dengan adanya kemampuan dalam
mengawetkan unsur hara ini, maka ekosistem terumbu karang tidak membutuhkan
masukan nutrien yang lebih besar (Charpy 2001).
Nitrat dapat dihasilkan oleh
oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan (Effendi 2003).
Amonia merupakan salah satu senyawa kimia yang bersifat racun bagi biota
perairan jika jumlahnya berlebihan di perairan. Kadar amonia yang tinggi bisa menjadi
indikasi adanya pencemaran bahan organik.
Sumber amonia di perairan adalah
pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat
14
di dalam tanah dan air, yang berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan
biota akuatik yang telah mati) oleh mikroba dan jamur. Tinja dari biota akuatik yang
merupakan limbah aktivitas metabolisme juga banyak mengeluarkan amonia. Sumber
amonia yang lain adalah reduksi gas nitrogen yang berasal dari proses difusi udara
atmosfer, limbah industri, dan domestik. Amonia juga dapat dihasilkan dari proses
denitrifikasi nitrat pada kondisi perairan yang kurang oksigen. Amonia dan garamgaramnya bersifat mudah larut dalam air. Avertebrata air lebih toleran terhadap
toksisitas amonia dari pada ikan (Effendi 2003).
Fosfor merupakan unsur yang esensial bagi tumbuhan tingkat tinggi dan alga,
sehingga unsur ini menjadi faktor pembatas bagi tumbuhan dan alga akuatik serta
sangat mempengaruhi tingkat produktivitas perairan. Ortofosfat merupakan salah
satu bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik.
Keberadaan fosfor secara berlebihan yang disertai dengan keberadaan nitrogen di
perairan dapat menstimulir ledakan pertumbuhan alga di perairan (Effendi 2003).
Nilai parameter lingkungan yang baik untuk pertumbuhan karang berdasarkan baku
mutu yang ditetapkan oleh MENKLH 2004 dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Baku mutu air laut untuk biota laut
Parameter
Satuan
a. Fisika
m
Kecerahan
NTU
Kekeruhan
OC
Suhu
b. Kimia
PSU
Salinitas
Mg/l
Amonia total (NH3-N)
Mg/l
Fosfat (PO4-P)
Nitrat (NO3-N)
Mg/l
*) Baku mutu berdasarkan Kep.51/MENKLH/I/2004
Baku Mutu*
5-10%
<5
28-30
33-34
0,3
0,015
0,008
Nutrien yang tinggi di perairan dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman dan
alga pada perairan tersebut juga meningkat, sehingga hal ini dapat menyebabkan
terganggunya kehidupan dan pertumbuhan karang. Peningkatan kesuburan di
perairan sekitar terumbu karang dan mempercepat laju pertumbuhan makroalga.
Biomassa makroalga yang besar dapat menutupi karang sehingga memiliki efek
seperti halnya penutupan karang oleh partikel sedimen yang besar (Rachmawati
2001).
15
Pengaruh dari alga terhadap organisme karang dimulai dari peningkatan
nutrien pada perairan terumbu karang.
Hal ini memberikan pengaruh terhadap
struktur dan fungsi komunitas karang (Tomascik & Sander 1987; Wittenberg & Hunte
1992 in Tanner1995). Salah satu hipotesis yang berkaitan dengan peningkatan nutrien
adalah seiring dengan peningkatan nutrien, pertumbuhan alga akan meningkat. Hal ini
memungkinkan alga bersaing dengan organisme karang ataupun organisme sessile
(Birkeland 1977,1988; Pastorok & Bilyard 1985 in Tanner 1995).
2.5. Laju Kalsifikasi Karang
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa setiap koloni hermatypic corals
mengandung alga (zooxanthellae) yang hidup bersimbiosis dengan koloni karang.
Zooxanthellae yang hidup di koloni karang ini selain memproduksi karbon juga
memproduksi kalsium karbonat (kapur) atau kalsifikasi, untuk membentuk bangunan
karang. Sehingga jenis karang ini disebut reef building corals, atau jenis karang yang
dapat membuat bangunan karang dari kapur. Kecepatan atau laju kalsifikasi ini tidak
sama untuk setiap spesies. Spesies-spesies tertentu tumbuhnya sangat cepat, yaitu
bisa > 2 cm / bulan (umumnya branching corals), namun ada pula spesies karang
(umumnya karang masif) yang tumbuhnya sangat lambat, yaitu hanya < 1cm /tahun.
Disamping faktor spesies, kecepatan tumbuh karang juga ditentukan oleh kondisi
lingkungan hidup mereka berada. Pada perairan yang memiliki kondisi lingkungannya
mendukung pertumbuhan karang, maka biasanya karang biasanya tumbuh lebih cepat
dibandingkan di daerah yang tercemar. Laju kalsifikasi karang juga ditentukan oleh
beberapa faktor, yaitu cahaya, suhu perairan, kekeruhan, sedimentasi, serta
kedalaman perairan (Supriharyono 2007).
Menurut Timotius (2003) kalsium karbonat yang terbentuk kemudian
membentuk endapan menjadi hewan karang. Sementara itu, karbondioksida akan
diambil oleh zooxanthellae untuk fotosintesis. Pengambilan atau pemanfaatan karbon
(CO2) dalam jumlah yang sangat besar untuk keperluan kalsifikasi yang kemudian
menghasilkan terumbu karang sebaran vertikal dan horizontal yang amat luas,
menjadikan terumbu karang sebagai carbon sink.
2.6. Kerusakan Terumbu Karang
Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat rentan.
Kerusakan terumbu karang dapat diakibatkan baik oleh proses alami maupun proses
antropogenik. Menurut Herianto (2007), kerusakan ekosistem terumbu karang dapat
16
digolongkan berdasarkan penyebab kerusakannya, yakni aktivitas manusia secara
langsung, dan tidak langsung, faktor biologis, dan faktor fisik.
2.6.3. Faktor aktivitas manusia
Menurut Ikawati et al. (2001), kerusakan terumbu karang yang disebabkan oleh
ulah manusia (antropogenik) merupakan penyebab terbesar kerusakan terumbu
karang. Hal ini disebabkan ketidaktahuan manusia akan manfaat dan fungsi terumbu
karang. Beberapa jenis kegiatan manusia yang berdampak secara langsung dalam
kerusakan terumbu karang menurut Herianto (2007) seperti aktivitas penambangan
karang, pengeboman karang, penggunaan sianida atau potas, penangkapan ikan
dengan bubu, penangkapan ikan dengan muroami, jangkar perahu, serta adanya
kegiatan pariwisata perairan. Kegiatan yang bedampak secara tidak langsung yang
menyebabkan kerusakan terumbu karang seperti proses sedimentasi yang merupakan
hasil dari kegiatan penambangan di laut ataupun dari daratan yang terbawa oleh
sungai ke laut. Selain itu, adanya pencemaran limbah perkotaan dan minyak bumi yang
dapat memasok nutrisi yang berlebih ke laut sehingga dapat memicu pertumbuhan
alga tertentu secara cepat (blooming algae) yang dapat menganggu kehidupan karang
(Herianto 2007).
2.6.2. Faktor biologis
Menurut Herianto (2007), faktor biologis yang dapat merusak ekosistem
terumbu karang seperti adanya predasi dari predator yang bersifat aktif dan agresif
untuk mendapatkan makanan, sehingga dapat menghambat atau mematikan
pertumbuhan karang yang lainnya. Selain adanya predasi, penyakit yang disebabkan
oleh bakteri juga dapat menyebabkan kerusakan terumbu karang. Jenis penyakit yang
sering ditemukan pada terumbu karang seperti white band disease, black band disease,
dan vibrio AK-1.
White band disease ditandai dengan adanya warna putih pada
sebagian koloni karang, sedang sebagian lagi berwarna normal. Black band disease
ditandai dengan warna hitam pada jaringan karang yang sedang terserang atau
berwarna putih jika karang telah mati (bleaching). Penyakit vibrio AK-1 terjadi jika
bakteri ini terdapat pada suhu lingkungan yang naik diatas normal. Kerusakan akibat
bakteri ini ditandai dengan memutihnya jaringan karang, akan tetapi warna putihnya
biasanya berupa bercak-bercak yang tidak merata.
Proses bio-erosi juga merupakan salah satu penyebab kerusakan terumbu
karang. Bio-erosi disebabkan oleh terdegradasinya kapur kerangka tubuh karang
17
(CaCO3) yang disebabkan oleh organisme lain baik secara kimiawi maupun mekanis
(Herianto 2007).
2.6.3. Faktor fisik
Faktor fisik yang dapat merusak ekosistem terumbu karang menurut Herianto
(2007) seperti kenaikan suhu air laut, pasang surut, radiasi sinar ultra violet,
penurunan salinitas, gunung berapi, gempa bumi, tsunami, taifun dan badai.
Kerusakan akibat alam ini tidak dapat dicegah secara langsung karena diluar kuasa
manusia. Selain itu, dibandingkan dengan kerusakan karena ulah manusia, kerusakan
terumbu karang karena faktor alam jumlahnya relatif kecil (Ikawati et al. 2001).
2.7.
Transplantasi Karang
2.7.1. Pengertian dan pemanfaatan transplantasi karang
Transplantasi karang adalah pencangkokan atau pemotongan karang hidup
untuk ditanam ditempat lain atau di tempat yang karangnya telah mengalami
kerusakan, bertujuan untuk pemulihan atau pembentukan terumbu karang alami.
Transplantasi karang berperan dalam mempercepat regenerasi terumbu karang yang
telah rusak, dan dapat pula dipakai untuk membangun daerah terumbu karang baru
yang sebelumnya tidak ada (Harriot & Fisk 1988 in Soedharma 2007).
Manfaat dari transplantasi karang menurut Soedharma (2007) adalah :
1. Mempercepat regenerasi terumbu karang yang telah rusak.
2. Rehabilitasi lahan-lahan kosong atau yang rusak.
3. Menciptakan komunitas baru dengan memasukkan spesies baru kedalam ekosistem
terumbu karang di daerah tertentu.
4. Konservasi plasma nutfah, disebut juga konservasi dari sumber keanekaragaman
hayati.
5. Pengembangan populasi karang yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan atau
langka.
6. Menambah karang dewasa ke dalam populasi sehingga produksi larva di ekosistem
karang yang rusak tersebut dapat ditingkatkan.
7. Keperluan perdagangan.
Transplantasi karang telah dipelajari dan dikembangkan sebagai teknologi
pilihan dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang terutama pada daerah-daerah
yang memiliki nilai ekonomi tinggi (Harriot & Fisk 1988 in Soedharma 2007). Tujuan
kegiatan transplantasi yaitu perbanyakan koloni karang dengan bantuan manusia
18
untuk rehabilitasi lahan-lahan kosong atau yang rusak agar dapat menciptakan
komunitas baru dengan memasukkan spesies baru kedalam ekosistem terumbu
karang di daerah tertentu (Soedharma 2007).
2.7.2.Metode transplantasi karang
Metode transplantasi karang dapat dilakukan secara langsung di alam ataupun
pada ruang terkontrol (Soedharma 2007). Metode yang sering dilakukan pada
transplantasi karang seperti metode patok, metode jaring, metode jaring dan substrat,
metode jaring dan rangka, metode jaring, rangka, dan substrat, serta metode rantai.
Beberapa teknik pelekatan karang yang ditransplantasikan adalah semen, lem plastik,
penjepit baja, dan kabel listrik plastik (Coremap fase II 2006).
2.8. Penelitian Transplantasi Karang di Indonesia
Untuk mengetahui kecepatan pertumbuhan karang, berbagai penelitian tentang
transplantasi karang telah dilakukan di Indonesia. Penelitian-penelitian ini banyak
dilakukan oleh instansi-instansi yang bergerak dibidang khususnya terumbu karang,
lembaga-lembaga non-profit, serta penelitian dari mahasiswa perguruan tinggi di
Indonesia. Beberapa penelitian transplantasi yang pernah dilakukan di Indonesia
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Beberapa penelitian transplantasi karang di Indonesia
Lokasi
Spesies
Lama
Penelitian
Acropora tenuis
Pulau Pari
(Sadarun
1999)
Zona
Windward,
Leeward, dan
goba Pulau
Pari (Johan
2000)
Pantai Selatan
Bunaken (Supit
2000)
Laju
Pertumbuhan
(mm/bulan)
32,6-33,3
Kelangsungan
Hidup (%)
90
A. formosa
45,8-46,3
83,33
A. hyachintus
43,8-44,4
100
31,9-32,2
100
A. nasuta
47,9-48,1
100
A. yongei
48,8-49,1
100
A. aspera
33,0-33,3
100
A. digitifera
21,1-24,3
100
A. valida
49,0-41,2
100
A. glauca
20,1
100
A. formosa
3,7
89
1,6
97
4,2
90
P = 6,48
-
A. divaricata
A. donei
5 bulan
6 bulan
A. acuminata
Pocillopora
damcornis
6 bulan
Pengamatan
pertambahan
tunas dan
perambatan
pada substrat
keramik
perlakuan
dengan jumlah
cabang dan
perambatan
pada substrat
keramik
Pengukuran
pertumbuhan
dengan Alizarin-
19
Tabel 2. (Lanjutan)
Pantai
Malalayang
(Supit 2000)
Pocillopora
damcornis
Reds
6 bulan
Porites nigrescens
Utara dan
Selatan Pulau
Pari (Cahyadi
2001)
5 bulan
Montipora digitata
Selatan Pulau
Pari (Herdiana
2001)
Selatan Pulau
Pari (Aziz
2001)
Selatan Pulau
Pari (Alhusna
2002)
Acropora
micropthalma
5 bulan
A. intermedia
Acropora
intermedia
Millepora tenela
Trachypillia
geoffroyi
Wellsophyllia
radiata
Acropora formosa
6 bulan
5 bulan
Hydnopora rigida
Euphyllia sp
Selatan Pulau
Pari (Subhan
2002)
Cynarina lacrymalis
6 bulan
Plerogyra sinuosa
Heliopora corerolea
Selatan Pulau
Pari (Syahrir
2003)
Tubipora musica
Seriatopora hystrix
6 bulan
Pocillopora
damicornis
Montipora foliosa
Montipora spumosa
Pulau Pari
(Prawidya
2003)
Montipora porites
5 bulan
Pavona cactus
Hydnopora rigida
Perairan
Tabolong,
Acropora
valensiennesi
2 bulan
P = 5,91
P potong atas =
13,2
P potong
tengah = 16,8
P potong
bawah = 13,1
P potong atas =
11,2
P potong
tengah = 16,8
P potong
bawah = 14,3
P = 90 ; L = 139
/ P = 103 ; L =
82,2
P = 104 ; L =
154 / P = 127 ;
L = 213
100
100
95
100
100
100
83,33 / 66,67
83,33 / 79,17
T = 2,5 ; P = 2,5
66,67
T = 2,8 ; L = 4,7
100
T=6;L=9
33,33
T = 7 ; L = 12
66,67
1. P = 8,3 ; L1 =
2,1 ; L2 = 2,3
2. P = 14,1 ; L1
= 16,7 ; L2 =
14,3
1. P = 4,6 ; L1 =
2,1 ; L2 = 2,5
2. P = 5,4 ; L1 =
6,1 ; L2 ; 5,1
T = 1,4 ; L = 2,7
; P = 2,8
T = 0,3 ; L = 2,2
; P = 1,1
T = 2,2 ; L = 1 ;
P = 1,1
T = 4,2 ; D =
10,6
T = 2,5 ; D = 3,6
T = 7,4 ; D =
12,6
perlakuan
dengan usia
koloni
berdasarkan
potongan pada
karang
100
100
77,78
22,22
33,33
perlakuan pada
posisi
penanaman
(vertikal dan
horizontal)
rasio
pertumbuhan
lebar dan tinggi
koloni karang
Perbandinag
laju
petumbuhan
koloni induk (1)
dan koloni
transplan (2)
Laju
pertumbuhan
dan tingkat
kelangsungan
hidup
100
55,56
100
T = 3,7 ; D = 5,4
100
T = 4,9 ; D = 6
T = 18,27 ; L =
23,14
T = 18,26 ; L =
26,53
T = 22,96 ; L =
26,99
T = 35,89 ; L =
48,00
66,67
P=7
100
Rasio
pertumbuhan
diameter koloni
dan tinggi
koloni karang
88,89
100
77,78
100
Laju
pertumbuhan
dan tingkat
kelangsungan
idup
Laju
pertumbuhan,
20
Tabel 2. (Lanjutan)
Kupang
(Kaleka 2004)
Kuta, Bali
(Alfaridy,
2009)
Acropora
brueggenanni
P = 6,25
100
Acropora formosa
P = 6,7
100
L=5;T=3
-
L=9;T=3
-
L=5;T=3
-
L = 10 ; T = 3
-
L=4;T=3
-
L=8;T=3
-
L=4;T=2
-
L=8;T=2
-
Acropora spp
Stasiun 1
(3 bulan)
Stasiun 1
(5 bulan)
Stasiun 2
(3 bulan)
Stasiun 2
(5 bulan)
Stasiun 3
(3 bulan)
Stasiun 3
(5 bulan)
Stasiun 4
(3 bulan)
Stasiun 4
(5 bulan)
pertambahan
tunas, tingkat
ketahanan
hidup
2.9. Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terletak di sebelah Utara
Teluk Jakarta. Lokasinya berada antara 06°00’40” dan 05°54’40” Lintang Selatan dan
106°40’45” dan 109°01’19” Bujur Timur. Kepulauan seribu terdiri atas rangkaian
mata rantai 105 pulau yang terbentang vertikal dari Teluk Jakarta hingga Pulau Sebira
di arah utara yang merupakan pulau terjauh dengan jarak kurang lebih 150 km dari
pantai Jakarta Utara. Kedalaman perairan Kepulauan Seribu sangat bervariasi. Namun
umumnya memiliki kedalaman 30 meter, meskipun ada beberapa lokasi tercatat
kedalaman hingga 70 meter, yaitu sebelah utara Pulau Pari dan utara Pulau Semak
Daun. Hampir semua pulau memiliki paparan pulau karang (reef flat) yang luas hingga
20 kali lebih luas dari pulau yang bersangkutan dengan kedalaman bervariasi dari 50
cm pada pasang terendah hingga 1 meter, pada jarak 60 meter hingga 80 meter dari
garis pantai. Dasar rataan karang merupakan variasi antara pasir, karang mati, sampai
karang batu hidup. Pada dasar laut, tepi rataan karang sering diikuti oleh daerah tubir
dengan kemiringan curam hingga mencapai 70O mencapai dasar laut dengan
kedalaman bervariasi dari 10 meter hingga 75 meter (Noor 2003 ; Estradivari et al.
2007).
Kondisi perairan Kepulauan Seribu secara umum memiliki kisaran suhu
permukaan perairan pada musim barat berkisar antara 28,5°C-30,0°C, sedangkan pada
musim timur permukaan antara 28,5°C-31,0°C. Kisaran salinitas permukaan berkisar
antara 30-34 PSU pada musim barat (Desember-Maret) maupun pada musim timur
(Juni-September). Kondisi arus permukaan pada Kepulauan Seribu pada musim barat
21
berkecepatan maksimum 0,5 m/detik, sedangkan pada musim timur kecepatan
maksimumnya 0,5 m/detik (www.kepulauanseribu.net 2003).
Pulau Karya merupakan salah satu pulau yang terdapat di wilayah perairan
Kepulauan Seribu. Pulau Karya terletak di Kelurahan Pulau Panggang Kecamatan
Kepulauan Seribu Utara memiliki luas daratan sebesar ±6 ha. Pulau ini terletak
bersebelahan dengan Pulau Panggang yang merupakan pulau yang memiliki
kepadatan penduduk yang cukup padat, serta Pulau Pramuka yang sering dikunjungi
wisatawan sebagai lokasi wisata bahari (www.kepulauanseribu.net 2009).
Download