Kelemahan fisik meningkatkan risiko patah tulang pada laki-laki yang hidup dengan HIV Oleh: Michael Carter, 18 Februari 2013 Penanda fisiologis penting dari kelemahan fisik berhubungan dengan patah tulang di antara laki-laki yang hidup dengan HIV. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di AS dan diterbitkan dalam edisi online Clinical Infectious Diseases. “Di antara laki-laki yang terinfeksi HIV, kelemahan fisik sangat berhubungan dengan risiko patah tulang,” para peneliti mencatat. “Hubungan ini didorong oleh bertambahnya usia dan anemia.” Populasi studi terdiri dari sekitar 40,000 laki-laki yang hidup dengan HIV yang menerima layanan dari Department of Veterans Affairs antara tahun 1997 dan 2009. Para peneliti menggunakan Indeks Veterans Aging Cohort Study (VACS) untuk menilai risiko patah tulang pasien – tulang pinggul, tulang belakang dan lengan atas. Indeks VACS menilai sejumlah penanda yang diketahui terkait dengan kelemahan fisik di antara orang yang berusia lebih tua. Ini termasuk semua penyebab kematian, rawat inap dan kinerja fungsional, dan penanda peradangan seperti IL-6 D-dimer dan soluble CD14 Skor Indeks VACS didasarkan pada data yang dikumpulkan selama tindak lanjut HIV rutin, termasuk status hepatitis C, status fibrosis hati (dinilai oleh FIB-4), fungsi ginjal (estimasi laju filtrasi glomerulus [eGFR]), hemoglobin, jumlah CD4, viral load dan usia. Para peneliti mengeksplorasi hubungan antara skor Indeks VACS keseluruhan dan risiko patah tulang, dan juga hubungan antara patah tulang tersebut dan masing-masing komponen dari skor. Pada awal, pasien memiliki usia rata-rata 46 tahun. Sekitar sepertiga berkulit putih. Indeks Massa Tubuh (IMT) rata-rata adalah 25m/kg2. Namun, terdapat prevalensi yang tinggi dari faktor risiko yang diketahui untuk patah tulang. 16% dari pasien memiliki diagnosis yang berhubungan dengan alkohol, 19% memiliki masalah penggunaan narkoba, 75% adalah perokok (masa lalu atau saat ini) dan 12% memiliki riwayat depresi. Namun, beberapa pasien memiliki diagnosis penyakit serebrovaskular/stroke (2%) atau penyakit pada arteri koroner/diabetes (7%). Durasi tindak lanjut rata-rata tindak lanjut adalah enam tahun. Terdapat total 588 patah tulang. Ini memberikan kejadian 2,6 per 1000 pasien-tahun. Median skor indeks VACS pada awal adalah 33, menunjukkan risiko kematian pada lima tahun sebesar 14%. Median jumlah CD4 adalah 280 dan viral load rata-rata adalah sekitar 10.000. Hanya lebih dari seperempat dari sampel (27%) terinfeksi dengan hepatitis C dan 7% dari pasien memiliki skor FIB-4 di atas 3,25 yang menunjukkan adanya fibrosis hati lanjut atau sirosis. eGFR rata-rata adalah 97ml/min dan hemoglobin rata-rata adalah 13.5gm/dl. Kurva analisis ketahanan hidup yang berkaitan dengan nilai Indeks VACS menunjukkan bahwa pasien dengan skor tertinggi memiliki waktu bebas dari patah tulang yang terpendek, sedangkan pasien dengan skor terendah memiliki waktu yang sangat lama tanpa patah tulang (p <0,001). Pemeriksaan lebih dekat dari nilai Indeks VACS menunjukkan bahwa 10% dari individu dengan skor tertinggi mengalami peningkatan hampir empat kali lipat risiko patah tulang dibandingkan dengan 10% dari pasien dengan skor terendah (HR = 3,83, 95% CI, 2,49-5,90). Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa indeks skor VACS (HR = 1,15, 95% CI, 1,1-1,19) memiliki hubungan yang signifikan dengan risiko patah tulang. Faktor-faktor lain termasuk ras kulit putih, IMT, diagnosis yang berhubungan dengan alkohol, penyakit serebrovaskular, penggunaan PPI inhibitor (terapi antasida) dan pengobatan dengan protease inhibitor. Para peneliti kemudian mengeksplorasi hubungan antara komponen individual dari skor Indeks VACS dan risiko patah tulang. Bertambahnya usia tampaknya menjadi faktor risiko yang kuat, setiap kenaikan usia sepuluh tahun meningkatkan risiko patah tulang sebesar 40% (HR = 1,40, 95% CI, 1,27-1,54). Anemia juga signifikan. Para peneliti mencatat ini merupakan faktor risiko untuk patah tulang di kalangan orang tua pada populasi umum. “Anemia dapat meningkatkan risiko patah tulang karena hubungannya dengan penurunan massa tulang dan kepadatan tulang ... peradangan dapat mendorong Dokumen ini diunduh dari situs web Yayasan Spiritia http://spiritia.or.id/ Kelemahan fisik meningkatkan risiko patah tulang pada laki-laki yang hidup dengan HIV hubungan ini,” para penulis menyarankan. “Anemia juga dapat meningkatkan risiko patah tulang dengan meningkatkan risiko jatuh melalui dampak negatif terhadap kinerja fisik dan kekuatan otot.” Sebuah penemuan mengejutkan dari studi ini adalah adanya hubungan antara viral load yang lebih rendah dan peningkatan risiko patah tulang. Para peneliti menyarankan bahwa “hubungan ini adalah contoh persaingan risiko: individu dengan viral load tinggi menjadi lebih sakit dibandingkan dengan viral load yang lebih rendah dan meninggal sebelum mereka mengalami patah tulang.” “Studi kami adalah yang pertama untuk mengeksplorasi hubungan antara kelemahan fisiologis dan risiko patah tulang di antara orang yang terinfeksi HIV,” para peneliti menyimpulkan. “Karena perempuan lebih cenderung rentan dibandingkan laki-laki dalam populasi umum, analisis yang sama harus dilakukan di antara perempuan yang terinfeksi HIV.” Ringkasan: Frailty increases the risk of fragility fractures in men living with HIV: data collected in routine HIV care can help predict risk Sumber: Womack JA et al. Physiologic frailty and fragility fracture in HIV infected male veterans. Clin Infect Dis, online edition, 2013. –2–