PolMark Indonesia-Political Consulting Berharap Reformasi Hidup Lagi 14 Mei 2012 - Gerakan reformasi yang digelorakan 14 tahun silam ternyata buahnya belum sepenuhnya memuaskan publik. Berbagai karut-marut dan minornya penegakan hukum masih dipersoalkan sebagian besar masyarakat. Karena itu, mereka berharap adanya gerakan reformasi yang berbeda dengan dulu dan lebih menggerakkan semua elemen masyarakat. Penilaian tersebut terangkum dalam jajak pendapat Kompas pada 9-11 Mei 2012 yang menggali opini publik dalam mengevaluasi perjalanan gerakan reformasi. Banyaknya tuntutan reformasi yang belum terpenuhi menyisakan pertanyaan di masyarakat tentang keseriusan dan kelangsungan proses reformasi. Tak heran jika gambaran gerakan reformasi saat ini dianggap negatif oleh masyarakat. Meski beberapa hal sudah dirasakan dampaknya, hampir separuh responden (48,1 persen) menilai kondisi bangsa saat ini lebih buruk dibanding sebelum reformasi. Dari sembilan isu yang diusung saat reformasi, hanya dua hal yang dirasakan publik sudah terpenuhi, yaitu kebebasan berpolitik dan kebebasan berekspresi. Agenda-agenda lain masih jauh dari harapan publik, terutama ketersediaan bahan kebutuhan pokok yang harganya terjangkau. Juga kinerja pemberantasan korupsi, penegakan supremasi hukum, pengusutan kasus penculikan aktivis, dan pengusutan kasus kerusuhan 13-15 Mei 1998. Selain itu, masih kuatnya pengaruh Soeharto dan kroni-kroninya di panggung politik, serta penguatan peran sipil di kekuasaan. Tidak heran jika sebagian besar responden (57 persen) beranggapan reformasi masih jauh dari harapan. Ini hampir sama dengan hasil jajak pendapat Kompas pada tujuh tahun perjalanan reformasi, Mei 2005. Saat itu, 55 persen responden beranggapan reformasi gagal. Ini menunjukkan tak ada perubahan yang signifikan terhadap kemajuan reformasi. Sikap publik tak terlepas dari gambaran reformasi waktu itu. Berbagai catatan merah perjalanan reformasi melengkapi minimnya apresiasi masyarakat terhadap gerakan reformasi. Terpenuhinya dua tuntutan reformasi dinilai baru memuaskan kepentingan elite, sementara kebutuhan rakyat ”seakan-akan” dibiarkan menemukan solusinya sendiri. Kebebasan berpolitik, seperti pendirian partai politik, dinilai publik malah mendorong instabilitas politik karena adanya benturan kepentingan. Demikian juga dengan penguatan parlemen. Kebijakan yang tadinya diharapkan menjadi penyeimbang kekuatan eksekutif ternyata berbelok arah dari tujuan reformasi. Wewenang kuat yang diamanatkan rakyat tak luput dari penyalahgunaan. Buktinya, enam tahun terakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi menangani 49 legislator yang terjerat korupsi. Padahal, korupsi merupakan salah satu tuntutan utama gerakan reformasi. Selain bergerak dalam tataran elite, buruknya citra reformasi di benak publik menjadi modal negatif penilaian masyarakat terhadap gerakan reformasi. Sejak awal, masyarakat mengingat reformasi sebagai penggalan kisah perjalanan bangsa yang sarat tragedi. Hanya 1,4 persen responden yang menangkap reformasi sebagai gerakan pembaruan atau perbaikan segi-segi kehidupan bangsa. Ingatan terbesar tentang gerakan reformasi yang terekam di benak publik adalah kerusuhan, lengsernya Soeharto, unjuk rasa mahasiswa, penembakan mahasiswa, penjarahan massal, serta penculikan aktivis. Tidak mengherankan, hampir separuh responden (48,1 persen) menilai gerakan reformasi Mei 1998 sebagai hal buruk. Reformasi kedua Meski demikian, publik tetap mengapresiasi gerakan reformasi karena mampu menguatkan sendi-sendi demokrasi. Perubahan UUD 1945 membawa hasil positif terhadap penguatan lembaga negara dan optimalisasi peran negara lewat pembentukan komisi-komisi negara. Salah satunya adalah terselenggaranya pemilu multipartai dan pemilihan presiden secara langsung. Perubahan lainnya yang tidak kalah penting adalah reposisi peran TNI dari panggung politik nasional. Hal ini antara lain ditandai dengan pengurangan hingga likuidasi Fraksi TNI/ Polri di parlemen. Terobosan lain adalah desentralisasi kekuasaan lewat kebijakan otonomi daerah yang diikuti terbitnya aturan mengenai perimbangan keuangan pemerintah pusat- daerah. Meredupnya apresiasi publik terhadap gerakan reformasi sudah saatnya mendapat perhatian penyelenggara negara. Tuntutan publik harus diimbangi dengan respons dari pengendali sistem. Menghiraukan ketidakpuasan publik bisa memicu gerakan massa, yang menurut sosiolog Maurice Duverger (1981) merupakan pilihan yang tak terelakkan saat masyarakat ingin mendesakkan kepentingannya kepada negara. Untuk itu diperlukan gerakan besar untuk mengikis stagnasi minimnya tuntutan reformasi. Optimisme ini juga diyakini http://www.polmarkindonesia.com Powered by Joomla! Generated: 2 November, 2017, 16:16 PolMark Indonesia-Political Consulting sebagian besar responden (70 persen) yang menilai gerakan reformasi masih diperlukan untuk mengubah kondisi bangsa. Gerakan ini harus dibangun bersama melibatkan seluruh komponen bangsa. Publik berharap, reformasi jangan hanya di tingkat elite seperti pada 1998. Model gerakan yang harus dibangun adalah gerakan moral bersama-sama. Publik (49 persen responden) yakin masih ada tokoh yang bisa menggerakkan dan melanjutkan cita-cita reformasi. (sumber: Kompas) http://www.polmarkindonesia.com Powered by Joomla! Generated: 2 November, 2017, 16:16