3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Sawo (Achras zapota L.) Tanaman sawo memiliki klasifikasi sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisio : Magnoliophyta Subdivisio : Magnoliopshida Classis : Dicotyledoneae Subclassis : Sympetalae Ordo : Ebenales Family : Sapotaceae Genus : Achras Species : Achras zapota L. (Tjitrosoepomo 2000) Budidaya tanaman sawo dapat dilakukan melalui perbanyakan vegetatif dan generatif. Perbanyakan generatif menggunakan biji memiliki keunggulan berupa sistem perakaran yang lebih kuat dan dalam. Perbanyakan secara generatif dimulai dengan mengecambahkan biji tanaman sawo, setelah berkecambah dan keluar akarnya kemudian dipindah tanam. Perbanyakan tanaman sawo yang berasal dari biji memiliki umur mulai berbuah yang cukup lama, sekitar 7 tahun setelah tanam, tanaman yang tidak berasal dari tanaman induk varietas unggulan akan membutuhkan waktu yang lebih lama dari itu. Kelemahan lain dari perbanyakan secara generatif ialah, tanaman sawo akan mengalami proses segregasi genetis (Rukmana 1997) Perbanyakan vegetatif tanaman sawo dilakukan dengan metode sambung pucuk (grafting) dan cangkok. Metode sambung pucuk dilakukan menggunakan batang atas yang berasal dari varietas unggul tanaman sawo. Pada metode sambung pucuk diperlukan perhatian yang lebih untuk memelihara tanaman hasil sambungan. Metode vegetatif yang paling umum digunakan dalam perbanyakan tanaman sawo ialah metode cangkok. Cangkok yang berhasil akan ditandai dengan keluarnya akar-akar baru pada daerah 3 4 cangkokan. Kelemahan dari metode cangkok adalah tidak menghasilkan sistem perkaran yang kuat, tetapi dapat mempercepat kemampuan berbuah tanaman buah-buahan (Rukmana 1997) Vegetasi sebagai lingkungan biotik mempunyai peranan penting terhadap keberadaan sawo. Menurut pendapat beberapa ahli, faktor vegetasi dapat menentukan struktur dan kualitas tumbuh tanaman. Faktor tumbuh yang pasif menyebabkan rendahnya biodiversitas tanaman. Kemampuan beradaptasi suatu tanaman terhadap kondisi suatu lingkungan bergantung pada jenis tanaman itu sendiri. Kehadiran suatu kelompok jenis yang tumbuh bersama dan membentuk komoditas dapat mendukung kebutuhan faktor tumbuh yang sama untuk jenis tersebut (Sidiyasa 1998) Tanaman sawo dapat dibudidayakan pada daerah yang beriklim basah sampai kering, dari dataran rendah sampai dengan ketinggian 1200 mdpl. Curah hujan yang dikehendaki oleh tanaman sawo yaitu 12 bulan basah atau 10 bulan basah dengan 2 bulan kering atau 9 bulan basah dengan 3 bulan kering atau 7 bulan basah dengan 5 bulan kering dan 5 bulan basah dengan 7 bulan kering atau membutuhkan curah hujan 2.000 sampai 3.000 mm/tahun. Tanaman sawo dapat beradaptasi pada suhu 22-32O celcius. Sawo termasuk tanaman yang toleran terhadap keadaan teduh atau naungan (Erfandi 2008). Sawo merupakan tumbuhan yang mudah beradaptasi terhadap suhu, akan tetapi kondisi suhu yang terlalu tinggi dapat merusak pertumbuhan sawo. Daerah yang beriklim tropis dapat mendukung pertumbuhan tanaman sawo secara optimal. Sawo merupakan tumbuhan yang cukup tahan terhadap gangguan angin. Sawo dapat tumbuh dengan baik pada tanah alluvial dan tanah berpasir, tanaman ini juga dapat ditanam pada tanah liat tetapi drainase tanah tersebut harus baik. pH tanah yang mendukung pertumbuhan sawo berkisar antara 6 – 7 (Purnomosidhi et al 2002). Balerdi et al (2013) mengatakan tanaman sawo sebaiknya ditanam pada lahan yang terkena sinar matahari secara penuh untuk mendapatkan pertumbuhan dan hasil produksi yang terbaik. 5 B. Identifikasi dan Karakterisasi Morfologi Identifikasi morfologi tanaman adalah identifikasi terhadap karakter luar tanaman, secara kualitatif maupun kuantitatif (Amzeri et al 2011). Karakterisasi sifat morfologi merupakan cara determinasi yang paling akurat untuk menilai sifat agronomi dan klasifikasi taksonomi tanaman (Li et al 2009). Karakterisasi morfologi dapat digunakan untuk identifikasi duplikasi koleksi plasma nutfah, studi pendugaan keragaman genetik dan studi korelasi antara morfologi dengan sifat penting agronomi (CIAT 1993; Rimoldi et al 2010; Talebi et al 2008). Salah satu upaya yang perlu dilakukan dalam pengelolaan sawo adalah identifikasi keragaman dengan cara karakterisasi, yang berguna untuk mengidentifikasi keragaman genetik dalam populasi tanaman sawo. Keragaman genetik antara individu atau populasi dapat diduga dengan menggunakan penanda morfologi (Garcia et al 1998). Identifikasi morfologi dilakukan berdasar pengamatan secara langsung terhadap sifat fenotip tanaman. Identifikasi morfologi dapat mempermudah kegiatan pemuliaan tanaman, karena penanda dapat diamati dengan mata secara langsung, seperti warna batang, warna bunga, warna kulit buah, warna kulit biji, bentuk biji dan lainnya (Tanksley 1983). Sehingga, karakterisasi morfologi lebih utama dilakukan daripada karakterisasi molekuler karena mudah dilakukan dan nampak secara jelas. Penanda morfologi yang digunakan merupakan penanda yang didasarkan pada hereditas Mendel yang sederhana. Karakter morfologi (fenotip) bisa digunakan sebagai indikator yang signifikan untuk gen yang spesifik dan penanda gen dalam kromosom karena sifat-sifat yang mempengaruhi morfologi dapat diturunkan (Sofro 1994). Penampilan morfologi suatu tanaman pada suatu lingkungan tumbuh merupakan hasil interaksi antar faktor genetik dan faktor lingkungan disekitarnya. Suatu tanaman dengan genotip yang sama tetapi berada pada lingkungan yang berbeda, dapat menghasilkan tampilan yang berbeda pula, sehingga seberapa 6 jauh interaksi antara genotip dengan lingkungan (GxE) merupakan hal krusial yang harus diketahui dalam suatu program pemuliaan (Mangoendidjojo 2000). Karakterisasi merupakan kegiatan penting dalam pengelolaan plasma nutfah yang digunakan untuk mendeskripsikan suatu varietas dalam rangka seleksi tetua untuk program pemuliaan tanaman. Karakterisasi morfologi meliputi kegiatan inventarisasi dan ekplorasi yaitu mengetahui jumlah, habitat, status keberadaan, pemilik, sebaran genetik, dan manfaat bagi masyarakat sekitarnya. Ekplorasi adalah kegiatan mencari, mengumpulkan, dan mengamankan dari kepunahan, dilakukan di daerah terpencil seperti daerah endemik hama dan penyakit, dan daerah pertanian konvensional (Sukartini 2008). Keanekaragaman pengelolaan plasma nutfah mencakup seluruh kegiatan mulai dari pembenihan, pembibitan, pembudidayaan, hingga panen (Dwiyanto et al 2004). C. Karakter Morfologi Tanaman Sawo Sawo merupakan tanaman yang besar dan rindang, dapat tumbuh hingga 30-40 meter (Morton 1987). Rukmana (1997) menambahkan, kesan rindang yang dimiliki tanaman sawo disebabkan oleh tajuk pohon sawo yang lebar serta daunnya yang lebat. Tanaman sawo merupakan tanaman perennial (hidup menahun). Sawo memiliki batang tanaman yang keras dan percabangannya cukup rapat, dari bagian bawah batang hingga ke ujung tanaman. Seluruh bagian tubuh sawo mengandung getah berwarna putih yang disebut lateks. Daun sawo berbentuk bundar memanjang dan tumbuh bergeormbol pada bagian ujung tangkai ataupun ranting (Rukmana 1997). Bunga sawo merupakan bunga tunggal yang panjang tangkainya 1-2 cm, bunga sawo kerapkali menggantung (Morton 1987). Pada fase reproduksi, bunga tanaman ini akan muncul dari ketiak-ketiak daun dekat ujung ranting. Bunga sawo merupakan bunga dengan kelamin ganda (biseksual), memiliki 6 tangkai benang sari dan warna bunganya coklat kemerah-merahan (Rukmana 1997) Buah sawo berkulit tipis, daging buahnya lembut serta berwarna coklat kemerahan sampai kekuningan, rasanya manis dan mengandung banyak sari 7 buah (Morton 1987). Kulit dan daging buah sawo yang sudah matang akan berwarna cokelat dan menghasilkan rasa yang sangat manis. Buah sawo kaya akan karbohidrat, karena komposisi karbohidrat yang dikandungnya mencapai 20% dari total bagian buah (Anonim 2015). Rasa manis pada buah sawo dipengaruhi kandungan glukosa dan fruktosa yang tinggi. Buah sawo mengandung glukosa sebesar 4,2% dan fruktosa sebesar 3,8%. (Rukmana dan Yuniarsih 2001). Menurut Ihsan dan Wahyudi (2010) kadar sukrosa akan mempengaruhi rasa manis pada daging buah. Daging buah yang manis akan memilki kadar sukrosa yang tinggi sementara daging buah yang kurang manis akan memiliki kadar sukrosa yang rendah. Penyusunan sukrosa dibantu oleh zat pembawa pospat yakni UTP (uridin tripospat) Dwijoseputro (1986) dalam Helmiyesi et al (2008). Pengukuran total padatan terlarut dalam buah sawo dapat menggunakan Hand refractometer. Hand refractometer adalah alat optikal yang dapat meneruskan cahaya melewati bahan cair atau membiaskannya. Padatan terlarut dalam cairan akan menunjukan indeks bias yang berkorelasi dengan jumlah padatan. Cairan yang lebih padat nilai biasnya akan lebih tinggi. Pengukuran padatan terlarut pada hand refractometer dilakukan dengan meneteskan produk pada kaca sensor kemudian diarahkan ke sinar matahari, kemudian angka brix akan dapat terbaca (Harrill 1994). Pada umumnya buah sawo lokal hanya dapat bertahan pada suhu ruang selama 3 hari, setelah melewati masa tersebut daging buah akan cenderung melembek dan berair. Salah satu sawo lokal yang memiliki masa simpan yang panjang adalah sawo sumedang yang berasal dari kabupaten Sumedang, Jawa Barat yang memiliki masa simpan hingga seminggu. Sawo yag telah matang daging buahnya akan mengeras tetapi jika dimakan rasanya telah manis, berbau segar dan kandungan getahnya telah hilang (Trubus 2001). Buah sawo yang belum matang optimum mengandung zat tanin yang dapat menghambat perhitungan total padatan terlarut. Tanin merupakan senyawa yang termasuk ke dalam golongan polifenol yang memiliki aktivitas antibakteri, sehingga toksisitas tanin dapat merusak membran sel bakteri (Thu et al 2003). 8 D. Karakter Sawo Unggulan Tanaman sawo yang unggul diamati dari karakter-karakter komponen hasil yang dimiliki, terdapat tiga karakter morfologi yang dijadikan kriteria dalam menseleksi tanaman, karakter-karakter ini dijadikan kriteria dalam penentuan sawo unggul karena memiliki korelasi positif terhadap bobot buah sawo, karakter tersebut yaitu panjang daun, panjang buah serta diameter buah. Pertambahan panjang daun sejalan dengan pertambahan lebar daun, panjang tangkai daun, diameter buah dan bobot buah. Panjang buah berkorelasi positif terhadap diameter buah, bobot buah dan kadar gula buah. Diameter buah berkorelasi positif terhadap bobot buah dan jumlah biji (Rozika et al 2008). Aksesi sawo asal Daerah Istimewa Yogyakarta yang terpilih sebagai tanaman induk sawo mampu menghasilkan buah dengan ciri ukuran buah yang seragam, kadar manis bauh yang tinggi serta penampilan buah yang baik Rozika et al (2008). Seleksi terhadap varietas sawo seharusnya terfokus pada tanaman yang memiliki hasil produksi yang tinggi, menghasilkan buah berukuran sedang hingga besar dengan bentuk yang seragam, memiliki kualitas daging buah yang baik, memiliki jumlah biji yang sedikit, memiliki musim berbuah yang lebih sering dibandingkan dengan varietas lain, mampu bertoleransi terhadap serangan hama dan penyakit serta memiliki umur simpan buah yang cukup lama (Brunner dan Payan 2011)