1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Asma merupakan penyakit kronik yang sering dijumpai pada anak di negara maju. Sejak dua dekade terakhir, dilaporkan bahwa prevalensi asma meningkat pada anak maupun dewasa. Prevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10% pada anak), diperkirakan 300 juta orang di dunia menderita asma. Penelitian Kartasasmita tahun 2002 menyatakan bahwa prevalensi asma pada anak di Indonesia adalah 5,2% (Kartasasmita 2008; GINA 2011; Pusponegoro et al., 2004). Masalah epidemiologi yang lain saat ini adalah morbiditas dan mortalitas asma yang relatif tinggi. World Health Organization (WHO) memperkirakan saat ini terdapat 250.000 kematian akibat asma. Berbagai negara melaporkan bahwa terjadi peningkatan kematian akibat penyakit asma, termasuk pada anak (Kartasasmita, 2008). Asma masih mejadi salah satu penyebab utama datangnya pasien ke rumah sakit dan salah satu alasan untuk tidak masuk sekolah. Bayi dan anak-anak kecil memiliki risiko morbiditas yang lebih tinggi. Risiko rawat inap anak asma yang berusia kurang dari 4 tahun lebih besar dibandingkan semua kelompok umur lain. Selain memiliki risiko rawat inap yang lebih besar, anak kecil dengan asma cenderung berulang kali mengalami rawat inap karena serangan asma berulang (Emerman et al., 2001; Indrisari, 2006). 2 Asma pada anak merupakan kendala penting untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Asma dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan fisik, mempengaruhi kecerdasan, perkembangan mental dan emosi anak. Permasalahan asma tidak terlepas juga mengenai biaya yang dikeluarkan, baik biaya perawatan rumah sakit, obat-obatan, dan biaya lain yang dikeluarkan sebagai akibat tidak langsung penyakit asma (Angriani,1998; GINA, 2011). Banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya serangan asma, kejadian asma, berat ringannya penyakit, serta kematian akibat asma. Beberapa faktor sudah disepakati oleh para ahli, sedangkan sebagian lain masih dalam penelitian. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah jenis kelamin, usia, sosio ekonomi, alergen, infeksi, atopi, dan lingkungan. Perhatian terhadap peran nutrisi antioksidan serta oksidatif stres pada kejadian asma pada tahun-tahun terakhir ini makin meningkat. Asupan makanan, terutama vitamin A, C, E dan karotinoid dikatakan memiliki hubungan dengan kejadian dan derajat asma. Survei National Health and Nutrition Examination (NHANES) III tahun 1988-1994 mengatakan asma berhubungan dengan kadar serum vitamin C yang rendah (Khan et al., 2003). Penelitian-penelitian epidemiologi dan survei populasi di United Kingdom, United States, Belanda, dan China mengatakan bahwa rendahnya asupan vitamin C juga berhubungan dengan penigkatan reaktifitas bronkial, gejala mengi pada remaja dan anak-anak (Misso et al., 2005). Penelitian terbaru lainnya menunjukkan bahwa pasien-pasien asma memiliki asupan vitamin C yang rendah dibandingkan dengan yang tidak 3 menderita asma, dan asupan vitamin C rendah pada laki-laki dengan asma berat (Misso et al., 2005). Sesuai dengan laporan penelitian tersebut telah dilakukan pengamatan bahwa pada asupan vitamin C yang rendah ternyata pada pasien asma konsentrasi vitamin C plasma juga rendah, terutama pada asma berat. Penelitian Balcom et al., (2006) yang dilakukan untuk mencari hubungan antara nutrien antioksidan dan penanda stres oksidatif dengan fungsi paru orangorang dengan gangguan napas kronis menunjukkan hasil bahwa serum vitamin C berhubungan positif dengan Forced Expiratory Volume pada detik pertama (FEV1) dan Forced Vital Capacity (FVC) pada penderita asma. Beberapa penelitian berbasis populasi mendukung hal ini, bahwa sebagian besar penelitian melaporkan hubungan positif antara fungsi paru dan vitaminvitamin antioksidan. Sebagian besar penulis mengukur kadar antioksidan serum atau melakukan penilaian asupan makanan (Britton et al., 1995; Grievink et al., 2000). Penelitian kasus kontrol Hijazi et al., (2000) pada anak asma umur 12 tahun melaporkan tidak ada hubungan vitamin C dengan kejadian asma. Penelitian Powel et al., (1994) juga melaporkan bahwa rendahnya kadar vitamin C plasma pada kasus asma tidak berbeda bermakna dengan anak yang bukan kasus asma. Penelitian Misso et al., (2005) pada 53 orang asma dalam serangan ringansedang, 28 serangan asma berat, 43 orang tidak asma menunjukkan bahwa vitamin C plasma lebih rendah pada serangan berat dibandingkan dengan serangan ringan-sedang dan kontrol. 4 Bukti-bukti pada populasi untuk mendukung hubungan antara nutrien antioksidan (vitamin C) dan penanda oksidatif stres dengan fungsi paru pada orang dengan gangguan pernapasan kronis masih terbatas. Terdapat bukti bahwa pada pasien asma, oksidan diproduksi endogen disebabkan oleh reaksi berlebih dari sel-sel inflamasi yang berperan pada terjadinya asma. Vitamin C sebagai antioksidan terbanyak yang ada pada permukaan cairan paru, memiliki peranan penting untuk melindungi dari oksidan endogen maupun eksogen tersebut (Hatch, 1995). Penelitian-penelitian yang menilai peran vitamin C pada asma terutama peran kadar vitamin C plasma pada serangan asma masih terbatas, terutama di Indonesia. Penelitian ini dilakukan untuk menilai hubungan antara kadar vitamin C plasma dengan kejadian serangan asma pada anak. B. Perumusan Masalah 1. Prevalensi asma yang tinggi di dunia dan di Indonesia 2. Banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi serangan asma pada anak 3. Penelitian mengenai peran vitamin C plasma sebagai faktor risiko serangan asma anak masih terbatas. 5 C. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian mengenai kadar vitamin C terhadap asma antara lain : 1. Balcom et al., (2006) Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang betujuan untuk mencari hubungan antara nutrisi antioksidan dan petanda stres oksidatif terhadap Forced Expiratory Volume pada detik pertama (FEV1) dan Forced Vital Capacity (FVC) pada pasien asma atau penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Penelitian dilakukan pada 218 pasien dewasa yang terdiri dari 68 pasien asma, 121 bronkitis kronis dan emfisema dan 29 orang asma dengan PPOK. Semua pasien dilakukan tes fungsi paru, pemeriksaan serum antioksidan, dan petanda stres oksidatif. Serum antioksidan yang diukur adalah vitamin C, vitamin E, ß-Cryptoxanthin, Lutein, ß-carotene, Lycopene, dan Retinol. Analisi multipel linear regresi dilakukan untuk menilai hubungan vitamin antioksidan dan petanda stres oksidatif dengan FEV1% dan FVC%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar vitamin C serum berhubungan dengan FEV dan FVC (p<0,05). 2. Shidfar et al., (2005) Penelitian ini adalah penelitian kasus-kontrol untuk membandingkan kadar vitamin C plasma dan leukosit penderita asma dengan orang sehat. Penelitian dilakukan di rumah sakit Massih Daneshvari di Tehran Iran antara Oktober 2002 sampai dengan Januari 2003. Subjek pada penelitian ini adalah 50 orang penderita asma dewasa yang rata-rata telah menderita asma selama 8 6 tahun dan 50 orang sehat. Kadar vitamin C plasma dan leukosit diukur pada kedua kelompok tersebut. Analisis statistik menggunakan uji t independen dilakukan untuk menilai apakah terdapat perbedaan vitamin C plasma dan leukosit pada kedua kelompok. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna pada rerata vitamin C plasma dan vitamin C leukosit penderita asma dibandingkan dengan kelompok kontrol. Konsentrasi vitamin C plasma 0.7 mg/dl pada kelompok asma dan 1.15 mg/dl pada kelompok kontrol (p< 0.001). 3. Ford et al., (2004) Penelitian ini membandingkan konsentrasi serum antioksidan yang didapat dari partisipan Third National Health and Nutrition Examination Survey (1988-1994) yang berusia di atas 20 tahun. Partisipan tersebut dibagi menjadi 3 kelompok yaitu 771 orang yang baru terdiagnosis asma, 352 orang yang pernah menderita asma, dan 15.418 orang yang bukan asma. Semua partisipan tersebut diperiksa kadar antioksidan serumnya. Untuk menilai hubungan antara konsentrasi antioksidan dan asma, dilakukan analisis statistik dengan regresi linier. Hasil penelitian mengatakan asma tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan konsentrasi antioksidan apapun termasuk vitamin C. Bagaimanapun konsentrasi vitamin C tampak lebih rendah pada orang yang baru menderita asma dan pernah asma daripada orang yang bukan asma (p=0,0014). 7 4. Khan et al., (2003) Penelitian ini adalah penelitian epidemiologi/populasi yang dilakukan pada 4093 partisipan. Sebanyak 3.696 dikelompkkan ke dalam bukan penderita asma dan 397 kelompok penderita asma. Rata-rata usia kedua kelompok adalah 11 tahun. Pada kedua kelompok dilakukan pemeriksaan terhadap konsentrasi vitamin serum terutama vitamin A, C, E dan Karetinoid. Kategori variabel dibandingkan dengan Chi-Square test dan analisis regresi logistik digunakan untuk menilai hubungan antara variabel-variabel terhadap kemungkinan menderita asma. Hasil penelitian menunjukkan bahwa diagnosis asma berhubungan dengan kadar vitamin C serum, α-carotene, ß-carotene, and ß-cryptoxanthin. Analisis regresi logistik menunjukkan satu-satunya antioksidan yang berhubungan dengan asma adalah vitamin C (OR=0,72 per mg/dl, 95% CI = 0.55, 0.95). Peneliti menyimpulkan bahwa rendahnya kadar vitamin C serum berhubungan dengan risiko asma pada anak. 5. Misso et al., (2005) Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik pada tiga kelompok yaitu kelompok bukan asma (43 orang), asma serangan ringansedang (43 orang), dan asma serangan berat (28 orang). Kadar vitamin C dan karoten diperiksa pada ketiga kelompok. Hasil penelelitian menunjukkan bahwa kadar vitamin C plasma lebih rendah pada kelompok asma berat dibandingkan dengan kelompok asma serangan ringan-sedang dan kelompok bukan asma. 8 D. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah, disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut: Apakah kadar vitamin C plasma rendah merupakan faktor risiko serangan asma pada anak?. E. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kadar vitamin C plasma dengan serangan asma pada anak. F. Manfaat Penelitian 1. Menambah wawasan dan pengetahuan tentang hubungan kadar vitamin C plasma dengan serangan asma pada anak. 2. Sebagai masukan kepada tenaga kesehatan, pasien, dan masyarakat mengenai pentingnya vitamin C pada penderita asma. 3. Dapat dijadikan acuan penelitian selanjutnya mengenai terapi dengan vitamin C pada anak penderita asma. 9 Tabel.1. Keaslian Penelitian Peneliti Balcom et al., Tahun 2006 Negara USA Metode Potong Lintang Sampel Rerata Usia 218 61 tahun Hasil Kadar vitamin c serum berhubungan dengan FEV1% dan FVC% (p<0,05) pada penderita asma atau PPOK Shidfar et al., 2005 Iran Kasus – kontrol 100 44 tahun Ford et al., 2004 USA Potong Lintang populasi 15.418 44 tahun Terdapat perbedaan yang bermakna pada rerata vitamin c plasma dan vitamin c leukosit penderita asma dibandingkan dengan kelompok kontrol. Konsentrasi vitamin c plasma 0.7 (0.006) mg/dl pada kelompok asma dan 1.15 (0.006) mg/dl pada kelompok kontrol (p< 0.001). Status asma tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan konsentrasi antioksidan apapun termasuk vitamin c. Bagaimanapun konsentrasi vitamin c tampak lebih rendah pada orang yang baru menderita asma dan pernah asma daripada orang yang bukan asma (p=0,0014) Khan et al., 2003 USA Potong Lintang populasi 3.696 11 tahun Misso et al., 2005 Australia Potong Lintang 126 40-45 tahun Penelitian ini 2012 Indonesia Kasus kontrol 78 1-18 tahun Diagnosis asma berhubungan dengan kadar vitamin c serum, α-carotene, ß-carotene, and ßcryptoxanthin. Analisis regresi logistik menunjukkan satu-satunya antioksidan yang berhubungan dengan asma adalah vitamin c (OR=0,72 per mg/dl, 95% CI = 0.55, 0.95). Kadar vitamin C plasma berhubungaan dengan serangan asma berat.