18 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Karet Karet diketahui

advertisement
18
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Karet
Karet diketahui sebagai salah satu komoditas ekspor yang sangat penting sebagai
sumber devisa negara. Setelah Thailand dan Malaysia, Indonesia diketahui sebagai
produsen karet terbesar di dunia yang memberikan kontribusi sebesar 26% dari total
produksi karet alam di dunia. Keberadaan industri karet memberikan manfaat selain
untuk meningkatkan pendapatan petani, masyarakat, serta negara juga berguna dalam
menghasilkan produk industri berupa ban atau produk lainnya seperti kebutuhan
kesehatan, bangunan, bidang farmasi, dan juga peranannya dalam upaya pelestarian
lingkungan (Kusdiana & Alchemi 2011).
Tanaman karet berasal dari negara Brazil, Amerika Selatan. Henry Wickham
merupakan orang yang berhasil mengembangkan tanaman karet di wilayah Asia
Tenggara. Di Indonesia, Malaysia dan Singapura tanaman karet mulai dibudidayakan
sejak tahun 1876. Tanaman karet pertama di Indonesia ditanam di Kebun Raya Bogor
(Tim Karya Tani Mandiri 2010).
Tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan memiliki batang
yang cukup besar. Tinggi pohon dewasa dapat mencapai 15-25 m dengan diameter .
Batang karet tumbuh lurus ke atas dan cenderung miring ke arah utara. Bagian batang
inilah yang mengandung getah atau lateks. Bagian daun pada tanaman karet memiliki
tangkai daun utama dan tangkai anak daun. Tangkai daun utama memiliki panjang 320 cm, sedangkan anak daun sekitar 3-10 cm. Biasanya terdapat tiga anak daun pada
sehelai daun karet. Anak daun tanaman karet berbentuk elips, memanjang, ujung daun
meruncing, dan tepi daun rata. Biji karet terdapat dalam tiap ruang buah, jumlah
Universitas Sumatera Utara
19
biasanya ada tiga atau enam sesuai jumlah ruang. Bunga pada tajuk dengan
membentuk mahkota bunga pada setiap bagian bunga yang tumbuh (Tim Karya Tani
Mandiri 2010).
2.2 Penyakit Jamur Akar Putih (JAP)
Penyakit jamur akar putih disebabkan oleh jamur Rigidoporus microporus yang
berasal dari kelas Basidiomycetes, ordo Polyporales, famili Polyporaceae dan genus
Rigidoporus. Rigidoporus microporus memiliki banyak sinonim. Menurut Van
Overiem & Weesw ada 35 nama; nama ilmiah yang digunakan antara lain adalah
Fomes lignosus (Klotzh.), Fomes semitosus (Petch.), Rigidoporus lignosus (Klotzh.)
Imazeki dan R. microporus (Swatz) Van Ov. (Semangun 2008).
Berdasarkan konsep segitiga penyakit, penyebaran penyakit JAP ini tergantung
pada karet (sebagai inang), R. microporus (sebagai patogen) serta kondisi lingkungan.
Jika ketiga faktor saling mendukung, tanaman akan terserang penyakit. Sampai saat
ini belum ditemukan adanya karet yang resisten (tahan) terhadap serangan jamur akar
putih. Chatarina (2012) menyebutkan bahwa, penyakit JAP dapat menyerang tanaman
mulai dari pembibitan sampai dewasa. Penyakit ini dapat menyerang tanaman muda,
usia 3-4 tahun sampai tanaman menghasilkan atau produktif. Komponen lingkungan
yang berperan meningkatkan penyebaran penyakit JAP ini adalah tanah. Sifat-sifat
tanah sangat penting untuk menunjang perkembangan penyakit ini diantaranya pH
tanah, suhu, kandungan nutrisi dan kelembaban tanah (Prasetyo et al. 2009).
Penyebaran penyakit terutama melalui kontak akar, yakni bila akar yang telah
diserang jamur akar putih bersinggungan dengan akar yang sehat maka terjadilah
penularan serangan penyakit (Chatarina 2012). Semangun (2008) menyebutkan
bahwa, selain melalui kontak antara pohon sakit dan pohon yang sehat penularan
penyakit juga terjadi melalui luka-luka yang terdapat pada batang. Agar dapat
mengadakan infeksi pada akar yang sehat, jamur harus mempunyai alas makanan
(food base) yang cukup.
Universitas Sumatera Utara
20
Gejala awal tanaman yang terkena penyakit akar putih yaitu daunnya tampak
kusam (tidak mengkilat) dan agak menggulung ke atas. Pada tingkat serangan
permulaan, akar lateral dan sebagian besar akar tunggang serta leher akar masih
terserang ringan. Pada tahapan serangan selanjutnya daun-daun mulai layu dan
menguning. Benang-benang cendawan mulai menembus kulit akar yang menyebabkan
pembusukan setempat pada kulit akar. Pada tahap serangan tingkat lanjut, daun-daun
mengering dan tetap menggantung pada pohon. Ranting serta cabang-cabang mulai
mengering disertai dengan gugurnya daun dan pada akhirnya tanaman akan mati
(Setyamidjaja 1993).
Tanaman yang terserang JAP membentuk buah lebih awal pada tanaman muda
yang seharusnya belum cukup waktunya untuk berbuah. Apabila sistem perakaran
dibuka, pada permukaan akar terdapat semacam benang-benang berwarna putih
kekuningan (Gambar 2.2.1) menyerupai akar rambut yang menempel kuat dan sulit
dilepas. Gejala selanjutnya yaitu akar membusuk, lunak dan berwarna cokelat
(Semangun 2008).
b
.
a
.
Gambar 2.2.1 Rizomorf pada akar karet (Hevea beasiliensis) (a) akar karet dan
(b) rizomorf
Jamur akar putih sering membentuk tubuh buah pada leher akar tanaman sakit,
pada tunggul, atau pada akar sakit yang terbuka. Tubuh buah mirip dengan kipas tebal,
permukaan atasnya jingga kuning, dan pemukaan bawahnya jingga, merah, atau
kecoklatan (Gambar 2.2.2). Jika dipotong akan tampak lapisan atas yang berwarna
Universitas Sumatera Utara
21
muda dan lapisan bawah berwarna coklat kemerahan. Jamur membentuk banyak
tubuh buah yang tersusun bertingkat (Semangun 2008).
a
gaa
b
c
Gambar
Karakteristik
2.2.2 Karateristik Rigidoporus microporus (a) tubuh buah (b) koloni pada
media potato dekstrosa agar (PDA) (c) hifa. (Sumber: (a) Kaewachai
& Soytong 2010, (b) dan (c) Rahmiati).
Jamur akar putih merupakan organisme polifaga, yaitu dapat menyerang
bermacam-macam tanaman. Beberapa penelitian menyebutkan kemampuan jamur ini
menyerang tanaman lain selain karet, diantaranya: jambu mete (Anacardium
occidentale) (Chatarina 2012), teh (Camellia sinensis) (Hastuti 2000), akasia (Acacia
mangium), sentang (Azadirachta excels) dan jati (Tectona grandis) (Farid et al. 2009).
Semangun (2008) menyatakan bahwa R. microporus juga menyerang tanaman kopi,
kelapa sawit, kakao, mangga, cengkeh, sengon, meranti serta tanaman perkebunan
lain. Jamur akar putih yang menyerang karet yang dibudidayakan semula berasal dari
pohon-pohon hutan yang sakit. Dari sisa-sisa akar atau tunggul pohon-pohon hutan
inilah Rigidoporus dapat menginfeksi tanaman karet.
2.3 Bakteri Kitinolitik dan Enzim Kitinase
Kitin adalah homopolimer dari β-1,4 N-asetil glukosamin dan merupakan polimer
kedua terbanyak setelah selulosa. Kitin dapat dijumpai pada cangkang udang,
kepiting, moluska, serangga, annelida, serta pada dinding sel jamur terutama dari
kelas Ascomycetes, Zygomycetes, Basidiomycetes dan Deuteromycetes. Kitin
berbentuk padat dan sifatnya tidak larut dalam air atau senyawa organik lainnya. Pada
dinding sel jamur, kitin berbentuk mikrofibril yang memiliki panjang yang berbeda
tergantung pada spesies dan lokasi selnya. Mikrofibril merupakan penyusun utama
Universitas Sumatera Utara
22
struktur dinding sel jamur yang terdiri atas rantai-rantai polisakarida yang saling
bersilangan membentuk anyaman (Rajarathanam et al. 1998). Kandungan kitin pada
dinding sel jamur bervariasi tergantung pada jenis jamurnya. Beberapa isolat
Sclerotium rolfsii yang telah diteliti menunjukkan bahwa hifa cendawan ini
mempunyai kandungan kitin berkisar antara 12-31% (Zang et al. 2001).
Kitin dapat didegradasi dengan menggunakan enzim kitinase yang dapat
memecah kitin dengan cara menghidrolisisnya. Bakteri yang memiliki kemampuan
mendegradasi kitin disebut bakteri kitinolitik. Saat ini bakteri kitinolitik banyak
dimanfaatkan untuk mengendalikan serangan jamur patogen dengan menjadikan kitin
sebagai sumber karbon dan nitrogen (Gohel et al. 2006; Kamil et al. 1993). Pujiyanto
et al. (2002) berhasil mengisolasi 55 isolat bakteri kitinolitik dari ekosistem air hitam
Kalimantan Tengah. Dari hasil uji in vitro diperoleh dua isolat bakteri yang memiliki
kemampuan menghambat pertumbuhan jamur patogen Rhizoctonia solani dan
Helmintosporium oryzae. Bakteri kitinolitik Aeromonas caviae digunakan untuk
mengontrol serangan R. solani dan F. oxysporum pada kapas serta S. rolfsii pada
buncis (Ferniah et al. 2011). Bacillus spp. yang dikombinasikan dengan pestisida
nabati, diketahui dapat mengendalikan penyakit JAP dan meningkatkan produksi pada
tanaman jambu mete (Tombe 2008).
Mekanisme kerja enzim kitinase dalam menghidrolisis kitin pada jamur
patogen, terkait dengan kandungan kitin pada dinding sel jamur tersebut yang akan
dimanfaatkan sebagai substratnya (El-Katatny et al. 2000). Berdasarkan cara kerjanya
kitinase dikelompokkan menjadi tiga tipe, yaitu: (i) endokitinase, yang memotong
secara acak polimer kitin secara internal sehingga menghasilkan oligomer pendek, (ii)
eksokitinase, yang memotong unit trimer ketobiosa pada ujung terminal polimer kitin,
(iii) N-asetilglukosamidase, yang memotong unit monomer pada ujung terminal
polimer kitin (Pudjihartati 2006). Kitinase juga dikelompokkan berdasarkan urutan
asam aminonya dan dibagi atas tiga famili yaitu famili 18, 19 dan 20. Famili 18
meliputi kitinase dari bakteri, jamur, serangga, tanaman (kelas III dan V) dan hewan.
Famili 19 diidentifikasi dari tanaman (kelas I, II, dan IV) dan bakteri gram positif
Streptomyces, sedangkan famili 20 dari Vibrio harvei (Watanabe et al. 1999; Patil et
al. 2000).
Universitas Sumatera Utara
23
Kitinase memiliki banyak manfaat selain sebagai agen pengendali hayati.
Herdyastuti et al (2009) menyebutkan bahwa kitinase dapat dimanfaatkan dalam
penanganan limbah terutama limbah yang mengandung kitin seperti limbah pabrik
pembekuan udang. Senyawa-senyawa hasil degradasi kitinase pada kitin membentuk
seyawa turunan kitin seperti karboksimetil kitin, hidroksietil kitin dan etil kitin dapat
dimanfaatkan dalam berbagai bidang seperti dalam bidang kedokteran senyawa
tersebut dimanfaatkan untuk membuat benang operasi. Monomer kitin seperti N-asetil
D-glukosamin dimanfaatkan dalam bidang farmasi untuk obat penurun gula darah dan
dalam bidang kosmetik sebagai senyawa penghambat pembentukan melanin.
2.3 Potensi Bakteri Kitinolitik sebagai Agen Pengendali Hayati
Indonesia merupakan negara dengan biodiversitas yang sangat tinggi, sehingga
kesempatan untuk menemukan agen pengendali hayati terhadap penyakit tanaman
masih sangat besar. Penggunaan agen pengendali hayati memberikan beberapa
keunggulan diantaranya (i) aman bagi manusia dan musuh alami, (ii) dapat mencegah
timbulnya ledakan patogen sekunder, (iii) produk tanaman yang dihasilkan bebas dari
residu pestisida, (iv) terdapat di sekitar area menanam sehingga dapat mengurangi
ketergantungan petani terhadap pestisida sintetis; dan (v) biaya yang dikeluarkan lebih
sedikit (Nurhayati 2011). Jika dibandingkan dengan penggunaan senyawa kimia,
pengendalian dengan agen hayati membutuhkan waktu yang lebih lama.
Beberapa kelompok bakteri dengan kemampuan kitinolitik yang dipakai dalam
mengendalikan jamur patogen tanaman seperti A. hydrophila, A. caviae, Pseudomonas
maltophila, B. licheniformis, B. circulans, Vibrio furnissii, Xanthomonas spp., dan
Serratia marcescens (Gohel et al. 2006), serta B. cereus (Huang et al. 2005).
Yurnaliza et al. (2011) melaporkan bahwa aktivitas kitinase Streptomyces RKt5 dapat
menghambat pertumbuhan F. oxysporum. Muharni & Widjajanti (2011) melaporkan
bahwa bakteri kitinolitik yang diisolasi dari rizosfer tanaman karet mampu
menghambat pertumbuhan jamur akar putih R. microporus setelah pengujian secara in
vitro. Setelah dilakukan identifikasi meliputi uji biokimia dan pewarnaan Gram,
diketahui bahwa bakteri tersebut termasuk ke dalam genus Bacillus. Tombe (2008)
Universitas Sumatera Utara
24
menyatakan bahwa, Bacillus spp. merupakan salah satu kelompok mikroorganisme
yang dapat berfungsi baik sebagai agen hayati untuk mengendalikan penyakit tanaman
maupun stimulator pertumbuhan tanaman.
Kitinase diketahui ikut berperan dalam mekanisme pertahanan tanaman
terhadap infeksi jamur karena enzim ini dapat menghidrolisis ikatan β-1,4 diantara
subunit N-asetilglukosamin pada kitin. Hasil penelitian Pudjihartati et al. (2006)
menunjukkan bahwa, aktivitas enzim kitinase pada jaringan tanaman kacang tanah
yang terserang S. rolfsii meningkat jauh lebih tinggi dibandingkan jaringan kacang
tanah yang sehat. Infeksi S. rolfsii pada jaringan leher akar kacang tanah ternyata
meningkatkan aktivitas kitinolitik. Beberapa jenis tanaman memproduksi kitinase dan
β 1,3 glukanase secara bersamaan sebagai pertahanan melawan infeksi patogen.
Kedua jenis enzim ini diketahui berperan dalam melisiskan dinding sel jamur patogen.
Universitas Sumatera Utara
Download