Respons Komunitas Nelayan Terhadap

advertisement
KERANGKA TEORITIS
Komunitas Nelayan
Dalam mengkaji dinamika komunitas nelayan perlu dikaji pemahaman
mengenai komunitas itu sendiri. Pengertian komunitas mencakup kelompok-kelompok
yang terdiri atas sejumlah orang yang secara bersama-sama merupakan sebuah
satuan kegiatan sosial, dengan kesadaran bersama dalam hal perhatian-perhatian,nilainilai budaya, dan tujuan-tujuan bersama yang ingin dicapai.4 Berbeda dengan
anggota masyarakat dimana tidak semuanya saling berhubungan, anggota komunitas
semuanya berhubungan satu sama lain.
Istilah komunitas (community) secara sosiologis memiliki arti yang berbeda
dari masyarakat, dimana komunitas lebih bersifat homogen dengan diferensisasi
sosial yang masih rendah (Satria, 2001). Komunitas perlu didefinisikan secara
khusus sebagai sistem hubungan antar orang-orang dalam jumlah lebih besar
dari kelompok, dimana Agusta (1998) menggambarkan bahwa anggota komunitas
memiliki sejarah yang sama sehingga memiliki simbol-simbol kebersamaan yang
dipegang kuat serta bisa berhubungan secara langsung serta terjalin keakraban.
Dalam pemahaman lainnya, Ife (1995) mengemukakan bahwa secara
sosiologis komunitas adalah warga setempat yang dapat dibedakan dari masyarakat
luas melalui kedalaman perhatian bersama atau oleh tingkat interaksi yang tinggi
dan para anggota komunitas mempunyai kebutuhan bersama. Koentjaraningrat
(1990) menggariskan adanya wilayah, kecintaan terhadap wilayah dan mempunyai
kepribadian kelompok dan berbeda dari kelompok lain, dan membentuk ikatanikatan sosial bersama.
Anggota komunitas dapat saja terdiri atas suku/etnik yang sama. Naroll
dalam Bath (1988) memberikan batasan kelompok etnik dikenal sebagai suatu
populasi yang: (1) secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan, (2)
mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan
dalam suatu bentuk budaya, (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi
sendiri, (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok
lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.
Dalam kaitan itu, Bath (1988) menyimpulkan terdapat dua hal pokok yang
dapat dibahas dalam mengamati kehadiran kelompok-kelompok etnik dengan
4
Suparlan, P. 2005. Pembangunan Komunitas dan Tanggung Jawab Korporasi dalam Nugroho,
BS (Ed) 2005. Investasi Sosial. Jakarta: Puspensos.
ciri-ciri unit budayanya yang khusus yaitu: (a) kelanggengan unit-unit budaya ini,
(b) faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya unit budaya tersebut.
Dalam hal struktur sosisl serta perubahan sosial yang terjadi menjadi hal
yang menarik dalam studi suatu komunitas. Aspek penting komunitas yang perlu
dikaji menurut Agusta (1998) mencakup pula penentuan apakah komunitas yang
diteliti bersifat pedesaan atau perkotaan, bagaimana sifat warganya serta ciri
utama alam sekitarnya.
Jadi komunitas dapat didefenisikan sebagai sekelompok masyarakat dalam
skala kecil yang hidup berkembang pada satu wilayah tertentu yang memiliki
kebutuhan dan pekerjaan maupun budaya yang relatif sama serta terjalin
keakraban yang erat antara anggota komunitas tersebut. Komunitas nelayan
sendiri adalah sekelompok masyarakat dengan budaya dan mata pencaharian
menangkap ikan maupun sumber hayati laut lainnya dalam bingkai saling
mengenal dan terjalin keakraban satu sama lain.
Dengan wilayah yang didominasi laut, sektor perikanan dan kenelayanan
menjadi hal yang sangat penting. Dahuri et. al, dalam Dendi, A et.al (2005)
menggambarkan sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki kawasan pesisir
yang sangat luas yang dihuni sekitar 2 juta nelayan dan petambak dan
diperkirakan 60% dari nelayan di desa rata-rata pendapatannya masih di bawah
kebutuhan minimalnya.
Bagi nelayan, laut dan ikan merupakan area bebas untuk pemanfaatan
sumberdaya milik bersama (common property). Klaim wilayah serta perlakuan
terhadap laut seperti halnya tanah tidak mungkin terjadi. Nelayan harus bekerja
di laut sebagai sumberdaya terbuka (open access) menyebabkan nelayan harus
bekerja keras dengan resiko. Resiko tersebut antara lain cuaca buruk, serta
persaingan kondisi sarana tangkap antar kelompok nelayan yang menyebabkan
salah satu kelompok akan terkalahkan (Mubyarto et.al. 1993; Pollnack dalam
Satria, 2002).
Pada komunitas pantai dan pesisir, kehidupan nelayan menjadi suatu hal
penting. Nelayan menurut Koentjaraningrat (1990) adalah seseorang yang
sumber mata pencahariannya adalah menangkap ikan atau sumber laut lainnya.
Pada pengertian lainnya, Ditjen Perikanan (2000) mendefinisikan nelayan
sebagai orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi
penangkapan ikan/binatang atau tanaman air lainnya. Namun BPS (2001) lebih
memperinci bahwa sebagai pekerjaan utama menangkap ikan di laut antara lain
karena keberadaan/jam kerja di laut lebih lama yakni paling sedikit 1 jam secara
terus menerus dalam seminggu yang lalu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
nelayan adalah orang yang memiliki pekerjaan utama serta aktif menangkap ikan
dan sumber hayati laut selama kurang lebih satu jam selama satu jam rutin
dalam seminggu.
Sebagai sebuah komunitas, nelayan memiliki beberapa karakteristik berbeda
dengan komunitas lainnya yakni; (1) komunitas nelayan, tinggal dan menetap serta
melakukan aktivitas di laut, serta pesisir pantai sebagai kebudayaan dan
keberlangsungan hidup individu dan komunitasnya, (2) masyarakat nelayan
merupakan masyarakat yang dominan ada di wilayah pesisir. Pada umumnya
bersifat tradisional yang mengoperasikan alat tangkap sederhana baik tanpa atau
dengan motor (Satria, 2002; Dahuri, 2000).
Kehidupan laut dengan segala resiko tersebut menyebabkan nelayan
umumnya bersifat keras dan tegas. Dari segi fisik, misalnya pada nelayan Mandar,
bentuk tubuh nelayan rata-rata berperawakan kekar, serta kulit gelap kecoklatan
(Alimudin, 2005). Hal tersebut dapat dimaklumi karena beratnya pekerjaan nelayan
tangkap tersebut. Dalam hal ini Pollnac (1988) telah menguraikan bahwa untuk
menjadi seorang nelayan umumnya tidak memperhatikan faktor pendidikan
formal yang penting adalah fisik yang kuat untuk melakukan pekerjaan berat.
Dalam hal pola hidup, nelayan sering dikaitkan dengan pola hidup boros,
sehingga anggapan atau kesan umum adalah nelayan dianggap miskin, lemah
dan kurang mampu mengembangkan diri, dianggap lemah, bodoh, tidak efisien
dan kurang mampu merencanakan masa depannya sendiri Mereka berperilaku
agak royal pada kondisi dimana hasil tangkapan cukup banyak. Sedangkan pada
saat paceklik penangkapan ikan, nelayan menjual apa saja yang dimilikinya atau
mencari pinjaman kepada berbagai pihak (Mubyarto et.al, 1994; Masyhuri, 2000).
Walaupun pandangan tersebut belum tentu tepat secara general pada kehidupan
nelayan, program-program pemerintah selama ini belum memberikan gambaran
kepercayaan penuh pada nelayan untuk mengembangkan potensi pada diri
nelayan itu sendiri (Kartasasmita, 1996).
Dari berbagai gambaran tersebut dapat dikatakan bahwa seorang nelayan
dapat diamati memiliki ciri khas fisik kekar, hitam kecoklatan. Sedangkan ciri
khas perilaku pada umumnya boros serta tidak memiliki tabungan serta
menempati laut pantai maupun pesisir sebagai tempat hidup dan mencari nafkah.
Oleh karena menetap di pantai dan pesisir tersebut maka pekerjaan menangkap
ikan menjadi pekerjaan utamanya.
Mengenai gambaran struktur sosial nelayan dikemukakan oleh Mintoro
(1993) bahwa pada penangkapan sistem hubungan kerja yang terjalin bersifat
mutualistik yang merupakan suatu hubungan kerja antara pihak yang memiliki
kelebihan dan juga sekaligus kekurangan dalam mengakses sumberdaya
tertentu. Di beberapa wilayah pesisir di Indonesia sistem kelembagaan ini memiliki
karakteristik tersendiri seperti di Sulawesi Selatan dikenal hubungan punggawasawi, di Pantai Utara Jawa dikenal dengan hubungan antara juragan-pandega,
sedangkan di Sumatera Utara terdapat hubungan antara tauke-nelayan (Masyhuri,
2000). Satria (2002) mengklasifikasi nelayan berdasarkan skala ekonomi menjadi
nelayan kecil (small scale fisherman) dan nelayan besar (large scale fisherman).
Struktur sosial nelayan, harus dapat dipisahkan antara nelayan pengusaha,
nelayan pemilik, dan nelayan buruh. Mubyarto et.al (1984) membagi nelayan
berdasarkan kepemilikan sarana penangkapan yakni:
1. Nelayan strata atas (juragan) yang memiliki banyak modal serta sarana
penangkapan dengan sejumlah Anak Buah Kapal (ABK).
2. Nelayan starata menengah, yakni yang memiliki sarana penangkapan
tetapi tidak mempekerjakan tenaga kerja di luar keluarganya.
3. Nelayan strata bawah (pandega) yang memperoleh penghasilan dari
hasil kerjanya sebagai buruh nelayan.
Sedangkan Salman (1995) membedakan status nelayan di Bulukumba
(Sulsel) berdasarkan kepemilikan modal dan keterampilan melaut. Nelayan yang
memiliki modal kuat ditempatkan pada nelayan lapisan atas yang disebut
punggawa/pappalele. Lapisan berikutnya ditempati oleh nelayan yang memiliki
keterampilan tinggi dalam melaut disebut juragan sedangkan lapisan paling
bawah adalah nelayan yang mempunyai keterampilan rendah dan hanya
mengandalkan tenaga dalam penangkapan di sebut sawi.
Sementara Satria (2002) membagi nelayan dilihat dari status penguasaan
modal terdapat nelayan pemilik atau juragan dan nelayan buruh. Nelayan pemilik
adalah orang yang memiliki sarana penangkapan seperti kapal/perahu, jaring
dan alat tangkap lainnya. Sedangkan nelayan buruh adalah orang yang menjual
tenaganya sebagai buruh atau sering disebut Anak Buah Kapal (ABK).5
5
Satria, A. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta: Cidesindo
Dalam perkembangannya, nelayan pemilik banyak pula yang lebih memilih
bekerja di darat dari pada di laut, misalnya sebagai pengusaha es balok (Masyhuri,
2000), pengusaha batik (Satria, 2002), ataupun menurut Kusnadi (2000) lebih
berperan sebagai pedagang perantara (pangamba). Bahkan ada pula pemilik
berasal dari komunitas di luar nelayan yang tidak pernah melaut sama sekali.
Kelompok tersebut dikatagorikan sebagai nelayan pengusaha.
Persaingan tidak seimbang antara nelayan tradisional dan nelayan modern
(pongawa dan sawi) dalam pemanfaatan sumber laut menyebabkan kehidupan
nelayan dalam berbagai katagori sangat berbeda jauh. Memang penghasilan
nelayan tradisional menurut Warianto (2004), berkurang karena sumber daya laut
pun menyusut akibat ledakan penduduk. Namun penggunaan peralatan modern
seperti drift gillnets dan pukat harimau (trawl) ternyata jauh lebih dahsyat dalam
menyingkirkan kelompok nelayan kecil dalam wilayah perairan yang sah.
Akan tetapi terdapat pula kasus hubungan patron-klien masih dalam kerangka
saling membutuhkan. Anggraini (2002) menyimpulkan bahwa hubungan tengkulak
dan nelayan di Panggang terjadi hubungan tanpa eksploitasi salah satu pihak.
Artinya asumsi Masyhuri dan Nadjib (2000) bahwa hubungan patron-klien yang
eksploitatif adalah tidak semuanya terjadi pada kehidupan nelayan adalah tepat.
Legg dalam Masyhuri dan Nadjib (2000) mengungkapkan bahwa tata hubungan
patron-klien tersebut umumnya berkaitan dengan:
a. hubungan antar pelaku yang menguasai sumber daya yang tidak sama
b. hubungan yang bersifat khusus yang merupakan hubungan pribadi dan
mengandung keakraban
c. hubungan yang didasarkan pada asas saling menguntungkan
Pada bagian lain Masyhuri, et.al (2000) melihat realitas lain yang relevan
bahwa setiap kantong-kantong masyarakat nelayan terdapat investor “asing”
yang menanamkan modalnya untuk usaha penangkapan ikan. Mereka umumnya
pemilik modal bukan nelayan yang mengembangkan usahanya di sektor
penangkapan ikan. Ini berarti usaha penangkapan ikan secara ekonomi berhasil.
Struktur sosial masyarakat nelayan umumnya dicirikan oleh kuatnya ikatan
patron-klien (Masyhuri dan Nadjib, 2000; Satria, 2002; Kusnadi, 2000). Ikatan
tersebut menurut analisa Abernethy (2000) bahwa masyarakat memiliki sistem
tradisional untuk menjalankan fungsi-fungsinya.
Ikatan tersebut terjadi oleh karena penguasaan terhadap sumberdaya
antara patron dan klien sangat berbeda. Masyhuri (2000) menggambarkan
terjadinya hutang piutang oleh nelayan pada saat hasil tangkapan kurang. Hutang
kepada pihak patron dalam hal ini nelayan pemilik (juragan) dilakukan dengan
jaminan ikatan pekerjaan atau hasil tangkapan hanya akan dijual kepada pihak
patron (Satria, 2002).
Fenomena sosial tentang kemiskinan dan ketergantungan nelayan menurut
Warianto (2004), antara lain juga disebabkan oleh pola hubungan kerja antara
majikan dan nelayan. Memang pola hubungan antara patron dan klien tak terlalu
eksploitatif, sebab nilai kerja sama masih terpelihara. Namun hasrat nelayan
untuk keluar dari sistem yang telah mapan tidak mudah terwujudkan. Proses
hubungan kerja kebapakan membentuk mentalitas nelayan yang secara ekonomis
tergantung pada majikan.6 Akibatnya, perasaan berutang budi di kalangan nelayan
telah menjadi lingkaran setan yang tak mudah diselesaikan.
Perasaan hutang budi tersebut terbangun terus menerus sehingga
menimbulkan pola hubungan saling membutuhkan antara pemilik sarana
produksi (juragan, ponggawa, tauke) dengan pihak pekerja (anak buah kapal,
nelayan, pandega, sawi). Pola hubungan tersebut dapat digolongkan sebagai
hubungan patron-klien bukan hanya dalam kegiatan kenelayanan akan tetapi
juga dalam kehidupa sehari-hari.
Suku Bajo
Saat ini terdapat 90.000 populasi Suku Bajo di Indonesia dan 40.000
diantaranya hidup dan menetap di pantai dan pesisir Sulawesi Tenggara (Mead dan
Lee, 2007). Berbagai studi mengenai asal usul suku Bajo mengemukakan bahwa
suku Bajo berasal dari keturunan pelaut Johor, dari budak bajak laut Moro serta
berasal dari orang laut atau kepulauan Sulu Filipina Selatan (Soesangobeng
dalam Peribadi, 2000), tetapi menurut Hafid et.al (1996) suku Bajo berasal dari
Luwu-Malili Sulawesi Selatan.
Walaupun terdapat perbedaan riwayat asal-usul, dan tidak ada tahun yang
pasti akan tetapi studi-studi tersebut memiliki kesimpulan yang sama mengenai
ciri kehidupan komunitas suku Bajo yakni (Hafid et.al,1996; Hamid, 1986,
Mattulada, 1977; Peribadi, 2000), yakni: (1). Menempati suatu kepulauan yang
dikelilingi laut, (2) menangkap ikan merupakan pencaharian yang dilakukan
secara turun temurun, serta (3) memiliki dialek bahasa yang sama.
Selama ini stereotip yang ditujukan pada suku Bajo bahwa sikap mereka
adalah statis, hanya suka hidup di laut, kurang suka berinovasi, bersikap tertutup
6
Wariyanto, A. 2004. Perlu Pemberdayaan Nelayan. http://www.kalyanamitra.or.id (10 April 2004)
dan tidak mampu beradaptasi secara fisik geografis, sosial dan budaya dengan
penduduk yang hidup di darat (Hafid et.al, 1996). Akibatnya suku Bajo kurang
terlibat dalam proses pembangunan dan menikmati hasil pembangunan tersebut
(Hamid, 1986).
Kajian berbagai ilmu sosial menyimpulkan pula bahwa suku Bajo justru
juga mempunyai etos berupa sikap hidup progresif (Hafid et.al, 1996). Mobilitas
penduduk yang kuat, bukan hanya bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya
di lingkungan laut semata, tetapi juga dari laut ke pantai, dari pantai ke darat, dan
sewaktu-waktu kembali lagi ke laut bilamana laut menyediakan sumberdaya
ekonomi dan ruang gerak lebih luas. Jadi sikap hidup Suku Bajo dalam menentukan
berbagai pilihan di antara variasi-variasi sumberdaya di laut maupun di darat.7
Berbagai ciri khas fisik dan budaya Suku Bajo memperlihatkan keseragaman
mereka menetap di daerah mana saja. Di Bungku Selatan, Siregar (2001)
menyebutkan sebagai suku bangsa yang berdiam di laut, Orang Bajo memiliki
kecakapan di bidang kelautan. Hubungan dengan laut membuat Orang Bajo dikenal
banyak menderita kerusakan pendengaran dan lumpuh. Pada masyarakat
setempat, Orang Bajo dikenal suka berbicara dan berteriak.
Berbagai kepercayaan dan budaya suku Bajo menggambarkan bahwa laut
dan sumber di dalamnya sangat dekat dengan mereka. Penelitian Hamid (1986)
mengungkapkan antara lain bahwa orang Bajo percaya akan adanya pangngonroang
sappa (penjaga karang), bertempat tinggal di berbagai gugusan karang. Sejak
dahulu suku Bajo terkenal sebagai pengembara lautan karena hidupnya berpindahpindah dari satu tempat ke tempat lain, dengan alat perahu dan sekaligus tempat
tinggal (Peribadi, 2000; Anonim, 1996). Mattulada (1977) dalam pandangannya
menyatakan bahwa Suku Bajo di Sulawesi Selatan, bermukim di wilayah pantai
mengembangkan kemampuan mendapatkan makanan di air.
Di mata Suku Bajo, laut adalah segalanya (Anonim, 1996). Mereka
memandang laut sebagai satu-satunya sumber penghidupan. Sejak ratusan
tahun lampau, orang Bajo memandang laut sebagai lahan mencari nafkah,
tempat tinggal, serta beranak-pinak. Orang Bajo menurut Peribadi (2000) dalam
berbagai aktivitasnya menghindari segala hal yang menyimpang dari makna dan
nilai yang berdampak negatif dalam kehidupan sehari-hari.
7
Hafid, Y, P Hamid S Kila dan Ansaar. 1996. Pola Pemukiman dan kehidupan Sosial Ekonomi
Masyarakat Bajou Daerah Sulawesi Selatan. Jakarta: Depdikbud.
Hal tersebut ditunjang oleh falsafah suku Bajo: Tellu Temmaliseng, Dua
Temmaserang (Tiga unsur tidak dapat dipisahkan, dua hal tidak bisa dibedakan
(Peribadi, 2000). Falsafah tersebut adalah baik dan buruk (etika), indah dan jelek
(estetika), benar dan salah (logika). Akan tetapi dalam perkembangannya saat
ini, Peribadi (2000) dalam penelitiannya pada Suku Bajo di Kendari menyimpulkan
bahwa telah terjadi pergeseran nilai akibat pelaksanaan pembangunan yang
berorientasi ekonomi. Kehidupan sosial sebagai ciri khas suku Bajo sudah
banyak ditinggalkan utamanya oleh generasi muda suku Bajo.
Perubahan menonjol sekarang ini Suku Bajo sudah dapat beradaptasi
untuk tinggal didaratan. Walaupun wilayah tersebut bukanlah sepenuhnya darat
(semi darat). Pola tersebut menjadikan mereka tetap menjaga akses mereka
terhadap laut. Program pemindahan kembali (resettlement) Orang Bajo di
Bungku Selatan (Siregar, 2001) telah membentuk pola adaptasi kehidupan darat
yang khas. Akan tetapi pola tersebut masih memiliki ciri khas budaya laut yang
masih kental.
Pemaknaan dan Tindakan
Pemaknaan
Dalam merespons sesuatu hal baru yang masuk dalam suatu komunitas
baik ide, gagasan maupun barang baru, pemaknaan terhadap tindakan individu
terhadap obyek yang bersentuhan langsung dengan hal baru tersebut sangat
berkaitan erat. Bagi nelayan dalam merespons modernisasi/alih teknologi
dikaitkan dengan pemaknaan laut serta nelayan itu sendiri.
Pada bagian lain Veerger dalam Timban (2005) menjelaskan bahwa proses
pemaknaan yaitu manusia mampu memberi atau menggunakan arti - arti tertentu
kepada benda-benda atau kejadian. Pada penelitian mengenai makna tanah bagi
petani sayur, Fauzia (2002) menyimpulkan bahwa petani memaknai tanah
menjadi makna ekonomis makna sosiologis, makna psikologis, makna teologis
serta makna budaya. Persentase ekstrim menunjukan makna ekonomis dan
makna teologis tanah hampir mencapai 100% dari total responden lebih tinggi
dibanding makna sosiologis, makna budaya dan makna psikologis. Kecenderungan
makna ekonomis disebabkan kelangkaan sumberdaya menyebabkan tanah
menjadi aset yang sangat berharga.
Soenarto (2000) dan Poloma (2004) menyimpulkan pemikiran Herbert
Blumer, bahwa:
1. Manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna sesuatu tersebut
bagi mereka,
2. Makna merupakan sesuatu produk sosial yang muncul dalam proses
interaksi antar manusia,
3. Penggunaan makna oleh para pelaku berlangsung melalui suatu proses
penafsiran
Dengan mengkaji perspektif interaksionis simbolik Blumer, Poloma (2004)
menyebutkan tindakan manusia bukan disebabkan oleh beberapa kekuatan luar
tidak pula disebabkan oleh kekuatan dalam. Manusia merupakan aktor yang
sadar dan refleksif yang menyatukan obyek-obyek yang diketahuinya melalui
proses self indication.8 Manusia merupakan mahluk yang tidak hanya menggunakan
naluri, namun juga akal serta apat menafsirkan sesuatu yang ada di lingkungannya.
Veeger dalam Timban (2005) mengungkapkan bahwa manusia adalah
satu-satunya maluk di dunia yang mampu memberi atau menggunakan arti-arti
tertentu kepada benda-benda atau kejadian yang dikenal sebagai proses
pemaknaan. Proses pemaknaan ini merupakan inti dari hakekat hidup sosial,
dimana perilaku manusia bukan reaksi yang langsung menyusul terhadap
stimulus melainkan terdapat proses penafsiran maksud dan arti dari suatu
tindakan yang akan dilakukan manusia.
Pemaknaan menurut Osgood (Littlejohn, 1998) dinyatakan sebagai representasi
internal yaitu suatu proses yang dawali dengan penerimaan stimulus fisik dari
luar kemudian mendapat respon internal sampai akhirnya menciptakan respons
yang tampak sebagai perilaku. Herbert Blumer seperti dikutip oleh Soenarto
(1993) mengatakan bahwa makna diperoleh melalui interaksi sosial yang dialami
oleh seseorang. Selain itu, dalam pemaknaan individu terhadap suatu simbol
terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pola pikir (pemahaman simbol)
yang mengarahkan perilaku seseorang (Whyte, 1991) antara lain: sifat alamiah
individu, pengalaman, pengetahuan, budaya dan struktur sosial masyarakat
tempat individu itu tinggal.
Selain itu, berkaitan pula dengan pemaknaan, Blumer seperti yang dikutip
oleh Soenarto (1993) mengemukakan tiga pokok pikirannya yang disebut
interaksionis simbolis yaitu: (1) Manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (thing)
atas dasar makna (meaning) yang dipunyai oleh sesuatu tersebut bagi sang
8
Self indication adalah proses komunikasi yang sedang berjalan dimana individu mengetahui
sesuatu menilainya, memberi makna dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna itu
(Blumer dalam Poloma, 2004).
pelaku; (2) Makna yang dipunyai sesuatu tersebut berasal dari interaksi sosial
antara seseorang dengan sesamanya; (3) Makna diperlakukan atau diubah
melalui proses penafsiran (interpretative process) yang digunakan orang dalam
menghadapi sesuatu yang dijumpainya. Makna yang muncul dari interaksi
tersebut tidak begitu saja diterima oleh seseorang melainkan ditafsirkan terlebih
dahulu.
Hasil penelitian Erari (1999) mengenai hubungan manusia dengan tanah di
Irian Jaya, mengemukakan pemaknaan masyarakat terhadap tanah terdiri dari
beberapa aspek yakni:
a. makna teologis tanah menjelaskan bahwa tanah merupakan pusat dari
segala kehidupan di alam ini. Manusia hanya dipanggil untuk mengolah
tanah dengan penuh tanggung jawab. Beberapa kitab suci mengungkapkan
kewajiban manusia dalam memelihara alam.
b. makna ekonomis, menjelaskan bahwa tanah sebagai sumber hidup
manusia, namun kenyataan memperlihatkan sikap bahwa tanah tidak
dihargai dihormati dan dilindungi dan sebaliknya menjadi sumber konlik,
karena hanya dipandang sebagai benda yang bernilai ekonomis belaka
dan cenderung untuk dieksploitasi sehingga menjadi obyek kebutuhan
manusia.
c. tanah dalam perspektif hukum dipandang sebagai titik tolak dari berbagai
undang-undang dan peraturan yang pada asarnya mengatur bagaimana
tanah itu dimiliki dalam batas-batas satu negara. Dengan demikian tanah
diatur dalam perspektif hukum positif tertulis.
d. serta makna tanah dalam perspektif adat dan budaya Irian, menjelaskan
bahwa berdasarkan perspektif Malanesia, tanah adalah segala-galanya.
Dalam budaya dan agama dijelaskan bahwa tanah itu sakral. Ada suatu
nilai spiritual penuh rahasia. Ia memiliki nilai religi yang dalam karena
manusia berasal dan dilahirkan dari tanah. Beberapa suku memandang
tanah sebagai ibu kandung yang memelihara manusia dan memberi
hidup. Manusia tanpa tanah sama saja dengan kematian.
Berkaitan dengan pemberian makna terhadap bekerja, Tim MOW (Meaning
of Working International Research Team) seperti dikutip oleh Amanaty (Fauzia,
2002) menyebutkan bahwa variabel yang berpengaruh dalam proses pemaknaan
antara lain adalah: (1) Variabel pribadi dan situasi keluarga, seperti usia jenis
kelamin, pendidikan formal dan agama; (2) Pekerjaan saat ini dan sejarah karir,
seperti status pekerjaan, masa kerja; (3) Lingkungan sosial ekonomi secara
makro.
Dalam konteks kehidupan nelayan, Wahyono et.al (2000) membagi
variabel penting dalam penilaian terhadap laut yakni: (a) tingkat kepentingan; (b)
produktivitas, dalam arti mudah tidaknya proses distribusi berjalan serta (c)
sistem kepercayaan terhadap laut itu sendiri.
Dalam hal makna teologis, lebih lanjut Fauzia (2002) menyimpulkan bahwa
kehidupan reilgius (islam) petani yang masih kental menyebabkan pemaknaan
teologis tanah lebih dominan. Mereka berpedoman pada ajaran agama yang
mewajibkan untuk menghidupi keluarga antara lain dengan bekerja di tanah
garapan adalah ibadah asalkan niatnya baik dan ikhlas. Disamping itu pudarnya
nilai-nilai budaya menyebabkan proes makna budaya tanah persentasenya
kurang signifikan. Sementara itu semakin rasional pemikiran petani menyebabkan
lunturnya pula ikatan kemasyarakatan (makna sosiologis) serta aspek afektif dan
emosional (makna psikologis).
Pada penelitian mengenai partispasi masyarakat dalam pelestarian hutan
lindung Tumpa Sulawesi Utara, Timban (2005) menyimpulkan bahwa partisipasi
masyarakat berhubungan dengan makna hutan dari aspek budaya yang masih
dominan dibanding makna ekonomis, sosiologis dan psikologis. Hal tersebut
menyebabkan hutan masih terjaga kelestariannya. Lebih lanjut menurut Timban
(2005) bahwa pemaknaan ekonomis yang dominan dapat menyebabkan
rendahnya partisipasi masyarakat dalam pelestarian hutan.
Penelitian Timban (2005) yang melihat makna hutan bagi masyarakat
kawasan hutan maupun Fauzia (2002) mengenai makna tanah bagi petani,
memberikan konsepsi mengenai pemaknaan tersebut terdiri dari:
a. makna ekonomis adalah penilaian terhadap obyek sebagai pemberi
manfaat ekonomi yang dapat memenuhi kebutuhan hidup.
b. makna sosiologis adalah penilaian terhadap obyek sebagai penguat
kekerabatan yang memenuhi ikatan-ikatan sejak turun temurun sebagai
tempat tinggal.
c. makna psikologis adalah penilaian terhadap obyek berdasarkan nilai
emosional dalam bentuk kemarahan, ketakutan atau kegembiraan.
d. makna budaya adalah penilaian bahwa obyek memiliki aspek
kesejarahan, budaya, adat ataupun mitos.
e. makna teologis adalah penilaian obyek berdasarkan nilai agama
(religius) sejauhmana makna selalu dikaitkan terhadap hubungan
dengan Tuhannya.
Pemberian makna tersebut dapat didasarkan pada aspek ekonomis
(pemenuhan kebutuhan hidup), sosiologis (hubungan sosial atau interaksi dengan
orang lain), psikologis (arti yang berdampak pada emosional), budaya (kepercayaan
bahwa laut bersifat magis serta berdasarkan adat istiadat turun temurun) serta
makna teologis (kepercayaan dan keyakinan agama).
Tindakan nelayan terhadap laut merupakan tindakan yang dipengaruhi oleh
berbagai makna. Thomas dalam Johnson (1990) menyatakan bahwa perilaku
manusia tidak dapat dimengerti dengan baik jika hanya dilihat sebagai respon
reflektif terhadap stimulus lingkungan saja. Sebaliknya ada suatu proses definisi
subyektif yang berada diantara stimulus dan perilaku responsif tersebut.
Tindakan
yang
harus
dilakukan
dan
perlu
dilaksanakan
adalah
mempelajari melalui penglihatan, pengalaman sendiri atau orang lain guna
melakukan penyesuaian alat-alat pembantu penghidupan sehingga sumber
penghidupan itu dapat berguna dan berdaya guna bagi kehidupan selanjutnya.
Menurut Rahardjo (2002) laut sebagai bagian dari alam semesta mempunyai
kecirian tersendiri dibandingkan dengan bagian alam semesta lainnya seperti
tanah, udara dan panas matahari. Kecirian yang berbeda nyata dan sangat besar
antara laut dengan tanah telah memberikan kesempatan pada manusia untuk
mengenalinya lebih dalam, terutama setelah dikaitkan dengan udara dan panas
matahari diantara keduanya, agar dapat bermanfaat bagi sumber penghidupan.
Pemaknaan perilaku (tindakan) sebagai hasil dari proses pemaknaan
terimplementasikan dalam interaksi yang dilakukan oleh seseorang (Poloma,
1994). Vernon dalam Fauzia (2002) membagi empat faktor pengaruh pembentukan
perilaku yakni:
1. manusia menempatkan diri berdasarkan situasi dimana ia dan proses
interaksi dilakukan.
2. manusia menempatkan dirinya berdasarkan keberadaan orang lain
(others) yang terlibat dalam proses interaksi.
3. manusia menempatkan dirinya terhadap dirinya sendiri (him self) yaitu
terhadap status dan peran yang disandangnya.
4. manusia menempatkan dirinya berdasarkan benda-benda (non human
object) yang terdapat di sekitar tempat ia melakukan interaksi.
Dari keempat faktor tersebut terlihat bahwa perilaku seseorang akan
sangat tergantung pada cara pandang orang tersebut terhadap situasi,
keberadaan orang lain, status dan peran dirinya sendiri serta benda-benda yang
ada di sekitarnya. Oleh karena itu, laut serta pekerjaan nelayan sebagai salah
satu benda (non-human object) juga memiliki kemungkinan untuk membatasi
perilaku manusia melalui penilaian manusia tersebut terhadap obyek tersebut
kemudian dikaitkan dengan interaksi yang terjadi. Oleh karena itu, penilaian
(makna) laut dan pekerjaan nelayan sebagai bagian dari proses interaksi akan
mempengaruhi perlakuan nelayan terhadap laut maupun terhadap pekerjaannya
tersebut.
Pada bagian lain Sarwono (1992) menjelaskan bahwa manusia sebagai
mahluk sosial perilakunya banyak dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.
Tingkah laku manusia dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari lingkungannya
(obyek lain, situasi) dan dari dalam diri sendiri (motivasi dan kebutuhan). Selain
itu pengalaman juga turut mempengaruhi perilaku. Sedangkan pengalaman itu
sendiri dipengaruhi oleh kebudayaan sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku
dipengaruhi oleh kebudayaan dan pengalaman.
Maka dengan demikian variabel yang mempengaruhi makna adalah faktor
sosial ekonomi individu dalam hal ini karakteristik seseorang, faktor lingkungan
berupa kondisi alam, kebijakan pemerintah maupun sosial budaya masyarakat
serta hubungan serta keterlibatan pada obyek antara individu dengan obyek
yang dimaknai. Dalam konteks nelayan, hubungan dengan laut dan pekerjaan
sebagai nelayan terkait dengan pengalaman usaha menangkap ikan, lamanya
tinggal dan menetap di pantai serta kepentingan terhadap laut dan pekerjaan
nelayan itu sendiri.
Hubungan Makna dan Tindakan
Perilaku menurut Suparta (2001) adalah cara bertindak yang menunjukkan
tingkah laku seseorang dan merupakan hasil kombinasi antara pengembangan
anatomis, fisiologis dan psikologis serta pola perilaku dikatakan sebgai tingkah
laku yang dipakai seseorang dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya.
Sementara Sarwono (1992) mengartikan periaku sebagai perbuatan-perbuatan
manusia baik yang kasat indera atau yang tidak kaa indera seperti sikap, minat
dan emosi. Perilaku manusia sangat bervariasi karena setiap individu berbeda
keinginan kebutuhan dan tujuan.
Tindakan menurut Blumer mengandung makna yang berbeda dari sekedar
behavior. G.Herbert Mead (Ritzer, 2004) mempelajari tindakan sosial dengan
mempergunakan teknik introspeksi untuk dapat mengetahui barang sesuatu yang
melatarbelakangi tindakan sosial itu dari sudut aktor.
Pembentukan perilaku (tindakan) sebagai hasil dari proses pemaknaan
terimplementasikan dalam interaksi yang dilakukan oleh seseorang. Vernon
(Fauzia, 2002) mengatakan bahwa perilaku secara sosiologis dipandang sebagai
suatu hal yang timbul dari kegiatan resiprokal saling memberi dan menerima
yang menggambarkan ketergantungan manusia terhadap lainnya dan menyesuaikan
setiap tindakan mereka berdasarkan harapan-harapan setiap pelaku dalam
proses interaksi tersebut.
Proses resiprokal tersebut menimbukan pula pemaknan yang berbeda
untuk suatu obyek pada masyarakat yang berbeda. Pemaknaan tanah sangat
penting bagi petani pada berbagai aspek (Erari, 1999; Fauzia, 2002), hutan bagi
penduduk sekitarnya (Timban, 2005; Awang et.al, 2005; Iskandar 1992). Akan
tetapi bagi Suku Bajo maupun Suku Laut ataupun masyarakat pesisir lainnya,
pemaknaan laut pada berbagai aspek sangat penting pula (Peribadi, 2000;
Wahyono et.al, 2000; Kusnadi 2000).
Salah satu faktor yang mempengaruhi proses pemaknaan dan perilaku
seseorang adalah melekatnya status dan peran yang ada pada dirinya. Linton
seperti di kutip oleh Soemardjan dan Soemardi (1964) mengatakan bahwa status
merupakan posisi-posisi tertentu dalam hubungan timbal-balik (interaksi).
Menurutnya status dilekatkan dengan partisipasi seseorang pada suatu pola
hubungan tertentu dan bisa merupakan kumpulan posisi yang dimiliki oleh
seseorang terhadap suatu pola tertentu. Status juga diartikannya sebagai suatu
kumpulan hak dan kewajiban, yaitu sesuatu yang dapat ia terima sekaligus
keharusan-keharusan yang harus ia lakukan berkaitan dengan status yang
disandangnya.
Berbagai penelitian menunjukan terdapat hubungan antara makna dan
tindakan. Iskandar (1992) dalam penelitian pada masyarakat Baduy menyimpulkan
bahwa tindakan mereka merawat serta bersahabat dengan hutan karena mereka
memaknai hutan sebagai sesuatu yang harus dilestarikan.
Masyarakat Penogatu sekitar kawasan Taman Nasional Rawa Aopa
Watumohai, Sulawesi Tenggara telah lama menerapkan hidup untuk selaras
dengan alam (homeostatis) karena menilai bahwa satwa serta tumbuhan yang
ada bukan milik mutlak mereka, tetapi juga untuk generasi berikutnya. Disamping
itu eksploitasi yang berlebihan bisa membuat alam menjadi ”murka” dan
merugikan mereka sendiri (Awang et.al, 2005).
Akan tetapi tidak jarang pemaknaan terhadap sesuatu bisa mengalami
pergeseran seiring dengan perubahan sosial serta desakan ekonomi. Kusworo
(2000) menemukan adanya sikap “frustasi” penduduk lokal kawasan hutan di
Lampung karena mendapat perlakuan diskriminasi sehingga tidak ada sumber
hidup selain berladang dan merambah hutan. Perubahan juga diperlihatkan
masyarakat adat Kontu Muna terhadap hutan dalam menyikapi kebijakan
pemerintah setempat yang ditandai dengan kecenderungan untuk menebang
pohon untuk kepentingan komersil yang sebelumnya cenderung merawat hutan
(www.walhi.com).
Pada masyarakat nelayan, Alimudin (2005) menemukan perubahan makna
budaya laut seiring perubahan penggunaan sarana tangkap pursein maupun mini
pursein yang menggantikan perahu sande. Berbagai ritual dan tradisi yang
mengiringi kegiatan melaut berangsur ditinggalkan. Pada komunitas Bajo, Peribadi
(2000) melihat terjadi pergeseran budaya nelayan pada generasi muda Bajo
yang kurang mengerti makna serta maksud berbagai ritual melaut. Mereka
melakukannya sekedar rutinitas belaka dan cenderung menilai nelayan hanya sebagai
sumber mencari nafkah yang mengarah pada komersialisasi dan rasionalisasi.
Pembentukan tindakan/perilaku manusia adalah sebagai hasil dari proses
pemaknan yang diwujudkan dalam interaksi yang dilakukan. Pemaknaan terhadap
laut maupun pekerjaan nelayan meliputi penafsiran interpretasi atau pemberian
arti yang dilakukan nelayan terhadap laut maupun pekerjaan nelayan tersebut.
Oleh karena kepentingan terhadap laut sangat tinggi sebagai sumber mata
pencaharian menjadikan laut sangat bernilai bagi nelayan (Wahyono et.al, 2000).
Sebaliknya bagi mereka yang keperluan hidupnya tidak bergantung dengan laut,
nilai laut menjadi rendah. Kepentingan terhadap laut juga berkaitan dengan
sistem kepercayaan masyarakat setempat (Pollnac dalam Wahyono et.al, 2000).
Sistem kepercayaan masyarakat tertentu akan berbeda perlakuannya terhadap
laut dibanding masyarakat lain.
Dalam perkembangannya pemaknaan terhadap obyek dapat berubah
ataupun bergeser. Perubahan tersebut dapat terjadi karena faktor lingkungan
seperti kebijakan pemerintah yang dirasakan tidak menguntungkan, maupun
dampak sosial akibat masuknya teknologi. Dampak teknologi baru dpat
menggeser makna obyek dari pemaknaan sosial dan budaya menjadi
sepenuhnya pemaknaan komersil (ekonomi), jika teknologi tersebut mendatangkan
manfaat ekonomi. Sebaliknya jika teknologi tersebut tidak mendatangkan
manfaat ekonomi pemaknan ekonomi juga tidak terlalu mendapat perhatian.
Modernisasi Sebagai Realitas Sosial
Definisi Modernisasi
Modernisasi adalah salah satu perspektif Sosiologi Pembangunan lahir
setidaknya berkembang hingga kini, menurut Suwarsono dan So (1994) merupakan
produk sejarah dari tiga peristiwa penting dunia setelah masa perang Dunia II.
Salah satunya adalah dengan munculnya Amerika Serikat (AS) sebagai kekuatan
dominan dunia yang ditandai dengan pelaksanaan Marshall Plan yang diperlukan
untuk membangun kembali Eropa Barat akibat Perang Dunia II.
Modernisasi secara umum dapat digambarkan sebagai proses perubahan
masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Secara istilah, modernisasi
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2001) adalah proses pergeseran
sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk dapat hidup sesuai dengan
tuntutan masa kini. Modernisasi dalam realitasnya menurut Sajogyo (1985)
semakin banyak dipakai dalam pengertian yang lebih sempit dari pembangunan.
Dengan kata lain istilah modernisasi dan pembangunan tidak digunakan dalam arti
yang sama dan tidak pula mengandung ciri yang sama. Dalam pandangan lain,
modernisasi menurut Koentjaraningrat (1982) dapat dipandang sebagai proses
pengembangan sikap mental berorientasi ke masa depan, berhasrat menguasai
lingkungan, menilai tinggi hasil karya manusia dan sikap lain yang sejenis.
Seperti dipahami pula bahwa lahirnya perspektif modernisasi tidak lepas
dari pengaruh ataupun pemikiran teori evolusi dan teori fungsionalisme struktural.
Pemikiran tersebut mendasari pembentukan teori modernisasi. Menurut teori
evolusi, perubahan sosial merupakan gerak searah, linier, progresif dan perubahan
tersebut berawal dari primitif/tradisional (pra industri) menuju masyarakat modern
dan lebih maju. Rostow (Suwarsono dan So, 1994) membedakan fase pertumbuhan
ekonomi masyarakat modern merupakan masyarakat yang dicita-citakan.
Dalam masyarakat modern terkandung konsep kemajuan, kemanusiaan
dan sivilisasi.9 Dari pengaruh teori evolusi pula maka modernisasi pada saatnya
dianggap sesuatu yang dibutuhkan bukan saja sesuatu yang pasti terjadi.
9
Suwarsono, dan So, AY 2000. Perubahan Sosial dan Pembangunan di Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Walaupun dalam waktu yang cukup lama dan menghancurkan sendi-sendi
kemanusiaan. Seperti misalnya pemikiran Rostow yang kurang memberi perhatian
pada efek samping modernisasi bagi masyarakat.
Modernisasi juga berangkat dari pemikiran teoritis fungsionalis struktural.
Mereka memberikan tekanan pada keterkaitan dan ketergantungan lembaga
sosial. Seperti halnya Smelser yang memfokuskan pada kajian diferensiasi
struktural. Dalam modernisasi, diferensiasi struktural menurut Sajogyo (1985)
dapat diterapkan pada bermacam-macam bidang kehidupan ataupun aspek
kebudayaan. Diferensiasi struktural dalam masyarakat tradisional lebih sederhana
dibanding masyarakat modern yang jauh lebih produktif. Sedangkan Chodak
dalam Sztompka (2004) mendefinisikan modernisasi adalah contoh khusus dan
penting dari kemajuan masyarakat, contoh usaha sadar untuk mencapai standar
kehidupan yang lebih tinggi.
Dalam proses diferensiasi akibat modernisasi tersebut, Neil J Smelser
(Long, 1987) menekankan pentingnya integrasi (penyatuan) atas struktur baru
tersebut. Ciri struktural tersebut berdasarkan pemikiran Talcott Parsons, bahwa
diferensiasi disatu pihak meningkatkan otonomi di lain pihak menimbulkan bentuk
integrasi baru (Sajogyo, 1985). Oleh karena itu, modernisasi memandang penting
kordinasi struktur walaupun tidak dapat diselesaikan secara sempurna.
Dari asumsi tersebut, tergambar bahwa dalam modernisasi melibatkan
perubahan pada hampir seluruh aspek kehidupan manusia dalam suatu
masyarakat. Hal tersebut juga didasari pemikiran bahwa modernisasi menganggap
keterbelakangan dapat diatasi dengan perubahan sikap tradisional menjadi sikap
modern. Dalam mencapai status modern Huntington (Suwarsono dan So,1994)
melihat “modern” dan “tradisional” merupakan bentuk yang asimetris, sehingga
segala yang dianggap tradisional (tidak modern) harus diganti.
Dapat dikatakan bahwa penekanan modernisasi terhadap kemajuan serta
peningkatan produksi termasuk penanggulangan kemiskinan adalah alih teknologi
dan modal disertai oleh perubahan mental modern. Dalam hal ini dapat
disimpulkan pula bahwa modernisasi merupakan proses sistematik dan
transformatif. 10
10
Suwarsono, dan So, AY 2000. Ibid.
Bentuk-Bentuk Modernisasi
Sebagai aliran ataupun paradigma pembangunan, modernisasi menganggap
keterbelakangan dapat ditanggulangi dengan transfer teknologi dan modal dari
masyarakat modern bagi masyarakat yang dianggap belum modern. Hal tersebut
diperkuat oleh pendapat Sztompka (2004) bahwa pengertian relatif modernisasi
berarti upaya yang bertujuan untuk menyamai standar yang dianggap modern
baik oleh rakyat banyak maupun oleh elit penguasa.
Bertitik tolak dari asumsi modernisasi yang dipengaruhi kedua teori tersebut
(teori evolusi dan fungsionalisme struktural), terlihat bahwa tahap kemajuan suatu
masyarakat dapat terjadi dengan perubahan teknologi produksi secara
mendasar. Schoorl (1993) menggunakan indikator perluasan penggunaan alatalat dan sumber energi tak bernyawa untuk melipatgandakan hasil kerja. Sedangkan
Weiner dalam Sajogyo (1985) memandang modernisasi sebagai upaya penerapan
teknologi oleh manusia untuk menguasai sumber-sumber alam demi menciptakan
peningkatan nyata pertumbuhan hasil. Berbeda dengan ekonom, pendekatan
modernisasi bagi sosiolog, menurut Suwarsono dan So (1994) jelas menitikberatkan
pada diferensiasi struktural.
Oleh karena itu sangat penting untuk memahami variasi bentuk-bentuk
modernisasi oleh Tjondronegoro dalam Sajogyo (1985) antara lain bahwa:
pembangunan disamakan dengan modernisasi; bahwa unsur teknologi masih
diutamakan dan diasumsikan kebaikan tranfer teknologi tersebut akan tersalur.
Yang dimaksud dengan modernisasi perikanan adalah pengembangan
teknologi berupa motorisasi alat dan bantuan modal perikanan tradisional mejadi
sarana yang lebih efektif dan efisien. Secara sederhana menurut Satria, (2001)
modernisasi perikanan merupakan peralihan cara-cara tradisional dengan
teknologi yang lebih modern. Alih teknologi dapat berupa motorisasi sarana
penangkapan lazim diistilahkan dengan Revolusi Biru, serta bantuan permodalan
yang masuk pada komunitas nelayan.
Salah satu bentuk misalnya pemberian kredit kepemilikan motor. Tujuan
pemerintah memberikan kredit perikanan sebagai salah satu bagian modernisasi
yaitu meningkatkan produksi dan produktivitas nelayan. Pada nelayan Bali,
Yudana et.al (1991) mencontohkan bahwa modernisasi berupa motorisasi
perahu dilakukan karena keinginan untuk dapat melakukan penangkapan pada
jangkauan jauh yang lebih banyak memiliki sumber ikan.
Berbagai program alih teknologi mendapat dukungan pemerintah dengan
mengeluarkan kebijakan, misalnya menurut Parlis dalam Hewerning (2003)
bahwa program modernisasi perikanan diperkuat oleh Keppres no 39/1980 tentang
kredit perikanan pola pangan. Penerapan modernisasi bagi nelayan selalu
melibatkan pemerintah, termasuk dengan kewenangannya untuk memaksakan
penerimaan dan penggunaan alih teknologi itu bagi nelayan (Pieter, 1987; Satria,
2001; Herwening, 2003).
Program modernisasi sektor perikanan telah berlangsung di berbagai
wilayah di Indonesia dan dimulai sejak tahun 1970 melalui bentuk kapitalisasi
perikanan (Satria, 2001). Bahkan menurut Masyhuri (2001) modernisasi telah
dimulai awal tahun 1960 dengan menambahkan motor pada perahu layar.
Modernisasi tersebut berlangsung terus sampai saat ini dengan berbagai inovasi
alat tangkap dan modifikasi program lainnya.
Sejarah modernisasi perikanan pada umumnya dilatar belakangi keinginan
pemerintah untuk meningkatkan hasil tangkapan yang berimbas pada kesejahteraan
nelayan itu sendiri. Salah satu aspek penting dari modernisasi bidang perikanan
ini adalah subtitusi teknik produksi dari cara-cara tradisional kepada cara yang
lebih rasional (Kusnadi, 2000). Perihal kebijakan modernisasi ini, Rice (1991)
menjelaskan bahwa hasil dari peningkatan produktivitas tersebut diharapkan
dapat memperbaiki kualitas kesejahteraan nelayan.
Urgensi modernisasi perikanan menurut Satria (2002) adalah melalui
perbaikan teknologi atau alat tangkap untuk peningkatan produksi karena masih
terjadi under capacity. Potensi sumber daya ikan yang ada mengharuskan untuk
dilakukan alih teknologi untuk mendukung pemanfaatan dan eksploitasi maksimal
potensi tersebut.11 Pada umumnya peningkatan kualitas sarana penangkapan
tersebut didorong oleh upaya meningkatkan produksi perikanan.
Sebenarnya modernisasi perikanan melalui perubahan teknologi, bukan
hanya terjadi melalui adopsi, akan tetapi menurut Satria (2002) dapat pula
melalui inovasi. Artinya penemuan baru dalam masyarakat itu sendiri dapat terjadi
antara lain karena kesadaran akan kekurangan dalam kebudayaan, serta
rangsangan pendorong mutu, serta ketidakpuasan akan keadaan saat ini
(Koentjaraningrat, 1982).
11
Winahyu dan Santiasi. 1993. Pengembangan Desa Pantai. Dalam Mubyarto dkk. 1993. Dua
Puluh Tahun Penelitian Pedesaan. Yogyakarta: Aditya Media.
Sementara pada beberapa tempat, modernisasi terjadi kerena proses
adopsi, seperti halnya nelayan Pelabuhan Ratu oleh nelayan Bugis (Herwening,
2003), nelayan Pekalongan oleh nelayan Bagan Siapi-api (Satria, 2001), serta
nelayan Bima oleh nelayan Bugis yang memperkenalkan alat tangkap bagan
(Satria, 2002).
Respons Terhadap Modernisasi
Respons menurut terminologi adalah suatu tanggapan atau reaksi akan
terjadi setelah seseorang atau sekelompok orang memperhatikan, memahami
dan menerima stimulus yang menghampirinya berbentuk nyata (Suardiman
dalam Thamrin, 2002; Depdiknas, 2001). Pendapat yang sama dikemukakan
oleh Mar’at (1982) bahwa respons menurut terminologi adalah suatu tanggapan
atas reaksi yang diberikan oleh seseorang terhadap rangsangan atau stimulus
yang dihadapinya. Sedangkan Thomas dalam Johnson (1990) menyimpulkan
individu merespon suatu stimulus dengan perantara sikapnya.
Dalam hal modernisasi, respons yang berbentuk perilaku nyata berarti
suatu upaya individu untuk memenuhi kebutuhannya. Mar’at (1982) mengutip
pendapat sosiolog Janis dan Kelly bahwa proses timbulnya respon didahului
oleh hal-hal: perhatian, pengertian, penerimaan terhadap stimulus yang ada.
Modernisasi perikanan pada dasarnya merupakan salah satu bentuk inovasi
dalam satu masyarakat atau komunitas. Masyarakat yang sedang membangun
menurut Rogers dan Shoemaker (Hanafi,1981) berkepentingan dengan inovasi,
baik gagasan, tindakan atau barang-barang baru. Inovasi itu sendiri merupakan
pangkal terjadinya perubahan sosial. Sebab seperti dikemukakan oleh Satria
(2002) bahwa perubahan teknologi perikanan, perikanan tangkapan maupun
budidaya, secara antropologis dilihat sebagai perubahan kebudayaan. Menurut
Mosher (1983) yang mengkaji masyarakat petani, sumber perubahan teknologi
berasal dari teknik kerja petani lain, mendatangkan dari daerah lain serta
percobaan terarah.
Dalam suatu proses inovasi, penemuan baru dalam masyarakat disebut
discovery.12 Sedangkan penemuan yang diakui dan diterima dalam suatu
masyarakat dinamakan invention (Koentjaraningrat, 1982). Sistem mata pencaharian
yang selaras dengan sosial budaya suatu komunitas juga berkaitan dengan
12
Satria, 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta: Cidesindo
respons terhadap teknologi baru (modernisasi). Penelitian Iskandar (1992)
terhadap ekologi perladangan Suku Baduy telah membuktikan hal itu.
Dalam satu komunitas yang komunal, masuknya program modernisasi tidak
langsung diterima begitu saja oleh anggota komunitasnya, walaupun berhubungan
dengan kepentingan mereka sendiri. Penerimaan maupun penolakan berkaitan
dengan proses mental sejak seseorang mengetahui adanya inovasi (Hanafi,
1981), pelapisan sosial dalam masyarakat (Soewardi, 1976), pola ekologi dan
kebijakan pemerintah (Geertz, 1976), disamping nilai-nilai serta budaya masyarakat
itu sendiri (Dove, 1985).
Kecepatan adopsi adalah tingkat kecepatan penerimaan inovasi oleh
anggota sistem sosial yang diukur dengan jumlah penerima yang mengadopsi
dalam suatu periode tertentu. Respons terhadap teknologi baru berupa
penerimaan ataupun penolakan menurut Rogers dan Shoemaker dalam Hanafi
(1981) juga dipengaruhi oleh sifat-sifat inovasi antara lain: (1) keuntungan relatif,
(2) kompatibilitas (keterhubungan dengan nilai budaya), (3) kompleksitas
(kerumitan), (4) triabilitas (dapat dicoba) serta (5) observabilitas (dapat diamati).
Berbagai fakta empiris menyimpulkan bahwa adopsi inovasi tidak berlangsung
mulus, dalam artian adopter pada awalnya menerima tetapi pada akhirnya
menolak maupun sebaliknya, menolak selanjutnya menerima (Hanafi, 1981).
Dalam hal; katagori adopter, Rogers dan Shoemaker dalam Hanafi (1981)
membagi menjadi adopter inovator, pelopor, pengikut awal, pengikut akhir serta
lagard. Katagori tersebut mengikuti model kurva normal dimana tahapan awal
dengan jumlah adopter inovator maupun pelopor belum terlalu banyak.
Selanjutnya meningkat untuk pengikut awal dan pengikut akhir dan menurun
untuk adopter lagard. Pembagian adopter tersebut bukanlah suatu yang mutlak,
sesuai dengan konteks sosial adopter, maupun jenis teknologi baru yang
diperkenalkan tersebut.
Selain itu hal lain yang dapat menjadi variabel penjelas kecepatan
(respons) adopsi adalah (a) tipe keputusan inovasi, (b) sifat saluran komunikasi,
(c) ciri sistem sosial serta (d) gencarnya agen pembaru dalam mempromosikan
inovasi.
Sementara Soemardjan dan Breazeale (1993) mengemukakan bahwa
pada sebuah masyarakat pedesaan mungkin akan menerima sebuah program
baru jika mengikuti keadaan:
1. melayani kebutuhan-kebutuhan anggota masyarakat.
2. konsisten dengan sistem nilai dalam masyarakat yang ada.
3. tidak melebihi kemampuan teknologi masyarakat.
Perubahan kedua model penerimaan tersebut dalam konteks nelayan
dapat disebabkan oleh fakta empiris (keberhasilan atau kegagalan) (Satria,
2002), penggunaan yang ramah atau merusak lingkungan maupun sesuai atau
tidak sesuai dengan nilai dan budaya setempat (Wahyono et.al, 2001), serta
karena keputusan otoritas (Hanafi, 1981). Bagi masyarakat (adopter) yang
mampu bertahan tetap concern dengan inovasi tersebut.
Dalam perkembangannya, inovasi juga menjadikan adopternya melakukan
adjustment selain adaptasi. Manusia menurut Sarwono (1992) menyesuaikan
responsnya terhadap rangsang yang datang dari luar (adopsi), sedangkan
stimulus pun dapat diubah sesuai dengan keperluannya (adjusment). Dalam hal
ini, masyarakat akan melakuan adjustment dengan teknologi model lainnya.
Maka respons pada inovasi dapat dilihat pula dari bentuk-bentuk adopsi ataupun
djusment yang mereka lakukan.
Bagi petani, Mosher (1983) selanjutnya menambahkan bahwa suatu teknik
baru harus dapat memberi kenaikan hasil, atau mengurangi biaya dengan sangat
menyolok, barulah dapat diterima oleh kebanyakan petani.
Dampak Modernisasi
Oleh karena modernisasi menekankan pentingnya alih teknologi, maka
pola kerja lama akan berubah pula dalam pola kerja baru. Pola kerja baru
tersebut dalam suatu masyarakat maupun komunitas dapat pula berimplikasi
pada kehidupan sosial. Satria (2001) menjelaskan bahwa dalam berbagai studi
dan kajian menunjukkan bahwa ada pengaruh modernisasi yang sangat kuat
terhadap perubahan struktur sosial, yakni terciptanya stratifikasi sosial baru yang
sekaligus mendorong terjadinya mobilitas sosial. Berbagai penelitian dalam
konteks masyarakat petani, modernisasi menimbulkan dampak pada perubahan
struktur sosial (Hayami dan Kikuchi, 1987; Husken, 1998 dan Amaludin, 1987).
Dampak modernisasi tersebut menunjukkan segi positif yakni peningkatan
produksi dan meningkatkan pendapatan, seperti halnya pemakaian “huller” pada
masyarakat desa (Sajogyo, 1985). Penerapan motor tempel pada kegiatan
penangkapan ikan di Batu Nampar misalnya, telah berdampak pada; (1) aspek
penangkapan ikan (peralihan alat tangkap tradisional menjadi modern) dengan
hasil tangkapan lebih banyak, (2) aspek sarana transportasi yang lebih cepat, (3)
aspek pengembangan budidaya rumput laut; dapat memperoleh hasil panen
yang baik serta pengetahuan akan varietas yang lebih baik (Saba, 2003).
Kebijakan pemerintah dalam meningkatkan produksi pangan utama, telah
mengantarkan teknologi ke daerah pedesaan dan telah terjadi swasembada
beras tahun 1984 (Tjondronegoro, 1988), serta mengangkat Indonesia dari
importir beras terbesar menjadi berswasembada (Tjondronegoro, 1999). Walaupun
dua studi kasus penelitian Deuster (1980) mengenai dampak modernisasi dalam
hal ini Revolusi Hijau di Sulawesi Selatan dan Sumatera Barat menyimpulkan
bahwa peningkatan besar-besaran dalam produksi beras tidak dengan sendirinya
berarti peningkatan pendapatan secara keseluruhan.
Penelitian SAE telah menunjukan bahwa pemakaian teknologi mekanisasi
oleh pengolah tanah (Sinaga dan White, 1987) dan pengolahan hasil pertanian
(Collier et.al dalam ) menimbulkan akibat negatif terhadap kesempatan kerja dan
distribusi pendapatan. Penggunaan sarana teknologi modern juga telah memaksa
petani untuk berfikir semakin rasional dan komersil (Siahaan, 1980). Kondisi
tersebut pada akhirnya memudarkan kewajiban sosial serta pecahnya ikatan
komunitas dalam kehidupan petani.
Dari berbagai pengertian modernisasi dapat diidentikan dengan industrialisasi
dan berimplikasi pada perubahan sosial dalam suatu masyarakat. Pada kasus
modernisasi pertanian (Revolusi Hijau), Tjondronegoro dalam Satria (2001)
menjelaskan terjadi polarisasi sosial karena penguasaan sumberdaya oleh salah
satu pihak (tuan tanah) akibat modernisasi, sementara kajian Hayami dan Kikuchi
(1987) pada petani Jawa tidak melihat terjadinya polarisasi (meskipun tidak
menyangkal) akibat revolusi hijau (alih teknologi).
Dalam hal ini menurut Tjondronegoro bahwa penguasaan alat berdampak
pada timbulnya proses stratifikasi, penguasaan atas sumber daya dan berbagai
fasilitas akan berlangsung terus (Satria, 2001). Akibatnya stratifikasi tersebut
menimbulkan suatu polarisasi dalam kehidupan sosial. Sedangkan bagi Hayami
dan Kikuchi (1987) bertambahnya jumlah lapisan atas (tuan tanah) akibat
revolusi hijau tersebut belum memandang telah terjadi polarisasi karena masih
kuatnya pranata serta ikatan moral. Akan tetapi Hayami dan Kikuchi pun mengkhawatirkan
bahwa penetrasi ekonomi pasar pada saatnya akan menghancurkan pranata tersebut.
Modernisasi juga bisa mengakibatkan migrasi penduduk besar-besaran
oleh penduduk desa di Jawa oleh karena tidak mampu beradaptasi dengan teknologi
modern. Akibatnya tenaga kerja sektor pertanian berkurang (Tjondronegoro, 1999).
Berbagai penelitian menunjukan bahwa modernisasi perikanan telah
meningkatkan produktivitas hasil tangkapan (Pranadji, 1995; Tim Antropologi
Unipad, 1991; Yudana, et.al 1991). Sarana produksi baik alat tangkap maupun
kapal hasil modifikasi serta inovasi menjadikan pekerjaan nelayan lebih efektif
dan efisien, serta jangkauan melaut lebih jauh pada area dengan sumber ikan
lebih banyak.
Data mengenai dampak modernisasi telah ditunjukan oleh Bailey dalam
Kusnadi (2000) bahwa telah terjadi peningkatan produksi perikanan nasional.
Berdasarkan laporan dari FAO (Widjayanto, 2004) produksi perikanan tangkap
Indonesia berada pada peringkat 4 dunia, sedangkan produksi perikanan budi
daya pada peringkat 3 dunia. Bahkan Tim Antropolog Unpad (1991) menemukan
indikasi bertambahnya motivasi nelayan untuk bekerja lebih giat karena
tangkapan yang selalu meningkat, serta pengetahuan akan area penangkapan
yang baru.
Satria (2002) juga menggambarkan dampak positif kelangsungan modernisasi
perikanan antara lain:
a. terjadinya peningkatan produksi perikanan
b. meningkatnya pendapatan nelayan
c. mendorong tersedianya lapangan kerja baru
Akan tetapi di sisi lain modernisasi perikanan juga telah menciptakan
berbagai permasalahan bagi kehidupan nelayan itu sendiri, seperti telah
dikemukakan pada bagian Pendahuluan rencana penelitian ini. Solihin (2005)
menambahkan dengan tidak menafikan keberhasilan Revolusi Biru, modernisasi
perikanan dan pemberian bantuan modal telah berhasil mendongkrak angkaangka produksi perikanan, namun di sisi lain, tidak bisa dipungkiri bahwa
Revolusi Biru telah menciptakan kemiskinan, kesenjangan sosial, dan konflik
antar nelayan.
Penelitian Mubyarto et.al (1994) menemukan aspek negatif dari motorisasi
tidak mampu diadopsi nelayan buruh (pandhiga) yang menyebabkan ketergantungan
nelayan yang tinggi pada pihak juragan dan pihak luar tetapi tidak melihat
hubungan patron-klien tersebut bersifat eksploitatif.
Kajian Pranadji (1995) menyimpulkan bahwa modernisasi perikanan masih
bias pada nelayan kaya, sementara nelayan belah (buruh) tetap dalam posisi
semula. Hal tersebut dapat terjadi karena kelembagaan bagi hasil pada komunitas
nelayan tidak memungkinkan nelayan buruh menikmati hasil modernisasi. Kajian lain
misalnya Mappawata dan Marzali dalam Satria (2001) juga menunjukan dampak
negatif modernisasi perikanan yakni bahwa pemlik modal menerima jauh lebih
besar daripada nelayan yang menjual tenaga kerjanya.
Kusnadi (2000) menemukan data peningkatan produksi tersebut hanya
memberikan keuntungan ekonomis pada pemilik alat produksi modern baik
nelayan maupun bukan nelayan. Berbagai kajian terdapat indikasi bahwa
kemiskinan struktural melanda kehidupan nelayan tradisional sesungguhnya
disebabkan oleh faktor kompleks (Satria, 2002; Mubyarto et.al, 1984; Masyhuri
et.al, 2000). Faktor tersebut tidak hanya berkaitan dengan fluktuasi musim ikan,
keterbatasan sumber daya manusia, modal akses dan jaringan perdagangan
ikan yang eksploitatif terhadap nelayan sebagai produsen, tetapi juga oleh
dampak modernisasi perikanan.
Penelitian Satria (2001) pada nelayan Pekalongan menyimpulkan bahwa
kalangan nelayan strata atas sajalah yang lebih siap untuk memasuki sistem
kelembagaan baru. Satari dalam Masenga (2001) menggambarkan motorisasi alat
tangkap menyebabkan kesenjangan ekonomi yang semakin lebar antara nelayan
dan juragan. Sementara Karim (2003) menggambarkan bahwa penggunaan
teknologi penangkapan ikan yang diharapkan mengakibatkan terjadinya perubahan
mode of production dari sistem tradisional menjadi modern ternyata jauh dari
harapan.
Dari sisi keuntungan modernisasi/revolusi biru berupa efektifitas serta
meningkatnya hasil tangkapan, Herwening (2003) dalam penelitian pada nelayan
Pelabuhan Ratu mencatat potensi ketimpangan bagi hasil, eksploitasi ABK serta
potensi konflik lainnya. Beberapa kajian serta penelitian menunjukkan konflik
antar nelayan setelah modernisasi misalnya antar nelayan tradisional dengan
nelayan trawl (Satria, 2001; Mubyarto,et al. 1994), nelayan tradisional dengan
nelayan jaring eret (Kusnadi, 2002), serta konflik nelayan tradisional dengan
nelayan perahu sleret (Kusnadi, 2000).
Hal ini dikarenakan proses yang terjadi tidak dibarengi oleh pergeseran
hubungan kerja ke arah yang lebih rasional dan saling menguntungkan.
Beberapa contoh penerapan modernisasi tidak disertai dengan kursus perawatan,
akibatnya nelayan belajar merawat kapal dan alat tangkap secara otodidak (Tim
Antropolog Unpad, 1991). Disamping itu kurang diajarkan tentang cara pengoperasian
yang lebih baik (Kusnadi, 2000; Juwono, 1994). Terjadi pula degradasi
lingkungan laut dan over fishing (Solihin, 2005; Pranadji, 1995; Yudana et.al,
1991). Dengan demikian, tujuan awal revolusi biru, yakni meningkatkan kesejahteraan
hidup nelayan, yang dicapai justru proses pemiskinan masyarakat nelayan.13
Kasus-kasus tersebut tidak dapat dilepaskan sebagai dampak dari penerapan
modernisasi itu sendiri. Modernisasi perikanan berupa alih teknologi berdampak
positif yakni peningkatan produksi hasil tangkapan ikan (Satria, 2002; Kusnadi,
2000; Pranadji, 1995; dan Solihin, 2005), meningkatnya pendapatan nelayan (Satria,
2002), meningkatnya motivasi berusaha (Yudana et.al, 1991; Tim Antropologi
Unpad, 1991), serta dapat membantu pengadaan transportasi antar pulau (Saba,
2003). Pekerjaan nelayan juga menjadi lebih ringan, efektif dan efisien (Satria,
2002; Kusnadi, 2000).
Akan tetapi dampak negatif modernisasi juga tidak dapat dihindari menimpa
nelayan. Kenaikan pendapatan ternyata masih bias bagi nelayan lapisan atas
(Pranadji, 1995; Masenga, 2001 dan Satria, 2001). Modernisasi juga tidak
mampu diadopsi oleh nelayan lapisan buruh (Mubyarto et.al, 1994). Bahkan
modernisasi perikanan juga menimbulkan konflik antar nelayan (Herwening,
2003; Satria, 2001 dan Kusnadi,). Oleh karena itu berbagai kalangan menganggap
beberapa kasus modernisasi terkesan hanya sebagai pelaksanaan program
pemerintah dalam mendongkrak angka produksi (Solihin, 2005; Juwono, 1994
dan Pieter, 987).
13
Kusnadi. 2002. Konflik Sosial Nelayan. Kemiskinan dan Perebutan Sumber Daya Perikanan.
Yogyakarta: LKiS
Download