BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pembangunan di Indonesia telah sering dilakukan sejak dahulu sampai sekarang untuk menciptakan pertumbuhan dan perkembangan wilayah di Indonesia. Terdapat banyak macam pembangunan yang telah dilakukan di Indonesia dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan dilakukan seiring dengan laju pertumbuhan penduduk yang semakin banyak, karena seringkali pembangunan dilakukan untuk memenuhi permintaan kebutuhan penduduk yang semakin banyak pula. Selain itu, pembangunan juga biasa dilakukan untuk mengatasi masalah yang disebabkan pula karena pertumbuhan penduduk yang tinggi. Bisanya masalah tersebut terkait dengan masalah fisik lingkungan, sehingga diperlukan rencana proyek pembangunan untuk mengatasi masalah tersebut. Pembangunan yang dilakukan pemerintah memiliki tujuan untuk kepentingan umum, bukan hanya kalangan tertentu saja. Tetapi, pembangunan yang dilakukan seringkali terhambat ketersediaan lahan, karena pertumbuhan penduduk yang meningkat menyebabkan luas lahan yang digunakan untuk permukiman meningkat pula. Hal ini tentu menyebabkan masalah baru dalam melakukan penetapan lokasi untuk proyek pembangunan. Oleh karena itu, dalam rangka percepatan dan efektivitas dalam pembangunan untuk kepentingan umum diperlukan penyelenggaraan pengadaan tanah. Pengadaan tanah dilakukan dengan memberikan ganti rugi terhadap penduduk yang secara langsung menguasai atau memiliki objek pengadaan tanah untuk pelepasan hak tanah atas pembangunan yang akan dilakukan. Pembangunan dapat dilakukan dalam berbagai skala, yaitu skala nasional, regional, maupun lokal. Skala nasional biasanya meliputi 1 pembangunan di seluruh negara yang menekankan pada bidang ekonomi. Skala regional meliputi suatu wilayah yang menekankan pada bidang ekonomi dan fisik wilayah. Skala lokal meliputi kawasan yang luasnya kecil yang menekankan pada bidang fisik. Pembangunan dilakukan secara matang dan berdasarkan persiapan perencanaan dan analisis yang kuat dan sesuai untuk suatu wilayah. Hal ini dikarenakan pembangunan dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan untuk membuat keadaan semakin baik. Apabila pembangunan yang dilakukan tidak memberikan dampak positif bagi suatu wilayah secara fisik dan kehidupan masyarakat yang terkena dampak pembangunan, maka pembangunan yang dilakukan tidak dapat dikatakan berhasil. Salah satu pembangunan yang dilakukan di Indonesia untuk mengatasi masalah yang semakin besar adalah pembangunan Waduk Jatibarang yang berada di Kota Semarang. Kota Semarang merupakan ibukota Jawa Tengah dan menjadi salah satu kota besar yang ada di Indonesia. Kota-kota besar di Indonesia selalu dijadikan sebagai tujuan migrasi dari penduduk di daerah lain, begitu pula dengan Kota Semarang. Kota Semarang sebagai pusat industri, jasa, dan barang menjadi daya tarik dan pendorong tersendiri bagi penduduk daerah lain untuk bermukim di Kota Semarang dengan harapan kehidupan menjadi lebih baik. Pada dasarnya, kota sebagai ruang untuk kegiatan manusia selalu mengalami perkembangan dalam segala aspek seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan jumlah penduduk (Yunus, 2008). Perkembangan Kota Semarang dapat dilihat dari jumlah penduduk yang selalu bertumbuh setiap tahunnya. Berdasarkan data dari Ciptakarya, Kota Semarang memiliki jumlah penduduk sebesar 1.350.005 jiwa pada tahun 2002, sedangkan pada tahun 2015 jumlah penduduk meningkat menjadi 1.765.396 jiwa (Dispendukcapil Kota Semarang, 2015). Peningkatan jumlah penduduk akan berpengaruh terhadap tingginya permintaan akan kebutuhan ruang, berupa kebutuhan permukiman, sarana prasrana, dan penggunaan lain sebagai pendukung aktivitas masyarakat 2 yang semakin banyak. Kebutuhan ruang yang semakin banyak tentu memerlukan lahan untuk menampung kebutuhan dan keinginan penduduk. Tetapi, lahan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat memiliki luas yang terbatas, karena tidak semua jenis lahan dapat dimanfaatkan. Apabila pemanfaatan lahan yang tidak sesuai tetap diterapkan, maka akan menimbulkan permasalahan lingkungan karena ketidakseimbangan dalam pertumbuhan, seperti masalah banjir yang selalu terjadi di pusat Kota Semarang karena air tidak mampu meresap ke dalam tanah akibat jumlah permukiman yang semakin banyak. Kota Semarang sudah terkenal sebagai kawasan yang sering terkena banjir, terutama di daerah semarang bawah. Kawasan bawah sering terjadi banjir rob karena berbagai sebab, misalnya karena kurangnya media untuk membuang aliran permukaan yang semakin besar dari daerah atas dan daerah sekitarnnya, serta kawasan pesisir semarang yang mengalami penurunan muka tanah menyebabkan luapan banjir semakin besar. Banjir yang sering melanda, selalu menghambat aktivitas masyarakat setempat, sehingga semakin lama semakin berdampak pada kualitas daerah bawah Kota Semarang. Banjir bandang di Kota Semarang sangat rawan terjadi pada setiap tahunnya. Bencana banjir besar di Kota Semarang telah terjadi pada tahun 1973, 1998, 1990, dan 1993. Pada Tahun 1990, banjir besar di Kota Semarang terjadi akibat jebolnya tanggul di Banjir Kanal Barat, sehingga air meluap keluar semua. Banjir ini menyebabkan korban kematian mencapai 47 jiwa, 25 rumah hancur, 125 rumah tenggalam, 1 bangunan sekolah hancur dengan luas daerah tergenang 1.670 ha dengan kedalaman 2-3 m dalam waktu 2-4,5 jam. Hal ini menyebabkan kerugian sebesar 8,5 miliar rupiah (Dewi Liesnoor dan Erni Suharini, 2014). Banjir besar sangat rawan terjadi pada saat musim penghujan karena limpasan air yang semakin besar. Akan tetapi, suplai air baku di Kota Semarang pada musim kemarau sangat sedikit. Hal ini menunjukkan urgensi untuk mengurangi banjir tanpa mengurangi penyimpanan suplai air baku di Kota Semarang. 3 Limpahan air yang semakin besar membutuhkan suatu ‘tempat’ atau lokasi yang disalurkan agar air tidak mengalir ke jalan dan permukiman warga. ‘Tempat’ ini lah yang kemudian direncanakan oleh pemerintah Kota Semarang sebagai salah satu program untuk mengurangi limpasan banjir. Program tersebut dinamakan dengan pembangunan Waduk Jatibarang yang dimulai pada tanggal 15 Oktober 2009 dari pengadaan lahan sampai mulai digenangi air pada tahun 2014. Pembangunan Waduk Jatibarang didahului dengan membendung Sungai Kreo untuk pembuatan cofferdam atau bendungan pengelak yang dibangun setelah selesainya bdendungan pengelak pendahuluan, sehingga lokasi rencana bendungan utama menjadi kering yang memungkinkan pembangunannya secara teknis. Waduk Jatibarang akan berfungsi untuk mengendalikan banjir Kota Semarang, khususnya bagian tengah dengan desain banjir Q 50 tahun. Selain itu, Waduk Jatibarang akan dimanfaatkan untuk mengembangkan potensi sumber daya air untuk memenuhi kebutuhan air baku, khususnya wilayah Kota Semarang bagian tengah, serta meningkatkan kelestarian fungsi konservasi di DAS Garang. Waduk Jatibarang memiliki spesfikasi berupa kapasitas tampung air sebesar 20,4 juta meter kubik dengan tinggi 74 meter. Luas genangan waduk sebesar 189 Hektar dengan panjang puncak 200 meter dan lebar puncak 10 meter. Selain itu, daerah tangkapan Waduk Jatibarang memiliki luas sebesar 54 km2. Waduk Jatibarang memiliki desain banjir 170 m3/detik dengan pasokan air baku sebanyak 1.050 liter/detik. Dengen spesifikasi yang telah disebutkan tersebut, diharapkan dapat mengurangi debit banjir sebesar 170 m3/detik, penyedia air baku Kota Semarang 1050 liter/detik, potensi PLTMH 1,5 megawatt, serta potensi pariwisata baru di Kota Semarang. Berdasarkan spesifikasi dan berbagai tujuan dari Waduk Jatibarang, maka waduk ini dapat dikatakan sebagai waduk besar karena memiliki tinggi lebih 15 m, yaitu 74 m (ICOLD, 2003 dalam Gordon, 2006). Waduk Jatibarang memiliki tipe berupa urugan batu dengan lapisan kedap air di bagian hulu bendungan berupa aspal dan beton bertulang. 4 Pembangunan Waduk Jatibarang diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat karena setiap pembangunan memiliki tujuan untuk menuju ke arah yang lebih baik. Pembangunan Waduk Jatibarang tidak hanya digunakan untuk mengurangi limpahan air saat banjir dan sumber pasokan air saat musim kemarau, tetapi juga memiliki potensi pariwisata dan pembangkit listrik tenaga air untuk membantu meningkatkan kehidupan masyarakat sekitar. Adanya Waduk Jatibarang sebagai objek wisata yang baru dapat memberikan peluang bagi masyarakat mengembangkan kegiatan wisata agar menjadi daya tarik wisata baru. Semakin banyak wisatawan yang melakukan kegiatan wisata dapat meingkatkan pendapatan asli masyarakat, sehingga dapat terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan Waduk Jatibarang dilakukan di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Gunungpati, tepatnya di Kelurahan Kandri dan Jatirejo, serta Kecamatan Mijen, di Kelurahan Kedungpane dan Jatibarang. Waduk di bangun di lokasi kecamatan yang termasuk ke dalam BWK VIII (Kecamatan Mijen) dan BWK IX (Kecamatan Gunungpati) dalam Peraturan Daerah Kota Semarang, yaitu sebagai kawasan konservasi dan penyangga, sehingga sesuai untuk dibangun waduk. Lokasi Waduk Jatibarang secara jelas ditunjukkan dalam gambar 1.1. berikut. 5 PETA EKSISTING WADUK JATIBARANG Sumber : Google Maps, 2017 Gambar 1.1. Peta Waduk Jatibarang, Kota Semarang Pembangunan waduk yang dilakukan menyebabkan terjadinya perubahan penggunaan lahan milik warga menjadi waduk sebagai proses pengadaan tanah. Ganti kerugian sebagai salah satu proses pengadaan tanah diberikan kepada 297 orang pemilik tanah yang berada di lokasi rencana pembangunan waduk (Kompas, 7 April 2006). Luas tanah yang dibebaskan untuk pembangunan waduk sebesar 194 hektar, sedangkan lahan yang perlu dibebaskan seluas 189.35 ha yang terdiri dari lahan sawah 47.01 ha (24.83%) dan lahan tegalan 142.21 ha (75.17%) (Tri Andari, 2007). Lahan milik warga yang berubah akibat pembangunan waduk berupa lahan pertanian seperti sawah, tegalan, dan tanah kosong. Selain itu, terdapat pemindahan 264 Kepala Keluarga (KK), toko, ruko, dll tetapi tidak ada pemindahan rumah warga. Dinamika perubahan penggunaan lahan merupakan indikator yang paling sensitif dalam hubungannya dengan sumber daya alam dan aktivitas 6 manusia (Zhang et al, 2010 dalam Zhao et al, 2012). Perubahan penggunaan lahan karena pembangunan Waduk Jatibarang memiliki sifat multidimensial yang menyebabkan perubahan terhadap aspek lainnya secara fisik lingkungan, fungsi kawasan, sarana prasarana yang ada, demografi, serta sektor yang berkembang. Perubahan ini akan menyebabkan adanya dinamika wilayah yang tentunya akan mempengaruhi ekosistem dan manusia di sekitarnya sebagai bentuk adaptasi terhadap lingkungan yang berubah karena pembangunan Waduk Jatibarang. Berubahnya lahan milik warga yang menjadi sumber pendapatan masyrakat menjadi waduk akan mempengaruhi pula pola kehidupan warga yang terkena dampak langsung, seperti berubahnya kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Jumlah rumah tangga usaha pertanian penggunaan lahan di Kecamatan Gunungpati dan Mijen pun berubah. Pada tahun 2003, jumlah rumah tangga usaha pertanian penggunaan lahan di Kecamatan Mijen sebanyak 5.527, sedangkan di Kecamatan Gunungpati mencapai 11.652, merupakan jumlah yang paling banyak di Kota Semarang. Tetapi, pada tahun 2013, jumlah rumah tangga usaha pertanian pengguna lahan di Kecamatan Mijen berkurang menjadi 3.203. Jumlah di Kecamatan Mijen menurun sebanyak 42,05%. Kecamatan Gunungpati pun mengalami penurunan yang besar sebanyak 63,35% dengan jumlah menjadi 4.270 (Sensus Pertanian Kota Semarang, 2013). Berkurangnya jumlah rumah tangga usaha pertanian pengguna lahan di Kecamatan Mijen dan Gunungpati dapat disebabkan oleh banyak hal, seperti berkembangnya jumlah permukiman untuk memenuhi kebutuhan permukiman yang semakin banyak karena lokasinya berada di daerah pinggiran Kota Semarang. Tetapi, berkurangnya jumlah rumah tangga pertanian pengguna lahan di Kecamatan Mijen, tepatnya di Kelurahan Jatibarang dan Kedungpane dan di Kecamatan Gunungpati, tepatnya Kelurahan Jatirejo dan Kandri pada kurun waktu 2009-2013 disebabkan oleh adanya pembangunan Waduk Jatibarang. Hal ini tentu akan berpengaruh pula terhadap sosial ekonomi penduduk yang lahan milik digunakan sebagai lokasi pembangunan Waduk Jatibarang. 7 Deskripsi di atas mendasari urgensi pelaksanaan penelitian mengenai pengaruh perubahan penggunaan lahan di Kota Semarang terhadap sosialekonomi masyarakat (Kasus: Waduk Jatibarang). Perubahan penggunaan lahan karena pembangunan waduk dapat menyebabkan pengaruh positif maupun negatif tergantung perubahan yang terjadi di dalamnya. Perubahan penggunaan lahan yang memberikan pengaruh positif terhadap perubahan sosial ekonomi akan meningkatkan pertumbuhan di wilayah yang akan berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat. Perubahan ini dapat dipertahankan maupun ditingkatkan. Tetapi, apabila perubahan yang terjadi justru menyebabkan perubahan negatif seperti kesenjangan yang meningkat, kemunduran ekonomi masyarakat, maupun masalah sosial perlu dihentikan perubahannya. 1.2. RUMUSAN MASALAH Periode musim hujan dan musim kemarau selalu berubah-ubah waktunya selama beberapa dekade waktu di seluruh belahan dunia. Oleh karena itu, daerah perkotaan yang selalu bertumbuh bersamaan dengan jalur limpahan air, sehingga banjir yang terjadi pada musim hujan akan menjadi masalah yang serius karena akan menyebabkan kerusakan besar, seperti kehilangan aset dan nyawa. Hal ini sangat berkebalikan dengan kondisi sumber daya air pada saat musim kemarau yang justru menjadi kering. Perkembangan Kota Semarang yang semakin maju menyebabkan perubahan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan peraturan RTRW semakin banyak. Hal ini semakin menyebabkan limpasan air saat banjir secara periodeik mennjadi semakin besar, sehingga dapat menyebabkan jebolnya sungai banjir kanal barat di daerah bawah. Kondisi ini akan menyebabkan terulangnya kondisi banjir di Kota Semarang pada tahun 1990. Kondisi ini sangat berkebalikan pada saat musim kemarau karena aliran sungai yang minim menyebabkan sumber air baku di Kota Semarang menipis. Oleh karena itu, untuk mengontrol banjir dan sebagai penyimpanan 8 sumber daya air baku di Kota Semarang, pemerintah melakukan proyek Pembangunan Waduk Jatibarang. Setiap perencanaan yang dilakukan pemerintah menjadikan masyarakat sebagai obyek pembangunan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Proyek pembangunan Waduk Jatibarang ini dilakukan di Kecamatan Mijen dan Gunungpati yang berada di lingkungan masyarakat dan mengambil lahan milik masyarakat sebagai lokasi perairan Waduk Jatibarang dan kawasan sabuk hijau. Pengambilan keputusan baik dari pemerintah sebagai pencetus dan masyarakat sebagai obyek pembangunan perlu dilakukan dengan tepat agar tujuan pembangunan dapat tercapai dan berhasil. Salah satu akibat pengambilan suatu keputusan ialah bahwa keseimbangan terganggu untuk sementara, karena dalam rangka mencapai keseimbangan baru, unsur-unsur di dalamnya memerlukan masa penyesuaian (Panglaykim, 1980, ed). Pengambilan keputusan masyarakat untuk mendukung program pemerintah Kota Semarang akan menyebabkan perubahan penggunaan lahan milik masyarakat. Perubahan penggunaan lahan milik masyarakat yang sebelumnya menjadi sumber mata pencaharian akan berubah menjadi bendungan yang berisi limpahan air, sehingga tidak dapat digunakan masyarakat lagi. Hal tersebut tentunya akan menyebabkan perubahan aktivitas sosial ekonomi masyarakat yang berada di lokasi rencana pembangunan. Penduduk yang terkena dampak tentu mengalami perubahan pola hidup sebagai bentuk adaptasi terhadap lingkungan yang berubah penggunaannya. Perubahan pola hidup ini dapat berubah menjadi semakin baik atau justru semakin buruk. Perkembangan suatu daerah tentu harus memperhatikan seluruh aspek agar terjadi pembangunan yang seimbang. Dengan demikian pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap sosial ekonomi masyarakat perlu dilakukan untuk mengetahui perubahan yang terjadi terhadap masyarakat di Kecamatan Mijen. Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka muncul beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: 9 1. seberapa besar perubahan penggunaan lahan yang digunakan terutama untuk pembangunan Waduk Jatibarang? 2. siapa saja masyarakat yang terkena dampak langsung dari pembangunan Waduk Jatibarang? 3. bagaimana pengaruh pembangunan waduk terhadap perubahan penggunaan lahan dan sosial ekonomi masyarakat yang terkena dampak pembangunan Waduk Jatibarang? 1.3. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan utama untuk mengetahui pengaruh perubahan penggunaan lahan yang terjadi terhadap sosial ekonomi masyarakat. Tujuan penelitian secara rinci mengkaji: 1. mengidentifikasi besar perubahan penggunaan lahan yang digunakan, terutama untuk pembangunan Waduk Jatibarang. 2. mengidentifikasi identitas sosial ekonomi penduduk yang terkena dampak langsung dari pembangunan Waduk Jatibarang. 3. mengidentifikasi pengaruh pembangunan Waduk Jatibarang terhadap perubahan penggunaan lahan dan sosial ekonomi masyarakat yang terkena dampak pembangunan Waduk Jatibarang. 1.4. MANFAAT PENELITIAN Manfaat yang ingin dicapai dari hasil penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut. 1. memberikan pengetahuan dan pemikiran yang luas terhadap masyarakat umum dalam hal mengemukakan perubahan penggunaan lahan, sosial, dan ekonomi yang ada. 2. memberikan masukan kepada pemerintah terkait dampak pembangunan Waduk Jatibarang terhadap perubahan penggunaan 10 lahan dan sosial ekonomi masyarakat yang terkena dampak pembangunan waduk. 3. memberikan pengalaman kepada peneliti untuk menerapkan dan memperluas pengetahuan yang diterima dalam kegiatan perkuliahan. 1.5. TINJAUAN PUSTAKA 1.5.1. Penggunaan Lahan Pada dasarnya bentuk pemanfaatan lahan merupakan bentuk kegiatan manusia yang ada di atas sebidang lahan, sehingga bentuk pemanfaatan lahan merupakan cermin kegiatan manusia di atasnya, dan hal ini adalah langkah awal dalam mengenali berbagai atribut wilayah yang berasosiasi dengan kenampakan fisikal bentuk pemanfaatan lahan yang dimaksud, seperti karakteristik demografis, kultural, ekonomi, dan sosial (Yunus, 2008). Kecamatan Gunungpati dan Mijen yang menjadi lokasi pembangunan Waduk Jatibarang masih termasuk dalam kawasan pedesaan karena masyarakatanya masih berorientasi pada pertanian. Klasifikasi penggunaan lahan pedesaan menurut Peraturan Menteri Negara Agraria No. 1 Tahun 1997 sebagai berikut. a. Tanah perkampungan adalah areal tanah yang digunakan untuk kelompok bangunan padat ataupun jarang tempat tinggal penduduk untuk dimukimi secara menetap. b. Tanah industri adalah tanah areal yang digunakan untuk kegiatan ekonomi berupa proses pengolahan bahan-bahan baku menjadi barang jadi/setengah jadi dan atau sengah jadi menjadi barang jadi. c. Tanah pertambangan adalah areal tanah yang dieksploitasi bagi pengambilan bahan-bahan galian yang dilakukan secara terbuka dan atau tertutup. d. Tanah persawahan adalah areal tanah pertanian basah dan atau kering yang digenangi air secara periodik dan atau terus menerus 11 ditanami padi dan atau diselingi dengan tanaman tebu, tembakau, dan atau tanaman semusim lainnya. e. Pertanian lahan kering semusim adalah areal pertanian yang tidak pernah diairi dan mayoritas ditanami dengan tanaman umur pendek. f. Tanah kebun adalah areal yang ditanami rupa-rupa jenis tanaman keras dan atau tanaman semusim dan atau kombinasi tanaman keras dan semusim atau tanaman buah-buahan serta tidak jelas mana yang menonjol. g. Tanah perkebunan adalah areal tanah yang ditanami tanaman keras dengan satu jenis tanaman. h. Padang adalah areal terbuka karena hanya ditumbuhi tanaman rendah dari keluarga rumput dan semak rendah. i. Hutan adalah areal yang ditumbuhi oleh pepohonan yang tajuk pohonnya dapat saling menutupi/bergesekkan. j. Perairan darat adalah areal tanah yang digenangi air, secara permanen baik buatan maupun alami. k. Tanah terbuka adalah areal yang tidak digarap karena tidak subur dan atau menjadi tidak subur setelah digarap serta tidak ditumbuhi tanaman. l. Lain-lain adalah areal tanah yang digunakan bagi prasarana seperti jalan dan sungai serta saluran yang merupakan buatan manusia maupun alamiah. 1.5.2. Perubahan Penggunaan Lahan Sumber daya lahan merupakan salah satu modal pembangunan di berbagai bidang termasuk pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Lahan merupakan sumber daya yang sangat diperlukan oleh penduduk dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraannya. Oleh karena itu, informasi tentang perubahan penggunaan sumber daya lahan yang dilindungi atau produktif menjadi penting untuk memfasilitasi perencanaan penggunaan lahan yang berkelanjutan dan sebagai bahan pengambilan kebijakan (BPS, 2012). 12 Penggunaan lahan merupakan suatu bentuk pemanfaatan dan fungsi dari perwujudan suatu bentuk penutup lahan. Apabila terjadi perubahan penggunaan lahan, maka pemanfaatan lahannya pun akan berubah pula (Su Ritohardoyo, 2013). Bentuk mata pencaharian dan kebutuhan berasal dari berbagai bentuk penggunaan lahan. Misalnya, mata pencaharian petani tentu terkait dengan lahan pertanian. Deskripsi di atas menunjukkan pengaruh perubahan penggunaan lahan pada hubungan yang ada. Perubahan terjadi karena pelepasan tanah milik warga untuk pembangunan waduk Jatibrang, sehingga menyebabkan adanya perubahan sosial-ekonomi masyarakat di dalamnya. Perubahan-perubahan secara fisik, sosial, dan ekonomi sebagai transformasi wilayah pun terjadi karena penggunaan lahan yang berubah. Terkait dengan konsep morfologi kota dalam Yunus (2008) terdapat empat hal pokok yang digunakan, yaitu (1) karakteristik bentuk pemanfaatan lahan, (2) karakteristik bangunan, (3) karakteristik permukiman, dan (4) karakteristik sirkulasi. Perubahan penggunaan lahan dan penutup lahan berhubungan dengan aktivitas manusia dan faktor natural, yang menyebabkan pelayanan atau aktivitas ekosistem semakin banyak di sekitarnya (Chu, et al 2012), sehingga, tidak hanya manusia tetapi makhluk hidup lain terkena dampak pembangunan. Bentuk pemanfaatan yang berubah dapat dilihat dari karakteristik pemanfaatan bangunan yang semakin banyak (Yunus, 2008). Orientasi pemanfaatan bangunan yang semula berupa pertanian berubah menjadi permukiman dan sarana prasarana lain sebagai pendukung kegiatan masyarakat. Yunus (2001) mengatakan bahwa perubahan penggunaan lahan yang terjadi dapat menyebabkan beberapa fenomena sebagai berikut. a. pengurangan lahan pertanian; b. rendahnya penghasilan petani; c. berubahnya struktur mata pencaharian penduduk; 13 d. berubahnya orientasi pemanfaatan bangunan menjadi bernilai komersialisme; dan e. komitmen petani terhadap lahan dan kegiatan petani berkurang. 1.5.3. Aspek Sosial Ekonomi Sosial ekonomi adalah kedudukan seseorang dalam suatu rangkaian strata yang tersusun secara hierarkhis yang merupakan kesatuan tertimbang dalam hal-hal yang menjadi nilai dalam masyarakat yang biasanya dikenal sebagai previleges berupa Kekayaan, serta pendapatan, dan prestise berupa status, gaya hidup dan kekuasaan (Rossides, 1986 dalam Yulisanti, 2000). Pengukuran nilai sosial merupakan hal yang kompleks karena tidak adanya ukuran pasti seperti yang terdapat pada ilmu alam. Pengertian dari nilai sosial sendiri sangatlah relatif dan situasional seperti yang dinyatakan oleh Mulgan (2010, dalam Arip, 2012), yaitu bahwa nilai sosial (social value) bukanlah suatu fakta objektif; nilai sosial muncul dari interaksi penawaran dan permintaan sehingga dapat berubah sesuai dengan waktu, tempat, dan situasi. Proses sosial terjadi secara terus-menerus dalam kehidupan masyarakat, berkaitan dengan pergeseran fungsi sistem dan struktur sosial sehingga mengubah pola perilaku anggota masyarakat, sedangkan dampak sosial ekonomi suatu proyek di suatu daerah pada dasarnya ditentukan oleh karakteristik aktivitas proyek yang bersangkutan, karakteristik fisik dan kehidupan sosial ekonomi daerah di sekitar. Memperhatikan bahwa keadaan sosial ekonomi antara satu wilayah dengan wilayah lain berbeda-beda, maka dampak yang terjadi pada komponen-komponen tersebut juga berbeda-beda (Mantra, 2003). Perubahan penggunaan lahan menjadi pemicu timbulnya perubahan sosial ekonomi masyarakat dengan berubahnya pola adaptasi dalam memenuhi kebutuhan hidup. Strategi penghidupan menggambarkan upaya masyarakat dalam mencapai penghidupan yang memadai untuk menyikapi perubahan yang terjadi (UNDP, 2007). 14 Kegiatan ekonomi yang sebelumnya berorientasi pertanian berubah menjadi non-pertanian yang terlihat dalam beberapa hal, yaitu (1) kegiatan ekonomi oleh penduduk asli berupa kegiatan yang bersifat informal, dan (2) kegiatan ekonomi karena adanya pendatang yang menyebabkan kegiatan ekonomi semakin bervariasi baik oleh perseorangan maupun institusi (Yunus, 2008). Suatu penghidupan dapat dikatakan berkelanjutan apabila mampu mengatasi dan memperbaiki diri dari tekanan serta bencana, menjaga atau meningkatkan kecakapan dan aset-aset yang dimiliki, menyediakan penghidupan yang berkelanjutan bagi generasi selanjutnya, serta mampu memberikan sumbangan terhadap penghidupan-penghidupan lain pada tingkat lokal dan global pada jangka pendek maupun panjang. Masyarakat yang lahannya digunakan sebagai lokasi pembangunan pun membutuhkan strategi penghidupan baru agar dapat bertahan hidup meskipun sudah tidak memiliki lahan yang menjadi sumber pendapatan. Chambers dan Conway (1992, dalam Anton Martopo dkk, 2013) menyatakan bahwa penghidupan berkelanjutan merupakan suatu penghidupan yang meliputi kemampuan atau kacakapan, aset-aset (simpanan, sumberdaya, klaim, dan akses), serta kegiatan yang dibutuhkan untuk sarana kehidupan. Sebuah komponen kunci dalam penghidupan berkelanjutan berupa sumber daya manusia, sosial, alam, fisik, dan keuangan. Strategi penghidupan yang baru tersebut dapat berupa perubahan (1) mata pencaharian, (2) keahlian/keterampilan, (3) kekerabatan, (4) kelembagaan sosial, (5) strata sosial, (6) kontrol sosial, dan (7) mobilitas penduduk (Nelson, 1995, dalam Yunus, 2008). Selain itu, kualitas rumah pun digunakan sebagai salah satu aset yang menentukan kondisi ekonomi pemiliknya. Rumah sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga (UU No. 4 Tahun 1992). Rumah berfungsi untuk melindungi dari keadaan luar, seperti panas, hujan, hewan buas, dll. Berdasarkan kondisi fisik bangunan, rumah dapat digolongkan menjadi 3 jenis sebagai berikut (Yuwono, 2008). 15 1. Tipe A berupa rumah permanen yang memiliki ciri berupa dinding bangunan terbuat dari tembok, berlantai semen atau keramik, dan atap berbahan genteng. 2. Tipe B berupa rumah semi permanen yang memiliki ciri berupa dinding bangunan setengah tembok dan setengah bambu, berlantai semen, atapnya berbahan seng atau asbes. 3. Tipe C berupa rumah non-permanen dengan ciri-ciri dinding kayu/bambu/gedek/, lantai tanah atau tidak berlantai, dan atap rumah dari seng maupun asbes. 1.5.4. Pembangunan Waduk Pembangunan merupakan mengadakan atau membuat atau mengatur sesuatu yang belum ada (Jayadinata, 1992). Selain itu, pembangunan merupakan suatu daya upaya dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat, dari suatu keadaan yang kurang baik menjadi sesuatu yang lebih baik, dengan menggunakan sumber daya yang ada. Waduk merupakan fenomena buatan manusia berupa lubang atau genangan besar untuk menampung air yang berasal dari bendungan. Pembangunan waduk bukan merupakan suatu hal yang mudah, karena melibatkan berbagai macam bidang ilmu, yaitu geologi, hidrologi, hidrolika, mekanika tanah, lingkungan, ekonomi, statistik pertanian, dsb (Subarkah, 1987, dalam Prahasta, 2014). Hal ini dikarenakan lingkungan waduk yang dibangun secara keruangan tidak hanya pada satu aspek saja. Lingkungan waduk secara keruangan terdiri dari lahan untuk perairan, lahan pasang surut waduk, dan lahan untuk jalur penghijauan (Ritohardoyo, 2013). Waduk terdiri dari dua jenis apabila dilihat dari ukuran bendungannya ICOLD (2003) dalam Gordon (2006), yaitu: a. Bendungan besar apabila memiliki tinggi lebih dari 15 m dari pondasi sampai puncak bendungan, panjang puncak > 500 m, kapasitas waduk > 1 juta m3, dan debit banjir > 2000 m3/detik. b. Bendungan kecil yang tidak memiliki syarat bendungan besar. 16 Tujuan dasar proyek pembangunan waduk adalah untuk mendukung fasilitas yang ada untuk mencapai pembangunan sumber daya air yang optimal sesuai dengan kondisi lokal untuk satu tujuan dan beberapa tujuan tertentu (Seyhan, 1979). Sasaran dari setiap proyek pembangunan waduk bertujuan untuk mengidentifikasi dan membuat langkah untuk mengatasi suatu masalah. Berdasarkan Komisi Bendungan Sedunia (2000 dalam Galipeau et al, 2013), waduk memberikan pengaruh yang penting dan signifikan terhadap pertumbuhan manusia, dan keuntungan-keuntungan yang diberikan banyak sekali. Namun, di banyak kasus ada harga yang masih tidak dapat diterima maupun penting yang harus dibayar untuk mempertahankan keuntungankeuntungan tersebut, terutama dari aspek sosial dan lingkungan yang dirasakan masyarakat yang terkena relokasi permukiman, masyarakat di hilir, pembayaran pajak, dan lingkungan alam. Pembangunan waduk pada hakikatnya adalah salah satu wujud dinamika kegiatan yang ditentukan oleh kemampuan teknologi, dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga menyebabkan terjadinya perubahan, baik perubahan lingkungan maupun perubahan dalam kehidupan penduduk (Su Ritohardoyo, 2013). Cestti, dkk (2012) menyatakan bahwa pembangunan waduk menghasilkan perubahan yang sangat banyak secara ekonomi, baik di lokasi tempat bendungan itu dibangun, maupun antara daerah yang terbangun, baik secara nasional dan global. Secara menyeluruh, relokasi yang terjadi menyebabkan perubahan dari mata pencaharian masyarakat yang berupa pertanian menjadi strategi ekonomi berdasarkan peningkatan pertanian dari kepemilikan lahan yang lebih kecil, dilengkapi dengan penghasilan baru yang berasal dari sumber yang lain karena sudah tidak memiliki lahan. Pembangunan Waduk Jatibarang dilakukan dalam skala lokal, karena berada di kawasan pertanian dan menekankan pada bidang fisik. Perlunya pembangunan Waduk Jatibarang dikarenakan masalah banjir yang sering terjadi akibat limpahan air sungai yang terlalu besar di Kota Semarang setiap 17 tahunnya. Pembangunan Waduk Jatibarang diperlukan untuk mengurangi limpasan air sungai yang besar saat musim penghujan dan dapat menjadi pasokan air baku bagi masyarakat di Kota Semarang pada saat musim kemarau. Pembangunan Waduk Jatibarang perlu dilakukan setelah dilakukan analisis berdasarkan pemilihan lokasi waduk, tipe dan ukuran waduk, kapasitas waduk, dan tujuan pembangunan waduk. Hal ini perlu dilakukan dengan cermat dan teliti, karena lingkungan waduk berpengaruh terhadap kehidupan penduduk sekitar, seperti kegiatan masyarakat, serta kondisi lingkungan baru bergantung pada kemampuan pengetahuan dan teknologi masyarakat yang dimiliki sebagai adaptasi terhadap lingkungan baru (Ritohardoyo, 2013). 1.6. Telaah Penelitian yang Sudah Dilakukan Peneliti Lainnya Perubahan penggunaan lahan merupakan fenomena yang marak terjadi di Kota Semarang. Perubahan penggunaan lahan dapat disebabkan oleh berbagai hal. Fokus penelitian ini berupa perubahan penggunaan lahan karena adanya pembangunan Waduk Jatibarang. Perubahan yang terjadi tentu akan mendorong terjadinya perubahan-perubahan lainnya. Fenomena perubahan ini merupakan salah satu fenomena di permukaan bumi yang menarik untuk diteliti dari berbagai aspek, sehingga telah banyak diteliti oleh peneliti lainnya. Perbedaan antara penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dengan penelitian yang akan dilakukan terlihat dari judul, metode penelitian, dan hasil penelitian. Berikut telaah penelitian ditunjukkan dalam tabel 1.1. 18 Tabel 1.1. Telaah Penelitian Sebelumnya Penulis Judul Penelitian Tri Pelaksanaan Pengadaan Andari, Tanag Guna Proyek 2007 Pembangunan Waduk Jatibarang di Kota Semarang Prasast Dampak Proses a, dkk, Pembangunan Waduk 2014 Jatibarang terhadap Kondisi Lingkungan di Kecamatan Mijen dan Kecamatan Gunungpati Semarang Irfan, Effendi 1996 Su Ritohar doyo, 1999 Dampak Sosial Ekonomi Waduk PLTA Kotopanjang Kab. Kampar-Riau (Studi Kasus di Desa Pulau Gadang Baru) Perubahan Pemilikan Lahan dan Pendapatan Masyarakat Akibat Pembangunan Kasus Masyarakat Tergusur Pembangunan Waduk Sermo di Desa Hargowilis, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo Metode Hasil - Metode yuridis - Pelaksanaan pengadaan tanah guna empiris dari segi pembangunan waduk berjalan hukum. lancar. - Deskriptif analitis. - Dampak pengadaan tanah telah - Analisis kualitatif diatasi dengan program yang telah disusun pemerintah. - Pendekatan - Perlu dibangun sabuk hijau untuk kuantitatif menjaga tubuh waduk - Analisis deskriptif kuantitatif - Fact Finding - Deskriptif kualitatif melalui indepth dan wawancara tidak terstruktur Pembangunan waduk PLTA Kotopanjang mampu meningkatkan sosial ekonomi masyarakat di Desa Pulau Gadang Baru setelah di relokasi dan diberi ganti rugi. - Metode Survei dan - Pembangunan waduk membawa wawancara konsekuensi pada luas pemilikan - Analisis lahan rumah tangga tergusur menggunakan semakin sempit. teknik statistik uji - Perubahan lahan milik beda rata-rata dan menyebabkan berkurangnya ratauji korelasi. rata pendapatan rumah tangga, dari 3260 menjadi 1937 kg beras/tahun. Sumber : (Tri Andari, 2007), (Prasasta, dkk, 2014), (Irfan, Irhas, dan Effendi, Sofian, 1996), dan (Hapsari, Intan. 2011). Penelitian ini berjudul “Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat di Kota Semarang (Kasus: Waduk Jatibarang)”. Meskipun berada di lokasi yang sama, tetapi penelitian ini berbeda dengan penelitian yang sebelumnya. Penelitian ini memiliki fokus penelitian terhadap pengaruh perubahan penggunaan lahan karena pembangunan Waduk Jatibarang terhadap sosial ekonomi masyarakat di Kota Semarang. 19 Pada tahun 2007, telah dilakukan penelitian terkait engadaan tanah oleh Tri Andari. Penelitian ini berdasarkan literatur dan hukum-hukum yang berlaku dalam sistem pengadaan tanah. Penelitian yang dilakukan Tri Andari berbeda dengan yang peneliti lakukan dari tujuan yang ada. Tujuan penelitian Tri Andari untuk mengtehui proses pengadaan tanah dalam pembangunan Waduk Jatibarang, hambatan-hambatan yang ditemui saat proses pengadaan tanah, dampak sosial terhadap masyarakat, serta partisipasi masyarakat dalam pembangunan Waduk Jatibarang. Prasasta, dkk pada tahun 2014 juga telah melakukan penelitian terkait dampak proses pembangunan Waduk Jatibarang terhadap kondisi lingkungan masyarakat di kecamatan Mijen dan kecamatan Gunungpati Semarang. Penelitian yang dilakukan berdasarkan kondisi jalan yang disebabkan angkutan berat pada saat pembangunan Waduk Jatibarang, sehingga terdapat kerusakan jalan yang berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat. Penelitian ini menghasilkan rekomendasi pembangunan green belt atau sabuk hijau untuk melindungi tubuh waduk. Pada tahun 1996 dilakukan penelitian untuk mengetahui dampak pembangunan waduk PLTA Kotopanjang terhadap sosial ekonomi masyarakat di Desa Pulau Gadang Baru. Penelitian dilakukan dengan analisis kualitatif dan memberikan gambaran objektif dari keadaan sebenarnya di lapangan, sehingga diketahui kehidupan masyarakat yang terkena relokasi akibat pembangunan waduk. Selanjutnya, pada tahun 1999 telah dilakukan penelitian di Waduk Sermo untuk mengetahui luas lahan milik masyarakat yang berubah akibat pembangunan waduk Sermo, serta pengaruhnya terhadap pendapatan milik masyarakat. 1.7. Kerangka Pemikiran Banjir yang sering terjadi di Kota Semarang selalu meresahkan masyarakat karena selalu menyebabkan kerugian dan permasalahannya masih belum dapat diselesaikan sampai sekarang. Banjir dapat menyebabkan kondisi lingkungan sekitar menjadi kurang nyaman untuk 20 ditinggali dan kotor, sehingga mempengaruhi kesehatan masyarakat. Apabila dibiarkan terlalu lama, dampak yang terjadi akan semakin besar dan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat. sehingga untuk mengatasi dampak akibat banjir yang semakin besar, pemerintah membendung Sungai Kreo yang berada dalam Sistem DAS Banjir Kanal Barat dan melakukan pembangunan Waduk Jatibarang di daerah pinggiran untuk menampung limpahan banjir rob, sehingga pada saat musim penghujan, limpahan air pun berkurang. Pembangunan Waduk Jatibarang telah diatur di dalam Peraturan Daerah Kota Semarang No. 14 Tahun 2011 dengan pertimbangan lokasi yang merupakan kawasan konservasi dan penyangga, yaitu di Kecamatan Mijen dan Gunungpati yang masing-masing kecamatan berada pada BWK VIII dan IX. Waduk Jatibarang berfungsi untuk menampung air saat musim penghujan untuk mengurangi banjir dan memenuhi kebutuhan air baku masyarakat di Kota Semarang. Pembangunan waduk menyebabkan perubahan penggunaan lahan di beberapa lokasi di Kecamatan Mijen dan Gunungpati sebagai proses pengadaan tanah yang digunakan sebagai lokasi pembangunan Waduk Jatibarang. Perubahan yang terjadi dirasakan oeh masyarakat yang terkena dampak pembangunan Waduk Jatibarang secara langsung. Perubahan ini terjadi secara fisik dan sosial ekonominya. Perubahan secara fisik dapat dilihat dari bentuk perubahan penggunaan lahan, waktu perubahan, lokasi perubahan, dan luas perubahan karena pembangunan Waduk Jatibarang. Perubahan fisik dapat mempengaruhi sosial ekonomi masyarakat sebagai pola kehidupan masyarakat yang ada di dalamnya sebagai bentuk adaptasi lingkungan fisik yang berubah. Perubahan yang terjadi dalam sosial ekonomi dapat dilihat dari aset rumah dan kendaraan, pendapatan, mata pencaharian, dan lembaga sosial. Perubahan-perubahan karena pembangunan yang sering terjadi tidak selalu memberikan dampak positif, tetapi dapat pula menjadi negatif. Perubahan yang terjadi di Kecamatan Mijen dan Kecamatan Gunungkidul karena 21 pembangunan Waduk Jatibarang menyebabkan lahan pertanian sebagai mata pencaharian masyarakat berubah menjadi waduk, sehingga mempengaruhi mata pencaharian dan pendapatan masyarakat pemilik lahan. Ganti rugi yang diberikan kepada setiap pemilik lahan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi dapat pula ganti rugi yang diberikan tidak memberikan kehidupan yang lebih baik bagi pemilik lahan. Berdasarkan perubahan yang terjadi dan permasalahan yang ada diperlukan analisis untuk mengetahui pengaruh perubahan penggunaan lahan secara fisik terhadap sosial ekonomi masyarakat di Kota Semarang (Kasus: Waduk Jatibarang). Pembangunan yang menyebabkan perubahan fisik menyebabkan perubahan kegiatan sosial ekonomi masyarakat sebagai bentuk adaptasi masyarakat terhadap perubahan yang terjadi. Apabila perubahan yang terjadi menyebabkan kondisi sosial ekonomi masyarakat semakin menurun, maka diperlukan langkah atau rencana selanjutnya sebagai jalan keluar agar kegiatan sosial-ekonomi masyarakat meningkat, sehingga masyarakat semakin sejahtera. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu masukan bagi pemerintah dalam membuat kebijakan yang sesuai dengan keadaan sekitar Waduk Jatibarang. Apabila terdapat masalah, usulan kebijakan diberikan untuk dapat mengatasi masalah yang dirasakan oleh masyarakat, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kondisi daerah pun semakin berkembang. Berikut diagram alir kerangka pemikiran dalam penelitian ini ditunjukkan dalam Gambar 1.2. 22 Banjir Perda Kota Semarang No. 14 Tahun 2011 Pembangunan Waduk Jatibarang Perubahan Fisik bentuk pemanfaatan lahan Perubahan Sosial Ekonomi waktu perubahan pendapatan luas perubahan lokasi perubahan mata pencaharian aset kelembagaan sosial Kesejahteraan masyarakat Usulan Kebijakan pemerintah Keterangan : = berhubungan, = mempengaruhi Gambar 1.2. Kerangka Pemikiran 23 1.8. HIPOTESIS Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah peneltian yang diajukan (Sukandarrumidi, dan Haryanto, 2008). Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan sebelumnya, hipotesis yang diajukan dari pemikiran peneliti adalah sebagai berikut. 1. Penggunaan lahan masyarakat terjadi perubahan secara nyata karena pembangunan Waduk Jatibarang. 2. Penggunaan lahan paling besar berada di Kelurahan Kandri, Kecamatan Gunungpati karena sebagai pintu masuk wisata. 3. Masyarakat yang terkena dampak langsung pembangunan Waduk Jatibarang bermatapencaharian sebagai petani, sehingga setelah pembangunan Waduk Jatibarang terdapat perubahan pendapatan maupun kondisi sosial masyarakat. 4. Pembangunan Waduk Jatibarang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan di sekitar waduk dan memiliki dampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat di kecamatan Mijen. 24