tinjauan pustaka - Universitas Sumatera Utara

advertisement
15
TINJAUAN PUSTAKA
Kayu Karet (Hevea braziliensis MUELL Arg)
Tanaman karet berasal dari bahasa latin yang bernama Hevea braziliensis
MUELL Arg, berasal dari Negara Brazil. Tanaman ini merupakan sumber utama
bahan tanaman karet alam dunia. Tanaman karet ini dibudidayakan oleh penduduk
asli diberbagai tempat seperti : Amerika Serikat, Asia dan Afrika Selatan
menggunakan pohon lain yang juga menghasilkan getah. Getah yang mirip lateks
juga dapat diperoleh dari tanaman Castillaelas tica (family moraceae)
(Sianturi, 1992).
Menurut Sianturi (1992) tumbuhan tanaman karet tersusun dalam
sistematika sebagai berikut :
Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Subdivisio
: Angiospermae
Kelas
: Dicotiledone
Ordo
: Euphorbiaceae
Genus
: Hevea
Spesies
: Hevea braziliensis
Tanaman karet ini merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang
cukup besar. Tinggi pohon dewasa mencapai 15-25 m. Batang tanaman biasanya
tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi di atas. Kebun karet ada
beberapa kecondongan arah tumbuh tanamanya agak miring ke arah utara. Batang
tanaman ini mengandung getah yang dikenal dengan nama lateks. Daun karet
Universitas sumatera utara
16
terdiri dari tangkai daun utama dan tangkai anak daun. Panjang tangkai daun
utama 3-20 cm, Panjang tangkai anak daun sekitar 3-10 cm dan pada ujungnya
terdapat kelenjar, biasanya ada tiga anak daun yang terdapat pada sehelai daun
karet. Anak daun berbentuk eliptis, memanjang dengan ujung meruncing.
Tanaman karet dari segi keawetannya termasuk ke dalam kelas awet ke V, namun
tanaman karet dilihat dari segi kekuatannya tergolong kayu yang termasuk
kedalam kelas II-III (Mandika, et al, 1989).
Kayu Mahoni (Swietenia mahagoni)
Tanaman Mahoni adalah salah satu tanaman yang dianjurkan untuk
pengembangan HTI (Hutan Tanaman Industri). Mahoni dalam klasifikasi besar
termasuk famili Meliaceae. Ada dua jenis spesies yang cukup dikenal yaitu:
Swietenia macrophyla (mahoni daun lebar) dan Swietenia mahagoni (mahoni
daun sempit) (Khaeruddin, 1999).
Menurut Khaeruddin (1999), tanaman mahoni tersusun dalam sistematika
sebagai berikut :
Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Subdivisio
: Angiospermae
Kelas
: Dicotiledone
Ordo
: Rotales
Genus
: Swietenia
Spesies
: Swietenia mahagoni
Swietenia mahagoni Jacq termasuk kedalam famili Meliaceae yang berasal
dari benua Amerika yang beriklim tropis tetapi sudah lama di budidayakan di
Universitas sumatera utara
17
Indonesia dan sudah beradaptasi dengan iklim tropis di Indonesia. Tanaman ini di
Indonesia dikenal dengan nama pohon mahoni. Nama asing dari tanaman ini
adalah West Indian Mahogany. Tanaman mahoni banyak ditanam di piggirpinggir jalan atau dilingkungan rumah tinggal dan halaman perkantoran sebagai
tanaman peneduh. Mahoni di tanam besar-besaran di Dinas Kehutanan. Tanaman
ini tumbuh secara liar di hutan-hutan atau diantara semak-semak belukar
(Sutarni, 1995).
Tanaman mahoni yang digunakan sebagai bahan pengawet alami adalah
jenis mahoni berdaun sempit, diambil bagian kulit batang tanaman mahoni dan
untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Batang Tanaman Mahoni Berumur 25 Tahun
Tanaman mahoni buahnya terlihat muncul di ujung-ujung ranting
berwarna coklat dan termasuk jenis tanaman pohon tinggi kira-kira 10-30 m,
percabangannya banyak. Daunnya majemuk menyirip genap, duduk daun tersebar.
Helaian anak daun bulat telur, elips memanjang, ujung daun dan pangkal daun
runcing panjangnya kira-kira 1-3 cm, berbentuk bola dan bulat telur memanjang
berwarna coklat panjangnya 8-15 cm dengan lebar 7-10 cm. Mahoni dapat
tumbuh dengan baik di tempat-tempat yang terbuka dan kena sinar matahari
Universitas sumatera utara
18
langsung, baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi yaitu dengan
ketinggian 1000 m diatas permukaan laut (Sutarni, 1995).
Mahoni merupakan tumbuhan yang digunakan sebagai obat-obatan yaitu
untuk mengobati penyakit diabetes, hipertensi, demam dan sebagai penyegar.
Tanaman mahoni di Kuba, dalam bentuk larutan penyegar yang manis dari kulit
batang mahoni dan daunnya dipakai sebagai tonik (penyegar) serta rebusan kulit
batang mahoni dipakai untuk obat penderita sariawan, tetanus dan penyakit HIV
(Sutarni, 1995).
Kandungan kimia yang terdapat pada tumbuhan mahoni adalah saponin
dan flavonoid, lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 2 struktur kimia tanaman
mahoni.
Gambar 2. Struktur Kimia Saponin dan Flavonoid Mahoni (Harbone, 1987)
Tanaman mahoni sejak 20 tahun terakhir ini sudah dibudidayakan karena
kualitas kayunya keras dan sangat baik, terutama untuk mebel dan kerajinan
tangan, bahkan akhir-akhir ini banyak yang menggunakan kayu mahoni untuk
membuat dinding dan lantai. Kayu tua berwarna merah kecokelatan. Kualitas
kayu mahoni berada sedikit di bawah kayu jati, maka mahoni pun dijuluki
primadona kedua setelah kayu jati (Sutarni, 1995).
Kayu Pinus (Pinus merkusii)
Menurut Khaeruddin (1999), tanaman pinus tersusun dalam sistematika
sebagai berikut :
Universitas sumatera utara
19
Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Subdivisio
: Gymnospermae
Ordo
: Coriferae
Famili
: Pinaceae
Spesies
: Pinus merkusii
Terdapat lebih dari 20 jenis kayu pinus dengan nama species yang
berbeda. Jenis kayu pinus yang sering digunakan dan secara umum dikenal
memiliki kualitas yang baik ada 2 jenis kayu pinus yaitu Pinus Radiata dan Pinus
Merkusii. Pohon besar, batang lurus, silindris. Tegakan masak dapat mencapai
tinggi 30 m, diameter 60-80 cm. Tegakan tua mencapai tinggi 45 m, diameter 140
cm. Tajuk pohon muda berbentuk piramid, setelah tua lebih rata dan tersebar.
Kulit pohon muda abu-abu, sesudah tua berwarna gelap, alur dalam. Terdapat 2
jarum dalam satu ikatan, panjang 16-25 cm. Pohon berumah satu, bunga
berkelamin tunggal. Bunga jantan dan betina dalam satu tunas. Bunga jantan
berbentuk strobili, panjang 2-4 cm, terutama di bagian bawah tajuk
(Direktorat Pembenihan Tanaman Hutan, 2001).
Gambar 3. Batang Tanaman Pinus
Universitas sumatera utara
20
Kayu Eucaliptus
Tanaman Eucaliptus merupakan jenis tanaman yang tidak membutuhkan
persyaratan yang tinggi terhadap tanah dan tempat tumbuhnya. Kayunya
mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi untuk dipakai sebagai kayu
gergajian, konstruksi, finir, plywood, furniture dan bahan pembuatan pulp dan
kertas. Jenis Eucaliptus termasuk jenis yang sepanjang tahun tetap hijau dan
sangat membutuhkan cahaya. Tanaman dapat bertunas kembali setelah dipangkas
dan agak tahan terhadap serangan rayap. Sistem perakarannya yang masih sangat
muda cepat sekali memanjang menembus ke dalam tanah. Intensitas penyebaran
akarnya ke arah bawah hampir sama banyaknya dengan ke arah samping
(Afandi, 2007).
Menurut Khaeruddin (1999), tanaman eucaliptus tersusun dalam
sistematika sebagai berikut :
Kerajaan
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Myrtales
Famili
: Myrtaceae
Genus
: Eucalyptus
Jenis ini dapat berupa semak atau perdu sampai mencapai ketinggian 100
meter umumnya berbatang bulat, lurus tidak berbanir dan sedikit bercabang.
Pohon pada umumnya bertajuk sedikit ramping, ringan dan banyak meloloskan
sinar matahari. Percabangannya lebih banyak membuat sudut ke atas, jarangjarang dan daunnyatidak begitu lebat. Daunnya berbentuk lanset hingga bulat telur
Universitas sumatera utara
21
memanjang dan bagian ujungnya runcing membentuk kait. Ciri khas lainnya
adalah sebagian atau seluruh kulitnya mengelupas dengan bentuk kulit bermacammacam mulai dari kasar dan berserabut, halus bersisik, tebal bergaris-garis atau
berlekuk-lekuk. Warna kulit mulai dari putih kelabu, abu-abu mudah, hijau kelabu
sampai coklat, merah, sawo matang sampai coklat (Afandi, 2007).
Ekstraktif Kulit Kayu Sebagai Bahan Pengawet Alami
Kandungan ekstraktif dalam kulit kayu lebih tinggi dari pada dalam kayu.
Hal ini tidak hanya tergantung pada spesiesnya, tetapi pada pelarut yang
digunakan.
Keanekaragaman
senyawa
yang
dapat
diekstrak
biasanya
membutuhkan serangkaian ekstrasi, yang biasanya memberikan ciri awal
komposisinya. Variasi komposisinya dapat sangat besar bahkan di dalam kayu
satu genus (Fengel dan Wegener, 1995).
Ekstraktif kulit larut berkisar dari sedang sampai tinggi kadar
keasamannya, dengan pH berkisar dari 3,5 sampai 6. Ekstrak kulit biasanya jauh
lebih asam daripada ekstrak kayu spesies yang sama. Sifat asam kulit memerlukan
sejumlah perubahan dalam metode pengolahannya. Keasaman ekstraktif kulit
yang tinggi menimbulkan suatu masalah dalam penggunaan kulit sebagai media
pot atau penutupan permukaan tanah (Haygreen dan Bowyer, 1989).
Peningkatan Mutu Kayu dengan Pengawetan Alami
Derajat pengawetan kayu diukur dengan tiga macam tolak ukur yaitu
penetrasi, absorbsi dan retensi bahan pengawet. Keefektifan dan ekonomisnya
suatu pengawetan akhirnya ditentukan oleh umur ukur kayu yang bersangkutan,
kriteria yang langsung dari cukupnya suatu perlakuan adalah jumlah bahan
pengawet yang diabsorbsi dalam kayu dan dalamnya penetrasi (Nicholas, 1988).
Universitas sumatera utara
22
Semakin banyak bahan pengawet yang diabsorbsi dan semakin dalam
penetrasi bahan pengawet maka semakin tinggi pula derajat pengawetan kayu
yang ikut menentukan keberhasilan pengawetan. Retensi adalah kemampuan suatu
jenis kayu dalam menyerap bahan pengawet selama periode waktu tertentu.
Menurut Suranto (2002), retensi bahan pengawet adalah suatu ukuran yang
menggambarkan banyaknya (beratnya) zat pengawet murni yang dapat dikandung
oleh kayu setelah diawetkan, semakin banyaknya jumlah bahan pengawet murni
yang dapat menetap (terfiksasi) dalam kayu, retensi bahan pengawet itu juga
semakin besar sebaliknya, sedikit jumlah bahan pengawet yang dapat diserap oleh
kayu, semakin kecil pula retensi pengawetan itu.
Retensi berbeda dengan absorbsi, pada retensi yang diperhatikan adalah
jumlah zat pengawet murni yang tertinggal di dalam kayu, sedangkan absorbsi
yang diperhatikan adalah cairan pengawet kayu yang berada di dalam kayu.
Cairan pengawet ini merupakan campuran antara bahan pengawet dan pelarut
bahan pengawet (Suranto, 2002).
Derajat pengawetan kayu ikut menentukan keberhasilan pengawetan.
Keberhasilan pengawetan tersebut perlu diuji lagi apakah dengan diawetkan
ketahanannya akan makin tahan terhadap faktor perusak. Jika dibandingkan hasil
uji yang diawetkan dengan tanpa diawetkan hasilnya menunjukkan kayu yang
diawetkan lebih tahan terhadap faktor perusak maka masa pakai kayu akan lebih
lama sehingga kayu tersebut meningkat kelas keawetannya, otomatis mutu
kayunya juga meningkat (Nicholas, 1988).
Universitas sumatera utara
23
Stabilitas Dimensi Kayu
Perubahan dimensi kayu, perubahan bentuk yang dialami kayu karena
tegangan-tegangan dalam akibat meningkat dan menurunnya air di dalam kayu (di
bawah kadar air titik jenuh serat). Menurut Haygreen dan Bowyer (1989) terdapat
beberapa cara untuk mengurangi perubahan dimensi kayu akibat perubahanperubahan dalam kandungan air. Tak satupun dapat meniadakan perubahan
dimensional, tetapi sebagian sangat mendekati. Lima pendekatan untuk
mengurangi perubahan dimensi adalah:
1. Menghalangi penyerapan uap air dalam pelapisan produk.
2. Menghalangi perubahan dimensi dengan penahanan yang membuat
gerakan menjadi sukar atau tidak mungkin.
3. Memperlakukan kayu dengan bahan yang menggantikan semua atau
sebagian air terikat di dalam dinding sel adalah suatu cara stabilitas
komersial.
4. Memperlakukan kayu untuk menghasilkan hubungan saling silang antara
kelompok hidroksil dalam dinding sel telah digunakan setelah percobaan
dengan berhasil.
5. Pengisian dengan monomer-monomer plastik seperti metil metakrilat dan
stiren akrilonitril dapat meningkatkan kestabilitas kayu dan menambah
kekerasan serta ketahanan ausnya.
Dimensi kayu berubah jika kadar airnya berubah, sebab polimer dinding
sel mengandung gugus hidroksil dan mengandung gugus oksigen lainnya yang
bersifat menarik air melalui ikatan hidrogen. Air ini mengembangkan dinding sel
dan kayu memuai sampai dinding sel jenuh dengan air. Air yang terdapat setelah
Universitas sumatera utara
24
titik jenuh serat berada dalam struktur rongga (void structure) dan tidak
mengakibatkan pengembangan lebih lanjut. Proses ini bersifat dapat balik, kayu
menyusut jika melepaskan air dari dinding selnya (Achmadi, 1990).
Banyak penelitian dilakukan dalam bidang pemantapan dimensi.
Perubahan dimensi dapat dikurangi melalui pemejalan (bulking) dinding sel
dengan bahan kimia yang terikat. Metode ini ampuh, sebab selama perlakuan
keadaan kayu dibuat mengembang sebagian atau mengembang sempurna.
Modifikasi kimia berarti mengubah sifat polimer dinding sel, berarti mengubah
pila sifat kayu secara keseluruhan (Achmadi, 1990).
Perubahan dimensi kayu dapat dikurangi melalui pemejalan dinding sel
dan rongga sel dengan bahan kimia tertentu seperti menggunakan zat ekstraktif.
Proses pemejalan dinding sel dan rongga sel menunjukan peningkatan volume
kayu berbanding lurus dengan volume bahan kimia yang ditambahkan. Volume
kayu meningkat dengan menggunkan bahan kimia sekitar 25% mendekati volume
kayu segar, tetapi jika kayu pejal ini berhubungan dengan air hanya sedikit
pengembangan (Ahcmadi, 1990).
Jamur Pelapuk Kayu Schizophyllum commune Fries
Jamur
pelapuk
kayu
S.
commune
Fr.
termasuk
dalam
kelas
Basidiomycetes, famili Schizophyllaceae. S. commune diketahui telah tersebar di
seluruh dunia (kosmopolit) dan dapat menimbulkan kerusakan yang berarti
terutama di daerah tropika. Jamur ini mempunyai pertumbuhan yang relatif mudah
dan cepat. Selain itu, S. commune merupakan jamur pelapuk kayu yang cukup
ganas karena dalam beberapa kasus dapat menyebabkan kehilangan berat sampai
70 % (Martawijaya 1965 dalam Herliyana 1994).
Universitas sumatera utara
25
Menurut Alexopoulus dan Mims (1979) dalam Herliyana (1994), S.
commune secara lengkap diklasifikasikan sebagai berikut:
Regnum
: Myceteae
Divisi
: Amastigomycota
Sub-Divisi
: Basidiomycotina
Kelas
: Basidiomycetes
Sub-Kelas
: Holobasidiomycetidae I
Seri
: Hymenomycetes I
Ordo
: Aphyllophorales
Famili
: Schizophyllaceae
Genus
: Schizophyllum
Spesies
: Schizophyllum commune
Menurut Alexopoulus dan Mims (1979 ) dalam Herliyana (1994), S.
commune memiliki ciri-ciri yang khas yaitu tubuh buah berwarna abu-abu,
berbentuk seperti kipas dengan diameter antara 1 sampai 4 cm, tubuh
berdempetan secara lateral dan tidak bertangkai. Lapisan hymeniumnya terdiri
dari lamella tebal yang robek (split) memanjang dengan kedua tepinya melipat ke
dalam. Sementara itu menurut Buller (1909) dalam
Herliyana (1994), S.
commune memiliki ciri-ciri antara lain tubuh buah yang biasanya berdempetan
secara lateral dengan lebar mencapai 3 cm, tubuh buah ini dapat terbentuk secara
tunggal dan seringkali dalam kelompok. Lamela jamur ini terdiri dari fasciculi,
dimana antarafasciculi yang lebih panjang dipisahkan oleh 3 sampai 5 fasciculi
yang lebih pendek.
Universitas sumatera utara
26
Menurut Buller (1931) dalam Herliyana (1994), jamur ini digolongkan
sebagai heterotali khymenomic etes, dimana micelia “monoporous ” yang berbeda
sifat sexnya bersatu dan intinya berkonyugasi, sebelum dapat membentuk tubuh
buah yang diploid. Basidium jamur ini menghasilkan 4 macam spora yang haploid
yaitu AB, Ab, aB, dan ab dan berwarna putih. Gaumann dan Dodge (1928 ) dalam
Herliyana (1994) menambahkan bahwa miselium S. commune dilengkapi dengan
sambungan apit (clamp connections) dan berinti dua.
S. commune Fr. merupakan jamur pelapuk putih (white rot) yang
merombak lignin dan selulosa. Jamur ini dapat menghasilkan selobiase dan enzim
ekstrakurikuler endo-beta-1,3 (4)-glukase (Tambunan & Nandika 1989 dalam
Fitriyani 2010). Jamur pelapuk kayu S. commune merupakan jamur yang
menyebabkan pelapukan atau pewarnaan kayu dan bahan-bahan selulosa lain. Hal
ini dikarenakan jamur merupakan tumbuh-tumbuhan sederhana yang tidak
mengandung klorofil sehingga tidak dapat memproduksi makanannya sendiri.
Dengan demikian, jamur harus memperoleh energinya dari bahan-bahan organik
lain (Haygreen & Bowyer 1989 dalam Fitriyani 2010).
Universitas sumatera utara
Download