1 BAY’ AL-MURABAHAH (DEFFERED PAYMENT SALE) DI LINGKUNGAN BANK SYARIAH oleh: Abd.Shomad∗ Abstract: Murabahah is a supply of goods agreement which is based on sales and purchase mechanism. The Bank will provide goods needed by the Customer and sell it to the Custumer with an agreed margin. Payment is done by several installments within an agreed period of time. In this mechanism, the Bank is not allowed to provide loan to the Customer, since this loan will be considered as riba. However, it is found that Murabahah which is practiced by syariah banking in Indonesia is different to Murabahah principles which are found in the fiqh books. Based on the fiqh books, Murabahah is defined as involving only two parties, which are seller and buyer. Payment may be in cash (naqdan) or with several installments (bitsaman ajil). On the other hand, syariah banking practice in Indonesia involving three parties to form a Murabahah. The first agreement is a sale and purchase agreement, paid in cash, between the Bank (as buyer of the goods) and the Supplier of the goods. This is followed by Murabahah agreement which is done between the Bank as the vendor and the Customer as buyer, in an agreed marked up price. 1. Pendahuluan Kesulitan yang paling mendasar ialah memakai ”kacamata” yang tepat tatkala menelaah subsistem-subsistem dari perbankan syariah sebagai suatu sistem. Meminjam istilah yang paling populer dalam kajian Ilmu Perbandingan Agama ( Comparative of Religion ), agree in disagrement, sebagai dasar menelaah akad-akad yang dipakai dalam bank syariah akan sedikit membantu untuk memahami bay al murabahah sebagai suatu akad yang berinduk pada Hukum Islam. Tanpa memahami maqasid asy-syariyah dari akad yang dikenal dengan jual beli yang variannya diantaranya adalah Murabahah, maka pemahaman dari kajian kita hanya akan menelaah murabahah dari kacamata ∗ Dr. Drs. Abd. Shomad, S.H., M.H., Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Airlangga. 2 konsep jual beli yang sudah mengakar pikiran kita. Walaupun harus juga dipahami bahwa Bay al Murabahah merupakan salah satu doktrin ekonomi Islam sebagai hasil ijtihad atas sumber-sumber naqliy, merupakan hasil olah pikir (“fiqh”). Bay al Murabahah merupakan salah satu akad yang dipakai di lingkungan bank syariah. Perbankan syariah modern diawali saat pendirian BPR Dana Mardhatillah dan BPR Berkah Amal Sejahtera awal 1991 di Bandung, yang diprakarsai Institute for Syariah for Economic Development (ISED)) . Pembangunan bank syariah dipengaruhi oleh pemikiran dan upaya para ulama, ahli ekonomi Islam baik secara individu maupun institusional serta perkembangan dan kemajuan perbankan syariah internasional. Pengembangan bank syariah Indonesia relatif terlambat dibandingkan dengan negara-negara lain, diakibatkan kendala dasar hukum, pertimbangan sosial politik, dan perbedaan pandangan tentang bunga bank Menelaah perkembangan bank syariah harus berdasarkan pada analisis faktual dengan prasangka baik ( husnu-zhan). Selama ini ada analisis terhadap setiap kegitan yang berkaitan dengan masalah sosial keagamaan dari orde yang berkuasa tak urung muncul berbagai analisis dan spekulasi. Baik analisis yang penuh kecurigaan yang berangkat dari prasangka buruk (su'u-zhan) yang oleh Kuntowijoyo disebut sebagai conspiration theory. Conspiration theory tidak banyak kegunaannya dan juga sulit dipertanggungjawabkan kebenarannya, suatu perbuatan yang harus dihindari oleh orang yang beriman. Sebagai gantinya, analisis yang harus dikembangkan adalah analisis faktual yang bertitik tolak dari prasangka baik (husnu-zhan). Analisis faktual adalah pengamatan rasional atas bukti-bukti, dan bukan emosi kecurigaan semata-mata.1 Dengam diundangkan UU No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang merubah UU No 14 tahun 1967 tentang Pokok Perbankan Lebih lanjut dikeluarkan PP No 72 Tahun 1992 tentang Bank dengan Prinsip Bagi Hasil. UU No 7 Tahun 1992 kemudian diamandemennya dengan UU No 10 tahun 1998. 1 Kuntowijoyo, Identitas Poltitk Umat Islam, Mizan, Bandung, 1998, hal. 17-25. 3 Menindaklanjuti perubahan UU No 10 Tahun 1998, BI pada tahun 1999 mengeluarkan ketentuan mengenai proses pendirian dan jaringan bank umum syariah (BUS), pengaturan kelembagaan bank umum konvensional (BUK) yang membuka Unit Usaha Syariah (UUS), pendirian Kantor Cabang Syariah (KCS) , dan pendirian Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Tahun 2004 BI mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 tentang perluasan unit usaha syariah (UUS), khususnya bagi bank umum. Pada tanggal 16 Desember 2003 Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa bahwa bunga bank termasuk dalam kategori riba. Fatwa tentang bunga bank adalah riba bukanlah wacana baru bagi umat Islam, puluhan tahun sebelumnya fatwa serupa sudah kerap difatwakan banyak kalangan walaupun di kalangan ulama, masalah bunga bank ini masih merupakan masalah yang kontroversial Sebelum diundangkan UU No 21 tahun 2008 tentang Perbankan syariah sebagai babak baru perkembangan Bank Syariah . Mulai 1 Januari 2008 dengan Regulasi keharusan menerapkan Pernyataan Standard Akuntansi Keuangan (PSAK) dalam setiap transaksi bisnisnya. itu meliputi penyajian laporan keuangan syariah, akuntansi murabahah (jual-beli), akuntansi saham, akuntansi isthisna, mudarabah (bagi hasil), dan PSAK tentang akuntansi musyarakah (kemitraan). PSAK baru ini mengacu kepada PBI No. 5/7/2003 tentang kualitas aktiva produktif bank syariah dan PAPSI tahun 2003. Akibatnya, bank syariah diposisikan sebagai penjual atau penyewa. Jadi bukan sebagai penyedia uang atau tagihan. Regulasi ini disusun berdasarkan Pernyataan Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI) Bank Indonesia. Selain itu, juga mengacu pada fatwa akad keuangan syariah yang diterbitkan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI). 2. Ruang Lingkup Usaha Bank Syariah Walaupun pada asalnya dalam sistem Hukum Islam tidak mengenal adanya sistem Perbankan, namun banyak istilah dalam dunia perbankan yang berasal dari istilah dalam Hukum Islam. Bank Syariah sendiri merupakan istilah yang populer 4 di Indonesia, disamping beberapa sistilah lain yang juga sering digunakan para ahli dan jurnalis seperti Bank Islam (Islamic Bank), Bank Tanpa Bunga (InterestFree Bank), Bank Tanpa Riba (Lariba Bank), Bank Tanpa Faedah, dan Bank Syari’ah (Shari’a Bank), disamping istilah resmi “Bank Berdasarkan Prinsip Syariah”. Berrdasarkan pasal 1 angka 2 Undang-undang Perbankan adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan / atau bentuk – bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sebagai lembaga keuangan, bank mempunyai usaha pokok berupa menghimpun dana dari masyarakat untuk kemudian menyalurkannya kembali kepada masyarakat yang membutuhkan dana dalam bentuk kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Fingsi bank sesuai dengan Pasal 3 Undang-undang Perbankan adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat”. Fungsi utama dari perbankan indimaksud adalah fungsi Intermediasi yakni penghimpunan dana masyarakat dalam dunia perbankan memegang peranan penting disamping melakukan penyaluran dana System Perbankan yang dianut di Indonesia menyebabkan adanya dua jenis bank Bank Konvensional yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional, dan Bank Syariah yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah,. Jenis bank menentukan kegiatan usaha yang dapat dilakukannya, maka kegiatan usaha yang dapat dilakukan bank konvensional akan jauh berbeda dengan usaha yang dilakukan oleh bank berdasarkan prinsip syariah. Terminologi yang dipakai dalam lingkup usahanya juga berbeda.. Istilah kredit dipakai pada lingkungan bank yang menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional, sedangkan istilah Pembiayaan dipakai di lingkungan bank syariah. Pengertian Kredit berdasarkan pasal 1 angka 11 Undang-undang Perbankan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam – meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Sedangkan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah berdasarkan pasal 1 angka 12 Undang-undang Perbankan adalah penyediaan uang atau tagihan yang 5 dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil baik kredit maupun pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, sama-sama menyediakan uang atau tagihan atas dasar persetujuan atau kesepakatan bersama antara pihak bank dan pihak lain dengan kewajiban pihak peminjam atau pihak yang dibiayai untuk melunasi utangnya atau mengembalikannya beserta bunga, imbalan atau bagi hasil dalam tenggang waktu yang telah disepakati bersama. Meskipun istilah yang digunakan berbeda, tetapi makna yang terkandung di dalamnya sama.2 Perbedaannya kredit dengan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah pada kontra prestasinya, yang satu berupa bunga, sedangkan yang lain berupa bagi hasil, margin keuntungan, biaya sewa, dan biaya administrasi. Dalam dunia bank syariah lingkup usahanya menurut Muhammad Syafi’i Antonio , Prinsip-prinsip dasar perbankan syariah, yaitu :3 (1) Prinsip Bagi Hasil (Profit and Loss Sharing) Secara umum dapat dilakukan dalam empat akad utama, yaitu : a. Al-Musyarakah (Partnership, Project Financing Participation) b. Al-Mudharabah (Trust Financing, Trust Investment) c. Al-Muzara’ah (Harvest-Yield Profit Sharing) d. Al-Musaqah (Plantation Management Fee Based On Certain Portion Of Yield) Tetapi prinsip yang paling banyak dipakai adalah al-musyarakah dan almudharabah. (2) Prinsip Jual Beli (Sale and Purchase) Ada tiga jenis jual beli yang telah banyak dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan dalam perbankan syariah dari sekian banyak jenis jual beli, yaitu :4 2 Rachmadi Usman, Aspek-aspek hukum Perbankan di Indonesia, Cet. 1, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, h. 236. 3 Antonio,M. Syafii, Bank Syariah : dari Teori ke Praktik, Genua Insani Press, Jakarta, 2001, ., h. 85. 4 Ibid., h. 101. 6 a. Al-Murabahah (Deffered Payment Sale) b. As - Salam (In-front Payment Sale) c. Al - Istishna’ (Purchase By Order or Manufacture) (3) Prinsip Sewa (Lease) Terbagi dalam dua jenis : a. Al-Ijarah (Operational Lease) b. Al-Ijarah Al-Muntahia Bit-Tamlik (Financial Lease with Purchase Option) (4) Prinsip Jasa (Fee-Based Services) Yaitu pembiayaan dalam bentuk Al- Qardh (Soft and Benevolent Loan) Bank syariah dalam menjalankan usahanya minimal mempunyai 5 prinsip operasional yang terdiri yaitu : sistem simpanan ,bagi hasil ,margin keuntungan ,sewa dan fee. (1) Prinsip Simpanan Murni Prinsip Simpanan Murni merupakan fasilitas yang diberikan oleh Bank syariah untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang kelebihan dana untuk menyimpan dananya dalam bentuk al Wadiah. Fasilitas al Wadiah bisa diberikan untuk tujuan keamanan dan pemindahbukuan dan bukan untuk tujuan investasi guna mendapatkan keuntungan seperti halnya tabungan dan deposito. Dalam dunia perbankan konvensional al Wadiah disamakan dengan giro pada bank konvensional. (2) Bagi Hasil Sistem ini adalah suatu sistem yang meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara penyedia dana dengan pengelola dana. Pembagian hasil usaha ini dapat terjadi antara Bank dengan penyimpanan dana, maupun antara Bank dengan nasabah penerima dana. Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini adalah Mudharabah dan Masyarakah. Lebih jauh prinsip mudharabah dapat dipergunakan sebagai dasar baik untuk produk pendanaan (tabungan dan deposito) maupun pembiayaan, sedangkan musyarakah hanya untuk produk pembiayaan. (3) Prinsip Jual Beli dan Margin Keuntungan 7 Prinsip ini merupakan suatu sistem yang menerapkan tata cara jual beli, Bank akan membeli terlebih dahulu barang yang dibutuhkan oleh nasabah atau mengangkat nasabah sebagai agen Bank dan nasabah dalam kapasitasnya sebagai agen Bank melakukan pembelian barang atas nama Bank, kemudian Bank menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli ditambah keuntungan (margin/mark-up). (4)Prinsip Sewa Prinsip ini secara garis besar terbagi kepada 2 jenis: - Ijarah (sewa murni), seperti halnya bank menyewakan traktor dan alat produk lainnya (operating lease) kepada nasabah.. - Bai al takjiri ( sewa beli), penyewa (nasabah) mempunyai hak untuk memiliki barang pada akhir masa sewa (financial lease). (5)Prinsip Fee (Jasa) Prinsip ini meliputi seluruh layanan non-pembiayaan yang diberikan Bank. Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini antara lain Bank Garansi,(al kafalah) (al hawalah), al wakalah, al qardh, ar rahn dll. Pada sistem operasi Bank Syariah, pemilik dana menanamkan uangnya di Bank tidak dengan motif mendapatkan bunga, tapi dalam rangka mendapatkan keuntungan bagi hasil. Dana nasabah tersebut kemudian disalurkan kepada mereka yang membutuhkan (misal sebagai modal usaha), dengan perjanjian pembagian keuntungan sesuai kesepakatan. 1. Produk Pengerahan Dana a. Giro Wadi’ah Dana nasabah yang dititipkan di Bank. Setiap saat nasabah berhak mengambilnya dan berhak mendapatkan bonus dari keuntungan pemanfaatan dana giro oleh Bank. Besarnya bonus tidak ditetapkan di muka tetapi benar-benar merupakan “kebijaksanaan” Bank. Sungguhpun demikian nominalnya diupayakan sedemikian rupa untuk senantiasa kompetitif. b. Tabungan Mudharabah 8 Dana yang disimpan nasabah akan dikelola Bank, untuk memperoleh keuntungan. Keuntungan akan diberikan kepada nasabah berdasarkan kesepakatan bersama. Dalam produk ini dapat dilakukan mutasi, sehingga perlu perhitungan saldo rata-rata. c. Deposito Investasi Mudharabah Dana yang disimpan nasabah hanya bisa ditarik berdasarkan jangka waktu yang telah ditentukan, dengan bagi hasil keuntungan berdasarkan kesepakatan bersama. d. Tabungan Haji Mudharabah Simpanan pihak ketiga yang penarikannya dilakukan pada saat nasabah akan menunaikan Ibadah Haji, atau pada kondisi-kondisi tertentu sesuai dengan perjanjian nasabah. Merupakan simpanan dengan memperoleh imbalan bagi hasil (mudharabah). e. Tabungan Qurban Simpanan pihak ketiga yang dihimpun untuk Ibadah Qurban dengan penarikan dilakukan pada saat nasabah akan melaksanakan Ibadah Qurban, atau atas kesepakatan antara pihak Bank dan nasabah. Juga merupakan simpanan yang akan memperoleh imbalan bagi hasil (mudharabah). 2. Produk Penyaluran Dana dalam bentuk pembiayaan a. Mudharabah Bank dapat menyediakan pembiayaan modal investasi atau modal kerja hingga 100%, sedangkan nasabah menyediakan usaha dan managemennya. Bagi hasil keuntungan dibagi sesuai dengan proporsinya berdasarkan perjanjian yang telah disepakati bersama. b. Musyarakah Pembiayaan sebagian (50%) dari modal usaha keseluruhan yang mana pihak Bank akan dilibatkan dalam proses manajemen. Pembagian keuntungan berdasarkan perjanjian sesuai proporsinya. c. Murabahah 9 Pembiayaan pembelian barang lokal ataupun internasional. Pembiayaan ini mirip dengan kredit investasi pada bank konvensional, karena itu jangka waktu pembiayaan bisa lebih dari satu tahun. Bank akan mendapatkan keuntungan dari harga barang yang telah dinaikkan. d. Al-Qardhul Hasan Pinjaman lunak bagi pengusaha yang benar-benar kekurangan modal. Nasabah tidak perlu membagi keuntungan kepada Bank, tapi hanya membayar biaya administrasi saja. e. Selain itu produk pemberian jasa lainnya, seperti: • Jasa Penerbitan L/C • Jasa Transfer • Jasa Inkasso • Bank Garansi • Menerima zakat, infak, dan sadaqoh (untuk disalurkan) Wadiah adalah titipan murni nasabah yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja nasabah menghendakinya. Tujuan Wadiah adalah untuk menjaga keselamatan barang itu dari kemusnahan, kehilangan, kecurian dan sebagainya. Wadiah memiliki rukun: - Penitip/pemilik barang (muwaddi’) - Penerima titipan/orang yang menyimpan (mustawda’) - Barang yang dititipkan - Ijab qabul/akad 3. Murabahah Murabahah merupakan salah satu jenis jual beli. Kata jual beli dipakai beriringan dengan kata riba, sebagaimana terdapat dalam ayat Al Quran yang dijadikan dasar hukum bagi akad jual beli yang popular ialah : “…Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba, …,” (QS Al Baqarah 92) : 275). Pengertian jual beli adalah menukarkan barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari satu kepada yang lain atas 10 dasar rela sama rela tetapi tidak bertujuan untuk mencari keuntungan.5 Kadangkadang orang menjual atau membeli suatu barang untuk sesuatu keperluan tanpa menghiraukan apakah rugi atau laba. Dalam Al Qur’an terdapat ayat lain yang juga dijadikan dasar jual beli, yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu …” (QS An Nisa (4) : 29). Pendapatan yang paling afdal adalah hasil karya tangan seseorang dan jual beli yang mabrur. (HR Ahmad, Al Bazzar, Ath-Thabrani). Dari Su’aib ar Rumi ra, bahwa Rasulullah bersabda: “Tiga perkara didalamnya terdapat keberkatan (1) Menjual dengan tangguh, (2) Muqaradhah (nama lain dari Mudharabah), (3) Mencampurkan tepung dengan gandum untuk kepentingan rumah bukan untuk dijual. Sunnah Nabi Muhammad yang dijadikan dasar hukum jual beli termasuk murabahah diantaranya, ialah : 1. H.R.Al Bazaar, Imam Hakim (Sahih) : Dari Rafa’ah bin Rafe r.a. bahwa Rasulullah pernah ditanya pekerjaan apakah yang paling mulia, Rasulullah menjawab : “pekerjaan seorang dengan tangannya dan setiap jual dan beli yang mabrur .2. H.R. Al Baihaqi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hiban (Sahih) : Dari Abu Said Al Hudri bahwa Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya jual beli itu dilakukan suka sama suka”. 3. H.R. Tarmizi (Hasan) : Pedagang yang jujur dan benar berada di Surga bersama para Nabi, Shadiqin, dan Syuhada. 4. H.R. Ibnu Majah (Sublus salam, 4/147) : Dari Shuhaib r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda tiga perkara didalamnya terdapat keberkatan (1) menjual dengan cara kredit, (2) Muqaradah (nama lain dari Mudharabah), dan (3) mencampur tepung dengan gandum untuk kepentingan rumah dan bukan untuk dijual. 5 Idris Ahmad, Fiqh Syafii, Multazam, Jakarta, 1993, h. 5. 11 Dasar hukum jual beli yang lain ialah ijma’, yakni konsesus dalam keabsahan jual beli, karena manusia sebagai anggota masyarakat selalu membutuhkan apa yang dihasilkan dan dimiliki oleh orang lain. Oleh karena itu jual beli adalah salah satu jalan untuk mendapatkannya secara syah. Dengan demikian maka mudah lah bagi setiap individu memenuhi kebutuhannya. Transaksi jual beli harus terpenuhi rukun dan syaratnya. Rukun adalah sesuatu yang harus ada dalam setiap perbuatan hukum. Rukun Jual beli ada tiga yakni: 1. ijab Kabul ( akad ), 2. orang-orang yang berakad, penjual dan pembeli 3. objek akad ( ma’kud alaih)6 Ijab Kabul ialah ikatan kata antara penjual dan pembeli, syarat kabul ialah: 1. Jangan ada tenggang waktu yang memisahkan antara ucapan penjeual dan pembeli. 2. Jangan diselangi kata -kata lain antara penjual dan pembeli. Sedang syarat untuk objek jual beli, ialah: 1. suci dan bisa disucikan; 2. bermanfaat menurut hukum Islam; 3. tidak digantungkan pada suatu kondisi tertentu; 4. tidak dibatasi tenggang waktu tertentu; 5. dapat disearhkan; 6. milik sendiri; 7. tertentu atau dapat diindera; Sedang syarat orang yang melakukan transaksi jual beli, ialah cakap Akad adalah perjanjian antara pembeli dan penjual, dengan syarat: 1. jangan ada yang membatasi; 2. jangan disela dengan kata-kata lain; 3. jangan dibatasi waktu; Barang yang diperjual belikan harus memenuhi syarat-syarat 6 Hendi Suhendi, Fiqh Mumalah, RajaGrafindo Presada, Jakarta, 2002, h. 70-75 12 1. Suci atau disucikan maka tidak sah menjual barang-barang yang najis seperti anjing atau babi. 2. Memberi manfaat, maka tidak sah memperjual belikan semut atau binatang- binatang buas lainnya. 3. Dapat diserahkan secara tepat atau lambat, tidak sah menjual barangbarang yang sudah hilang atau yang sulit dihasilkan. 4. Milik sendiri, tidak sah menjual milik orang lain dengan tidak seizinnya atau barang yang akan menjadi milik. 5. Diketahui / dilihat, barang yang diperjual belikan harus diketahui banyak, berat, atu jenisnya. Tidak sah jual beli yang menimbulkan keraguan pada salah satu pihak. Disamping itu orang yang melakukan jual beli haruslah orang yang berakal dan berkuasa melakukan jual beli, baligh, dan tidak dipaksa. Sedang benda yang menjadi obyek jual beli adalah bukan barang najis, bermanfaat, bisa diserahterimakan, kepunyaan orang yang menjualnya atau orang yang menjualnya dikuasakan untuk menjualnya. Di dalam jual beli dilarang adanya tipuan, juga dilarang me membeli menghadang orang-orang di desa-desa, yang belum tahu harga pasaran, sehingga orang-orang ini menderita rugi. Juga dilarang menjual barang yang digunakan untuk maksiat. Demikian pula membeli dengan harga tinggi dengan maksud agar orang lain tidak dapat memiliki barang itu. Dan juga tidak dibolehkan membeli dengan maksud menimbun, dan pada saat yang lain dijual dengan harga tinggi pada saat orang sangat membutuhkannya.7 Kontrak jual-beli menjadi sempurna (tamm) dengan terjadinya penyerahan barang ( taqa bud ). Istilah ini menunjukkan bahwa hal ini tidaklah dianggap sebagai murni kewajiban. Pengakuan untung atau rugi dari salah satu pihak yang tidak berkenaan dengan tujuan kontrak (umpamanya bahwa pembeli harus membebaskan budak yang dia beli) adalah tidak sah dan itu berarti membuat kontrak menjadi fa sid . Apabila seseorang membeli kulit dengan syarat bahwa pembeli harus membuatnya jadi sepatu, maka kontrak itu menjadi fa sid dengan 7 Ibid, h. 197 13 aturan itu. Akan tetapi, apabila prosedur dibuat demikian, maka kontrak diakui sebagai sesuatu yang sah oleh istihs a n . Jual-beli yang fa sid memberikan hak, bahkan sesudah kedua belah pihak mengambil barang, hanya milk al - qa bid , dan dibenarkan penundaan sampai barang itu dijual kembali; dapat dibuktikan tetapi bukan tidak sah; golongan lain berpendapat, jual-beli yang ditetapkan pada azan salat jumat dan jual-beli budak serta anak-anak yang masih kecil yang terpisah dengan keluarga atau orangtuanya, menurut para ahli adalah tidak sah.8 Dalam Fiqh Mumalah para ahli menginventarisir beberapa bentuk perjanjian jual beli yang dikelompokkan berdasarkan : 1. Perbandingan harga jual dan harga beli 2. Jenis barang pengganti 3. Waktu penyerahan barang/dana Dalam Fiqh muamalah terdapat banyak macam akad jual beli. Jenis-jenis jual beli dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1. Berdasarkan perbandingan harga jual dan harga beli meliputi ; a. Al Musawamah yaitu jual beli biasa, penjual memasang harga tanpa memberitahu si pembeli berapa margin keuntungan yang diambilnnya. b. At Tauliah yaitu menjual dengan harga beli tanpa mengambil keuntungan sedikitpun. c. Al Murabahah yaitu jual beli barang dengan margin kauntungan yang disepakati dengan membari tahu harga pokok dan keuntugannya sebagai tambahan. . d. Al Muwadhaah, menjual dengan harga yang lebih rendah dari harga beli.9 2. Berdasarkan pada jenis barang pengganti, jual beli meliputi : a. Al Muqayadhah yaitu bentuk awal dari transaksi, barang ditukar dengan barang (barter). b. Al Mutlaq yaitu bentuk jual beli biasa barang ditukar dengan uang. 8 Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, Islamika, Jogyakarta, 2003 Muhammmad, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah, UI Press, Yogyakarta, 2000, h. 22 9 14 c. Ash Sharf yaitu jual beli valuta asing, mata uang ditukar dengan mata uang lainnya harus dengan syarat-syarat : 1. Dilakukan secara tunai 2. Penyerahannya pada waktu yang sama 3. Bila ditukar dengan mata uang yang sama mata uang tersebut juga harus sama sama tunai 4. Bila dengan mata uang yang berbeda maka dilakukan dengan nilai mata uang yang berbeda dan tunai 3. Berdasarkan pada waktu penyerahan barang, jual beli meliputi : a. Bai’as salam b. Bai al – ishshna10 Ulama lain berpendapat agak berbeda dalam hal macam-macam jual-beli baik yang diperkenankan menurut Hukum Islam maupun yang dilarang dalam Hukum Islam. Transaksi jula beli yang diperbolehkan menurut Hukum Islam diantaranya: 1. Bai’al mutlaqah, yaitu pertukaran antara barang atau jasa dengan uang. Uang berperan sebagai alat tukar. Jual-beli semacam ini menjiwai semua produk-produk lembaga keuangan yang didasarkan atas prinsip jual-beli. 2. Bai’al muqayyadah, yaitu jual-beli di mana pertukaran terjadi antara barang dengan barang (barter). Aplikasi jual-beli semacam ini dapat dilakukan sebagai jalan keluar bagi transaksi ekspor yang tidak dapat menghasilkan valuta asing (devisa). Karena itu dilakukan pertukaran barang dengan barang yang dinilai dalam valuta asing. Transaksi semacam ini lazim disebut counter trade. 3. Bai’al aharf, yaitu jual-beli atau pertukaran antara satu mata uang asing dengan mata uang asing lain, seperti antara rupiah dengan dolar, dolar dengan yen dan sebagainya. Mata uang asing yang diperjualbelikan itu dapat berupa uang kartel (bank notes) ataupun dalam bentuk uang giral (telegrafic transfer atau mail transfer). 10 Rahmadi Ustman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, h. 28-30 15 4. Bai’al murabahah adalah akad jual-beli barang tertentu. Dalam transaksi jual-beli tersebut penjual menyebutkan dengan jelas barang yang diperjualbelikan, termasuk harga pembelian dan keuntungan yang diambil. 5. Bai’al muasawamah adalah jual-beli dimana penjual melakukan penjualan dengan harga yang lebih rendah daripada harga pasar atau dengan potongan (discount). Penjualan semacam ini biasanya hanya dilakukan untuk barangbarang atau aktiva tetap yang nilai bukunya sudah sangat rendah. 6. Bai’al muwadha’ah yaitu jual-beli dimana penjual melakukan penjualan dengan harga yang lebih rendah daripada harga pasar atau dengan potongan (discount). Penjualan semacam ini biasanya hanya dilakukan untuk barangbarang atau aktiva tetap yang nilai bukunya sudah sangat rendah. 7. Bai’as salam adalah akad jual-beli dimana pembeli membayar uang (sebesar harga) atas barang yang telah disebutkan spesifiksinya, sedangkan barang yang diperjualbelikan itu akan diserahkan kemudian, yaitu pada tanggal yang disepakati. Bai’as salam biasanya dilakukan untuk produkproduk pertanian jangka pendek. 8. Bai’al istishna’ hampir sama dengan bai’as salam, yaitu kontrak jual-beli dimana harga atas barang tersebut dibayar lebih dulu dapat diangsur sesuai dengan jadwal dan syarat-syarat yang disepakati bersama, sedangkan barang yang dibeli diproduksi dan diserahkan kemudian. Jual beli berbeda dengan Transaksi Riba.Riba ialah tambahan atas modal, baik penambahan itu sedikit ataupun banyak.11 Riba pada dasarnya adalah tambahan bagi pinjaman pokok, yang meluas meliputi banyak keuntungan tambahan yang diperoleh sebagai hasil transaksi dan tidak ditentukan secara persis ketika melakukan transaksi. Dengan demikian dapat diidentifikasi bahwa riba mengandung tiga unsur yakni: a. Kelebihan dari pokok pinjaman b. Kelebihan pembayaran sebagai imbalan tempo pembayaran c. Jumlah tambahan yang disyaratkan di dalam transaksi. 11 Sayyid Sabiq, Fikih sunah, Al Ma'rif – Al Ma’ arif, Bandung, 1997, hal. 117. 16 Menurut Abul A’la Al Maududi perbedaan mendasar antara jual beli dan riba adalah dari aspek akhlak dan ekonomi, yaitu : 1. Tukar-menukar manfaat yang terjadi berdasarkan sudut pandang yang sama antara pembeli dan penjual dalam perdagangan karena pembeli di satu sisi merasa senang dengan barang yang dibelinya dari penjual, penjual memperoleh upah atas kemampuannya, tenaga dan waktu yang telah ia korbankan dalam mendapatkan barang tersebut atau menyiapkannya pada pembeli. Tidak terjadi tukar-menukar manfaat dalam transaksi riba. Kreditur mengambil jumlah tertentu dari harta debitur itu sendiri tanpa ragu. Dalam jual beli dengan riba debitur tidak memperoleh dana dari kreditur melainkan penangguhan dalam waktu tertentu yang kadang membawa manfaat dan kadang tidak membawa manfaat padanya. Jika ia mengambil harta itu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadinya, secara pasti penangguhan ini bermanfaat baginya. Jika ia mengambilnya untuk diinvestasikan dalam perdagangan, industri atau pertanian, sebagaimana ia emban maka manfaat akan kembali kepadanya. Walaupun ia menanggungnya kerugian akan tetap kembali kepadanya. Seolah transaksi riba kadang beruntung di satu sisi dan merugi di sisi lain. Atau ia beruntung secara pasti di satu sisi, atau merugi secara tidak pasti dan diketahui di sisi lain. 2. Pembeli, hanya mendapatkannya satu kali, tapi keuntungan yang diambil kreditur dari debitur dalam transaksi riba mempunyai rentetan yang tidak putus dan selalu bertambah kuat dan keras seiring berlalunya waktu. Bagaimanapun, debitur memperoleh manfaat dengan hartanya namun hanya terbatas. Adapun kreditur, tak ada sesuatu pun yang membatasi manfaatnya di hadapan manfaat debitur. Kreditur kadang menyita harta debitur, aset-aset pencarian, bahkan pakaian dan perkakas rumahnya. Tapi utangnya selalu ada. 3. Transaksi antara pembeli dan penjual selesai bersamaan dengan kesempurnaan tukar menukar barang dan harga masing-masing. Setelah itu, tak ada apa pun yang diserahkan pembeli kepada penjual. Begitu juga sesuatu yang asalnya, membayar ganti dari pemakaiannya seperti sewa tanah, rumah dan peralatan. Semua itu tidak dihabiskan tapi dilestarikan lalu dikembalikan kepada 17 pemiliknya sendiri. Adapun di dalam transaksi riba, maka debitur menghabiskan harta kreditur. Lalu harta yang dihabiskan dengan sendirinya dipulangkan kepada kreditur disertai tambahan. 4. Dalam perdagangan, pertanian dan perindustrian, manusia mengerahkan kemampuan dan waktunya. Ia memperoleh upah dan merasa senang dengan keuntungan yang ia peroleh. Namun dalam transaksi riba, saham-saham besar dikuasai orang lain, hanya dengan menyerahkan kepadanya sejumlah harta yang melebihi kebutuhannya tanpa perlu mengerahkan sedikit tenaga dan waktu. Dalam saham-saham tersebut, dikenal istilah berkongsi dengan orang lain, dalam kerugian dan laba bersama. Hal itu juga tidak disebutkan kongsinya, kecuali dalam keuntungan, bukan kerugian. Bahkan salah seorang mitra menuntut keuntungan yang jelas bagi dirinya, tanpa menghiraukan keuntungan atau kerugian debiturnya. Perdagangan itu ada dua macam yaitu : perdagangan yang halal yang dalam bahasa syara’ disebut ba’i (jual beli) dan perdagangan yang haram yang disebut riba. Sedangkan yang dimaksud dengan riba adalah pengambilan tambahan dari hasil pokok atau modal secara bathil, baik dalam transaksi jual beli atau pinjam meminjam atau yang bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam. Perbedaan antara dagang dengan riba adalah di dalam perdagangan ada syarat ijab dan qobul yaitu adanya serah terima antara kedua belah pihak yang menukarkan barang dengan uang, disamping kerelaan kedua belah pihak, sedangkan riba adalah pemberian kredit dengan mengambil keuntungan.12 PERBEDAAAN ANTARA JAUL BELI DAN RIBA Jual Beli Bunga 1. Apabila sudah terjadi ijab qabul 1. Interest harga jual tidak boleh berubah. rate tergantung situasi pasar. 2. Tidak ada pemisahan antara harga 2. Ada perbedaan antara harga pokok 12 Abu Surai Abd. Hadi, Bunga Bank Dalam Islam, terjemahan M. Thalib, Al Ikhlas, Surabaya, 1993, h.22 18 pokok dan harga keuntungan. dan margin. 3. Khusus jumlah keuntungan dari 3. Keuntungan dari pemberian kredit Murabahah (Kredit Investasi) harus investasi diketahui oleh nasabah. nasabah. 4. Fasilitas pembiayaan tidak diketahui oleh diberikan 4. Fasilitas kredit diberikan dalam dalam bentuk barang bukan uang. bentuk uang sehingga dana bebas Transaksi jual beli, Bank sebagai digunakan nasabah (bisa terjadi penjual. penyimpangan/side streamline). 5. Dana pembelian barang sesuai 5. Dana kredit yang diberikan tidak dengan nilai harga barang. 6. Apabila 100% murni. tidak 6. Umumnya wanprestasi, dikenakan penalty (bunga dikenakan (bunga berbunga), dikenakan dalam berbunga), melainkan denda yang bentuk bersifat sosial positif serta dalam outstansing. bentuk nominal bukan persentase. 7. Apabila terjadi pembiayaan macet, dialihkan (konversi menjadi ke penyertaan Musyarakah dari sisa 7. Kredit macet dapat ditinjau kembali dan dimungkinkan terjadinya plafondering. pendapatan diambil oleh Bank tidak 8. Akibat pembiayaan macet, harta disita persentase atau 8. Semua jaminan disita dan hasil Mudharabah). boleh penalty namun hanya penuntutan kembali sisa atau kelebihan hasil penjualan. mengambil haknya saja. Murabahah adalah suatu perjanjian jual beli atas barang tertentu, dimana penjual menyebutkan harga pembelian barang kepada pembeli, kemudian ia mensyaratkan atasnya laba/keuntungan dalam jumlah tertentu.Murabahah adalah akad jual beli suatu barang dengan harga sebesar harga pokok ditambah dengan keuntungan yang disepakati bersama dengan pembayaran ditangguhkan.13 Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 04/DSN-MUI/V/2000 yang dimaksud dengan murabahah adalah menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli 13 Gemala Dewi, op.cit., h. 40 19 dan pembeli membayarnya dengan harga lebih sebagai laba. Murabahah adalah jasa pembiayaan dengan mengambil bentuk transaksi jual beli dengan cicilan. Pada perjanjian murabahah atau mark-up, bank membiayai pembelian barang atau asset yang dibutuhkan oleh nasabahnya dengan membeli barang itu dari pemasok barang dan kemudian menjualnya kepada nasabah tesebut dengan menambahkan suatu mark-up atau keuntungan.14 Murabahah adalah suatu perjanjian jual beli atas barang tertentu, dimana penjual menyebutkan harga pembelian barang kepada pembeli, kemudian ia mensyaratkan atasnya laba/keuntungan dalam jumlah tertentu. Dalam dunia perbankan akad ini merupakan Akad penyediaan barang berdasarkan sistem jual beli, Bank membelikan kebutuhan nasabah (barang) dan menjual kembali kepada nasabah ditambah dengan keuntungan yang disepakati bersama. Pembayaran dilakukan dengan cara angsur/cicil dalam jangka waktu yang ditentukan. Jadi murbahahah merupakan akad penyediaan barang berdasarkan sistem jual beli, Bank membelikan kebutuhan nasabah berupa barang dan menjual kembali kepada nasabah ditambah dengan keuntungan yang disepakati bersama. Pembayaran dilakukan dengan cara angsur/cicil dalam jangka waktu yang ditentukan. Sebagaimana lazimnya dalam kajian Fiqh Muamalah berkaitan dengan rukun dan syarat-syarat akad murabahah .Rukun akad murabahah: 1. Ada penjual (bai); 2. Ada pembeli (musytari); 3. Ada barang (mabi); 4. Sighat dalam bentuk ijab qobul; Namun ada pula ahli hokum Islam yang merumuskan bahwa Murabahah memiliki rukun, yakni : 1. Penjual (Ba’i’); 2. Pembeli (Musytari); 3. Obyek/barang (Mabi’); 14 Sutan Remy Sjahdemi, Perbankan Islam Dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Pustaka Utama Grafitti, Jakarta, 1999,h.64 20 4. Harga (Tsaman); 5. Ijab Qabul (Shigat); Murabahah memiliki syarat: 1. bahwa pembeli harus mengetahui harga pokok (harga kulakan) pembelian barang yang akan dibeli. 2. Jumlah keuntungan penjual harus diketahui oleh pembeli. 3. Barang yang dibeli jelas kriterianya, ukuran, jumlah, dan sifatsifatnya. 4. Barang yang dijual sudah dimiliki oleh penjual. 5. Penjual dan pembeli harus saling ridha. 6. Penjual dan pembeli mempunyai kekuasaan dan cakap hukum dalam transaksi jual beli. 7. Sistem pembayaran kewajiban dan jangka waktunya disepakati bersama. Adapula yang merumuskan syarat-syarat dalam akad murabahah adalah : 1. Pembeli (mustytary) hendaklah betul-betul mengetahui modal sebenarnya dari suatu barang yang hendak dibeli. 2. Penjual dan pembeli hendaklah setuju dengan kadar hitungan atau tambahan harga yang ditetapkan tanpa ada seikitpun paksaan. 3. Barang yang dijual belikan bukanlah barang ribawi. 4. Sekiranya barang tersebut telah dibeli dari pihak lain, jual beli yang pertama itu harus sah menurut perundang-undangan Islam.15 Akad Murabahah dimulai dari negosiasi antara penjual dan pembeli. Setelah persyaratan telah disepakati, maka terjadilah yang ditandai dengan akad dan pembayaraan yang dilakukan. Setelah itu penjual mengirim objek jual beli. Proses jual beli berakhir dengan dengan diterima barang dan dokumen yang dibutuhkan dalam rangka jual beli ini. Sesuai sifat bisnis , transaksi murabahah mempunyai beberapa manfaat, antara lain: 1. Adanya keuntungan yang timbul dan selisih harga beli dari penjual dengan harga jual kepada nasabah. 15 Ibid., h.. 89 21 2. Sistem murabahah sangat sederhana, sehingga paling banyak digunakan sesudah sistem mudharabah 3. Penanganan administrasinya juga lebih mudah. Di samping manfaat murabahah tersebut diatas ada kemungkinan resiko yang harus diantisipasi antara lain : 1. Default atau kelalaian, nasabah sengaja tidak membayar angsuran. 2. Fluktuasi harga komparatif, ini terjadi jika harga suatu barang dipasar naik setelah membelikannya untuk nasabah, bank tidak dapat mengubah harga jual beli tersebut. 3. Penolakan nasabah, barang yang dikirim bisa saja ditolak oleh nasabah karena berbagai sebab, misalnya rusak dalam perjalanan, spesifikasi barang tersebut tidak sesuai dengan yang dipesan. Jika bank telah menandatangani akad jual beli maka barang tersebut akan menjadi milik bank, artinya bank mempunyai resiko untuk menjualnya kepada pihak lain. 4. Dijual, karena murabahah bersifat jual beli dengan hutang maka ketika akad ditandatangani barang itu menjadi milik nasabah, sehingga nasabah bebas melakukan apa saja ter hadap barang tersebut termasuk menjualnya jika terkadi demikian resiko untuk default akan besar.16 Bank pada hakekatnya memberikan dana pinjaman, namun dalam konteks syariah pinjaman tidak boleh mengambil keuntungan dari dana yang dipinjamkan. Bank syariah harus melakukan jual beli dengan nasabah, bank bertindak selaku penjual dan nasabah selaku pembeli. Salah satu akad yang tepat adalah akad murabahah. Bank bertindak sebagai pembeli sekaligus penjual barang yang dibutuhkan nasabah. Bank membeli barang yang dibutuhkan nasabah kepada supplier (pihak ketiga) dengan harga tertentu, secara langsung atau melalui wakil yang ditunjuk, untuk selanjutnya barang tersebut dijual kepada nasabah dengan harga tertentu dengan harga tertentu setelah ditambah keuntungan (mark up) yang disepakati bersama, besar keuntungan yang diambil bank atas transaksi murabahah tersebut 16 Muhmmad SyafiiAntonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktek, Gema Insani Press, jakarta, 2001, h.127-128 22 bersifat konstan artinya tidak berkembang dan tidak perlu berkurang. Serta tidak terkait oleh fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dolar. Keadaan ini berlangsung hingga akhir pelunasan hutang oleh nasabah kepada bank syariah.17 Penjual dalam hal ini adalah pihak bank yaitu bank yang berprinsip syariah yang akan memberikan pembiayaan. Pembeli (musytari) adalah nasabah yang akan menerima pembiayaan. Barang (mabi) adalah barang yang dibutuhkan oleh nasabah dan disebut obyek akad. Sedangkan sighat dalam bentuk ijab qabul adalah ijab merupakan perkataan penjual, sedangkan qabul merupakan perkataan pembeli. Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 04/DSN-MUI/I/IV/2000 Tentang Muarabahah difatwakan beberapa hal, antara lain : a. Ketentuan Umum Murabahah dalam Bank Syariah : 1. Bank dan nasabah harus melakukan akad musabahah yang bebas riba 2. Barang yang diperjual belikan tidak diharamkan oleh syariat Islam. 3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya. 4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ni harus sah dan bebas riba. 5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang. 6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntunganya. Dalam kaitan ini bank harus memberitahukan secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan. 7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati. 8. Untuk mencegah terjadinya penyalagunaan atau kerusakan akad tersebut, puhak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah. 17 Makhalul Ilmi, Teori dan Praktek lembaga Mikro keuangan Syariah, UII Press, Yogyakarta, 2002, h. 38 23 9. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip, menjadi milik bank. B.Ketentuan Murabahah Bagi Nasabah 1. Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang atau aset kepada bank. 2. Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang. 3. Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membeli)-nya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakatinya; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli. 4. Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan. 5. Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut. 6. Jika nilai uang muka kurang dan kerugian yang harus ditanggung oleh bank-bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah. 7. Jika uang muka memakai kontrak “urbun sebagai alternatif dari uang muka. , maka: a. Jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut ia tinggal membayar sisa harga. b. Jika nasabah batal membeli uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut, dan jika uang muka tidak mencukupi nasabah wajib melunasi kekuranganya. 8. Jaminan dalam Murabahah: a. Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya. 24 b. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.18 Dari ketentuan diatas munculnya suatu pembiayaan murabahah dapat diilustrasikan sebabagi berikut: apabila seorang nasabah datang kepada bank syariah dan ingin meminjam dana untuk merenovasi rumah atau membeli rumah. Dalam konteks ini yang dibutuhkan nasabah adalah dana untuk membayar harga rumah atau bahan baku dan ongkos tukang. Namun bank hanya “dibenarkan menjual” kepada nasabah kebutuhan bangunan yang berupa barang atau bahan bangunan dengan menambahkan margin keuntungan. Bank tidak dibenarkan “meminjamkan uang” untuk ongkos tukang, karena jika hal itu dilakukan berarti membungakan uang yang diidentikkan dengan riba. Hubungan bank dengan nasabah ialah jual beli. Ketika barang diterima, maka nasabah memiliki hutang pembayaran barang yang diperjual belikan. Ketentuan hutang dalam pembiayaan murabahah yang tertuang dalam Fatwa DSN No. 04/DSN-MUI/V/2000 menyatakan bahwa : a. Secara prinsip, penyelesian hutang tidak ada kaitanya dengan transaksi lain. jika nasabah menjual barang dengan keuntungan atau kerugian ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan hutangnya kepada bank. b. Jika nasabah menjual barang: • Sebelum masa angsuran berakhir, dia tidak wajib segera melunasi hutangnya seluruhnya. • Menyebabkan kerugian dia harus tetap menyelesaikan hutangnya sesuai kesepakatan seluruhnya. • Tidak boleh memperlambat pembayaran angsuran atau meminta kerugian itu diperhitungkan. c. Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan hutangnya, bank harus menunda tagihan hutang sampai ia sanggup memberikan kesepakatan. Dalam praktek pembelian barang tertentu, biasanya bank meminta uang muka, hal ini dapat dibenarkan sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional No. 04/DSN18 272-278 Masduqi Mahfud, 101 Masalah Hukum Islam, Pustaka dai Muda, Surabaya, 2003,h. 25 MUI/V/2000 tanggal 16 September 2000 tentang uang muka dalam murabahah yang menyatakan : 1. Dalam akad pembiayaan murabahah, bank diperbolehkan untuk meminta uang muka apabila disepakati oleh kedua belah pihak. 2. besarnya uang muka ditentukan berdasarkan kesepakatan 3. Jika nasabah membatalkan akad murabahah, nasabah harus memberi ganti rugi kepada bank dari uang muka tersebut. 4. Jika jumlah uang muka lebih kecil dari kerugian, bank dapat meminta tambahan kepada nasabah 5. Jika jumlah uang muka lebih basar dari kerugian, bank harus mengembalikan kelebihannya kepada nasabah. Dalam perbankan syariah cara ini paling banyak digunakan karena sederhana dan tidak terlalu asing bagi yang sudah biasa ber taransaksi melalui perbankan. Dalam praktek perbankan, akad murabahah dimulai dengan adanya negoisiasi dan pemenuhan persyaratan. Setelah itu terjadilaH akad antara nasabah dengan bank. Bank kemudian membeli barang kepada suplier dan supplier mengirimkan barang itu kepada nasabah. Nasabah menerima barang dan dokumen yang dibutuhkan, setelah itu nasabah mulai melakukan pembayaran sesuai dengan kesepakatan. Bank syariah dalam memberikan pembiayaan bank wajib melakukan analisis terhadap kemampuan nasabah untuk membayar kembali kewajibannya. Setelah pembiayaan diberikan bank perlu melakukan pemantauan terhadap penggunaan dana, serta kemampuan dan kepatuhan nasabah dalam memenuhi kewajibannya. Selain itu pula bank juga dituntut untuk melakukan peninjauan penilaian dan pengikatan terhadap agunan yang diberikan nasabah, sehingga agunan yang diberikan dapat memenuhi persyaratan yang berlaku.19 Prinsip murabahah yang dilakukan oleh perbankan syariah tidak sama persis dengan definisi murabahah yang dikenal dalam kitab-kitab fiqih. Murabahah yang lazimnya dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih hanya melibatkan dua pihak yaitu penjualan dan pembeli. Metode pembayarannya dapat dilakukan 19 Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, h. 393. 26 tunai (naqdan) atau angsuran (bitsaman ajil). Sedangkan dalam perbankan syariah melibatkan tiga pihak. Akad pertama dilakukan secara tunai antara bank (sebagai pembeli) dengan penjual barang, akad kedua adalah murabahah dilakukan secara angsuran antara bank (sebagai penjual) dengan nasabah bank. Pada umumnya bisnis, tentu bank mengambil keuntungan dari transaksi mubarahah ini. Rukun akad pertama terpenuhi sempurna yaitu ada penjual, pembeli ada barang dan ijab qabul, demikian juga dengan akad yang kedua yaitu murabahah dengan demikian kedua akad ini sah.20 4. Penutup Harus disadari benar bahwa bank pada akhirnya bukanlah pedagang barang tetapi pedagang jasa keuangan yang memberikan fasilitas pembiayaan.21 Transaksi mubarahah sekalipun menyangkut jual beli barang tetapi pada hakekatnya adalah transaksi pembiayaan. Hanya dengan diciptakannya hubunganhubungan hukum dalam satu dokumen perjanjian antara tiga pihak dalam transaksi murabahah, fungsi bank sebagai lembaga pembiayaan dapat terjaga dan tidak beralih menjadi fungsi sebagai pedagang barang. Pembiayaan Al Murabahah memiliki persamaan dan perbedaan dengan Kredit Modal Kerja pada Bank Konvensional, persamaannnya ialah : 1. Tujuan pembiayaan/pinjaman untuk pengadaan barang baik bahan baku, barang dagangan, barang by order. 2. Jangka waktu pembiayaan, revolving selama 1 tahun. 3. Proses analisa pembiayaan/kredit dan adminstrasi pembiayaan/kredit. 20 Karim Business Consulting , Islam dan Perbankan Syariah, Karim Business Consulting, Jakarta, 2001, h. 11. 21 Sutan Remy Syahdeni, op. cit., h. 66 27 4. Penentuan bunga/margin berdasarkan perhitungan cost of money. 5. Persyaratan pengajuan kredit/pembiayaan. Sedangkan perbedaannya ialah: Al Murabahah Konvensional 1. Jual beli, sehingga dikenal adanya 1. Meminjamkan harga jual dan harga beli. 2. Pengadaan barang, dapat pula biaya 3. Semua proyek yang dibiayai tidak operasional. 3. Terdapat denda/penalty. boleh bertentangan. 4. Seandainya terjadi keterlambatan 4. Dimungkinkan tidak dibenarkan adanya denda. 5. Tidak diperkenankan nasabah). bersama suku bunga adanya tanpa persetujuan nasabah. adanya kenaikan harga jual apabila telah disepakati sehingga dikenal adanya bunga. 2. Pengadaan barang. pembayaran uang, (Bank dan kenaikan harus ada 28 DAFTAR PUSTAKA Ahmad , Idris, Fiqh Syafii, Multazam, Jakarta, 1993, Akhtas, Wazir, Economics in IslamicLaw, Kitab Bhavan, New Delhi, 1992, h. 16 Alqaoud, Latifa M. dan Mervyn K. Lewis, Perbankan Syariah , Prinsip, Praktek dan Prospek, terjemahan Burhan Wirasubrata, Serambi, Jakarta, 2003 Antonio,M. Syafii, Bank Syariah : dari Teori ke Praktik, Genua Insani Press, Jakarta, 2001, Az-Zuhayly , Wahbah, Al-Figh Al-Islami Wa'adillatuh, , Dar Al Fikir, DamsiqSyiria, 1989 Djatnika, Rachmat, Dasar-dasar Tata Pikir tentang Hukum Islam ( Tinjauan Falsafati) Pidato Pengukuhan IAIN Sunan Ampell, 1986, h. 11, Doi, Abdur Rahman I, . Shari’ah : The Islamic Law, A. S. Noordeen, Kuala Lumpur, 1984 Hadi,Abu Surai Abd., Bunga Bank Dalam Islam, terjemahan M. Thalib, Al Ikhlas, Surabaya, 1993 Haron, Sudin , Prinsip dan Operasi Perbankan Islam, Berita Publishing SDn.BHD, Kuala Lumpur, 1996 Ilmi,Makhalul , Teori dan Praktek lembaga Mikro keuangan Syariah, UII Press, Yogyakarta, 2002 29 Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, Islamika, Jogyakarta, 2003 Karim Business Consulting ,Islam dan Perbankan Syariah, Karim Business Consulting, Jakarta, 2001 Khan,M. Fahim, Essays in Islamic Economics, The Islamic Foundation, UK, 1995 Kharofa ,Ala’Eddin , Transactions in Islamic Law, A.S.Noorden, Kuala Lumpur, 2000 Kuntowijoyo, Identitas Poltitk Umat Islam, Mizan, Bandung, 1998 Manan, M. Abdul, Teori dan Praketk Ekonomi Islam, terjemahan M. Nastangin, Dana Bhakti Waqaf, Yogyakarta Masduqi Mahfud, 101 Masalah Hukum Islam, Pustaka dai Muda, Surabaya, 2003 Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000 Karim Business Consulting ,Islam dan Perbankan Syariah, Karim Business Consulting, Jakarta, 2001 Musthtaq Ahmad, Business Ethics in Islam, Kitab Bhavan, New Delhi, 1999.. Rasyid,Sulaiman, Fiqh Islam, Sinar Baru, Bandung, 1992, h. 292 Sayyid Sabiq, Fikih sunah, Al Ma'rif – Al Ma’ arif, Bandung, 1997 Sjahdemi,Sutan Remy, Perbankan Islam Dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Pustaka Utama Grafitti, Jakarta, 1999,h.64 Suhendi,Hendi, Fiqh Mumalah, RajaGrafindo Presada, Jakarta, 2002. Suma,Muhammad Amin, Ekonomi Syariah Sebagai Alternatiof Sisstem Ekonomi Konvensional, Jurnal Hukum Bisnis, XX, 2002. Usman., Rahmadi, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama,Jakarta,2001.