4 TINJAUAN PUSTAKA Definisi dan Karakteristik Susu Sapi Secara alamiah yang dimaksud dengan susu adalah hasil perahan sapi atau hewan menyusui lainnya, yang dapat digunakan sebagai bahan makanan yang aman dan sehat, serta tidak dikurangi komponen–komponennya atau ditambah bahan–bahan lain. Jenis ternak yang susunya digunakan sebagai bahan makanan adalah sapi perah, kerbau, unta, kambing perah (kambing ettawa), dan domba. Penyusun utama susu adalah air, protein, lemak, laktosa, mineral, dan vitamin (Widodo 2003). Susu sapi berwarna putih bersih sedikit kekuningan dan tidak tembus cahaya, dan mempunyai rasa sedikit manis atau gurih. Komposisi kimia susu terdiri atas air, lipid, dan bahan kering tanpa lemak. Sementara bahan kering tanpa lemak terdiri atas protein, laktosa, mineral, beberapa senyawa asam seperti asam sitrat, asam format, asam asetat, dan asam oksalat, enzim seperti peroksidase, katalase, fosfatase, dan lipase, gas seperti oksigen dan nitrogen, dan vitamin A, C, D, thiamin, dan riboflavin (Susilorini dan Sawitri 2006). Lemak susu mengandung sekitar 12,5% gliserol dan 85,5% asam lemak. Komponen mikro dari lemak susu antara lain adalah fosfolipid, sterol, tokoferol (vitamin E), karoten, vitamin A, serta vitamin D. Susu mengandung kira-kira 0.3 % fosfolipid terutama lesitin, sphingomielin dan sepalin. Pada waktu susu dipisahkan menjadi skim milk dan krim, sekitar 70 % fosfolipid terdapat pada krim. Fosfolipid dapat dengan cepat teroksidasi, menyebabkan penyimpangan cita rasa susu (Buckle et al, 1987). Protein yang terdapat pada susu sebagian besar adalah kasein (76 %) dan protein whey (24 %). Whey merupakan cairan sisa dari curd yang terdiri dari laktalbumin, laktoglobulin, sisa nitrogen non protein (Susilorini dan Sawitri 2006). Menurut Saleh (2004), rasa dan bau air susu merupakan komponen yang erat hubungannya dalam menentukan kualitas susu. Susu terasa sedikit manis, yang disebabkan oleh laktosa. Sedangkan rasa asin berasal dari klorida, sitrat, dan garam-garam mineral lainnya. Buckle et al (1987), menyatakan bahwa cita rasa yang kurang normal mudah sekali berkembang pada susu. Hal ini diduga disebabkan oleh pengaruh fisiologis, enzim, kimiawi, bakteri, dan mekanis. Salah satu sifat susu adalah bahwa susu merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroba sehingga memerlukan penanganan yang baik, agar tidak menimbulkan penyakit yang berbahaya (Saleh 2004). 5 Definisi dan Jenis-jenis Keju Definisi keju Keju sebagai produk dengan bahan dasar susu merupakan alternatif yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Keju merupakan hasil dari penggumpalan susu menggunakan penggumpal (koagulan) berupa rennet anak sapi. Keju dibuat dengan cara menggumpalkan casein susu membentuk dadih atau curd. Dadih susu kemudian dipanaskan dan dipres sehingga menghasilkan dadih keras, yang selanjutnya dilakukan pemeraman atau pematangan keju. Di samping menggunakan rennet, penggumpalan casein dapat juga dilakukan dengan fermentasi bakteri asam laktat (Nurhidayati 2003). Menurut Sutomo (2006), kandungan protein keju lebih tinggi jika dibandingkan susu segar. Kandungan protein rata-rata pada keju 22,8gr/100gr, sedangkan susu segar hanya 3,2 gr/100 gr. Sedangkan kandungan kalsium pada keju 777 mg/100 gr, dibandingkan pada susu segar hanya sekitar 143 mg/100 gr berat bahan. Selain itu, keju juga mengandung karbohidrat, lemak, zat besi, lemak, dan fosfor yang tinggi. Dengan mengkonsumsi 100 g keju, kebutuhan kalsium tersuplai 20-25% dari kebutuhan kalsium sehari. Jenis-jenis keju Daulay (1991) menyatakan bahwa perbedaan jenis bahan baku, metode pengolahan, dan lama pemeraman akan menghasilkan penampakan produk akhir keju yang berbeda. Keragaman jenis keju tergantung pada bahan dasar yang digunakan, metode koagulan susu, kadar whey dalam dadih, dan pemeraman. Penggolongan keju berdasarkan bahan dasar yang digunakan antara lain keju yang terbuat dari susu sapi, susu kambing, susu domba, susu campuran, dan susu mentah. Berdasarkan proses pemeraman, keju dibagi menjadi lima kelompok yaitu keju yang dimatangkan dari dalam (cheddar, gouda, parmesan), keju yang dicuci kulitnya (limburger), keju bercoreng biru (roquefort, stilton), keju berlapis kapang (camembert), dan keju yang tidak dimatangkan (cottage). Sedangkan penggolongan keju berdasarkan kulitnya dibagi menjadi lima kelompok yaitu keju berkulit keras (raclette, gouda), keju berbulu halus (brie), keju berkulit alami (sainte maure), keju berkulit asin (feta) dan keju segar (ricotta) (Nelson dan Trout 1951). Galloway dan Grawford (1986) yang dikutip dalam Daulay (1991), mengklasifikasi jenis keju berdasarkan karakteristik kadar air. Klasifikasi keju berdasarkan karakteristik kadar air dapat dilihat pada Tabel 1. 6 Tabel 1 Klasifikasi keju berdasarkan karakteristik kadar air Jenis Keju Sangat Keras Keras Kadar air (%) 26-35 35-45 Semi Keras Semi Lunak 41-52 45-55 Lunak 55-80 Contoh Keju Parmesan Cheddar dan Ceshire Swiss dan Emmentales Edam dan Brick Roquefort Limburger Camembert Cottage Sumber : Daulay (1991) Pengelompokan keju berdasarkan kadar air dikarenakan kadar air dapat menentukan konsistensi dan kekompakan keju sehingga memudahkan dalam mengelompokan keju yang memiliki karakteristik serupa. Perbedaaan keju keras dan keju lunak terletak pada persentase kadar air. Istilah keju lunak digunakan untuk mendeskripsikan keju yang terasa lunak ketika disentuh dan dapat dengan mudah ditekan oleh jari, sedangkan istilah keju keras digunakan untuk mendeskripsikan keju yang kaku dan membutuhkan tekanan tertentu untuk dapat membaginya menjadi beberapa bagian (Farkye 2004). Keju lunak. Keju lunak adalah keju yang mempunyai kadar air 55-80% dari berat keju (Daulay 1991). Sedangkan menurut Davis (1965) dalam Gunasekaran dan Mehmet (2003), keju lunak adalah keju yang mempunyai kadar air >40%. Salah satu jenis keju lunak adalah keju cottage yang dibuat tanpa proses pemeraman dan pemasakan curd atau dibuat dari susu skim dengan atau tanpa penambahan krim dan garam (Sugiyono 1992). Keju rendah lemak. Secara umum, keju rendah lemak memiliki komponen lemak yang lebih rendah dibandingkan dengan keju lemak penuh (Mistry & Anderson 1993). Kadar lemak susu yang rendah mengakibatkan sedikitnya beta karoten di dalam keju, yang berpengaruh pada pembentukan warna pada keju. Semakin sedikit beta karoten maka warna keju semakin putih (Kelly 2007). Karakteristik tekstur keju rendah lemak dapat ditingkatkan dengan meningkatkan kelembaban dalam curd. Metode yang dapat dilakukan yaitu dengan meningkatkan kadar air termasuk manipulasi suhu pemanasan dan pengadukan (Banks et al. 1989), mencuci curd dan mengaduk curd (Johnson dan Chen 1995), atau mengaduk curd pada pH tinggi (Guinee et al. 1998). Bahan-bahan Pembuatan Keju Lunak Rendah Lemak Susu skim Susu terdiri dari 2 komponen yaitu susu skim dan susu krim. Susu skim atau sering disebut serum susu adalah susu yang tersisa setelah krim diambil 7 sebagian atau seluruhnya, mengandung banyak protein dan vitamin yang larut di dalam air. Sedangkan susu krim atau sering disebut kepala susu, adalah susu yang banyak mengandung lemak dan juga vitamin yang larut didalam lemak yakni vitamin A,D,E, dan K (Winarno 1993). Susu skim mengandung semua zat makanan dari susu kecuali lemak dan vitamin yang larut dalam lemak. Susu skim masih mengandung laktosa, protein, mineral, vitamin yang larut lemak dan vitamin yang larut air (B12). Kandungan gizi susu skim sama dengan susu segar, kecuali kandungan lemaknya, yaitu ±15%. Susu skim dapat digunakan oleh orang yang menginginkan nilai kalori yang rendah dalam makanannya karena mengandung 55% dari seluruh energi susu. Selain itu, susu skim juga dapat digunakan dalam pembuatan keju rendah lemak dan yogurt (Bucket et al. 1987). Emulsifier Emulsi adalah suatu sistem yang terdiri dari dua fase cairan yang tidak saling melarut, di mana salah satu cairan terdispersi dalam bentuk globulaglobula di dalam cairan lainnya. Cairan yang terpecah menjadi globula-globula dinamakan fase terdispersi, sedangkan cairan yang mengelilingi globula-globula dinamakan fase kontinyu atau medium dispersi. Emulsifier atau zat pengemulsi didefinisikan sebagai senyawa yang memiliki aktivitas permukaan sehingga dapat menurunkan tegangan permukaan antara udara-cairan dan caira-cairan yang terdapat pada suatu sistem makanan. Kemampuan menurunkan tegangan permukaan menjadi hal menarik karena emulsifier memiliki keunikan struktur kimia yang mampu menyatukan dua senyawa yang polaritasnya berbeda. Daya kerja emulsifier mampu menurunkan tegangan permukaan yang dicirikan oleh bagian lipofilik (non polar) dan hidrofilik (polar) yang terdapat pada struktur kimianya (Vaclavic 2008). Sorbitan Monostearate (Span-60). Menurut Igoe (2011), sorbitan monostearat merupakan emulsifier yang bersifat lipofilik dan merupakan sorbitan asam lemak ester, merupakan turunan sorbitol dari gliserol monostearat. Span60 merupakan senyawa non ionik yang terdispersi dalam minyak, dan biasa digunakan sebagai penambah kilauan di lapisan cokelat dan sering di kombinasi dengan polysorbates. Tingkat penggunaan berkisar dari 0,30- 0,70%. Polioksietilen Sorbitan (20) Monostearat (Tween-60). Polioksietilena (20) Sorbitan monostearat adalah emulsifier yang dihasilkan dengan mereaksikan asam stearat dengan sorbitol untuk menghasilkan produk yang 8 dapat direaksikan dengan etilen oksida, sehingga disebut polisorbat 60. Tween60 bersifat non ionik dan hidrofilik, biasa digunakan dalam topping sayuran karena ringan, pada pembuatan kue digunakan untuk meningkatkan volume, dan untuk meningkatkan stabilitas emulsi. Penggunaannya pada kisaran 0,10-0,40% (Igoe 2011). Glycerol Monostearate (GMS). Gliseril monostearat juga dikenal sebagai monostearin, merupakan campuran dari proporsi variabel monostearat gliseril, gliseril monopalmitate, dan ester gliseril dari asam lemak. GMS dikenal di masyarakat sebagai asam stearat. Gliseril monostearat dihasilkan dari glycerolysis lemak tertentu atau minyak yang berasal dari esterifikasi dengan gliserin dan asam stearat (Igoe 2011). Minyak Jagung (Corn Oil) Menurut Igoe (2011), minyak jagung adalah minyak yang berasal dari biji jagung yang mengandung asam lemak tak jenuh omega 6 (linoleat) dan omega 9 (oleat) 80-85% dari total asam lemak. Minyak jagung merupakan minyak goreng yang tahan terhadap ketengikan (stabil) karena adanya tokoferol yang larut dalam minyak. Tokoferol yang berada di dalam minyak jagung berfungsi melindungi minyak dari proses oksidasi. Minyak jagung mudah dicerna, menyediakan energi dan mengandung asam lemak esensial. Asam linoleat merupakan asam lemak esensial yang diperlukan untuk integritas kulit, membran sel, sistem kekebalan, dan untuk sintesis icosanoid. Icosanoid penting untuk fungsi-fungsi reproduksi, kardiovaskuler, ginjal, pencernaan dan ketahanan terhadap penyakit. Minyak jagung efektif dalam menurunkan kadar kolesterol darah. Hal ini karena minyak jagung mengandung Saturated Fatty Acid (SFA) rendah dan mengandung Polyunsaturated Fatty Acid (PUFA) tinggi. Konsumsi minyak jagung dapat mengganti SFA dengan PUFA, dan kombinasinya lebih efektif dalam menurunkan kolesterol dibandingkan dengan sekadar mengurangi konsumsi SFA (Subroto 2000). PUFA bermanfaat untuk menurunkan LDL (Low Density Lipoprotein), kolesterol yang bersifat atherogenik. Sebuah studi menunjukkan bahwa PUFA memiliki efek kecil terhadap HDL, kolesterol yang bersifat protektif terhadap resiko atherosclerosis (Lacono et al. 1993). Rekomendasi minimum untuk pencegahan penyakit jantung adalah dengan mengonsumsi makanan yang mengandung 8 - 10% minyak jagung dari kebutuhan energi (Subroto 2000). 9 Starter Streptococcus lactis Rahman et al. (1992), menyatakan bahwa bakteri asam laktat yang dapat digunakan pada pembuatan keju adalah Streptococcus, Leuconostoc, dan Lactobacilli, baik dalam bentuk tunggal maupun kombinasi. Starter yang biasa digunakan umumnya adalah Streptococcus lactis. Pemilihan bakteri pada proses pembuatan keju sangat penting, karena akan mempengaruhi tekstur dan flavor keju (Settani dan Moschetti 2010). Starter digunakan untuk memproduksi asam laktat saat fermentasi laktosa dan menurunkan pH. Streptococcus lactis optimum pada suhu 26-300C dan mati pada suhu 400C pada saat pembuatan keju. Streptococcus lactis juga berperan dalam pembentukan flavor pada saat pemeraman keju (Sheehan 2007). Eckles et al. (1980), menyatakan bahwa Streptococcus lactis merupakan bakteri asam laktat (BAL) yang membantu dalam koagulasi susu. Ditambahkan oleh Foster (1957), bahwa fungsi asam laktat dari S. lactis untuk membantu penyusutan kandungan whey pada curd, mencegah pertumbuhan bakteri yang tidak diinginkan, membantu penggabungan partikel-partikel dari curd, dan membantu kerja enzim proteolitik dari rennin (rennet). Speck (1980) menyatakan bahwa mikroorganisme seperti Streptococcus lactis dapat memperpanjang masa simpan keju, daging, dan berbagai produk makanan lainnya. Menurut Scott (1986), waktu yang diperlukan untuk mengasamkan susu dengan penambahan starter adalah 5-20 menit dengan jumlah starter berkisar antara 0,05-5% sesuai dengan jenis keju yang diinginkan. Probiotik Lactobacillus casei Probiotik adalah mikroorganisme hidup yang dikonsumsi untuk memperbaiki keseimbangan mikroflora dalam usus. Mikroorganisme yang biasa digunakan sebagai probiotik yaitu bakteri asam laktat (BAL), Lactobacilli (L. acidophilus, L. casei, L. plantarum, L. reuteri, L. rhamnosus, L. salivarus), Bifidobacteria (B. breve, B. longum, B. lactis), Bacillus (B. subtilis, B. cereus var toyoi), Enterococcus (E. faecium), dll (Anadon et al. 2010). Keju merupakan salah satu produk susu yang telah terbukti dapat memberikan hidup bakteri probiotik secara optimal. Hal ini dikarenakan keju mempunyai matriks yang padat, pH tinggi, kapasitas buffer, dan kandungan lemak yang dapat lebih efisien dalam melindungi bakteri dari lingkungan yang kurang menguntungkan (Da Cruz et al. 2009). 10 Ross et al. (2002) menyatakan bahwa kandungan probiotik dalam suatu produk menjadi pilihan utama konsumen. Hal tersebut dikarenakan adanya pertimbangan kesehatan. Probiotik dapat tumbuh secara optimal pada penyimpan minggu pertama dan kedua. Kalsium Klorida (CaCl2) Penambahan CaCl2 biasanya digunakan untuk membantu kerja rennet dalam mempercepat koagulasi dan pembentukan curd, dengan cara mengurangi waktu gelatinisasi rennet dan meningkatkan laju pembentukan curd. Pengaruh positif dari CaCl2 terhadap koagulasi rennet antara lain meningkatkan kadar ion Ca2+ dan ion H+ yang berpengaruh terhadap penurunan pH (Fox et al. 2000). Rennet Rennet adalah bahan bioaktif yang dapat diperoleh dari abomasum anak sapi yang masih menyusui, mengandung 6-12% pepsin dan 88-94% khimosin. Sedangkan ekstrak rennet yang diperoleh dari abomasum anak sapi yang lebih tua atau telah memakan pakan lain, mengandung 6-12% enzim khimosin dan 8894% pepsin (Scott 1986). Bailey dan Ollis (1988) serta McSweeney (2007), menyatakan bahwa sumber enzim protease selain dari ternak juga dapat diperoleh dari tanaman (getah dan sari buah), yeast, kapang dan bakteri. Proses Pembuatan Keju Lunak Rendah Lemak Separasi susu Pembuatan keju lunak rendah lemak memerlukan susu yang mempunyai kadar lemak yang rendah. Proses separasi diperlukan untuk mengurangi atau menghilangkan kadar lemak susu. Menurut Eckles et al. (1980), separasi susu merupakan suatu proses pemisahan krim dari susu berlemak penuh. Proses ini dapat terjadi karena perbedaan berat jenis antara lemak susu atau krim dengan serum susu atau skim. Susu skim mempunyai berat jenis 1,036, sedangkan lemak susu 0,930. Alat yang digunakan dalam separasi susu adalah krim separator. Pasteurisasi susu Tahap pertama pada pembuatan keju adalah pasteurisasi. Pasteurisasi bertujuan untuk mematikan semua organisme yang bersifat patogen dan sebagian yang ada sehingga tidak merubah cita rasa maupun komposisi susu (Adnan 1984). Menurut Meyer (1982), terdapat dua metode dalam melakukan pasteurisasi, yaitu : 1) memanaskan pada suhu 61-65oC selama 30 menit, 2) memanaskan susu pada suhu 71 oC selama 15 detik. Dalam SNI 01-3951-1995, 11 susu segar, susu rekonstruksi, susu modifikasi serta susu rekombinasi dipasteurisasi pada temperatur 63-66oC selama minimum 30 menit atau pada temperatur 72oC selama 15 detik (BSN 1995). Penambahan starter Setelah pasteurisasi, susu didinginkan sampai suhu 40-45oC dan diasamkan dari pH 6,7 menjadi 5,7 dengan menambahkan kultur Bakteri Asam Laktat (BAL). Pengasaman bertujuan agar aktivitas rennet menjadi optimal dan mempercepat kenaikan koagulasi sampai 6 kali lipat (Murti 2004). Menurut Foster (1957), kultur yang dapat digunakan adalah Steptococcus lactis ditambahkan pada suhu 37±0,5oC. Bakteri asam laktat mempunyai peranan penting pada pembuatan keju, beberapa spesimen berpartisipasi pada proses fermentasi dan yang lainnya terlibat dalam pematangan keju. Starter bakteri asam laktat berfungsi dalam proses fermentasi laktosa sedangkan non-starter bakteri asam laktat berperan dalam proses pematangan keju (Fox et al. 2004). Menurut Gobbetti et al. (2002), Lactobacillus casei merupakan non-starter bakteri asam laktat. Penggumpalan (koagulasi/pembentukan dadih) Penggumpalan bertujuan untuk menggumpalkan protein susu. Penggumpalan merupakan hasil dari proses fermentasi yang berasal dari kinerja rennet, bakteri asam laktat atau melalui perpaduan rennet dan bakteri asam laktat (Eckles 1980). Menurut McSweeney (2007), rennet pada pembuatan keju berfungsi untuk mengkoagulasi protein susu, terutama kasein. Koagulasi ini berfungsi untuk membentuk curd keju. Penggumpalan juga dapat dibantu dengan menambahkan kalsium klorida. Menurut Gastaldi et al. (1994), CaCl2 akan membantu pembentukan struktur misel dan menghasilkan curd yang lebih mudah dipisahkan whey-nya. Scott (1986) menambahkan, penambahan garam kalsium harus tepat jumlahnya sebab jika berlebihan maka akan diproleh curd yang keras, terbentuk rasa pahit serta tekstur yang kasar. Pembentukan dadih atau curd dapat terjadi setelah 30 menit penambahan rennet (Rahman et al. 1992). Temperatur yang sesuai untuk penggumpalan kurang lebih pada suhu 37 oC (Hadiwiyoto 1983). Setelah terjadi proses penggumpalan maka dilakukan pemotongan (cutting). Pengaliran cairan whey Fenomena keluarnya whey atau laktoserum dikenal juga dengan eggoutatage. Pengaliran cairan whey dimaksudkan untuk memisahkan curd dan 12 whey serta mengurangi kandungan air yang terdapat dalam curd. Tujuan pengaliran cairan whey untuk memudahkan pengepresan keju sehingga diperoleh keju sesuai dengan keinginan. Sebelum pemisahan whey, curd dipotong terlebih dahulu dengan tujuan untuk membentuk ukuran curd menjadi lebih kecil dan menyeragamkan partikel, sehingga whey lebih mudah keluar, meningkatkan luas permukaan curd dan tekstur curd menjadi lebih keras. Pemotongan curd umumnya dilakukan dengan menggunakan pisau atau harpa, dengan cara memotong curd menjadi kubus-kubus berukuran 0,46-1,84 cm3 (Daulay 1991). Pemisahan whey dapat dilakukan dengan mengalirkan whey melalui saringan metal pada tangki pembuatan keju (Rahman et al. 1992). Menurut Hadiwiyoto (1983), penyaringan bisa dilakukan dengan kain bersih. Proses pemisahan whey dapat dipacu dengan peningkatan suhu (sekitar 40 oC untuk Cheddar dan 34oC untuk Gouda) dan proses ini sering disebut dengan scalding atau cooking. Proses ini menyebabkan matriks protein mengecil dan mengeras sehingga membantu pemisahan whey. Whey yang terpisahkan biasanya masih mengandung laktosa dan garam kecuali ion Ca 2+ yang masih tersisa di dalam matriks protein. Besarnya kandungan laktosa dan garam yang tersisa pada keju sebanding dengan besarnya kandungan air pada koagulan. Kandungan laktosa tersisa pada keju sangat berpengaruh terhadap keasaman dan kekerasan keju (Widodo 2003). Penggaraman Proses penggaraman sering dilakukan ketika curd akan dipres. Penggaraman keju dapat dilakukan dengan menaburkan kristal garam pada permukaan curd secara manual/mekanis atau mencelupkan keju yang telah dipres ke dalam larutan garam. Garam yang ditambahkan berkisar antara 2-6% dari berat total curd agar keju mempunyai rasa asin. Tujuan penggaraman keju adalah untuk meningkatkan cita rasa, tekstur, menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk, meningkatkan sineresis/pemisahan whey, dan mengurangi kadar air sehingga menjadi penentu kadar air produk akhir keju (Daulay 1991). Pemadatan/pengepresan Tujuan utama pengepresan adalah pembentukan partikel–partikel dadih yang masih longgar menjadi massa yang cukup kompak, serta mengeluarkan whey bebas yang tersisa (Daulay 1991). Menurut Rahman et al. (1992), 13 pengepresan menyebabkan karakteristik bentuk yang khas, tekstur yang kompak, serta menyempurnakan jaringan curd. Beberapa keju membutuhkan pengepresan dengan tekanan 40-150 Kpa atau dengan beban seberat 0,4–1,5 Kg/cm2 (Murti 2004). Berg (1988), menambahkan bahwa pengepresan keju bertujuan untuk memberikan bentuk pada keju, memisahkan whey dari curd, menjadikan curd lebih padat dan agar keju memiliki struktur yang homogen terutama jika partikel curd sangat kering sebelum dipres. Pemeraman/pemasakan Pemeraman dilakukan untuk menyempurnakan sebagian proses pembuatan keju, karena pada saat proses pemeraman akan memberikan kesempatan pada mikroba, serta enzim melakukan aktivitasnya (Rahman et al. 1992). Lebih lanjut dijelaskan bahwa pemeraman pada suhu 4 oC memungkinkan terjadinya penguraian lemak, protein, dan karbohidrat sehingga terbentuk flavour, tekstur dan kenampakan yang khas dan spesifik terutama untuk keju yang digumpalkan menggunakan rennet (Daulay 1991). Pengemasan Makanan Pengemasan merupakan bagian integral pada pengolahan makanan modern. Peran pengemas semakin meningkat secara signifikan pada industri makanan seiring dengan bertambah luasnya kegiatan pengolahan, pemakaian, dan pemasaran produk makanan. Pengemasan makanan didefinisikan sebagai suatu sistem industri dan marketing yang terkoordinasi untuk memasukan makanan ke dalam sebuah wadah dengan tujuan untuk mewadahi produk, melindungi dan mengawetkan, memberikan identitas produk, sebagai sarana informasi dan komunikasi, serta memberi kenyamanan konsumen (Robertson 1993). Pengertian umum dari kemasan adalah suatu benda yang digunakan untuk wadah atau tempat yang dapat memberikan perlindungan sesuai dengan tujuannya (Syarief et al. 1989). Suatu pengemasan yang baik dapat menyediakan keamanan dan menjaga kualitas produk makanan sehingga dapat dijangkau oleh konsumen dengan biaya yang minimal. Pengemasan yang sempurna dilakukan untuk mempertahankan mutu dari suatu produk. Pengemasan terhadap produk bertujuan untuk melindungi produk dari pengaruh oksidasi dan mencegah terjadinya kontaminasi dengan udara luar. Hasil pengolahan dapat dikendalikan dengan pengemasan, termasuk pengendalian cahaya, konsentrasi oksigen, kelembaban, kadar air, perpindahan panas, kontaminasi serta serangan makhluk hayati (Buckle et al. 1987). 14 Kerusakan yang disebabkan oleh lingkungan dapat dikontrol dengan pengemasan. Pengemasan merupakan salah satu cara dalam memberikan kondisi yang tepat bagi bahan pangan untuk menunda proses kimia dalam jangka waktu yang diinginkan (Buckel et al. 1987). Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pengemasan bahan pangan adalah sifat bahan pangan, keadaan lingkungan dan sifat bahan kemasan. Gangguan yang paling umum terjadi pada bahan pangan adalah kehilangan atau perubahan kadar air, pengaruh gas, cahaya, serta kehilangan atau penambahan citarasa yang tidak diinginkan. Sebagai akibat perubahan kadar air pada produk, akan timbul jamur dan bakteri, pengerasan pada bubuk, dan pelunakan pada produk kering (Syarief et al. 1989). Bahan pangan mempunyai sifat yang berbeda-beda dalam kepekaannya terhadap penyerapan atau pengeluaran gas (udara dan uap air). Bahan kering harus dilindungi dari penyerapan air dan oksigen dengan cara menggunakan bahan pengemas yang mempunyai daya tembus rendah terhadap gas tersebut (Purnomo dan Adiono 1987). Salah satu sifat bahan kemasan yang sangat penting dan berhubungan dengan kerusakan produk yang dikemas adalah permeabilitas kemasan. Permeabilitas merupakan transfer molekul air atau gas melalui kemasan, baik dari dalam kemasan ke lingkungan atau sebaliknya. Kerusakan mutu produk kering terutama berkaitan dengan permeabilitas uap air karena penyerapan uap air selama penyimpanan dapat menurunkan mutu produk pangan kering tersebut, misalnya menurunnya tingkat kerenyahan produk (Eskin dan Robinson 2001). Definisi densitas adalah berat persatuan volume. Pengukuran densitas penting untuk mengetahui kemampuan umum suatu kemasan dalam melindungi produk dari air, oksigen, karbondioksida, dan gas-gas lainnya. Densitas yang rendah menunjukan bahwa kemasan tersebut mudah ditembus fluida. Aplikasi dari hal tersebut yaitu dapat dilihat kemampuan plastik dalam melindungi produk dari beberapa zat seperti air, O 2 dan CO2. Plastik dengan densitas yang rendah menandakan bahwa plastik tersebut memiliki struktur yang terbuka, artinya mudah atau dapat ditembusi fluida seperti air, oksigen atau CO 2. Jadi tidak seperti pada kertas, nilai densitas plastik sangat penting dalam menentukan sifatsifat plastik yang berhubungan dengan pemakaiannya (Bierley et al. 1988). 15 Penggunaan plastik sebagai bahan pengemas mempunyai keunggulan dibanding bahan kemasan lain karena sifatnya yang ringan, transparan, kuat, termoplastis dan selektif dalam permeabilitasnya terhadap uap air, O2, CO2. Sifat permeabilitas plastik terhadap uap air dan udara menyebabkan plastik mampu berperan memodifikasi ruang kemas selama penyimpanan (Winarno 2002). Jenis-jenis Kemasan dalam Pengemasan Keju Aluminium foil Bahan pengemas dari aluminium banyak diaplikasikan sebagai bahan kaleng, bahan pengemas yang agak kaku dan bahan pengemas yang fleksibel. Contoh bahan pengemas dari aluminium yang fleksibel adalah aluminium foil. Bahan pengemas dari aluminium foil memiliki kelebihan karena bersifat impermeable (tidak dapat ditembus) oleh cahaya, gas, air, bau dan bahan pelarut yang tidak dimiliki oleh bahan pengemas fleksibel lainnya. Aluminium foil banyak digunakan untuk mengemas produk coklat, bahan-bahan bakery, produk olahan susu, keripik dan lain-lain (Dwiari 2008). Aluminium foil adalah bahan kemasan berupa lembaran logam aluminum yang padat dan tipis dengan ketebalan <0,15 mm. Ketebalan aluminium foil menentukan sifat protektifnya. Jika kurang tebal, maka foil tersebut dapat dilalui oleh gas dan uap. Foil dengan ukuran 0,009 mm biasanya digunakan untuk permen dan susu, sedangkan foil dengan ukuran 0.05 mm digunakan sebagai tutup botol multitrip (Dwiari 2008). Sifat-sifat dari aluminium foil adalah hermetis (tahan uap dan gas), fleksibel, tidak tembus cahaya sehingga dapat digunakan untuk mengemas bahan-bahan yang berlemak dan bahan-bahan yang peka terhadap cahaya seperti margarin dan yoghurt (Syarief et al. 1989). Menurut Syarief et al. (1989), berbagai makanan yang dibungkus dengan alumunium foil menunjukkan bahwa produk-produk makanan tersebut cukup baik dan tahan terhadap alumunium dengan resiko pengkaratan yang kecil. Kemasan alumunium untuk produk susu biasanya memerlukan lapisan pelindung. Laminasi alumunium pada pengemasan keju terutama untuk mencegah pengurangan air, menjaga penampakan, pelindung dari jasad renik dan juga mencegah masuknya oksigen. Plastik polipropilen (PP) Plastik merupakan bahan kemasan yang penting pada industri pengemasan. Kelebihan plastik dibandingkan dengan kemasan lain adalah harganya yang relatif murah, dapat dibentuk dalam berbagai rupa serta 16 mengurangi biaya transportasi (Hanlon 1971). Bahan pembuat plastik dari minyak dan gas sebagai sumber alami, dalam perkembangannya digantikan oleh bahan-bahan sintetis sehingga dapat diperoleh sifat-sifat plastik yang diinginkan dengan cara kopolimerisasi, laminasi, dan ekstruksi (Syarief et al. 1989). Komponen utama plastik sebelum membentuk polimer adalah monomer, yakni rantai yang paling pendek. Polimer merupakan gabungan dari beberapa monomer yang akan membentuk rantai yang sangat panjang. Bila rantai tersebut dikelompokkan bersamasama dalam suatu pola acak, menyerupai tumpukan jerami maka disebut amorp, jika teratur hampir sejajar disebut kristalin dengan sifat yang lebih keras dan tegar (Syarief et al. 1988). Polipropilen memiliki sifat-sifat penggunaan yang sangat mirip dengan polietilen (Brody 1972). Polipropilen lebih kuat dan ringan dengan daya tembus uap yang rendah, ketahanan yang baik terhadap lemak, stabil terhadap suhu tinggi dan cukup mengkilap (Winarno dan Jenie 1983). Polipropilen bersifat hidrofob, tahan korosi, dan dibuat dari bahan baku yang murah dan mudah diperoleh. PP mempunyai sifat tidak bereaksi dengan bahan, dapat mengurangi kontak bahan dengan oksigen, tidak menimbulkan racun, dan mampu melindungi bahan dari kontaminan. Polipropilen lebih mudah terurai karena memiliki gugus CH3 pada rantai percabangannya (Sudirman et al. 2001). Polipropilen termasuk jenis plastik oleolefin dan merupakan polimer dari propilen. Menurut Syarief (1989), sifat-sifat umum dari propilen adalah memiliki permeabilitas uap air yang rendah, permeabilitas gas sedang, tidak baik untuk makanan yang peka terhadap O 2, tahan terhadap suhu tinggi sampai dengan 150oC sehingga dapat dipakai untuk makanan yang disterilisasi, titik leburnya tinggi, tahan terhadap asam kuat, basa, dan minyak, baik untuk kemasan sari buah dan minyak, ringan, kaku, densitasnya 0,9 g/cm3, mudah dibentuk, dan rapuh pada suhu beku. (Buckle et al. 1987). Syarief et al, (1989) menambahkan, bahwa polipropilen memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap minyak, lemak dan pelarut dibandingkan dengan polietilen. Selain itu, film polipropilen lebih keras dan bersih dari polietilen, mencair, dan kering pada saat pembakaran. Plastik polietilen (PE) Polietilen merupakan film yang lunak, transparan dan fleksibel, mempunyai kekuatan benturan serta kekuatan sobek yang baik. Melalui pemanasan akan menjadi lunak dan mencair pada suhu 110 oC. Berdasarkan sifat permeabilitasnya yang rendah serta sifat-sifat mekaniknya yang baik, 17 polietilen banyak digunakan sebagai pengemas makanan dengan kisaran ketebalan 0.001 sampai 0.01 inchi. Karena sifatnya yang thermoplastik, polietilen mudah dibuat kantung dengan derajat kerapatan yang baik (Sacharow dan Griffin 1980). Jenis plastik polietilen paling banyak digunakan dalam industri, karena memiliki sifat mudah dibentuk, tahan bahan kimia, jernih dan mudah dilaminasi. PE banyak digunakan untuk mengemas buah-buahan dan sayuran segar, roti, produk pangan beku dan tekstil. Menurut Syarief et al. (1989), polietilen memiliki sifat penampakan bervariasi, dari transparan hingga keruh, mudah dibentuk, lemas dan mudah ditarik, daya rentang tinggi tanpa sobek, meleleh pada suhu 120oC, sehingga banyak digunakan untuk laminasi dengan bahan lain; tidak cocok untuk digunakan mengemas bahan berlemak atau mengandung minyak; tidak cocok untuk mengemas produk beraroma karena transmisi gas cukup tinggi; tahan terhadap asam, basa, alkohol dan deterjen; kedap air dan uap air. Berdasarkan sifat kedap air dan uap air, plastik polietilen terdiri dari HDPE (high-density polyethylene), MDPE (medium-density polyethylene), LDPE (low-density polyethylene) dan LLDPE (linier low-density polyethylene). LDPE adalah jenis yang paling umum digunakan dan merupakan material plastik yang cukup murah. LDPE memiliki sifat kedap air, namun kurang kedap terhadap oksigen, fleksibel, dan mudah diregangkan. LLDPE umumnya lebih kuat dibandingkan dengan LDPE, lebih stabil pada suhu rendah maupun tinggi, lebih tahan terhadap bahan kimia, dan tidak mudah rusak. HDPE memiliki titik lunak, maupun sifat-sifat lainnya yang lebih tinggi dibandingkan LDPE, lebih kuat, tebal, jernih, dan lebih sulit meleleh. LDPE mempunyai densitas antara 0,915 - 0,939 g/cm3, sedangkan HDPE mempunyai densitas sebesar > 0,940 g/cm3 (Robertson 1993). Edible coating Edible coating memiliki fungsi yang sama seperti material kemasan lainnya (mengatur kelembaban, pelindung dari oksigen, dan mengurangi kehilangan rasa dan aroma). Kemasan edible coating memiliki beberapa kelebihan: (1) dibuat dari bahan-bahan alami serta mengurangi zat sisa maupun polusi; (2) meningkatkan mutu organoleptik, fisik dan kandungan gizi pada produk tersebut; (3) tetap memberikan perlindungan walaupun kemasan telah dibuka; dan (4) menyediakan perlindungan untuk makanan yang ukurannya kecil (Labuza dan Breene 1989). 18 Edible coating dapat diklasifikasikan menurut bahan dasar pembentuknya, yaitu polisakarida, protein, lemak dan kombinasi dari bahanhahan tersebut (Krochta et al. 1994). Lapisan yang berbahan dasar polisakarida secara umum memiliki perlindungan yang buruk terhadap kadar air. Hal ini mengacu pada sifat alami polisakarida yaitu hidrofilik. Pada kelembaban tinggi, bahan ini merupakan pelindung oksigen yang buruk. Lapisan berbahan dasar polisakarida biasa digunakan untuk menghambat proses pematangan buah klimaterik tanpa harus membuat kondisi anaerobik. Aplikasi edible coating pada produk makanan dengan cara mencelupkan produk kedalam larutan bahan pelapis (polisakarida, protein atau lemak), menyemprotkan larutan bahan pelapis ke seluruh permukaan produk, atau dengan membungkusnya (Smith dan Hui 2004). Lapisan yang berbahan dasar protein secara umum terbuat dari gelatin, protein susu, kasein, protein jagung, gluten gandum, dan protein kedelai. Bahan ini merupakan pelindung oksigen yang lebih baik dibandingkan dengan lapisan polisakarida, dan juga dapat menambah nilai gizi produk tersebut. Lapisan berbahan dasar lemak secara umum digunakan untuk mencegah kehilangan berat pada buah dan sayuran. Kebanyakan lapisan berbahan dasar lemak kurang memiliki integritas dan ketahanan dalam membentuk suatu lapisan, maka lapisan tersebut digunakan dengan cara dikombinasikan dengan lapisan polisakarida dan lapisan protein. Lapisan kombinasi ini dibentuk dengan tujuan menggabungkan kelebihan dari tiap-tiap komponen, serta meminimalisasi kelemahan dari masing-masing lapisan. Zat antimikroba, vitamin, antioksidan, dan zat perasa dapat ditambahkan untuk memodifikasi fungsi dari pelapisan tersebut (Krochta et al. 1994). Tidak banyak informasi yang tersedia mengenai edible coating pada keju. Pelapis berbasis polisakarida dapat digunakan untuk menambah masa simpan buah dan sayuran dengan cara menghambat respirasi. Karagenan merupakan polimer larut air yang berpotensi sebagai pelapis makanan. Kegunaan karagenan sebagai edible coating telah banyak digunakan pada berbagai bidang industri makanan seperti aplikasinya pada daging beku dan segar, unggas dan ikan untuk mencegah dehidrasi, makanan kering dan makanan yang berlemak. Selain mudah didapat, karagenan juga dapat meningkatkan ketahanan melawan pertumbuhan mikroorganisme yang biasa tumbuh di permukaan makanan (Kampf & Nussinovitch 2000). 19 Penyimpanan Makanan Selama penyimpanan, parameter mutu yang meliputi karakteristik fisiko kimia, mikrobiologi dan organoleptik, akan mengalami perubahan. Hal ini terjadi sebagai akibat pengaruh lingkungan, seperti suhu, kelembaban dan tekanan udara atau komposisi bahan makanan. Suhu penyimpanan produk pangan akan mempengaruhi jenis bakteri yang mungkin berkembang dan menyebabkan kerusakan. Suhu rendah sering digunakan untuk memperlambat kecepatan perkembangbiakan bakteri (Buckle et al. 1987). Faktor-faktor yang menyebabkan kerusakan pada makanan selama penyimpanan adalah (1) iklim, mempengaruhi fisik dan komposisi kimia makanan (sinar UV, kelembaban, oksigen, suhu); (2) kontaminasi (mikroorganisme, serangga); (3) kerusakan mekanik (benturan, goncangan atau pengikisan); (4) pencurian, pengrusakan, atau pencemaran (Fellows dan Axtell 1993). Kelembaban dan suhu ruang merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada proses penyimpanan. Kelembaban berperan dalam menentukan mutu bahan dan proses kerusakan selama penyimpanan. Kadar air suatu bahan akan meningkat bila disimpan pada ruangan dengan kelembaban yang tinggi. Kadar air yang tinggi akan membantu pertumbuhan mikroorganisme dan mengakibatkan terjadinya penurunan mutu produk. Bahan yang disimpan akan menyerap uap air dari udara atau melepaskannya sampai tekanan uap air dalam bahan sama dengan tekanan uap air udara ruang penyimpanan. Setiap bahan mempunyai keseimbangan kadar air tertentu yang dipengaruhi oleh komposisi kimia bahan tersebut (Nathanson 1997). Penggunaan suhu rendah dapat dilakukan untuk menghambat atau mencegah reaksi-reaksi kimia, reaksi enzimatis atau pertumbuhan mikroba. Semakin rendah suhu penyimpanan, maka akan memperlambat proses tersebut. Penggunaan suhu rendah dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu : (1) penyimpanan sejuk; (2) pendinginan; dan (3) penyimpanan beku. Penyimpanan sejuk biasanya dilakukan pada suhu sedikit dibawah suhu kamar dan tidak lebih rendah dari 15oC (Winarno dan Jenie 1983). Pendinginan adalah penyimpanan o bahan pangan di atas suhu o pembekuan yaitu antara -2 C hingga 10 C. Suhu pendinginan yang biasa dilakukan sehari-hari dalam lemari es pada umumnya mencapai 5-8oC. Pendinginan dapat memperlambat kecepatan reaksi metabolisme, karena itu penyimpanan bahan pangan pada suhu rendah dapat memperpanjang masa 20 hidup dari jaringan-jaringan di dalam bahan pangan. Hal ini disebabkan oleh kecepatan respirasi menurun, dan juga pertumbuhan mikroba penyebab kebusukan dan kerusakan dapat dihambat (Fardiaz 1982). Pengaruh suhu terhadap pertumbuhan mikroorganisme disebabkan suhu mempengaruhi aktivitas enzim yang mengkatalisasi reaksi-reaksi biokimia dalam sel mikroorganisme. Keaktifan enzim dalam sel menurun dengan semakin rendahnya suhu di bawah suhu optimum, mengakibatkan pertumbuhan sel terhambat. Pada suhu pembekuan, semua keaktifan metabolisme juga akan terhenti. Enzim terhenti juga karena semua sel kekurangan cairan di sekelilingnya yang digunakan untuk menyerap zat makanan dan mengeluarkan sisa metabolisme yang mengakibatkan pertumbuhan sel terhenti sama sekali (Fardiaz 1982). Walaupun suhu pendinginan dapat menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba, atau mungkin membunuh beberapa bakteri, namun tidak dapat digunakan untuk membunuh semua bakteri (Winarno dan Fardiaz 1980). Penggunaan suhu rendah yang tepat dapat menghambat : (a) respirasi dan kegiatan metabolik lainnya; (b) penuaan karena pematangan, pelunakan, perubahan tekstur dan warna; (c) kehilangan air; (d) kerusakan yang disebabkan bakteri, jamur, dan khamir; (e) pertumbuhan yang tidak diinginkan; (f) perubahan rasa dan bau (Pantastico 1987). Umur Simpan Makanan Institute of Food Technologist (IFT) dalam Arpah (2001), mendefinisikan umur simpan produk pangan sebagai selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi, sedangkan National Food Prosessor Association mendefinisikan umur simpan sebagai kualitas produk secara umum yang dapat diterima untuk tujuan seperti yang diinginkan oleh konsumen dan selama bahan pengemas masih memiliki integritas serta memproteksi isi kemasan (Arpah 2001). Menurut Syarief dan Halid (1993), hasil atau akibat dari berbagai reaksi kimiawi yang terjadi pada produk pangan bersifat akumulatif dan irreversible selama penyimpanan, sehingga pada saat tertentu hasil reaksi tersebut mengakibatkan mutu pangan tidak dapat diterima lagi. Jangka waktu akumulasi hasil reaksi yang mengakibatkan mutu pangan tidak lagi dapat diterima disebut sebagai jangka waktu kadaluwarsa. Bahan pangan disebut rusak apabila bahan pangan tersebut telah kadaluwarsa, yaitu telah melampaui masa 21 simpan optimum dan pada umumnya mutu gizi pangan tersebut menurun walaupun penampakannya masih bagus. Faktor yang sangat berpengaruh terhadap penurunan mutu produk pangan adalah perubahan kadar air dalam produk. Kandungan air dalam bahan pangan, selain mempengaruhi terjadinya perubahan fisik juga ikut menentukan kandungan mikroba pada pangan. Selain kadar air, kerusakan produk pangan juga disebabkan oleh ketengikan akibat terjadinya oksidasi atau hidrolisis komponen bahan pangan. Tingkat kerusakan tersebut dapat diketahui melalui analisis tio barbituric acid (TBA). Kerusakan lemak selain menaikkan nilai peroksida juga meningkatkan kandungan malonaldehida. Malonaldehida merupakan suatu bentuk aldehida yang berasal dari degradasi lemak. Malonaldehida yang terkandung pada suatu bahan pangan diukur sebagai angka TBA (Arpah 2001). Kandungan mikroba, selain mempengaruhi mutu produk pangan juga menentukan keamanan produk tersebut saat dikonsumsi. Pertumbuhan mikroba pada produk pangan dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik mencakup keasaman (pH), aktivitas air (aw), equilibrium humidity (Eh), kandungan nutrisi, struktur biologis, dan kandungan antimikroba. Faktor ekstrinsik meliputi suhu penyimpanan, kelembapan relatif, serta jenis dan jumlah gas pada lingkungan (Arpah 2001). Pendugaan Umur Simpan Penentuan umur simpan secara umum adalah penanganan suatu produk dalam suatu kondisi yang dikehendaki dan dipantau setiap waktu sampai produk tersebut menjadi rusak (Spiegel 1992). Penentuan umur simpan sangat penting dalam proses penyimpanan. Oleh karena itu, dalam menentukan umur simpan suatu produk pangan perlu dilakukan pengukuran terhadap atribut-atribut mutu produk tersebut. Menurut Syarief et al. (1989) faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan produk pangan yang dikemas antara lain kondisi atmosfer (terutama suhu dan kelembaban), sifat bahan pangan tersebut serta ukuran dan kekuatan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas, dan bau, termasuk perekat, penutupan, dan bagian bagian lain yang terlipat. Jenis parameter atau atribut mutu yang diuji tergantung pada jenis produknya, misalnya untuk produk yang berlemak, maka parameter yang diukur biasanya berupa derajat ketengikan; produk yang disimpan dalam bentuk beku atau dalam kondisi dingin parameternya berupa pertumbuhan 22 mikroba; dan untuk produk berwujud bubuk, cair, atau kering parameter yang diukur adalah kadar airnya. Pengujian untuk satu produk, dilakukan bukan pada semua parameternya, melainkan hanya salah satu saja, yaitu parameter yang paling cepat mempengaruhi penerimaan konsumen (Syarief et al. 1989). Sistem penentuan umur simpan secara konvensional membutuhkan waktu yang lama. Penetapan kadaluwarsa dengan metode konvensional atau biasa disebut sebagai metode ESS (Extended Storage Studies) dilakukan dengan cara menyimpan suatu seri sampel produk pada kondisi normal sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya hingga mencapai mutu yang telah kadaluwarsa. Untuk mempercepat waktu penentuan umur simpan tersebut maka digunakan metode ASLT (Accelerated Shelf Life Testing) atau dikenal dengan sebutan metode akselerasi. Pada metode ini, kondisi penyimpanan diatur di luar kondisi normal sehingga produk dapat lebih cepat rusak dan penentuan umur simpan dapat ditentukan (Arpah dan Syarief 2000). Selain itu, penggunaan metode akselerasi harus disesuaikan dengan keadaan dan faktor yang mempercepat kerusakan produk yang bersangkutan (Ellis 1994). Tahapan penentuan umur simpan dengan ASLT meliputi penetapan parameter kriteria kedaluwarsa, pemilihan jenis/ tipe pengemas, penentuan suhu untuk pengujian, prakiraan waktu dan frekuensi pengambilan contoh, plotting data sesuai ordo reaksi, analisis sesuai suhu penyimpanan, dan analisis pendugaan umur simpan sesuai batas akhir penurunan mutu yang dapat ditolerir. Selanjutnya, pendugaan umur simpan dengan metode akselerasi dihitung dengan menggunakan persamaan Arrhenius. Dalam model Arrhenius merupakan faktor yang berpengaruh terhadap produk ini, suhu pangan. Semakin tinggi suhu maka semakin tinggi pula laju berbagai senyawa kimia dan semakin mempercepat terjadinya penurunan mutu produk (Hariyadi dan Andarwulan 2006). Perhitungan energi aktivasi juga penting dalam menentukan umur simpan suatu produk. Energi aktivasi adalah energi kinetik minimum yang harus dicapai agar reaksi kimia dapat berjalan. Energi aktivasi bisa juga diartikan sebagai energi minimum yang dibutuhkan agar reaksi kimia tertentu dapat terjadi. Energi aktivasi sebuah reaksi biasanya dilambangkan sebagai Ea, dengan satuan kilo joule per mol (KJ/mol). Energi ini dibagi menjadi tiga golongan, yaitu energi aktivasi rendah (2-15 Kal/mol), energi aktivasi sedang (15-30 Kal/mol), dan energi aktivasi tinggi (50-100 Kal/mol). Semakin tinggi energi aktivasi, maka 23 semakin sulit suatu reaksi kimia dapat dicapai. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah energi aktivasi, semakin mudah reaksi kimia dapat dicapai, maka semakin cepat suatu produk mengalami penurunan mutu. Menurut Kusnandar (2006), produk pangan yang dapat ditentukan umur simpannya dengan model Arrhenius adalah makanan kaleng steril komersial, susu UHT, susu bubuk/formula, produk chip/snack, jus buah, mi instan, frozen meat, dan produk pangan lain yang mengandung lemak tinggi (berpotensi terjadinya oksidasi lemak) atau yang mengandung gula pereduksi dan protein (berpotensi terjadinya reaksi kecoklatan). Labuza (1982), reaksi penurunan mutu pada kebanyakan produk pangan mengikuti ordo reaksi nol dan satu serta hanya sedikit yang mengikuti ordo reaksi lain. Tipe kerusakan yang tergolong dalam reaksi ordo nol menurut Labuza (1982) diantaranya (1) degradasi enzimatis, misalnya pada buah dan sayuran segar serta beberapa pangan beku; (2) browning non enzimatis, misalnya pada biji-bijian kering, produk susu kering; dan (3) oksidasi lemak, misalnya peningkatan ketengikan pada snack, makanan kering dan pangan beku. Tipe kerusakan bahan pangan yang termasuk dalam reaksi ordo satu diantaranya ketengikan, misalnya pada minyak salad dan sayuran kering; (2) pertumbuhan mikroorganisme pada ikan dan daging, serta kematian mikoorganisme akibat perlakuan panas; (3) produksi off flavor oleh mikroba; (4) kerusakan vitamin dalam makanan kaleng dan makanan kering; dan (5) kehilangan mutu protein (makanan kering) (Labuza 1982). Jika pada reaksi ordo nol persentase kehilangan masa simpan per hari bersifat konstan pada suhu tetap, maka pada reaksi ordo satu penurunan mutu terjadi secara eksponensial.