54 6 PEMBAHASAN UMUM Lebah madu telah dikenal sejak zaman

advertisement
54
6
PEMBAHASAN UMUM
Lebah madu telah dikenal sejak zaman dahulu kala. Menurut catatan
Kuropatnicki et al. (2013), publikasi ilmiah tentang propolis telah diterbitkan pada
tahun 1928, namun sejarah telah mencatat bahwa peran lebah madu dan produk
lainnya dikenal sejak 13000 sebelum Masehi. Sarang lebah merupakan bahan
baku yang potensial untuk memperoleh propolis, karena mengandung bahan aktif
yang sangat banyak dibandingkan dengan sarang lebah sisa pemerasan madu
lebah. Kadar bahan aktif dari propolis sangat beragam bergantung pada asal
sarang lebah yang dipengaruhi oleh tanaman di sekitar sarang, musim panen dan
lokasi sarang lebah. Dengan menggunakan alat yang sama, pelarut yang sama dan
metode ekstraksi yang sama diharapkan dapat dibedakan satu propolis dengan
propolis lainnya karena hasil yang diperoleh terdapat perbedaan baik berupa
kandungan bahan kimia maupun aktivitasnya. Hal ini sesuai dengan tujuan
penelitian penapisan sarang lebah sebagai bahan untuk menghasilkan propolis
sebagai bahan antikanker yang digunakan pada penelitian lanjutan. Namun, bila
akan dijadikan standar propolis secara keseluruhan maka harus dilakukan
pemilihan metode ekstraksi dan pengujian terhadap propolis yang sesuai dengan
karakter dan sifat sarang lebah masing masing lokasi yang berbeda.
Dengan menggunakan alat, pelarut (konsentrasi dan jumlah) dan metode
yang sama dilakukan ekstraksi terhadap sarang lebah dan pengujian propolis
sebagai bahan antikanker yang berasal dari lima lokasi di Indonesia (Bab 3)
ditentukan sarang lebah dari Pandeglang untuk dilanjutkan pada penelitian
selanjutnya (Bab 4 dan 5).
Dengan menggunakan alat, pelarut (konsentrasi dan jenis pelarut) dan
metode pengujian yang sama dilakukan ekstraksi terhadap sarang lebah dan
pengujian propolis sebagai bahan antikanker yang berasal dari lima lokasi di
Indonesia (Bab 3). Hal ini diharapkan agar penilaian terhadap propolis dari lima
lokasi tersebut seimbang. Kemampuan antioksidan propolis mempunyai nilai
yang sangat beragam bila dilakukan dengan menggunakan metode pengukuran
yang berbeda (Cottica et al. 2011). Demikian pula dengan korelasi antara
flavonoid dengan aktivitas antioksidan, metode penghambatan radikal bebas
DPPH sangat cocok untuk propolis yang mengandung kadar flavonoid tapi
metode penghambatan ion besi (Fe3+) sangat kecil korelasinya dengan kadar
flavonoid (Sawaya et al. 2011). Pengukuran total flavonoid menggunakan reaksi
pewarnaan AlCl3 menggunakan metode spektroskopi dengan standar kuersetin
biasa digunakan terhadap propolis asal Eropa, tapi bukan pada propolis asal Brasil
yang terpusat pada pengaruh komponennya maupun terhadap sarang lebah yang
mengandung asetofenon dan benzofenon (Sawaya et al. 2011). Analisis
kandungan fenolat dapat menggunakan metode Folin-Ciocalteau dengan standar
fenol atau asam galat. Hasil uji fitokimia propolis hasil ekstraksi sarang lebah
dari lima lokasi di Indonesia menunjukkan bahwa semua propolis mengandung
tanin dan flavonoid. Oleh karena itu penilaian terhadap suatu propolis harus
disesuaikan dengan asal propolis, jenis dan konsentrasi pelarut yang digunakan
maupun alat dan teknik ekstraksi yang digunakan. Demikian pula tujuan
penggunaan propolis menjadi dasar pemilihan metode ekstraksi, jenis dan
konsentrasi pelarut yang digunakan serta pengujian aktivitas lain yang dilakukan
baik secara in-vitro maupun in-vivo. Mengingat penggunaannya yang luas dan
55
racunnya yang kurang dibandingkan dengan obat sintetik, maka diperlukan
standar mutu propolis namun karena komponen propolis sangat beragam dan sulit
untuk dilakukan standardisasi dan menerapkannya pada propolis (Toreti et al.
(2013).
Hasil penelitian kedua yang diungkap pada bab 4 menunjukkan bahwa
terjadi perbedaan rendemen hasil ekstraksi akibat perbedaan perlakuan pemanasan
gelombang mikro dan nisbah pelarut etanol 70%-sarang lebah. Perbedaan terjadi
pula pada kemampuan induksi apoptosis setiap hasil perlakuan satuan percobaan
yang dilakukan. Rendemen tertinggi sebesar 16.88 pada proses ekstraksi sarang
lebah menggunakan nisbah pelarut etanol 70%-sarang lebah 22.7 dengan
pemanasan gelombang mikro selama 20 menit, berikutnya adalah induksi
apoptosis terkuat yang menghasilkan jumlah sel petite sebanyak 84.9% berasal
dari ekstraksi sarang lebah menggunakan nisbah pelarut etanol 70%-sarang lebah
30 dengan pemanasan gelombang mikro selama 20 menit. Rendemen yang
dihasilkan makin tinggi sejalan dengan tingginya waktu pemanasan, namun tidak
mencapai maksimum pada waktu yang tertinggi disuga adanya bahan yang mudah
menguap yang hilang sesuai dengan bertambahnya waktu pemanasan gelombang
mikro setelah 30 menit berlalu. Sedangka pengaruh perbandingan pelarut etanol
70%-sarang lebah memberikan kesempatan terdifusinya komponen bahan aktif
dalam propolis kedalam pelarut dan keluar dari sarang lebah, namun sampai batas
tertentu karena jumlah komponen dan ‘rongga’ yang ada dalam pelarut yang
terbatas membatasi jumlah rendemen yang dihasilkan.
Selanjutnya hasil
pengolahan data hasil ekstrak dan pengujian induksi apoptosis diperoleh
persamaan matematika yang dapat memprediksi kondisi terbaik rendemen dan
kemampuan propolis dalam menginduksi apoptosis terhadap sel S.cereviseae.
Hasil rendemen dan kemampuan induksi apoptosis maksimum diprediksi pada
proses ekstraksi dengan nisbah pelarut etanol 70%-sarang lebah 20 selama 27
menit pemanasan dengan gelombang mikro. Kemampuan induksi apoptosis dari
propolis yang dihasilkan menunjukkan pengaruh adanya komponen aktif yang
terekstrak dan adanya bahan komponen aktif yang mudah menguap menghilang
dari filtrat dan mempegaruhi kemampuan menginduksi apoptosis. Hasil validasi
kondisi terbaik diperoleh rendemen sebanyak 12.67% dengan kemampuan
induksi apoptosis terhadap sel S.cereviseae 70.32%.
Sesuai dengan uji fitokimia yang diperoleh, ternyata bahwa propolis asal
Pandeglang mempunyai kadar flavonoid sebesar 30.62 µg ml-1 dan termasuk
dalam kategori sedang, karena masih ada propolis dari daerah lain yang nilainya
dibawah serta ada propolis dengan nilai kadar total flavonoid yang lebih besar.
Kandungan kadar total flavonloid ini tercermin pula dalam hasil uji komponen
kimia dengan metode HPLC dan pada uji gugus fungsional FTIR terdapat panjang
gelombang yang kemungkinan adalah gugus fungsional yang berasal dari
komponen flavonoid. Dengan adanya komponen bahan aktif pada propolis seperti
yang ditunjukkan hasil HPLC, terlihat juga kemampuannya dalam menginduksi
apoptosis sel S. cereviseae dan aktivitas dalam menghambat proliferasi sel lestari
kanker payudara MCF-7. Hubungan antara kemampuan induksi apoptosis dengan
antisitotoksik sel lestari kanker payudara menunjukkan kemampuannya sebagai
bahan antikanker. Hasil pengujian dalam menghambat sebanyak 50% sel lestari
kanker payudara MCF-7 diperoleh konsentrasi 233 µg ml-1. Nilai ini dapat
dikategorikan kurang kuat, namun karena mengandung flavonoid yang beragam
56
serta aktivitas yang lainnya maka propolis ini dapat ditingkatkan kemampuannya
untuk digunakan sebagai bahan antikanker. Hal ini mengingat bahwa bahan
antikanker yang akan digunakan sebagai obat harus mempunyai kemampuan lain
misalnya antiimflamasi, bahan penenang dan pencahar selain kemampuannya
dalam menghambat serta mengeliminir sel kanker. Selain bahan aktif yang
terinklusi dalam β-siklodekstrin, kelarutan propolis menjadi lebih baik
dibandingkan dengan sebelumnya (Kalogeropoulos et al. 2009). Bentuk
nanopropolis ini lebih efektif dibandingkan dengan propolis bahkan terhadap sel
kanker lestari yang resisten terhadap propolis (Kim et al. 2008) dan dapat
meningkatkan sel T dan sinergis dengan phytohemagglutinin dan dapat
meningkatkan jumlah mRNA interleukin-2 dan interferon-γ (Yuan et al. 2013).
Menurut Watanabe et al. (2011), adanya kemampuan antisitotoksik
menjadikan
propolis dapat digunakan sebagai antikanker. Telah banyak
penelitian yang bertujuan menemukan bahan alam dan sintetik yang dapat
digunakan sebagai bahan pencegah dan atau dapat mengatasi kanker. Orsolic
(2010) menyimpulkan bahwa dengan komponen polifenol atau flavonoidnya
menjadikan propolis berpotensi digunakan dalam kemoterapi dan radioterapi saat
mengatasi kanker. Dalam rangka meningkatkan bioaviabilitas propolis sebagai
bahan antikanker dilakukan proses pembuatan nanopropolis. Menurut Zhang et
al. (2006), dalam mengatasi kanker diperlukan pengangkut obat menggunakan
pembawa yang berukuran partikel nano. Partikel berukuran nano ini dapat
meningkatkan efikasi bahan tapi pengaruh jeleknya sedikit karena menggunakan
bahan yang permeabilitas tinggi dan pengaruh retensi serta pencapaian target pada
bagian sakit secara tepat.
Hal ini menjadi dasar dilakukan pembuatan
nanopropolis dengan penginklusi β-siklodekstrin.
Hasil penelitian ketiga yang diungkap pada bab 5 menunjukkan bahwa
proses inklusi, re-solubilisasi dan stablisasi dapat menghasilkan partikel
berukuran nano dan mempunyai kemampuan mematikan sel lestari kanker
payudara MCF-7. Ukuran partikel yang dihasilkan dari 20 satuan percobaan
berkisar antara 78.9 hingga 403.8 nm dan kemampuan mematikan sel lestari
kanker MCF-7 hingga 84.52%. Dengan menggunakan metode statistika diperoleh
bahwa waktu inklusi dan re-solubilisasi dapat mencapai kondisi optimum dengan
waktu stabilisasi sebesar 20 menit. Pembuatan nanopropolis menggunakan tiga
tahap tersebut sangat erat dan perlu. Pada tahap pertama bertujuan mencampur
semua bahan yang akan dibuat partikel nano sehingga terjadi inklusi. Tahap
kedua bertujuan untuk melanjutkan proses inklusi bahan aktif pada β-siklodekstrin
dan dapat mengecilkan bahan.
Sedangkan tahap ketiga bertujuan
menyempurnakan proses pembentuk partikel nano sehingga membuat
nanopropolis stabil. Kemudian pada proses pembuatan propolis tahap pertama
diakhiri dengan pengeringan campuran bahan bertujuan untuk menghilangkan
pelarut etanol 70% dalam pelarut propolis. Pada re-solubilisasi dan stabilisasi
dilakukan juga perubahan pH menggunakan larutan penyangga fosfat bertujuan
untuk mengubah gugus fungsional dalam β-siklodekstrin dan komponen bahan
aktif propolis sehingga dapat berikatan (Wenz et al. 2008). Pada gabungan
peubah yang digunakan terjadi kondisi terbaik dalam menghasilkan ukuran
partikel maksimum dan kemampuan antiproliferasi terbesar dicapai pada kondisi
waktu pengadukan pada tahap inklusi, re-solubilisasi dan stabilisasi masingmasing selama 20, 20 dan 30 menit. Perlakuan waktu inklusi dan re-solubilisasi
57
yang mencapai kondisi optimum merupakan proses pengecilan ukuran tahap
pertama dan kedua dalam proses pembuatan nanopartikel yang dilakukan oleh
Aimi et al. (2009). Sedangkan tahap ketiga merupakan proses pembentukan
granul yang berukuran nano dan upaya stabilisasi. Hal ini sejalan dengan hasil
yang diperoleh bahwa waktu pengadukan pada tahap stabilisasi masih lebih lama
lagi untuk menghasilkan kondisi optimum. Pada proses pembuatan nanopropolis
tahap pertama diharapkan terjadi inklusi antara bahan aktif dalam propolis,
demikian pula pada proses re-solubilisasi dan stabilisasi. Dengan perubahan pH
lingkungan (tahap re-solubilisasi dan stabilisasi) diharapkan gugus aktif baik dari
β-siklodekstrin maupun komponen aktif propolis saling berikatan membentuk
senyawa baru dengan dasar β-siklodekstrin. Ikatan yang terjadi ini diharapkan
akan terlepas saat nanopropolis dalam tubuh. Nagavarma et al. (2012) dan Swami
et al. (2012) menyatakan bahwa partikel nano untuk herbal tradisional berukuran
10 hingga 1000 nm. Oleh karena itu pengaruh nanopropolis menunjukkan hasil
yang hampir sama antara satu satuan percobaan dengan satu satuan percobaan
lainnya. Demikian juga dengan hasil penelitian selanjutnya dari bab 5,
menunjukkan bahwa peubah jumlah propolis dan jumlah β-siklodekstrin yang
digunakan menghasilkan kondisi terbaik pada 30 mg propolis dengan 350 mg βsiklodekstrin. Nanopropolis yang dihasilkan pada kondisi terbaik berbentuk
serbuk (Gambar 7.1) dengan kadar air sebesar 6.68%. Dengan bentuk serbuk ini
diperkirakan nanopropolis lebih tahan lama dan lebih aktif dibandingkan dengan
bentuk bukan partikel nano.
Selain bioaviablitasnya yang meningkat,
nanopropolis yang dihasilkan juga akan tetap aktif dan tahan lama disimpan
(Avanco dan Bruschi 2008; Kalogeropoulos et al. 2009; dan Pool et al. 2012)
Untuk mengetahui hubungan antara jumlah sel lestari MCF-7 yang mati
akibat perlakuan nanopropolis dengan ukuran partikel tertentu dapat disajikan
data bentuk diagram pancar dari hasil penelitian nanopropolis dengan inklusi, resolubilisasi dan stabilisasi (Gambar 7.2).
Gambar 7.1 Serbuk nanopropolis hasil pembuatan pada kondisi terbaik
tahap kedua
Setelah data tersebut diolah dengan uji korelasi (Design Expert 7.0.0, free
trial) diperoleh nilai r sebesar -0.1, artinya bahwa terdapat korelasi negatif antara
58
ukuran partikel nanopropolis dengan jumlah kematian (%) sel lestari kanker
MCF-7 artinya adalah bahwa dengan meningkatnya ukuran partikel akan terjadi
penurunan jumlah sel lestari kanker MCF-7 yang mengalami kematian. Penelitian
yang dilakukan oleh Bhattarcharjee et al. (2012) menyatakan ada hubungan antara
ukuran partikel dengan daya serap bahan namun tergantung pada jenis dan
komposisi bahan yang diujikan. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Lim et al
(2011). Namun menurut Yu et al. (2012) perbedaan ukuran nanopartikel tidaklah
spesifik masuk ke dalam jaringan tubuh karena partikel nano dapat masuk
kedalam jaringan yang terkena kanker walaupun secara pasif. Oleh karenanya
Soppimath et al. (2001) membuat kategori ukuran partikel nano untuk herbal
tradisional bukan 1 hingga 100 nm, namun antara 10 hingga 1000 nm.
Gambar 7.2
Hubungan antara respon sifat fisik rata-rata ukuran partikel
terhadap jumlah sel lestari MCF-7 yang mengalami kematian
akibat pemberian nanopropolis pada berbagai ukuran hasil
perlakuan (warna kotak menunjukkan satuan percobaan)
Pengukuran kristalinitas dilakukan dengan difraksi sinar X menghasilkan
nanopropolis mempunyai tingkat kristalinitas sebesar 88,7%, sedangkan bentuk
propolis 31% dan β-siklodekstrin sebesar 83% (Gambar 7.3). Hasil tersebut
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kristalinitas propolis karena proses
pembuatan nanopropolis. Penambahan yang terjadi adalah karena penambahan βsiklodekstrin dan penambahan komponen larutan penyangga fosfat.
Hal ini
disebabkan karena β-siklodekstrin maupun bufer fosfat dalam kondisi kering
berbentuk powder dan mempunyai kristalinitas yang lebih tinggi dibandingkan
dengan propolis.
Perubahan gugus fungsional dalam β-siklodekstrin akan terlihat pada hasil
pengukuran FTIR, gugus fungsional –OH sangat banyak mengalami perubahan
pada kompleks nanopropolis-β-siklodekstrin dibandingkan dengan pada propolis
bukan nanopartikel (Gambar 7.4). Perubahan gugus fungsional –OH ini
menunjukkan ada inklusi bahan aktif propolis pada gugus fungsional βsiklodekstrin (Fifere et al. 2012; Kim et al. 2008). Perubahan juga terjadi pada
gugus fungsional C=O dan –CH2. Pola FTIR nanopropolis tersebut hampir sama
dengan pola FTIR nanokuersetin yang diteliti oleh Pool et al. (2012), pola FTIR
59
dari β-cyclodextrin-para-chlorobenzonitrile yang diteliti oleh Patil et al. (2012),
maupun pola FTIR dari triacetyl-β-siklodekstrin yang diteliti oleh Bratu et al.
(2004). Hal ini menunjukkan bahwa komponen bahan aktif propolis telah
mengalami inklusi pada β-siklodekstrin (Chen et al. 2005). Inklusi bahan aktif
propolis pada β-siklodekstrin terjadi pada gugus fungsional hidrofobik yang
berada dalam bagian dalam formasi kimia β-siklodekstrin. Dugaan ini sesuai pula
dengan penelitian Isadiartuti dan Martodihardjo (2007) bahwa β-siklodekstrin
terinklusi secara eksotermik pada gugus hidrofobik dan terjadi dengan spontan
dengan terjadinya peningkatan ketidakteraturan sistem.
Gambar 7.3
Tampilan kromatogram XRD propolis (panah merah),
nanopropolis (panah biru) dan komplek hasil campuran
propolis dengan β-siklodekstrin dengan proses inklusi (panah
kuning) pada rentang sudut 40 derajat
Hasil analisis HPLC ternyata bahwa setelah nanopropolis diekstrak dengan
metanol kandungan flavonoid dan asam organik masih ada. Diantaranya asam
firulat (0,17%), asam kafeat (30,91%), epigenin (0,53%), krisin (2,16%), dan
tektokrisin (14,67%). Sesuai dengan penelitian Coneac et al. (2009), de Souza et
al. (2004), Nafady et al. (2003), dan Rocha et al. (2012) bahwa β-siklodekstrin
dapat menjadi penginklusi dalam pembuatan nanopartikel. Keberadaan flavonoid
atau tidak rusaknya senyawa ini dilaporkan pada penelitian Pool et al. (2012) dan
Zheng et al. (2004) pada proses pembuatan nanopartikel kuersetin. Secara rinci
Kalogeropoulos et al. (2009) telah memisahkan komponen aktif propolis asal
Yunani yang terenkapsulasi pada kompleks dengan β-siklodekstrin. Kesimpulan
Kalogeropoulos et al. (2009) tersebut disebabkan karena adanya ikatan yang kuat,
van der Waals dan ikatan hidrogen pada β-siklodekstrin yang terjadi dengan
komponen dalam propolis. Namun demikian, bila dibandingkan dengan jumlah
dan jenis komponen propolis maka komponen dalam nanopropolis ini mengalami
perubahan. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya bahan yang mudah menguap
dan amorf dalam propolis yang hilang.
Distribusi ukuran partikel nanopropolis kurang dari 215 nm sebanyak 90%,
atau rata-rata sebesar 171 nm (Gambar 7.5). Tampilan SEM dari nanopropolis
dapat dilihat pada Gambar 8.6. Hal ini menunjukkan bahwa proses pembuatan
60
nanopropolis sudah berhasil dengan baik walaupun ukurannya lebih dari 100 nm.
Hasil penelitian ini, ukuran nanopropolis lebih kecil dibandingkan dengan
nanokatekin 410,59 nm atau nanokuersetin 399,67 nm (Pool et al. 2012) namun
masih lebih besar dibandingkan dengan nanopropolis hasil penelitian Kim et al.
(2008) yaitu sekitar 50 nm. Tapi ukuran nanopropolis hasil penelitian ini masih
dalam kategori nanopartikel, sesuai pernyataan Nagavarma et al. (2012) dan
Swami et al. (2012). Penampakan adanya partikel berukuran nano terlihat pada
hasil SEM, walaupun masih ada partikel yang masih besar (Gambar 7.6). Dari
hasil pengukuran distribusi ukuran partikel ditemukan bahwa hanya 10% partikel
yang berukuran lebih dari 215 nm (sebanyak 90%) dari rata-rata ukuran partikel
nanoprolis 171 nm.
Panjang Serapan, cm-1
Gambar 7.4 Tampilan kromatogram FTIR nanopropolis dan propolis pada
rentang 400-4000 cm-1 (panah biru=nanopropolis dan panah
kuning=ekstrak etanol propolis)
Gambar 7.5 Grafik distribusi partikel nanopropolis pada kondisi terbaik
proses pembuatan nanopropolis tahap kedua
61
Hasil penelitian tahap keempat yaitu kajian aktivitas nanopropolis sebagai
bahan antikanker secara in-vivo menggunakan hewan model yaitu tikus betina
strain Sprague-Dawley disajikan dalam bab 6. Pada bab 6 menghasilkan bahwa
nanopropolis dengan konsentrasi 32 µg ml-1 sudah dapat menyembuhkan luka
akibat tumor dan dapat mengeliminir sel kanker akibat pemberian DMBA.
Pengaruh konsentrasi dalam penyembuhan kanker menunjukkan bahwa makin
tinggi konsentrasi uji makin baik pengaruhnya dalam menyembuhkan luka akibat
kanker dan dapat mengeliminir sel kanker. Pada perlakuan 32 dan 56 µg ml-1
setara dengan perlakuan propolis dengan dosis 233 µg ml-1.
Gambar 7.6 Tampilan penampakan mikroskopis menggunakan SEM
nanopropolis hasil proses pembuatan pada kondisi terbaik
(pembesaran 4000 x)
Menurut Goldberg et al. (2013) bahwa selain melalui pembuluh darah,
nanopartikel yang masuk dalam sel tubuh melalui celah tranportasi yang
berukuran kecil.
Dengan demikian komponen propolis berperan sebagai
penyembuh sakit, penghambat angiogenesis dan melakukan induksi apoptosis
dengan berbagai cara kerja, baik setelah masuk kedalam sel maupun di luar sel
(extrinsic). Menurut Daniels et al. (2012) β-siklodekstrin akan masuk kedalam sel
tumor melalui jalur transferrin-receptor (TfR). Selanjutnya Sawicka et al. (2012)
dan Szliszka et al. (2011) menyatakan bahwa jalannya penyembuhan kanker dari
luar sel oleh propolis dimulai dari pengaktifan tumor necrosis factor related
apoptosis inducing ligand (TRAIL) sampai dengan pengaktifan caspase (3, 6 dan
7), inaktivasi nuclear factor-kappaB (NF-kB) dan aktivasi mitogen-associated
protein kinase and p38 pathways (MAPK/p38) serta aktivasi apoptosis signalregulating kinase 1 (Ask-1). Sedangkan jalannya penyembuhan kanker dari
dalam sel oleh propolis dimulai dari inaktivasi B cell lymphoma 2 protein/X
protein (Bcl-2/Bcl-X), inaktivasi inhibitor of apoptosis proteins (IAP), aktivasi
Bcl-2 associated X protein (Bax), aktivasi Bcl-2 homologous antagonist/killer
protein (Bak), aktivasi caspase-8 dan langsung telibat dalam penghambatan pada
siklus sel.
Pada proses ektraksi propolis maupun pembuatan nanopropolis belum
mencapai kondisi optimum namun sudah mencapai kondisi terbaik dari peubah-
62
peubah yang ada. Oleh karena itu diperlukan pengujian parameter yang
berhubungan dengan proses yang dilakukan. Pada proses ekstraksi dengan pelarut
etanol dan pemanasan gelombang mikro perlu perubahan urutan perlakuan,
asalnya mulai dari pengadukan dengan orbital shaker lalu pemanasan gelombang
mikro diubah menjadi pemanasan gelombang mikro kemudian pengadukan
orbital shaker. Demikian juga dengan konsentrasi etanol yang digunakan perlu
dilakukan uji berbagai konsentrasi etanol untuk melarutkan komponen bahan aktif
dalam propolis. Pada tahap pembuatan nanopropolis, diperlukan pengujian yang
lebih banyak yang dapat mencerminkan gambaran hasil proses pembuatan
nanopropolis maupun kemampuan dari propolis yang dihasilkan.
Namun demikian, teknologi proses yang akan dikembangkan untuk
pembuatan nanopartikel ini dapat menggunakan sumber bahan aktif yang berbeda
jenis, asal maupun cara ekstraksinya atau dengan karakteristik bahan aktif yang
berbeda. Sedangkan dalam aplikasinya dapat juga digunakan untuk tujuan selain
antikanker payudara misalnya kanker pankreas, kanker usus, kanker serviks atau
kanker hati maupun jenis kanker yang lainnya. Namun dengan teknologi yang
relatif sederhana ini dapat meningkatkan nilai tambah produk propolis. Hal ini
mengingat bahwa propolis dengan konsentrasi 233 μg ml-1 setara dengan
nanopropolis dengan konsentrasi 32 μg ml-1 sehingga terdapat nilai tambah
sebesar 700%. Apabila akan diberikan pada manusia dalam uji klinis, maka dosis
nanopropolis harus lebih dari 1792 μg ml-1 atau propolis harus lebih dari 13048 μg
ml-1. Hasil ini merupakan konversi yang dilakukan dengan asumsi bahwa bobot
tikus adalah 200 g dan bobot manusia pada uji klinis adalah 70 kg sesuai
dengan dosis anjuran Laurence dan Bacharach (1964).
Download