BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman yang cukup banyak dibudidayakan di Indonesia. Di Indonesia, tanaman pepaya dapat tumbuh dari dataran rendah sampai daerah pegunungan 1000 m dpl. Negara penghasil pepaya antara lain Kosta Rika, Republik Dominika, Puerto Riko, dan lain-lain. Brazil, India, dan Indonesia merupakan penghasil pepaya yang cukup besar (Warisno, 2003). 2.1.1 Sistematika tumbuhan Tumbuhan pepaya memiliki sistematika sebagai berikut (BPOM, RI., 2008): Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Class : Dicotyledoneae Ordo : Cistales Famili : Caricaceae Genus : Carica Spesies : Carica papaya L. 2.1.2 Morfologi tumbuhan Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman herba dengan batang berongga, biasanya tidak bercabang dan tingginya dapat mencapai 10 meter. 7 Daunnya termasuk daun tunggal, berukuran besar dan bercangap menjari dengan tangkai daun panjang (BPOM, RI., 2008). Bunganya terdiri dari tiga jenis, yaitu bunga jantan, bunga betina dan bunga sempurna. Bentuk buah bulat sampai lonjong. Batang, daun, dan buahnya mengandung getah yang memiliki daya enzimatis, yaitu dapat memecah protein. Pertumbuhan tanaman pepaya termasuk cepat, karena antara 10-12 bulan setelah ditanam buahnya telah dapat dipanen (Kalie, 1996). Sistem perakarannya memiliki akar tunggang dan akar-akar cabang yang tumbuh mendatar ke semua arah pada kedalaman 1 meter atau lebih menyebar sekitar 60-150 cm atau lebih dari pusat batang tanaman (Suprapti, 2005). 2.1.3 Nama daerah Tanaman pepaya (Carica papaya L.) di Indonesia memiliki berbagai macam nama daerah, seperti di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua (BPOM,RI., 2010). Sumatera : kabaelo, peute, pastelo, embetik, botik, bala, sikailo, kates, kepaya, kustela, papaya, pepaya, singsile, batiek, kalikih, pancene, pisang, katuka, pisang patuka, pisang pelo, gedang dan punti kayu. Jawa : gedang, ketela gantung, kates dan gedhang. Kalimantan : bua medung, pisang malaka, buah dong, majan, pisang mentela, gadang dan bandas. Nusa Tenggara : gedang, kates, kampaja, kalu jawa, padu, kaut panja, kalailu, paja, kapala, hango, muu jawa, muku jawa dan kasi. 8 Sulawesi : kapalay, papaya, pepaya, keliki, sumoyori, unti jawa, tangan tangan nikare, kaliki dan rianre. Maluku : tele, palaki, papae, papaino, papau, papaen, papai, papaya, sempain, tapaya dan kapaya. Papua 2.1.4 : sampain, asawa, menam, siberiani dan tapaya. Kandungan kimia Kandungan biji dalam buah pepaya kira-kira 14,3 % dari keseluruhan buah pepaya. Apabila dikaitkan dengan senyawa aktif dari tanaman ini ternyata banyak diantaranya mengandung alkaloid, steroid, tanin dan minyak atsiri. Dalam biji pepaya mengandung senyawa-senyawa steroid (Satriasa dan Pangkahila, 2010) dan asam lemak tak jenuh yang tinggi, yaitu asam oleat dan palmitat (Yuniwati dan Purwanti, 2008). Selain mengandung asam-asam lemak, biji pepaya diketahui mengandung senyawa kimia lain seperti golongan fenol, alkaloid, terpenoid dan saponin (Warisno, 2003), glucoside cacirin dan karpain (Setiawan, dkk., 2008). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, hasil skrining biji pepaya menunjukkan adanya golongan senyawa alkaloid, steroid-triterpenoid, flavonoid, tanin, saponin dan glikosida (Ramadhani, 2014). Aktivititas insektisida dari metabolit sekunder pada daun dan biji pepaya yang bersifat toksik seperti saponin, flavonoid dan triterpenoid (Wahyuni, 2014). Alkaloid karpaina mekanisme kerjanya menghambat proses metabolisme tubuh pada ulat, merintangi hormon pertumbuhan, dan mencerna protein dalam tubuh ulat lalu merubahnya menjadi derivat pepton yang menyebabkan ulat kekurangan makanan dan akhirnya mati (Utomo, dkk., 2010). Saponin adalah racun yang bersifat polar, larut dalam air dan ketika masuk ke dalam tubuh ulat akan 9 menyebabkan hemolisis di pembuluh darah, juga menghambat proses metamorfosis, pembentukan kulit ulat, yang akan menyebabkan ulat mati (Suirta, dkk., 2007). Flavonoid bekerja sebagai racun perut yang menurunkan nafsu makan ulat yang menyebabkan ulat tidak dapat merasakan rangsangan makanan, sehingga ulat akan mati kelaparan (Cahyadi, 2009). Triterpen adalah senyawa yang bersifat toksik akut ketika diaplikasikan secara topikal atau ketika bercampur dengan air. Triterpenoid menyebabkan penurunan makan dan peningkatan kematian pada ulat (Wahyuni, 2014). 2.1.5 Khasiat tumbuhan Tumbuhan pepaya hampir seluruh bagiannya memiliki khasiat. Daunnya berkhasiat sebagai antibakteri, antimalaria, antijerawat, analgesik, antikanker dan penambah nafsu makan (Kalie, 1996). Bunganya berkhasiat sebagai antimutagenik (Fransisca, 2012), dan antibakteri (Iman, 2009). Bijinya berkhasiat sebagai antibakteri (Martiasih, dkk., 2011) dan mengobati cacing kremi (Kalie, 1996). Akarnya juga berkhasiat sebagai antiinflamasi (Adjirni dan Saruni, 2006), penyakit kencing batu dan gangguan saluran kencing (Kalie, 1996) dan antidiuretik (BPOM, RI., 2010). 2.2 Esktraksi Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan suatu pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan kedalam golongan minyak atsiri, alkaloida, flavonoida dan lain-lain. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dengan cara ekstraksi yang tepat (Ditjen, POM., 10 2000). Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung (Depkes, RI., 1979). Metode ekstraksi yang umum digunakan dalam berbagai penelitian antara lain (Ditjen, POM., 2000) yaitu: a. Maserasi Maserasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan, sedangkan remaserasi merupakan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya. b. Perkolasi Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Serbuk simplisia yang akan diperkolasi tidak langsung dimasukkan kedalam bejana perkolator, tetapi dibasahi atau dimaserasi terlebih dahulu dengan cairan penyari sekurang-kurangnya selama 3 jam. c. Refluks Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan alat pada temperatur titik didihnya dalam waktu tertentu dimana pelarut akan terkondensasi menuju pendingin dan kembali ke labu. d. Sokletasi Sokletasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut yang selalu baru, dilakukan dengan menggunakan alat soklet dimana pelarut akan terkondensasi dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh membasahi sampel. 11 e. Digesti Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada temperatur lebih tinggi dari temperatur kamar, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50°C. f. Infundasi Infundasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90°C selama 15 menit. g. Dekoktasi Dekoktasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90°C selama 30 menit. 2.3 Pestisida Meskipun memiliki banyak keuntungan seperti cepat menurunkan populasi hama, mudah penggunaannya, dan menguntungkan namun dampaknya semakin lama semakin dirasakan oleh masyarakat (Untung, 1996). Berikut ini diuraikan 3 dampak samping utama penggunaaan pestisida kimia menurut Untung (1993): a. Munculnya ketahanan hama terhadap pestisida karena hama terus menerus mendapat tekanan oleh pestisida maka melalui proses seleksi alami spesies hama mampu membentuk strain yang lebih tahan terhadap pestisida tertentu yang sering digunakan oleh petani. b. Timbulnya resurjensi hama, dampak pestisida yang dirasakan oleh petani adalah timbulnya resurjensi hama atau peristiwa meningkatnya populasi hama setelah hama tersebut memperoleh perlakuan pestisida tertentu. 12 c. Dampak pestisida yang ketiga adalah timbulnya letusan hama kedua. Setelah perlakuan pestisida tertentu secara intensif ternyata hama sasaran utama memang dapat terkendali, tetapi kemudian yang muncul dan berperan menjadi hama utama adalah jenis hama lain yang sebelumnya masih dianggap tidak membahayakan. Menurut Kardinan (2005), pestisida nabati adalah bahan aktif tunggal atau majemuk yang berasal dari tumbuhan dan dapat digunakan untuk mencegah organisme pengganggu tanaman (OPT). Pestisida nabati berfungsi sebagai penolak (repellent), penarik (attractan), pemandul (antifertilitas) atau pembunuh. Pestisida nabati bersifat mudah terurai (biodegradable) di alam sehingga tidak mencemari lingkungan. Di Indonesia terdapat sangat banyak jenis tumbuhan penghasil pestisida nabati. Namun, sampai saat ini pemanfaatannya belum dilakukan dengan maksimal. Tumbuhan penghasil pestisida nabati tersebut dibagi menjadi lima kelompok, yaitu sebagai berikut: a. Kelompok tumbuhan insektisida nabati adalah kelompok tumbuhan yang menghasilkan pestisida pengendali hama insekta. Contoh tumbuhan kelompok ini adalah: piretrum, aglaia, babadotan, bengkuang, bitung, jeringau, saga, serai, sirsak, srikaya. b. Kelompok tumbuhan antraktan atau pemikat, adalah tumbuhan yang menghasilkan suatu bahan kimia yang menyerupai hormon seksual feromon pada serangga betina. Bahan kimia tersebut akan menarik serangga jantan, khususnya hama lalat buah dari jenis Bactrocera dorsalis. Contoh tumbuhan dari kelompok ini adalah: daun wangi dan selasih. 13 c. Kelompok tumbuhan rodentisida nabati adalah kelompok tumbuhan yang menghasilkan pestisida pengendali hama rodentia. Tumbuh-tumbuhan ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu sebagai penekan kelahiran (efek aborsi atau kontrasepsi) dan penekan populasi yaitu meracuninya. Tumbuhan yang termasuk kelompok penekan kelahiran umumnya mengandung steroid, sedangkan yang tergolong penekan populasi biasanya mengandung alkaloid. Dua jenis tumbuhan yang sering digunakan sebagai rodentisida nabati adalah jenis gadung KB dan gadung racun. d. Kelompok tumbuhan moluskisida adalah kelompok tumbuhan yang menghasilkan pestisida pengendali hama moluska. Beberapa tanaman yang menimbulkan pengaruh moluskisida, diantaranya: daun sembung, akar tuba, patah tulang, dan tefrosia. e. Kelompok tumbuhan pestisida serba guna, adalah kelompok tumbuhan yang tidak berfungsi hanya satu jenis saja, selain berfungsi sebagai insektisida juga berfungsi sebagai fungisida, bakterisida, moluskisida, nematisida, dan lainnya. Contoh tumbuhan dari kelompok ini adalah: jambu mete, lada, mimba, mindi, tembakau, dan cengkih. Novizan (2004) menjelaskan bahwa pestisida nabati juga mempunyai beberapa keunggulan dan kelemahan. Keunggulan dari pestisida nabati adalah: a. Murah dan mudah dibuat oleh petani. b. Relatif aman terhadap lingkungan. c. Tidak menyebakan keracunan pada makanan. d. Sulit menimbulkan kekebalan terhadap hama. e. Kompatibel digabung dengan cara pengendalian yang lain. 14 f. Menghasilkan produk pertanian yang sehat karena bebas residu pestisida kimia. Selain memiliki kelebihan pestisida nabati juga memiliki kelemahan diantaranya adalah: a. Daya kerjanya relatif lambat. b. Tidak membunuh jasad sasaran secara langsung. c. Tidak tahan terhadap sinar matahari. d. Kurang praktis. e. Tidak tahan disimpan. f. Kadang-kadang harus disemprotkan berulang-ulang. Meskipun disebut ramah lingkungan, tidak berarti pestisida alami memiliki daya racun (toksisitas) yang rendah. Beberapa jenis pestisida botani seperti nikotin, memiliki daya racun yang lebih tinggi dibandingkan dengan pestisida sintetis, terutama jika termakan. Dengan demikian penggunaan pestisida alami juga perlu diperhatikan, terutama toksisitasnya terhadap organisme non sasaran (Novizan, 2004). 2.4 Toksisitas Toksisitas adalah kemampuan suatu zat kimia dalam menimbulkan kerusakan pada organisme baik saat digunakan atau saat berada dalam lingkungan (Priyanto, 2009). Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat pada sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon yang khas dari sediaan uji. Data yang diperoleh dapat digunakan untuk memberi informasi mengenai derajat bahaya sediaan uji tersebut bila terjadi pemaparan pada manusia, sehingga dapat ditentukan dosis penggunaannya demi keamanan manusia (OECD, 2008). 15 Obat sebelum dipasarkan atau digunakan harus menjalani serangkaian uji untuk memastikan efektivitas dan keamanannya (Priyanto, 2009). Umumnya uji toksisitas terdiri atas dua jenis, yaitu toksisitas umum (akut, subkronik dan kronik) dan toksisitas khusus (teratogenik, mutagenik dan karsinogenik) (Lu, 1995). 2.4.1 Toksisitas umum 2.4.1.1 Toksisitas akut Uji toksisitas akut adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul dalam waktu singkat setelah pemberian sediaan uji secara oral dalam dosis tunggal yang diberikan dalam waktu 24 jam (Lu, 1995). Tujuan toksisitas akut adalah untuk mendeteksi toksisitas dari suatu zat, menentukan organ sasaran dan kepekaan spesies, memperoleh informasi bahaya setelah pemaparan suatu zat secara akut dan untuk memperoleh informasi awal yang dapat digunakan untuk merancang uji toksisitas selanjutnya serta untuk memperoleh nilai LD50 atau LC50 suatu sediaan (BPOM, RI., 2011). Semakin kecil harga LD50 atau LC50 maka semakin besar potensi ketoksikannya (OECD, 2001). Prinsip uji toksisitas akut oral yaitu, sediaan uji dalam beberapa tingkat dosis yang diberikan pada beberapa kelompok hewan uji dengan satu dosis per kelompok, kemudian dilakukan pengamatan terhadap adanya efek toksik dan kematian (OECD, 2001). 2.4.1.2 Toksisitas sub kronik Uji toksisitas subkronik merupakan suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang diberikan secara oral pada hewan uji (OECD, 2008). Tujuan toksisitas subkronik oral adalah untuk memperoleh informasi adanya efek toksik zat yang tidak terdeteksi pada uji toksisitas akut, informasi kemungkinan adanya efek toksik 16 setelah pemaparan sediaan uji secara berulang dalam jangka waktu tertentu, informasi dosis yang tidak menimbulkan efek toksik dan mempelajari adanya efek kumulatif dan efek reversibilitas zat tersebut (OECD, 2008). Serta bertujuan untuk menentukan organ sasaran (organ yang rentan) (Priyanto, 2009). Prinsip uji toksisitas subkronik oral adalah sediaan uji dalam beberapa tingkat dosis diberikan setiap hari pada beberapa kelompok hewan uji dengan satu dosis per kelompok selama 28 atau 90 hari. Selama pemberian sediaan uji, hewan harus diamati setiap hari untuk menentukan adanya toksisitas. Selama waktu dan pada akhir periode pemberian sediaan uji, hewan yang mati dan masih hidup diotopsi selanjutnya dilakukan pengamatan secara makropatologi pada setiap organ dan jaringan. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan hematologi, biokimia klinis dan histopatologi (OECD, 2008). 2.4.1.3 Toksisitas kronik Uji toksisitas kronis dilakukan dengan memberikan senyawa uji berulangulang selama masa hidup hewan uji atau sebagian besar masa hidupnya (Priyanto, 2009). Prinsip toksisitas kronik oral pada umumnya sama dengan uji toksisitas subkronik, hanya sediaan uji yang diberikan lebih lama tidak kurang dari 12 bulan. Pengamatan juga dilakukan secara lengkap seperti gejala toksik, monitoring berat badan dan konsumsi makanan, pemeriksaan hematologi, biokimia klinis, makropatologi, penimbangan organ dan histopatologi (OECD, 2008). 2.4.2 Lethal Concentration (LC50) Untuk mengetahui efek zat pencemar terhadap biota dalam suatu perairan, perlu dilakukan suatu uji toksisitas zat pencemar terhadap biota yang ada yaitu 17 dalam bentuk Lethal Concentration (LC50). Jadi, uji toksisitas digunakan untuk mengevaluasi besarnya konsentrasi toksikan dan durasi pemaparan yang dapat menimbulkan efek toksik pada jaringan biologis (Pratiwi, dkk., 2012). LC50 merupakan konsentrasi yang menyebabkan kematian sebanyak 50% dari organisme uji yang dapat diestimasi dengan grafik dan perhitungan, pada suatu waktu pengamatan tertentu, misalnya LC50 48 jam, LC50 96 jam sampai waktu hidup hewan uji (Ngatidjan, 2006). 2.4.3 Toksikologi pestisida Pemenuhan kebutuhan akan bahan makanan dalam jumlah besar tidak mungkin tanpa penggunaan pestisida, yaitu pembasmi tanaman pengganggu, fungisida, rodentisida dan insektisida. Juga pupuk buatan harus disebut dalam kaitan ini, walaupun dalam hal ini tidak menyangkut pestisida dalam arti yang sempit. Penggunaan pestisida mengandung bahaya yang bukan tidak penting. Keracunan akut pada perusahaan pertanian juga harus diperhitungkan seperti halnya masalah bahwa pemakai pada pengawasan yang tidak memadai, memasukkan setiap hari ke dalam tubuhnya bersama makanan, sejumlah kecil pestisida, yang sebagiannya hampir tidak dapat dieliminasi. Meskipun lazimnya hal ini hanya menyangkut jumlah kecil, namun risiko jangka waktu panjang tidak dapat diabaikan (Lu, 1995). 2.5 Ulat Tanaman Tomat Informasi spesies menurut (Borchert, dkk., 2003): Nama Ilmiah : Helicoverpa armigera (Hubner) Order : Lepidoptera Famili : Noctuidae 18 Helicoverpa armigera merupakan kupu-kupu yang termasuk ke dalam famili Noctuidae. Kupu-kupu ini merupakan ancaman utama, karena ulatnya menyerang perkebunan yang ekonomis termasuk kapas, jagung, tomat dan tembakau (King, 1994). Ulat ini juga telah berevolusi sehingga resistan terhadap pestisida organofosfat (Armes, dkk., 1996). Metamorfosis adalah suatu proses biologi di mana hewan secara fisik mengalami perkembangan biologis setelah dilahirkan atau menetas, proses ini melibatkan perubahan bentuk atau struktur melalui pertumbuhan sel dan differensiasi sel (Djuhanda, 1981). 1.Fase I (fase telur atau ovum). Telur kupu-kupu mempunyai bentuk yang berbeda-beda berdasarkan jenis. Ada beberapa telur diantaranya yang kulitnya seperti karet dan melengket, ada yang berbintik-bintik atau ditutupi oleh sesuatu yang berbentuk jala, sedang yang lainnya pada umumnya licin. Waktu yang dibutuhkan dari telur untuk menjadi larva berbeda-beda pada setiap jenis (Djarubito, 1990). Telur Helicoverpa armigera diletakkan pada struktur reproduksi tanaman dan menetas sekitar 3-14 hari, tergantung pada temperatur (Pearson, 1958). 2. Fase II (fase larva/ulat atau caterpillar). Setiap jenis mempunyai bentuk, warna dan bulu ulat yang berbeda, dan memakan pakan yang berbeda pula. Ulat yang baru menetas akan memakan selubung telur kemudian mengembara mencari tempat yang baik untuk mendapatkan makanan (King, 1994). Biasanya larva kupu-kupu mempunyai alat perlindungan dari serangan predator, yakni mengeluarkan osmeterium, yaitu semacam zat beracun yang berbau tidak enak (Djarubito, 1990). Bagian tumbuhan 19 yang disukai meliputi bunga, tunas, buah dan daun. Jumlah instar ulat dan periode ulat berubah-ubah tergantung pada temperatur dan tanaman inang (Shanower dan Romeis, 1999), umumnya pada ulat terdapat 5-7 instar (Rajagopal dan Basavanna, 1982). Fase ini memiliki waktu yang berbeda-beda berkisar 14–20 hari. 3. Fase III (fase kepompong atau pupa) Jika pertumbuhan larva telah sempurna, maka larva mencari tempattempat khusus untuk melakukan transformasi. Pada fase pupa, ulat akan mengalami fase istirahat dimana fase ini digunakan untuk membentuk sel-sel imago dan merupakan masa persiapan untuk penggantian kulit sebelum terjadi pergantian kulit yang tetap pada fase imago. Setiap jenis mempunyai bentuk dan warna pupa yang berbeda. Sedangkan waktu yang dibutuhkan dari pupa menjadi imago juga berbeda pada setiap jenis, rentang waktunya berkisar 14-16 hari. Jika dalam fase diapause, periode pupa bisa mencapai beberapa bulan (Shanower dan Romeis, 1999). 4. Fase IV (fase kupu-kupu atau imago) Pada fase ini ulat yang berkepompong telah berubah menjadi kupu-kupu yang sebenarnya. Kupu-kupu tersebut telah diperlengkapi dengan alat yang penting untuk digunakan atau cocok untuk digunakan pada ranting, atau objek lainnya dimana kupu-kupu ini akan menggantung atau bertengger yang biasanya dalam posisi yang terbalik dan merupakan posisi penting dalam mengambil tempat. Peralatan ini adalah berupa sayap, antena untuk mencium, probosis (belalai) digunakan untuk mengisap atau memakan, dan kaki untuk bertengger (Djarubito, 1990). 20 Kupu-kupu muncul setelah gelap hingga tengah malam, bergerak ke atas tanaman atau substrat vertikal ke tempat dimana sayap mereka akan kering (King, 1994). Kupu-kupu umumnya memakan madu, kupu-kupu betina akan melepas hormon seksual feromon dan perkawinan terjadi kira-kira 4 hari setelah kemunculannya. Setelah periode perkawinan 1-4 hari, kupu-kupu betina akan bertelur pada bagian reproduktif dari ladang. Kupu-kupu betina bisa bertelur hingga 3000 telur (Shanower dan Romeis, 1999). Setiap jenis mempunyai umur imago yang berbeda-beda berkisar 14-24 hari (Djarubito, 1990). 21