BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

advertisement
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Penelitian ini berangkat dari sikap afirmasi penulis terhadap kebutuhan
akan adanya perspektif penyeimbang di tengah dominasi teori-teori liberal. Kedua
model pemikiran politik yang penulis angkat dalam penelitian ini, yakni teori
politik radikal Joel Olson dan teori politik post-marxist Laclau dan Mouffe,
memiliki pandangan-pandangan yang berbeda dengan pemikiran liberal. Terutama
sekali berkenaan dengan pemahaman tentang apa itu politik. Penulis telah
memaparkan ide-ide pokok dari masing-masing teori. Selain itu, penulis juga telah
mendiskusikan keduanya dengan cara menganalisa teori politik Olson dari sudut
pandang teori politik post-marxisme yang fokus pada dimensi pendekatan
teoritikal dan aspek ontologi politik. Bertolak dari situ, penulis kemudian
berusaha menemukan titik konvergensi dan divergen antara keduanya. Dari apa
yang telah diperbincangkan, ada beberapa ikhtisar yang dapat diambil sehubungan
dengan pertanyaan-pertanyaan yang dirumuskan di bagian awal penelitian ini,
yakni:
Pertama, teori politik radikal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
keseluruhan kerangka bangun teori politik Olson yang menawarkan sebuah visi
tentang dunia tanpa penindasan melalui strategi politik ekstrim yang Olson sebut
strategi abolisionis. Teori ini dibangun melalui studi fenomena konkrit penindasan
rasial yang berlangsung di Amerika. Berpijak pada asumsi bahwa semua objek,
identitas, dan realitas sosial tidak hadir begitu saja, melainkan dikonstruksi secara
151
sosial, studi ini ingin menunjukan bahwa ras merupakan kategori politik. Ras
adalah entitas yang bersifat dinamis sebagai hasil dari konstruksi sosial dengan
melibatkan peran kekuasaan dalam konteks historisitas tertentu. Telisikan sejarah
fenomena rasisme di Amerika yang dilakukan Olson dengan menggunakan lensa
historis materialisme menunjukan bahwa fondasi rasisme Amerika adalah aliansi
persilangan kelas antara kelas kapitalis dengan sebagian kelas pekerja. Aliansi
persilangan kelas membagi formasi sosial menjadi dua kubu; satu grup mendapat
perlakuan istimewa dalam tatanan sosial, sedangkan kelompok lain disubordinasi
kelas dominan. Praktek tersebut dijalankan dalam rangka memproduksi relasi
kepatuhan (docility) secara politik dan kegunaan (utility) secara ekonomi.
Olson mengaitkan studi ras dengan kajian demokrasi. Menurutnya,
rasisme dan demokrasi dalam konteks sejarah masyarakat demokratis Amerika
bukanlah dua hal yang berlawanan, tetapi justru berjalan beriringan. Perpagutan
antara keduanya dimulai pada era demokrasi Jacksonian dan tetap bertahan
bahkan setelah kemenangan gerakan sispil sekitar tahun 1964-1965. Dalam
konteks pembahasan ini, Olson berpandangan, dengan mengikuti Shklar, bahwa
pengalaman rasisme Amerika menghadapkan tugas-tugas demokratik pada sebuah
problem “dilema partisipasi-inklusi”. Di satu sisi, tuntutan terhadap partisipasi
lebih luas justru akan memperkuat tirani dari kelas dominan. Sementara, di sisi
lain, inklusi bisa saja mengalahkan tirani rasial akan tetapi tak memadai untuk
mendorong perluasan partisipasi. Di sini, Olson mengkritik teori-teori
kontemporer dominan, seperti multikulturalisme, dengan mengatakan bahwa teori
tersebut gagal menghadapi problem dilema partisipasi-inklusi.
152
Persis pada konteks di atas, Olson menawarkan gagasan demokrasi
abolisionisnya. Olson mengklaim bahwa ide tersebut dapat memecahkan problem
dilema partisipasi-inklusi dengan melampauinya. Teori ini mengedepankan
konfrontasi langsung terhadap privilese rasial. Menurut Olson, politik demokrasi
abolisionis menekankan partisipasi dengan menegaskan kembali kebebasan
(freedom)
sebagai
basis
ideal
demokrasi.
Demokrasi
abolisionis
juga
mengapresiasi signifikansi nilai-nilai kesamaan (equality), seraya menegaskan
bahwa nilai-nilai tersebut mesti beroperasi di seputar partisipasi, karena manusia
tidak pernah benar-benar bebas sampai memiliki pilihan untuk berpartisipasi
dalam debat dan pembuatan keputusan politik. Partisipasi tersebut tak lain adalah
perjuangan melawan dominasi kulit putih baik yang nyata maupun tak kasat mata.
Perjuangan ini, tegas Olson, menuntut konflik dari sekedar konsensus, perjuangan
ketimbang agonisme dan debat dari pada sekedar deliberasi.
Pemahaman politik sebagai konflik semakin jelas dalam tulisan-tulisan
Olson tentang fanatisme, tema yang sedianya menjadi pokok pembahasan buku
American Zealot. Mengikuti Schmitt, politik dalam pandangan Olson adalah
aktivitas yang didasarkan pada distingtif antara kawan dan lawan. Bertolak dari
pengertian politik semacam itu, Olson mendefinisikan fanatisme sebagai
“aktivitas politik yang didorong oleh semangat pengabdian pada sebuah tujuan
tertentu, yang membuat batas tegas anatara kawan lawan untuk memobilisasi
kawan dan golongan moderat dalam rangka meraih tujuan tersebut”. Politik
fanatisme atau juga sering disebut politik ekstrimis merupakan strategi yang
cocok melawan dominasi ras dan juga bentuk-bentuk penindasan lainnya.
153
Kedua, istilah post-marxisme merujuk pada teori-teori yang malakukan
pembacaan ulang terhadap teori marxisme dalam konsteks problematika
kontemporer melalui dekonstruksi kategori-kategori sentral dari marxisme itu
sediri. Teori ini muncul sebagai respon intelektual atas krisis yang dialami teori
marxisme. Menurut pembacaan Laclau dan Mouffe yang mendeklarasikan diri
sebagai teoritikus post-marxisme, teori marxisme (klasik) tidak mampu
memberikan penjelasan dan kalkulasi secara memadai mengenai watak
perjuangan politik kontemporer. Banyak antagonisme sosial dalam masyarakat
kontemporer terjadi di luar diskursus marxisme dan karenanya tak dapat
direkonseptualisasi
dalam
kerangka
kategori-kategori
marxisme.
Pokok
persoalannya terletak pada pandangan esensialisme bahwa “masyarakat”
merupakan fondasi yang utuh dan final bagi proses parsialnya. Pemikiran itu
tercermin dari ide determinisme ekonomi dan reduksi kelas marxisme klasik.
Gagasan sentral teori politik post-marxisme terletak pada konsep
hegemoni. Bertolak dari pemikiran hegemoni Gramscian, Laclau dan Mouffe
memodifikasi konsep hegemoni dengan cara mengembangkan dan meradikalkan
bentuk-bentuk intuisi tertentu yang sudah disediakan marxisme, sekaligus
membuang dan mencoret intuisi lain yang tak cocok dengan kondisi masyarakat
kontemporer. Laclau dan Mouffe mendasarkan transformasi ide hegemoni pada
analisa diskursus. Secara teoritik, menurut Laclau, analisa diskursus ini berakar
pada tiga model pemikiran filsafat yang berkembang pada abad XX. Ketiganya
adalah filsafat analitik dalam karya Wittgenstein yang lebih belakangan,
fenomenologi dalam analisa eksistensialis Heiddeger dan strukturalisme dalam
154
kritik post-strukturalis tentang tanda. Semua pemikiran filsafat ini berperan
penting dalam membangun basis filosofis teori hegemoni, namun yang terakhir
menjadi paling penting dan berpengaruh.
Hasilnya, Laclau dan Mouffe menerima pengertian artikulatoris praktik
hegemoni
namun
keduanya
menolak asumsi
reduksionisme kelas
dan
determinisme ekonomi yang melekat dalam pemikiran Gramsci. Mereka berdua
meninggalkan prinsip esensialisme dan alih-alih mengakui, menggunakan bahasa
Laclau dan Mouffe, “keterbukaan ranah sosial sebagai basis konstitutif atau
“esensi negatif” bagi keberadaan sesuatu, dan perbedaan ranah sosial sebagai
fenomena yang bersifat tak stabil serta kegagalan usaha untuk menjinakkan
medan perbedaan”. Semua asumsi ini merupakan basis ontologis teori postmarxisme
yang
belakangan
kerap
disebut
sebagai
pandangan
post-
fondasionalisme. Dalam pengertian ini, peran politik menurut kaca mata teori
post-marxisme berhubungan erat dengan praktik artikulasi hegemonik. Aktivitas
politik melibatkan artikulasi perbedaan identitas dan posisi-posisi subjek ke
dalam, meminjam istilah Gramsci, kepemimpinan intelektual, kultural dan moral.
Peran politik terletak pada konstitusi poin-poin nodal sebagai penopang tatanan
konkrit ranah sosial melalui pembentukan rantai-rantai ekuivalensi yang
melibatkan pembentukan garis politik. Konstruksi garis politik ini memiliki
persamaan dengan proses pembentukan relasi antara dua kubu yang saling
berkompetisi yang cenderung mengarah pada bentuk kawan-lawan.
155
Ketiga, diskusi tentang teori politik radikal Olson dari perspektif teori
politik post-marxisme Laclau dan Mouffe yang fokus pada teori politik ras dan
makna atau definisi politik menghasilkan kesimpulan sebagai berikut:
a) analisa aspek metodik teori politik rasisme Olson dari perspektif analisa
diskursus menunjukan bahwa kajian rasisme Olson tidak bisa disebut sebagai
model analisa diskursus meskipun Olson berangkat dari asumsi yang sama dengan
teori diskursus yakni sebuah objek tidak hadir begitu saja, melainkan secara sosial
dikonstruksi
dan
proses
pembentukan
objek-objek
tersebut
senantiasa
mencerminkan peran kekuasaan. Hal itu terbukti, setidaknya dari pilihan medote
yang diambil. Dari pada menjadikan fenomena rasisme sebagai diskursus, Olson
justru menelaah rasisme dari lensa historis materialisme. Konsekuensinya, Olson
memahami konstruksi rasisme dalam konteks logika ekonomi dengan mengatakan
bahwa basis rasisme Amerika adalah cross-class alliance. Dengan bahasa analisa
diskursus, Olson jatuh pada determinisme dan seperti yang telah kita singgung,
analisa diskursus post-marxisme menolak prinsip fundamental apapun yang
membentuk ranah sosial.
a) Adapun telaah tentang makna politik menunjukan bahwa teori politik
fanatisme Olson selaras dengan konsep perjuangan hegemoni post-marxist Laclau
dan Mouffe. Teori ini memahami politik sebagai aktivitas yang melibatkan
artikulasi perbedaan elemen-elemen, identitas dan subjektivitas ke dalam sebuah
proyek bersama atau dalam bahasa Gramscian kepemimpinan intelektual, kultural
dan moral. Ide pokok dari pandangan politik ini adalah konsep hegemoni, seperti
yang menjadi moto Laclau dan Mouffe: “Kembali pada perjuangan hegemonik”.
156
Analisa ini juga memperlihatkan ada perubahan pemahaman politik dalam
pemikiran Olson. Pada karya awalnya, Olson memahami politik sebagai proyek
abolisionis sementara dalam tulisan-tulisan yang lebih belakangan, politik
didefinisikan sebagai praktek artikulasi.
B. Saran
Penelitian yang melibatkan teori politik di luar tradisi pemikiran liberal
memiliki nilai signifikansi tersendiri untuk terus dikembangkan dan diperluas.
Penelitian penulis tentang pemikiran politik Olson ini tentu saja tidak memuat
semua dimensi pemikiran politiknya. Masih banyak tema-tema menarik dari
pemikiran Olson untuk dijadikan sebagai objek kajian. Penelitian berikutnya bisa
fokus, misalnya pada ide demokrasi abolisonis atau tentang dekonstruksi
fanatisme. Keduanya bisa dikaji dengan menggunakan sudut pandang di luar postmarxisme atau bahkan keduanya dapat digunakan sebagai basis analisa terhadap
fenomena tertentu. Begitu juga, pemikiran politik Laclau dan Mouffe, baik yang
ada dalam buku Hegemony and Socialist Strategy, maupun yang dikembangkan
oleh masing-masing dari keduanya pada kesempatan lain, adalah sumber dan
referensi yang kaya akan ide dan gagasan bagi kajian-kajian sosial, terutama
sekali bagi penelitian yang hendak memahami fenomena-fenomena masyarakat
kontemporer. Selain itu, teori politik post-marxisme Laclau dan Mouffe juga
masih terbuka luas untuk ditelaah lebih jauh. Banyak kritik menarik pada ide postmarxisme Laclau dan Mouffe yang bisa digunakan sebagai titik berangkat
melakukan problematisasi terhadap teori mereka berdua.
157
Download