Difteri DEFINISI Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil toksin (racun) Corynebacterium diphtheriae. Beberapa tahun yang lalu, difteri merupakan penyebab utama kematian pada anak-anak. Saat ini, di negara berkembang, difteri jarang ditemukan karena vaksin difteri telah digunakan secara meluas. Biasanya penyakit ini menyerang saluran pernafasan (terutama laring, amandel dan tenggorokan); tetapi bisa juga menyerang kulit dan toksin yang dihasilkan bisa menyebabkan kerusakan pada saraf dan jantung. PENYEBAB Penyebabnya adalah bakteri Corynebacterium diphtheriae. Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah yang berasal dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Beberapa jenis bakteri ini menghasilkan toksin yang sangat kuat, yang dapat menyebabkan kerusakan pada jantung dan otak. GEJALA Gejala mulai timbul dalam waktu 1-4 hari setelah terinfeksi. Biasanya diawali dengan nyeri tenggorokan yang ringan dan nyeri ketika menelan. Anak mengalami demam ringan, denyut jantungnya cepat, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala. Mungkin terjadi pembengkakan kelenjar getah bening di leher. Jika bakteri sampai ke hidung, hidung akan meler (biasanya hanya dari salah satu lubang hidung). Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan tenggorokan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan. Bakteri membentuk suatu pseudomembran (lapisan selaput yang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya), di dekat amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Pseudomembran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika pseudomembran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir di bawahnya akan berdarah. Pseudomembran bisa menyebabkan penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga anak mengalami kesulitan bernafas. Bisa terjadi apneu (henti nafas) dan sianosis (kulit tampak kebiruan karena kekurangan oksigen). Pada difteri yang ringan jarang terbentuk pseudomembran. Jika bakteri melepaskan toksin, maka toksin ini akan beredar melalui aliran darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf. Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) biasanya terjadi pada hari ke 10-14, tetapi hal ini bisa terjadi kapan saja selama minggu pertama sampai minggu keenam. Kerusakan jantung bisa bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringan pada EKG; atau bersifat sangat berat, menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak. Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan sehingga penderita mengalami kesulitan menelan. Hal ini seringkali terjadi pada minggu pertama. Antara minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan selama berminggu-minggu. Difteri juga bisa menyerang kulit dan keadaannya disebut difteri kutaneus, yang terutama ditemukan pada orang-orang dengan tingkat kebersihan yang jelek. Kadang difteri menyerang mata. DIAGNOSA Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik (ditemukan pseudomembran). Untuk memperkuat diagnosis, dilakukan pemeriksaan terhadap apus tenggorokan dan dibuat biakan di laboratorium. Untuk melihat kelainan jantung, bisa dilakukan pemeriksaan EKG. KOMPLIKASI Racun difteri bisa menyebabkan kerusakan pada jantung, sistem saraf, ginjal ataupun organ lainnya: Miokarditis bisa menyebabkan gagal jantung Kelumpuhan saraf atau neuritis perifer menyebabkan gerakan menjadi tidak terkoordinasi dan gejala lainnya (timbul dalam waktu 3-7 minggu) Kerusakan saraf yang berat bisa menyebabkan kelumpuhan Kerusakan ginjal (nefritis). PENGOBATAN Seorang anak yang menderita difteri dirawat di rumah sakit, di unit perawatan intensif. Segera diberikan antitoksin (antibodi untuk menetralisir racun difteri), dalam bentuk suntikan melalui otot maupun pembuluh darah. Dilakukan pemantauan ketat terhadap sistem pernafasan dan jantung. Untuk melenyapkan bakteri difteri, diberikan antibiotik (misalnya penicillin atau eritromycin). PROGNOSIS Angka kematian adalah sebesar 10%. Pemulihan difteri yang berat berlangsung perlahan dan anak tidak boleh terlalu banyak bergerak, karena kelelahan bisa melukai jantung yang meradang. PENCEGAHAN Untuk mencegah penyakit ini, dilakukan imunisasi rutin pada masa kanak-kanak (DPT) dan booster setelah dewasa (DT). Semua orang yang berhubungan dengan penderita difteri (termasuk petugas rumah sakit) harus menjalani pemeriksaan apus tenggorokan. Sebagai tindakan pencegahan, diberikan antibiotik selama 7 hari. Jika belum pernah mendapatkan vaksinasi atau belum mendapatkan booster dalam 5 tahun terakhir, maka diberikan dosis vaksinasi atau dosis booster. Seorang karier (hasil biakan positif, tetapi tidak menunjukkan gejala) dapat menularkan difteri, karena itu diberikan antibiotik dan dilakukan pembiakan ulang pada apus tenggorokannya. Kekebalan hanya diiperoleh selama 10 tahun setelah mendapatkan imunisasi, karena itu orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster setiap 10 tahun. http://medicastore.com/penyakit/930/Difteri.html A. Pengertian 1. Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae (FKUI, 1999). 2. Diftery adalah toksiko infeksi yang disebabkan oleh Corynebacteryum diphtheriae ( Sarah S Long ,2003 ). 3. Difteria adalah suatu infeksi akut yang mudah menular dan yang diserang terutama saluran pernafasaan bagian atas dengan tanda khas timbulnya pseudo membran (Ngastiyah, 2005). 4. Difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtriae (Rampengan, 1993). 5. Difteria adalah suatu infeksi akut yang mudah menular,sangat berbahaya pada anak – anak terutama menyerang saluran pernafasan bagian atas,penularannya melalui percikan ludah dari orang yang membawa kuman ke orang lain yang sehat (Sulianti Suroso. 2004). 6. Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil toksik (racun) Corynebacterium diphteriae. (Iwansain.2008). 7. Difteri adalah infeksi saluran pernafasan yang disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae dengan bentuk basil batang gram positif (Jauhari,nurudin. 2008). 8. Difteri adalah suatu infeksiakut yang disebabkan oleh bakteri penghasil racun Corynebacterium diphteriae. (Fuadi, Hasan. 2008). B. Etiologi dan klasifikasi Penyebabnya adalah Corynebacterium diphteriae. Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah yang berasal dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Biasanya bakteri ini berkembangbiak pada atau disekitar selaput lender mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Pewarnaan sediaan langsung dapat dialkuakan dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung dari lesi. Menurut Staf Ilmu Kesehatan Anak FKUI dalam buku kuliah ilmu kesehatan anak, sifat bakteri Corynebacterium diphteriae : 1. 2. 3. 4. 5. Gram positif Aerob Polimorf Tidak bergerak Tidak berspora Disamping itu bakeri ini dapat mati pada pemanasan 60º C selama 10 menit, tahan beberapa minggu dalam es, air, susu dan lendir yang telah mengering.Terdapat tiga jenis basil yaitu bentuk gravis, mitis, dan intermedius atas dasar perbedaan bentuk koloni dalam biakan agar darah yang mengandung kalium telurit. Basil Difteria mempunyai sifat: 1. Mambentuk psedomembran yang sukar dianggkat, mudah berdarah, dan berwarna putih keabu-abuan yang meliputi daerah yang terkena.terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan kuman. 2. Mengeluarkan eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah beberapa jam diserap dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan saraf. Menurut tingkat keparahannya, Staff Ilmu Kesehatan Anak FKUI membagi penyakit ini menjadi 3 tingkat yaitu : 1. Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri menelan. 2. Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyaring sampai faring (dinding belakang rongga mulut), sampai menimbulkan pembengkakan pada laring. 3. Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralysis (kelemahan anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal). Menurut bagian ilmu kesehatan anak FKUI, penyakit ini juga dibedakan menurut lokasi gejala yang dirasakan pasien : 1. Difteri hidung Gejala paling ringan dan paling jarang (2%). Mula-mula tampak pilek, kemudian secret yang keluar tercampur darah sedikit yang berasal dari pseudomembran. Penyebaran pseudomembran dapat mencapai faring dan laring. 1. Difteri faring dan tonsil ( Difteri Fausial ). Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas. Paling sering dijumpai ( 75%). Gejala mungkin ringan tanpa pembentukan pseudomembran. Dapat sembuh sendiri dan memberikan imunitas pada penderita.Pada kondisi yang lebih berat diawali dengan radang tenggorokan dengan peningkatan suhu tubuh yang tidak terlalu tinggi, pseudomembran awalnya hanya berupa bercak putih keabu-abuan yang cepat meluas ke nasofaring atau ke laring, nafas berbau, dan ada pembengkakan regional leher tampak seperti leher sapi (bull’s neck). Dapat terjadi sakit menelan, dan suara serak serta stridor inspirasi walaupun belum terjadi sumbatan laring. 1. Difteri laring dan trakea Lebih sering merupakan penjalaran difteri faring dan tonsil, daripada yang primer. Gejala gangguan nafas berupa suara serak dan stridor inspirasi jelas dan bila lebih berat timbul sesak nafas hebat, sianosis, dan tampak retraksi suprasternal serta epigastrium. Ada bull’s neck, laring tampak kemerahan dan sembab, banyak sekret, dan permukaan ditutupi oleh pseudomembran. Bila anak terlihat sesak dan payah sekali perlu dilakukan trakeostomi sebagai pertolongan pertama. 1. Difteri kutaneus dan vaginal Dengan gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membrane diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi justru tidak terasa apa-apa. Difteri dapat pula timbul pada daerah konjungtiva dan umbilikus. 1. C. Patofisiologi Basil hidup dan berkembangbiak pada traktus respiratorius bagian atas terutama bila terdapat peradangan kronis pada tonsil, sinus, dan lain-lain.Selain itu dapat juga pada vulva, kulit, mata, walaupun jarang terjadi. Pada tempat-tempat tersebut basil membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin. Pseudomembran timbul lokal kemudian menjalar kefaring, tonsil, laring, dan saluran nafas atas. Kelenjar getah bening sekitarnya akan membengkak dan mengandung toksin. Eksotoksin bila mengenai otot jantung akan menyebabkan miokarditis toksik atau jika mengenai jaringan saraf perifer sehingga timbul paralysis terutama otot-otot pernafasan. Toksin juga dapat menimbulkan nekrosis fokal pada hati dan ginjal, yang dapat menimbulkan nefritis interstitialis. Kematian pasien difteria pada umumnya disebabkan oleh terjadinya sumbatan jalan nafas akibat pseudomembran pada laring dan trakea, gagal jantung karena miokardititis, atau gagal nafas akibat terjadinya bronkopneumonia. Penularan penyakit difteria adalah melalui udara (droplet infection), tetapi dapat juga melalui perantaraan alat atau benda yang terkontaminasi oleh kuman difteria.Penyakit dapat mengenai bayi tapi kebayakan pada anak usia balita. Penyakit Difteria dapat berat atau ringan bergantung dari virulensi, banyaknya basil, dan daya tahan tubuh anak. Bila ringan hanya berupa keluhan sakit menelan dan akan sembuh sendiri serta dapat menimbulkan kekebalan pada anak jika daya tahan tubuhnya baik. Tetapi kebanyakan pasien datang berobat sering dalam keadaan berat seperti telah adanya bullneck atau sudah stridor atau dispnea. Pasien difteria selalu dirawat dirumah sakit karena mempunyai resiko terjadi komplikasi seperti mioarditis atau sumbatan jalan nafas (Ngastiyah, 1997). Menurut Iwansain,2008 dalam www.iwansain.wordpress.com secara sederhana pathofisiologi difteri yaitu : 1. Kuman difteri masuk dan berkembang biak pada saluran nafas atas, dan dapat juga pada vulva, kulit, mata. 2. Kuman membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin. Pseudomembran timbul lokal dan menjalar dari faring, laring, dan saluran nafas atas. Kelenjar getah bening akan tampak membengkak dan mengandung toksin. 3. Bila eksotoksin mengenai otot jantung akan mengakibatkan terjadinya miokarditis dan timbul paralysis otot-otot pernafasan bila mengenai jaringan saraf. 4. Sumbatan pada jalan nafas sering terjadi akibat dari pseudomembran pada laring dan trakea dan dapat menyebabkan kondisi yang fatal. Corynebacterium diphteriae 1. D. Manifestasi Klinis Gejala mulai timbul dalam waktu 1-4 hari setelah terinfeksi. Sacara umum gejala yang timbul berupa (FKUI, 1999) : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Demam yang tidak terlalu tinggi Denyut jantung cepat Lesu dan lemah Menggigil Mual muntah Nyeri saat menelan dan anoreksia Pucat Pembengkakan kelenjar limfa dileher 9. Sakit kepala 10. Pembengkakan kelenjar limfa dileher 11. Sesak nafas 12. Serak 1. E. Komplikasi Komplikasi yang timbul pada pasien difteri menurut Rampengan (1993) yaitu : 1. Infeksi tumpangan oleh kuman lain Infeksi ini dapat disebabkan oleh kuman Streptococus dan staphylococcus. Pasien dengan infeksi tumpangan kuman Streptococus sering mengalami panas tinggi. 1. Lokal ( obstruksi jalan nafas ) Obstruksi jalan nafas dapt terjadi akibat membran atau oedema jalan nafas dengan segala akibatnya, bronkopneumonia dan atelektasis. 1. Sistemik 1. Kardiovaskuler 1) Miokarditis Sering timbul akibat komplikasi difteri tetapi dapat juga terjadi pada bentuk ringan.komlikasi terhadap penyakit jantung pada anak diperkirakan 10-20%. Makin luas lesi local dan makin terlambat pemberian oksitosin,miokarditis makin sering terjadi.faktor lain yang mempengaruhi terjadinya miokarditis yaitu virulensi kuman. Melemahnya jantung pertama atau adanya aritmia menunjukan gejala-gejala miokarditis. Maimunah dkk (1965) membagi kelainan EKG pada miokarditis difteri atas: a) Gangguan kondiksi . b) Kerusakan miokard:perubahan gelomgang T yang disertai dengan atau tanpa deviasi segmen ST. c) Aritmia: sinus takikardia atau bradikardia . 2) Neuritis Manifestasi klinisnya yaitu: a) Timbul setelah masa laten b) Lesi biasanya bilateral dimana motorik kena lebih dominant daripada sensorik c) Kelainan ini biasanya sembuh sempurna 1. Susunan saraf Penderita difteri akan mengalami komplikasi pada system saraf terutama sistem motorik. Parese atau paralysis dapat berupa : 1) Paralisis atau parese palatum mole a) Merupakan manifestasi sraf yang paling sering b) Timbul pada minggu ketiga dank has dengan adanya suara hidung dan regurgutasi hidung. c) Kelainan ini biasanya hilang sama sekali dalam 1-2 minggu. 2) Ocular palsy Biasanya timbul pada minggu kelima atau khas ditandai oleh paralisisdari otot akomodasi yang menyebabkan penglihatan menjadi kabur,otot yang terkena adalah rectus exsternus. 3) Paralisis diafragma Dapat tejadi pada minggu ke5-7 Paralysis ini disebabkan oleh neuritis n. phrenicus dan bila tadak segera diatasi penderita akan meninggal. 4) Paresis atau paralysis anggota gerak Dapat terjadi pada minggu ke6-10 Pada pemeriksaan didapati lesi bilateral, reflek tendon menghilang, cairan cerebrospinal menunjukan peningkatan protein yang mirip Guillian Barre Syndrom. 1. Urogenital Dapat tejadi neftritis sehingga harus diperhatikan warna dan volumenya apakah normal atau tidak. F. Prognosis Menurut Ngastiyah (2005) prognosis tergantung pada : 1. 2. 3. 4. 5. 6. G. Umur pasien, makinmuda usianya makin jelek prognosisnya. Perjalanan penyakit, makin terlambat diketemukan makin buruk keadaanya. Letak lesi difteria, bila dihidung tergolong ringan. Keadaan umum pasien, bila keadaan gizinya buruk, juga buruk. Terdapat komplikasi miokarditis sangat memperburuk prognosis. Pengobatan terlambat pemberian ADS, prognosis makin buruk. Penatalaksaan 1. Penatalaksanaan medis 1. Pengobatan Umum Terdiri dari perawatan yang baik, istirahat mutlak di tempat tidur, isolasi penderita dan pengawasan ketat atas kemungkinan timbulnya komplikasi antara lain pemeriksaan EKG setiap minggu (Buku kuliah ilmu kesehatan anak FKUI, 1999). 1. Pengobatan Spesifik (Buku kuliah ilmu kesehatan anak FKUI, 1999) 1) Anti Diphteri Serum (ADS) diberikan sebanyak 20.000U/hari selam 2 hari berturut-turut, dengan sebelumnya dilakukan uji kulit dan mata. 2) Antibiotika, penicillin prokain 50.000U/kgBB/hari sampai 3 hari bebas panas. Pada penderita yang dilakukan trakeostomi, ditambahkan kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari, dibagi 4 dosis. 3) Kortikosteroid, dimaksudkan untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang sangat berbahaya. Dapat diberikan prednisone 2mg/kgBB/hari selama 3 minggu yang kemudian dihentikan secara bertahap. 1. Keperawatan . Menurut Ngastiyah (1997),penatalaksanaan keperawatan pada pasien difteri yaitu pasien dirawat dikamar isolasi yang tertutup. Petugas harus memakai skort (celemek) dan masker yang harus diganti tiap pergantian tugas atau bila kotor. Harus disediakan pula perlengkapan cuci tangan, desinfektan sabun, lap atau handuk yang kering. Juga tempat untuk merendam alat makan yang diisi dengan desinfektan. Masalah yang perlu diperhatikan adalah resiko terjadi komplikasi obstuksi jalan nafas, miokarditis, komplikasi pada ginjal, komplikasi susunan saraf pusat, gangguan masukan nutrisi, gangguan rasa aman dan nyaman, resiko terjadi efek samping dari pengobatan, kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit dan perawatan trakheostomi (jika pasien perlu dilakukan trakheostomi). H. Pencegahan Pencegahan penyakit difteria (Ngastiyah, 1997) ada beberapa macam cara yaitu : 1. Imunisasi Penurunan drastic morbidity difteri sejak dilakukan pemberian imunisasi.Imunisasi aktif diberikan dengan penyuntikan toksoid.imunisasi dasar dimulai pada umur 3 bulan dilakuakan 3 kali berturut-turut dengan selang wktu 1 bulan.biasanya diberikan bersamaan dengan toksoid tetanus dan basil B,pertusis yang telah dimatikan sehingga disebut DPT. Vaksinasi ulang dilakukan 1 tahun setelah suntikan terakhir imunisasi dasar (1 ½-2 tahun dan5 tahun,selanjutnya setiap 5 tahun sampai usia 15 tahun hanya diberiksn vaksin difteri jika kontak dengan penderita difteri.doosis yang diberikan adalah 0,5 setiap kali pemberian. 1. Isolasi penderita Penderita harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan kuman difteri dua kali berturut-turut negative. 1. Pencarian seorang karier difteri Dengan dilakukan uji shick.bila diambil hapusan tenggorok ditemukan Corynebacterium diphteriae pasien (karier) diobati, bila perlu dilakukan tonsilektomi. 1. Pencegahan terhadap kontak Terhadap anak yang kontak dengan difteriharus diisolasi selama 7 hari.Bila dalam pengamatan tampak gejala-gejala maka penderita tersebut harus diobati.Bila tidak ada gejala klinis maka diberi iminisasi difteri. I. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan laboratorium: Apusan tenggorok terdapat kuman Corynebakterium difteri (Buku kuliah ilmu kesehatan anak, 1999). 2. Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin. Pada urin terdapat albuminuria ringan (Ngastiyah, 1997). 3. Pemeriksaan bakteriologis mengambil bahan dari membrane atau bahnan di bawah membrane, dibiak dalam Loffler, Tellurite dan media blood ( Rampengan, 1993 ). 4. Lekosit dapat meningkat atau normal, kadang terkadi anemia karena hemolisis sel darah merah (Rampengan, 1993 ) 5. Pada neuritis difteri, cairan serebrospinalis menunjukkan sedikit peningkatan protein (Rampengan, 1993 ). 6. Schick Tes: tes kulit untuk menentukan status imunitas penderita, suatu pemeriksaan swab untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung antitoksin. Dengan titer antitoksin 0,03 ml satuan permilimeter darah cukup dapat menahan infeksi difteri. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MLD (Minimal Letal Dose) yang diberikan intrakutan dalam, bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0,1 ml. Bila orang tersebut tidak mengandung antitoksin, akan timbul vesikel pada bekas suntikan dan akan hilang setelah beberapa minggu. Pada orang yang mengandung titer antitoksin yang rendah, uji shick dapat positif pada orang dengan imunitas atau mengandung anti toksin yang tinggi. Positif palsu dapat terjadi akibat reaksi alergi terhadap protein antitoksin yang menghilang dalam 72 jam.Tes ini tidak berguna pada diagnosis dini, baru dapat dibaca beberapa hari kemudian (Buku kuliah ilmu kesehatan anak FKUI, 1999 ). 7. Apabila pasien mengalami komplikasi kejantung (miokarditis),pada pemeriksaan EKG hasilnya :Low voltage, depresi segment S ( Buku kuliah ilmu kesehatan anak FKUI, 1999) 2. DAFTAR PUSTAKA 3. Fuadi, Hasan. 2008. Asuhan keperawatan difteri. www.detikhealth.com. 7 juni 2008.www.medicastrore.com 4. 5. Iwansain.2008. Difteria.www.iwansain.wordpress.com.7 juni 2008 6. 7. Jauhari,nurudin. 2008. Imunisasi Difteri. 8. www.who.lat/immunization/tipics/diphteria/en.7 juni 2008 9. 10. Kemala, Rita Wahidi. 1996. Nursing Care in Emergency. Jakarta: Fakultas Ilmu Keperawatan UI 11. 12. Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius. 13. 14. Nelson. 1992. Ilmu Kesehatan Anak Bagian 2. Jakarta: EGC 15. 16. Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC 17. 18. Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 19. 20. Rampengan, H.T, dkk. 1993. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Jakarta : EGC 21. 22. Staf Pengajar ll Buku Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1958. Buku Kuliah Ilmu Kesehalan Anak. Jakarta : Info Medika. 23. 24. Sulianti Suroso. 2004. Pengaruh Imunisasi pada anak.www.infeksi.com.7 juni 2008 25. 26. Suradi, dkk. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak Edisi I. Jakarta : CV. Agung Seto. Keperawatan Pencegahan Difteri 1. Memberikan kekebalan pada anak-anak dengan cara : • • • Imunisasi DPT/HB untuk anak bayi. Imunisasi di berikan sebanyak 3 kali yaitu pada saat usia 2 bulan, 3 bulan, dan 4 bulan. Imunisasi DT untuk anak usia sekolah dasar (usia kurang dari 7 tahun). Imunisasi ini di berikan satu kali. Imunisasi dengan vaksin Td dewasa untuk usia 7 tahun ke atas. 2. Hindari kontak dengan penderita langsung difteri. 3. Jaga kebersihan diri. 4. Menjaga stamina tubuh dengan makan makanan yang bergizi dan berolahraga cuci tangan sebelum makan. 5. Melakukan pemeriksaan kesehatan secara teratur. 6. Bila mempunyai keluhan sakit saat menelan segera memeriksakan ke Unit Pelayanan Kesehatan terdekat. dr. Mira Novia http://www.surabaya-ehealth.org/artikel/dapat-timbulkan-kematian-jika-tidakditangani-dengan-segera 2010 Miokarditis Diagnosis dan Penatalaksanaan Pada Miokarditis Miokarditis adalah istilah kolektif untuk penyakit inflamasi otot jantung dengan penyebab yang berbeda. Meskipun sejumlah besar miokarditis asimtomatik berlalu, mereka dapat memicu untuk gangguan jantung yang mengancam jiwa irama jantung dan kematian mendadak untuk memimpin. Apakah lapisan jantung (endocardium) dan jantung meliputi (epicardium terpengaruh), ini disebut Pankarditis. Dasar Kelainan : Peradangan miokardium. I. Diagnosa Miokarditis • Keluhan Pokok o Demam Nyeri dada mirip angina pectoris dan perikarditis (perikarditis kronis / perikarditis akut) o Palpitasi o Sesak napas Tanda Penting o Takikardi o Kardomegali (cepat terjadi) o Bunyi jantung melemah o Irama gallop; Tanda-tanda gagal jantung, terutama gagal jantung kanan. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan Khusus o • • • Pemeriksaa EKG: Tidak khas ST-T changes inferior Gangguan konduksi jantung 2. Foto Toraks: Tidak khas Pembesaran jantung dengan efusi perikard atau pleura. 3. Ekokardiografi: Pembesaran jantung kiri Dapat di bedakan dengan kardiomiopati hipertrofi dan mitral stenosis. 1. II. Komplikasi Miokarditis 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Gagal jantung kongestif Aritmi jantung Gangguan konduksi jantung (Blok total) Kardiomiopati kongestif/dilated Efusi pericardial AV blok total Trobi kardial III. Penatalaksanaan Miokarditis A.Terapi Umum 1. Istirahat o Bed rost total 2. Diet 3. Medikamentosa Obat pertama: o Pengobatan infeksi o Digitalis: hati-hati o Kortikostiroid pada kasus berat. Obat alternative : - B.Terapi Komplikasi • Blok total: alat pacu jantung (pacemaker). IV. Prognosisi Miokarditis • • Sebagian cepat sembuh cepat, kadang jadi kronis. Prognosis buruk bila: 1. Umur muda, sering mati mendadak 2. Bentuk akut fulminan karena virus atau difteri 3. Miokarditis yang sangat progresif 4. Bentuk kronis yang berlanjut menjadi kardiomiopati 5. Penyakit chaga. ]] Diagonosis Pada penyakit difteri ini diagnosis dini sangat penting. Keterlambatan pemberian antitoksin sangat mempengaruhi prognosa. Diagnosa harus ditegakakkan berdasarkan gejala klinik. Test yang digunakan untuk mendeteksi penyakit Difteri boleh meliputi: • • Gram Noda kultur kerongkongan atau selaput untuk mengidentifikasi Corynebacterium diphtheriae. Untuk melihat ada tidaknya myocarditis (peradangan dinding otot jantung) dapat di lakuka dengan electrocardiogram (ECG). Pengambilan smear dari membran dan bahan dibawah membran, tetapi hasilnya kurang dapat dipercaya. Pemeriksaan darah dan urine, tetapi tidak spesifik. Pemeriksaan Shick test bisa dilakukan untuk menentukan status imunitas penderita. Gejala Penyakit Gejala klinis penyakit difteri ini adalah : 1. Panas lebih dari 38 °C 2. Ada psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsil 3. Sakit waktu menelan 4. Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena pembengkakan kelenjar leher. Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak panas yang sakit waktu menelan harus diperiksa pharynx dan tonsilnya apakah ada psedomembrane. Jika pada tonsil tampak membran putih kebau-abuan disekitarnya, walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya diambil sediaan (spesimen) berupa apusan tenggorokan (throat swab) untuk pemeriksaan laboratorium. Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada anak tak jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala. Pembengkakan kelenjar getah bening di leher sering terjadi. Patogenesis Biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, hidung akan meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan. Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf. Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan. Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi toksin. Antara minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggu pertama sampai minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringan pada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk, tak jarang difteri juga menyerang kulit. Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan selaput yang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir di bawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga anak mengalami kesulitan bernafas. Berdasarkan gejala dan ditemukannya membran inilah diagnosis ditegakkan. Tak jarang dilakukan pemeriksaan terhadap lendir di tenggorokan dan dibuat biakan di laboratorium. Sedangkan untuk melihat kelainan jantung yang terjadi akibat penyakit ini dilakukan pemeriksaan dengan EKG. Komplikasi Komplikasi bisa dipengaruhi oleh virulensi kuman, luas membran, jumlah toksin, waktu antara timbulnya penyakit dengan pemberian antitoksin. Komplikasi difteri terdiri dari : 1. Infeksi sekunder, biasanya oleh kuman streptokokus dan stafilokokus 2. Infeksi Lokal : obstruksi jalan nafas akibat membran atau oedema jalan nafas 3. Infeksi Sistemik karena efek eksotoksin Komplikasi yang terjadi antara lain kerusakan jantung, yang bisa berlanjut menjadi gagal jantung. Kerusakan sistem saraf berupa kelumpuhan saraf penyebab gerakan tak terkoordinasi. Kerusakan saraf bahkan bisa berakibat kelumpuhan, dan kerusakan ginjal. Pencegahan dan Pengobatan Setiap orang dapat terinfeksi oleh difteri, tetapi kerentanan terhadap infeksi tergantung dari pernah tidaknya ia terinfeksi oleh difteri dan juga pada kekebalannya. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang kebal akan mendapat kekebalan pasif, tetapi taka akan lebih dari 6 bulan dan pada umur 1 tahun kekebalannya habis sama sekali. Seseorang yang sembuh dari penyakit difteri tidak selalu mempunyai kekebalan abadi. Paling baik adalah kekebalan yang didapat secara aktif dengan imunisasi. Status imunisasi DPT dan DT anak adalah faktor yang paling dominan dalam mempengaruhi terjadinya difteri. (Kartono,2008) • Pencegahan paling efektif adalah dengan imunisasi bersamaan dengan tetanus dan pertusis (DPT) sebanyak tiga kali sejak bayi berumur dua bulan dengan selang penyuntikan satu-dua bulan. Pemberian imunisasi ini akan memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus dalam waktu bersamaan. Efek samping yang mungkin akan timbul adalah demam, nyeri dan bengkak pada permukaan kulit, cara mengatasinya cukup diberikan obat penurun panas . Berdasarkan program dari Departemen Kesehatan RI imunisasi perlu diulang pada saat usia sekolah dasar yaitu bersamaan dengan tetanus yaitu DT sebanyak 1 kali. Sayangnya kekebalan hanya • • • • • • diiperoleh selama 10 tahun setelah imunisasi, sehingga orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun sekali. Bagi anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan system kekebalan mereka atau mereka yang terinfeksi HIV diberikan imunisasi dengan vaksin difteria dengan jadwal yang sama. Selain pemberian imunisasi perlu juga diberikan penyuluhan kepada masyarakat terutama kepada orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya imunisasi aktif diberikan kepada bayi dan anak-anak. Dan perlu juga untuk menjaga kebersihan badan, pakaian dan lingkungan. Penyakit menular seperti difteri mudah menular dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itulah, selain menjaga kebersihan diri, kita juga harus menjaga kebersihan lingkungan sekitar. Disamping itu juga perlu diperhatikan makanan yang kita konsumsi harus bersih. Jika kita harus membeli makanan di luar, pilihlah warung yang bersih. Jika telah terserang difteri, penderita sebaiknya dirawat dengan baik untuk mempercepat kesembuhan dan agar tidak menjadi sumber penularan bagi yang lain. Pengobatan difteri difokuskan untuk menetralkan toksin (racun) difteri dan untuk membunuh kuman Corynebacterium diphtheriae penyebab difteri. Setelah terserang difteri satu kali, biasanya penderita tidak akan terserang lagi seumur hidup. Melihat bahayanya penyakit ini maka bila ada anak yang sakit dan ditemukan gejala diatas maka harus segera dibawa ke dokter atau rumah sakit untuk segera mendapatkan penanganan. Pasien biasanya akan masuk rumah sakit untuk diopname dan diisolasi dari orang lain guna mencegah penularan. Di rumah sakit akan dilakukan pengawasan yang ketat terhadap fungsi fungsi vital penderita untuk mencegah terjadinya komplikasi. Mengenai obat, penderita umumnya akan diberikan antibiotika, steroid, dan ADS (Anti Diphteria Serum). Perawatan umum penyakit difteri yaitu dengan melakukan isolasi, bed rest : 2-3 minggu, makanan yang harus dikonsumsi adalah makanan lunak, mudah dicerna, protein dan kalori cukup, kebersihan jalan nafas, pengisapan lendir. Dengan pengobatan yang cepat dan tepat maka komplikasi yang berat dapat dihindari, namun keadaan bisa makin buruk bila pasien dengan usia yang lebih muda, perjalanan penyakit yang lama, gizi kurang dan pemberian anti toksin yang terlambat. Walaupun sangat berbahaya dan sulit diobati, penyakit ini sebenarnya bisa dicegah dengan cara menghindari kontak dengan pasien difteri yang hasil lab-nya masih positif dan imunisasi. • • • Pengobatan khusus penyakit difteri bertujuan untuk menetralisir toksin dan membunuh basil dengan antibiotika (Penicilin Procain, Eritromisin, Ertromysin, Amoksisilin, Rifampicin, Klindamisin, tetrasiklin). Pengobatan penderita difteria ini yaitu dengan pemberian Anti Difteria Serum (ADS) 20.000 unit intra muskuler bila membrannya hanya terbatas tonsil saja, tetapi jika membrannya sudah meluas diberikan ADS 80.000-100.000 unit. Sebelum pemberian serum dilakukan sensitif test. • • • Antibiotik pilihan adalah penicilin 50.000 unit/kgBB/hari diberikan samapi 3 hari setelah panas turun. Antibiotik alternatif lainnya adalah erythromicyn 30-40 mg/KgBB/hari selama 14 hari. Penanggulangan melalui pemberian imunisasi DPT (Dipteri Pertusis Tetanus) dimana vakisin DPT adalah vaksin yang terdiri dari toxoid difteri dan tetanus yang dimurnikan serta bakteri pertusis yang telah diinaktifkan. Imunisasi DPT diberikan untuk pemberian kekebalan secara simultan terhadap difteri, pertusis dan tetanus, diberikan pertama pada bayi umur 2 bulan, dosis selanjutnya diberikan dengan interval paling cepat 4 (empat) minggun (1 bulan). DPT pada bayi diberikan tiga kali yaitu DPT1, DPT2 dan DPT 3. Imunisasi lainnya yaitu DT (Dipteri Pertusis) merupakan imunisasi ulangan yang biasanya diberikan pada anak sekolah dasar kelas 1. Seorang karier (hasil biakan positif, tetapi tidak menunjukkan gejala) dapat menularkan difteri, karena itu diberikan antibiotik dan dilakukan pembiakan ulang pada apus tenggorokannya. Kekebalan hanya diperoleh selama 10 tahun setelah mendapatkan imunisasi, karena itu orang dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster setiap 10 tahun. Daftar Pustaka http://www.who.int/immunization_monitoring/diseases/diphteria/en/index.html http://www.who.int/immunization/topics/diphtheria/en/index.html http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs089/en/ Buku Manual Pemberantasan Penyakit JAMES CHIN, MD, MPH,Editor Penterjemah : Dr. I NYOMAN KANDUN, MPH Edisi 17 Tahun 2000 disusun oleh Febby Hapsari Prastiten E2A009198 / R2 2009 FKM UNDIPhttp://febbyhapsari.wordpress.com/2011/03/20/difteri-sebagai-contoh-food-andwater-borne-disease/ MYOCARDITIS PENGERTIAN: adalah radang otot jantung atau miokard. Peradangan ini dapat disebabkan oleh penyakit reumatik akut dan infeksi virus seperti cocksakie virus, difteri, campak, influenza, poliomielitis, dan berbagai macam bakteri, rikettsia, jamur, dan parasit. EPIDEMIOLOGI: Miokarditis menyerang semua umur. Sebagian besar dapat sembuh spontan. Miokarditis post mortem karena peradangan fokal atau difus. Miokarditis sering disertai radang perikard atau mioperikarditis. GEJALA KLINIS: Gejala klinis tidak khas, kelainan ECG sepintas, jarang menyebabkan pembesaran jantung, irama gallop dan dekompensasi jantung. Miokarditis oleh reuma akut disertai gejala berat . Gejala yang sering ditemukan: 1. Takikardia, Peningkatan suhu akibat infeksi menyebabkan frekuensi denyut nadi akan meningkat lebih tinggi 2. Bunyi jantung melemah, disebabkan penurunan kontraksi otot jantung . Katub-katub mitral dan trikuspid tidak dapat ditutup dengan keras 3. Auskultasi: gallop, gangguan irama supraventrikular dan ventrikular 4. Gagal jantung, Dekompensasi jantung terutama mengenai jantung sebelah kanan. DIAGNOSIS: Bila tanda infeksi penyakit lain tidak ditemukan (decomp kanan, penyakit jantung bawaan, penyakit katub jantung , penyakit jantung koroner dan lain-lain) maka perlu dipikirkan ke miokarditis. Sukar dibedakan kardiomiopati kongestif, tetapi dengan pemeriksaan echografi dapat membantu menegakkan diagnosis. Pemeriksaan EKG, histologik dan mikroskopik elektron dan pemeriksaaan immunofluoresensi juga membantu. http://ruslanpinrang.blogspot.com/2009_07_01_archive.html PENDAHULUAN EPIDEMIOLOGI DIFTERI Difteria masih merupakan penyakit endemic dibanyak negara di dunia. Pada awal tahun 1980-an terjadi peningkatan insidensi kasus difteria pada negara bekas Uni Soviet karena kekacauan program imunisasi, dan pada tahun 1990-an masih terjadi epidemic yang besar di Rusia dan Ukraina. Pada tahun 2000-an epidemic difteria masih terjadi dan menjalar ke negaranegara tetangga.1 Sebelum era vaksinasi, difteria merupakan penyakit yang sering menyebabkan kematian. Namun sejak mulai diadakannya program imunisasi DPT(di Indonesia pada tahun 1974), maka kasus dan kematian akibat difteria berkurang sangat banyak. Angaka mortalitas berkisar 5-10%, sedangkan angka kematian di Indonesia menurut laporan Parwati S. Basuki yang didapatkan dari rumah sakit di kota Jakarta(RSCM), Bandung(RSHS), Makasar(RSWS), Senmarang(RSK), dan Palembang(RSMH) rata-rata sebesar 15%.1 Difteria adalah penyakit yang jarang terjadi, biasanya menyerang remaja dan orang dewasa. Di Amerika Serikat selama tahun 1980-1996 terdapat 71% kasus yang menyerang usia kurang dari 14 tahun. Pada tahun 1994 terdapat lebih dari 39.000 kasus difteria dengan kematian 1100 kasus (CFR= 2,82%), sebagian besar menyerang usia lebih dari 15 tahun. Di Ekuador, Amerika Selatan, pada tahun 1993-1994 terjadi ledakan kasus sebedsar 200 kasus, yang 50%-nya adalah anak berusia 15 tahun atau lebih.1 Dari tahun 1980 sampai 2010, 55 kasus difteri dilaporkan CDC Nasional dilaporkan Penyakit Surveillance System. Sebagian besar kasus (77%) menyerang usia 15 tahun dan lebih ,empat dari lima kasus fatal terjadi di kalangan anak-anak yang tidak divaksinasi, kasus fatal yang kelima adalah seorang laki-laki, dalam 75 tahun kembali ke Amerika Serikat dari negara dengan penyakit endemic.9 Difteri tetap endemik di banyak bagian dunia berkembang, termasuk beberapa negara Karibia dan Amerika Latin, Eropa Timur, Asia Tenggara, dan Afrika. 9Dari wabah ini mayoritas kasus telah terjadi di kalangan remaja dan orang dewasa, bukan anak-anak. Karena, banyak dari remaja dan orang dewasa belum menerima vaksinasi rutin anak atau dosis booster toksoid difteri. 9 Di Indonesia, dari data lima rumah sakit di Jakarta, Bandung, Makassar, Semarang, dan Palembang, Parwati S.Basuki melaporkan angka yang berbeda. Selama tahun 1991-1996, dari 473 pasien difteria, terdapat 45% usia balita, 27% usia kurang dari 1 tahun, 24% usia 5-9 tahun, dan 4% usia diatas 10 tahun. Berdasarkan suatu KLB difteria di kota Semarang pada tahun 2003, dilaporakan bahwa dari 33 pasien sebanyak 46% berusia 15-44 tahun serta 30% berusia 5-14 tahun.1 Khusus provinsi Sumatera Selatan, selama tahun 2003-2009 penemuan kasus difteri cenderung terjadi penurunan, kasus terbanyak pada tahun 2007 (12 kasus) dan terendah pada tahun 2003 (2 kasus), meskipun demikian Sumatera Selatan merupakan provinsi terbesar kedua untuk kasus difteri pada tahun 2008.10 Meskipun difteri sekarang dilaporkan hanya jarang di Amerika Serikat, di era prevaccine, penyakit ini adalah salah satu penyebab paling umum dari penyakit dan kematian pada anakanak.9 http://epidemiologiunsri.blogspot.com/2011/11/difteri.html