Difteri DEFINISI Difteri adalah suatu infeksi akut yang

advertisement
Difteri DEFINISI
Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil toksin (racun)
Corynebacterium diphtheriae.
Beberapa tahun yang lalu, difteri merupakan penyebab utama kematian pada anak-anak. Saat ini,
di negara berkembang, difteri jarang ditemukan karena vaksin difteri telah digunakan secara
meluas.
Biasanya penyakit ini menyerang saluran pernafasan (terutama laring, amandel dan
tenggorokan); tetapi bisa juga menyerang kulit dan toksin yang dihasilkan bisa menyebabkan
kerusakan pada saraf dan jantung.
PENYEBAB
Penyebabnya adalah bakteri Corynebacterium diphtheriae.
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah yang berasal dari batuk penderita atau benda
maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri.
Biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau
tenggorokan dan menyebabkan peradangan.
Beberapa jenis bakteri ini menghasilkan toksin yang sangat kuat, yang dapat menyebabkan
kerusakan pada jantung dan otak.
GEJALA
Gejala mulai timbul dalam waktu 1-4 hari setelah terinfeksi.
Biasanya diawali dengan nyeri tenggorokan yang ringan dan nyeri ketika menelan. Anak
mengalami demam ringan, denyut jantungnya cepat, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala.
Mungkin terjadi pembengkakan kelenjar getah bening di leher.
Jika bakteri sampai ke hidung, hidung akan meler (biasanya hanya dari salah satu lubang
hidung).
Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan
pembengkakan tenggorokan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan.
Bakteri membentuk suatu pseudomembran (lapisan selaput yang terdiri dari sel darah putih yang
mati, bakteri dan bahan lainnya), di dekat amandel dan bagian tenggorokan yang lain.
Pseudomembran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika pseudomembran dilepaskan
secara paksa, maka lapisan lendir di bawahnya akan berdarah.
Pseudomembran bisa menyebabkan penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas
dan menyumbat saluran udara, sehingga anak mengalami kesulitan bernafas. Bisa terjadi apneu
(henti nafas) dan sianosis (kulit tampak kebiruan karena kekurangan oksigen).
Pada difteri yang ringan jarang terbentuk pseudomembran.
Jika bakteri melepaskan toksin, maka toksin ini akan beredar melalui aliran darah dan bisa
menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf.
Kerusakan pada otot jantung (miokarditis) biasanya terjadi pada hari ke 10-14, tetapi hal ini bisa
terjadi kapan saja selama minggu pertama sampai minggu keenam. Kerusakan jantung bisa
bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringan pada EKG; atau bersifat sangat berat,
menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak.
Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di tenggorokan sehingga penderita
mengalami kesulitan menelan. Hal ini seringkali terjadi pada minggu pertama.
Antara minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan
tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai.
Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan selama berminggu-minggu.
Difteri juga bisa menyerang kulit dan keadaannya disebut difteri kutaneus, yang terutama
ditemukan pada orang-orang dengan tingkat kebersihan yang jelek.
Kadang difteri menyerang mata.
DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik (ditemukan
pseudomembran).
Untuk memperkuat diagnosis, dilakukan pemeriksaan terhadap apus tenggorokan dan dibuat
biakan di laboratorium.
Untuk melihat kelainan jantung, bisa dilakukan pemeriksaan EKG.
KOMPLIKASI
Racun difteri bisa menyebabkan kerusakan pada jantung, sistem saraf, ginjal ataupun organ
lainnya:
 Miokarditis bisa menyebabkan gagal jantung
 Kelumpuhan saraf atau neuritis perifer menyebabkan gerakan menjadi tidak terkoordinasi
dan gejala lainnya (timbul dalam waktu 3-7 minggu)
 Kerusakan saraf yang berat bisa menyebabkan kelumpuhan
 Kerusakan ginjal (nefritis).
PENGOBATAN
Seorang anak yang menderita difteri dirawat di rumah sakit, di unit perawatan intensif.
Segera diberikan antitoksin (antibodi untuk menetralisir racun difteri), dalam bentuk suntikan
melalui otot maupun pembuluh darah.
Dilakukan pemantauan ketat terhadap sistem pernafasan dan jantung.
Untuk melenyapkan bakteri difteri, diberikan antibiotik (misalnya penicillin atau eritromycin).
PROGNOSIS
Angka kematian adalah sebesar 10%.
Pemulihan difteri yang berat berlangsung perlahan dan anak tidak boleh terlalu banyak bergerak,
karena kelelahan bisa melukai jantung yang meradang.
PENCEGAHAN
Untuk mencegah penyakit ini, dilakukan imunisasi rutin pada masa kanak-kanak (DPT) dan
booster setelah dewasa (DT).
Semua orang yang berhubungan dengan penderita difteri (termasuk petugas rumah sakit) harus
menjalani pemeriksaan apus tenggorokan. Sebagai tindakan pencegahan, diberikan antibiotik
selama 7 hari.
Jika belum pernah mendapatkan vaksinasi atau belum mendapatkan booster dalam 5 tahun
terakhir, maka diberikan dosis vaksinasi atau dosis booster.
Seorang karier (hasil biakan positif, tetapi tidak menunjukkan gejala) dapat menularkan difteri,
karena itu diberikan antibiotik dan dilakukan pembiakan ulang pada apus tenggorokannya.
Kekebalan hanya diiperoleh selama 10 tahun setelah mendapatkan imunisasi, karena itu orang
dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster setiap 10 tahun.
http://medicastore.com/penyakit/930/Difteri.html
A. Pengertian
1. Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman
Corynebacterium diphteriae (FKUI, 1999).
2. Diftery adalah toksiko infeksi yang disebabkan oleh Corynebacteryum diphtheriae
( Sarah S Long ,2003 ).
3. Difteria adalah suatu infeksi akut yang mudah menular dan yang diserang terutama
saluran pernafasaan bagian atas dengan tanda khas timbulnya pseudo membran
(Ngastiyah, 2005).
4. Difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtriae (Rampengan,
1993).
5. Difteria adalah suatu infeksi akut yang mudah menular,sangat berbahaya pada anak –
anak terutama menyerang saluran pernafasan bagian atas,penularannya melalui percikan
ludah dari orang yang membawa kuman ke orang lain yang sehat (Sulianti Suroso. 2004).
6. Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri penghasil toksik (racun)
Corynebacterium diphteriae. (Iwansain.2008).
7. Difteri adalah infeksi saluran pernafasan yang disebabkan oleh Corynebacterium
diphteriae dengan bentuk basil batang gram positif (Jauhari,nurudin. 2008).
8. Difteri adalah suatu infeksiakut yang disebabkan oleh bakteri penghasil racun
Corynebacterium diphteriae. (Fuadi, Hasan. 2008).
B. Etiologi dan klasifikasi
Penyebabnya adalah Corynebacterium diphteriae. Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah
yang berasal dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh
bakteri. Biasanya bakteri ini berkembangbiak pada atau disekitar selaput lender mulut atau
tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Pewarnaan sediaan langsung dapat dialkuakan
dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan langsung dari
lesi.
Menurut Staf Ilmu Kesehatan Anak FKUI dalam buku kuliah ilmu kesehatan anak, sifat bakteri
Corynebacterium diphteriae :
1.
2.
3.
4.
5.
Gram positif
Aerob
Polimorf
Tidak bergerak
Tidak berspora
Disamping itu bakeri ini dapat mati pada pemanasan 60º C selama 10 menit, tahan beberapa
minggu dalam es, air, susu dan lendir yang telah mengering.Terdapat tiga jenis basil yaitu bentuk
gravis, mitis, dan intermedius atas dasar perbedaan bentuk koloni dalam biakan agar darah yang
mengandung kalium telurit. Basil Difteria mempunyai sifat:
1. Mambentuk psedomembran yang sukar dianggkat, mudah berdarah, dan berwarna putih
keabu-abuan yang meliputi daerah yang terkena.terdiri dari fibrin, leukosit, jaringan
nekrotik dan kuman.
2. Mengeluarkan eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni jaringan setelah
beberapa jam diserap dan memberikan gambaran perubahan jaringan yang khas terutama
pada otot jantung, ginjal dan jaringan saraf.
Menurut tingkat keparahannya, Staff Ilmu Kesehatan Anak FKUI membagi penyakit ini menjadi
3 tingkat yaitu :
1. Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala
hanya nyeri menelan.
2. Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyaring sampai faring (dinding belakang
rongga mulut), sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.
3. Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala komplikasi
seperti miokarditis (radang otot jantung), paralysis (kelemahan anggota gerak) dan
nefritis (radang ginjal).
Menurut bagian ilmu kesehatan anak FKUI, penyakit ini juga dibedakan menurut lokasi gejala
yang dirasakan pasien :
1. Difteri hidung
Gejala paling ringan dan paling jarang (2%). Mula-mula tampak pilek, kemudian secret yang
keluar tercampur darah sedikit yang berasal dari pseudomembran. Penyebaran pseudomembran
dapat mencapai faring dan laring.
1. Difteri faring dan tonsil ( Difteri Fausial ).
Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat
gagal nafas. Paling sering dijumpai ( 75%). Gejala mungkin ringan tanpa pembentukan
pseudomembran. Dapat sembuh sendiri dan memberikan imunitas pada penderita.Pada kondisi
yang lebih berat diawali dengan radang tenggorokan dengan peningkatan suhu tubuh yang tidak
terlalu tinggi, pseudomembran awalnya hanya berupa bercak putih keabu-abuan yang cepat
meluas ke nasofaring atau ke laring, nafas berbau, dan ada pembengkakan regional leher tampak
seperti leher sapi (bull’s neck). Dapat terjadi sakit menelan, dan suara serak serta stridor inspirasi
walaupun belum terjadi sumbatan laring.
1. Difteri laring dan trakea
Lebih sering merupakan penjalaran difteri faring dan tonsil, daripada yang primer. Gejala
gangguan nafas berupa suara serak dan stridor inspirasi jelas dan bila lebih berat timbul sesak
nafas hebat, sianosis, dan tampak retraksi suprasternal serta epigastrium. Ada bull’s neck, laring
tampak kemerahan dan sembab, banyak sekret, dan permukaan ditutupi oleh pseudomembran.
Bila anak terlihat sesak dan payah sekali perlu dilakukan trakeostomi sebagai pertolongan
pertama.
1. Difteri kutaneus dan vaginal
Dengan gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membrane
diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi justru
tidak terasa apa-apa. Difteri dapat pula timbul pada daerah konjungtiva dan umbilikus.
1. C.
Patofisiologi
Basil hidup dan berkembangbiak pada traktus respiratorius bagian atas terutama bila terdapat
peradangan kronis pada tonsil, sinus, dan lain-lain.Selain itu dapat juga pada vulva, kulit, mata,
walaupun jarang terjadi. Pada tempat-tempat tersebut basil membentuk pseudomembran dan
melepaskan eksotoksin.
Pseudomembran timbul lokal kemudian menjalar kefaring, tonsil, laring, dan saluran nafas atas.
Kelenjar getah bening sekitarnya akan membengkak dan mengandung toksin. Eksotoksin bila
mengenai otot jantung akan menyebabkan miokarditis toksik atau jika mengenai jaringan saraf
perifer sehingga timbul paralysis terutama otot-otot pernafasan. Toksin juga dapat menimbulkan
nekrosis fokal pada hati dan ginjal, yang dapat menimbulkan nefritis interstitialis. Kematian
pasien difteria pada umumnya disebabkan oleh terjadinya sumbatan jalan nafas akibat
pseudomembran pada laring dan trakea, gagal jantung karena miokardititis, atau gagal nafas
akibat terjadinya bronkopneumonia.
Penularan penyakit difteria adalah melalui udara (droplet infection), tetapi dapat juga melalui
perantaraan alat atau benda yang terkontaminasi oleh kuman difteria.Penyakit dapat mengenai
bayi tapi kebayakan pada anak usia balita. Penyakit Difteria dapat berat atau ringan bergantung
dari virulensi, banyaknya basil, dan daya tahan tubuh anak. Bila ringan hanya berupa keluhan
sakit menelan dan akan sembuh sendiri serta dapat menimbulkan kekebalan pada anak jika daya
tahan tubuhnya baik. Tetapi kebanyakan pasien datang berobat sering dalam keadaan berat
seperti telah adanya bullneck atau sudah stridor atau dispnea. Pasien difteria selalu dirawat
dirumah sakit karena mempunyai resiko terjadi komplikasi seperti mioarditis atau sumbatan jalan
nafas (Ngastiyah, 1997).
Menurut Iwansain,2008 dalam www.iwansain.wordpress.com secara sederhana pathofisiologi
difteri yaitu :
1. Kuman difteri masuk dan berkembang biak pada saluran nafas atas, dan dapat juga pada
vulva, kulit, mata.
2. Kuman membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin. Pseudomembran timbul
lokal dan menjalar dari faring, laring, dan saluran nafas atas. Kelenjar getah bening akan
tampak membengkak dan mengandung toksin.
3. Bila eksotoksin mengenai otot jantung akan mengakibatkan terjadinya miokarditis dan
timbul paralysis otot-otot pernafasan bila mengenai jaringan saraf.
4. Sumbatan pada jalan nafas sering terjadi akibat dari pseudomembran pada laring dan
trakea dan dapat menyebabkan kondisi yang fatal.
Corynebacterium diphteriae
1. D.
Manifestasi Klinis
Gejala mulai timbul dalam waktu 1-4 hari setelah terinfeksi.
Sacara umum gejala yang timbul berupa (FKUI, 1999) :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Demam yang tidak terlalu tinggi
Denyut jantung cepat
Lesu dan lemah
Menggigil
Mual muntah
Nyeri saat menelan dan anoreksia
Pucat
Pembengkakan kelenjar limfa dileher
9. Sakit kepala
10. Pembengkakan kelenjar limfa dileher
11. Sesak nafas
12. Serak
1. E.
Komplikasi
Komplikasi yang timbul pada pasien difteri menurut Rampengan (1993) yaitu :
1. Infeksi tumpangan oleh kuman lain
Infeksi ini dapat disebabkan oleh kuman Streptococus dan staphylococcus. Pasien dengan
infeksi tumpangan kuman Streptococus sering mengalami panas tinggi.
1. Lokal ( obstruksi jalan nafas )
Obstruksi jalan nafas dapt terjadi akibat membran atau oedema jalan nafas dengan segala
akibatnya, bronkopneumonia dan atelektasis.
1. Sistemik
1. Kardiovaskuler
1)
Miokarditis
Sering timbul akibat komplikasi difteri tetapi dapat juga terjadi pada bentuk ringan.komlikasi
terhadap penyakit jantung pada anak diperkirakan 10-20%. Makin luas lesi local dan makin
terlambat pemberian oksitosin,miokarditis makin sering terjadi.faktor lain yang mempengaruhi
terjadinya miokarditis yaitu virulensi kuman.
Melemahnya jantung pertama atau adanya aritmia menunjukan gejala-gejala miokarditis.
Maimunah dkk (1965) membagi kelainan EKG pada miokarditis difteri atas:
a)
Gangguan kondiksi .
b)
Kerusakan miokard:perubahan gelomgang T yang disertai dengan atau tanpa deviasi
segmen ST.
c)
Aritmia: sinus takikardia atau bradikardia .
2)
Neuritis
Manifestasi klinisnya yaitu:
a)
Timbul setelah masa laten
b)
Lesi biasanya bilateral dimana motorik kena lebih dominant daripada sensorik
c)
Kelainan ini biasanya sembuh sempurna
1. Susunan saraf
Penderita difteri akan mengalami komplikasi pada system saraf terutama sistem motorik.
Parese atau paralysis dapat berupa :
1)
Paralisis atau parese palatum mole
a)
Merupakan manifestasi sraf yang paling sering
b)
Timbul pada minggu ketiga dank has dengan adanya suara hidung dan regurgutasi hidung.
c)
Kelainan ini biasanya hilang sama sekali dalam 1-2 minggu.
2)
Ocular palsy
Biasanya timbul pada minggu kelima atau khas ditandai oleh paralisisdari otot akomodasi yang
menyebabkan penglihatan menjadi kabur,otot yang terkena adalah rectus exsternus.
3)
Paralisis diafragma
Dapat tejadi pada minggu ke5-7
Paralysis ini disebabkan oleh neuritis n. phrenicus dan bila tadak segera diatasi penderita akan
meninggal.
4)
Paresis atau paralysis anggota gerak
Dapat terjadi pada minggu ke6-10
Pada pemeriksaan didapati lesi bilateral, reflek tendon menghilang, cairan cerebrospinal
menunjukan peningkatan protein yang mirip Guillian Barre Syndrom.
1. Urogenital
Dapat tejadi neftritis sehingga harus diperhatikan warna dan volumenya apakah normal atau
tidak.
F.
Prognosis
Menurut Ngastiyah (2005) prognosis tergantung pada :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
G.
Umur pasien, makinmuda usianya makin jelek prognosisnya.
Perjalanan penyakit, makin terlambat diketemukan makin buruk keadaanya.
Letak lesi difteria, bila dihidung tergolong ringan.
Keadaan umum pasien, bila keadaan gizinya buruk, juga buruk.
Terdapat komplikasi miokarditis sangat memperburuk prognosis.
Pengobatan terlambat pemberian ADS, prognosis makin buruk.
Penatalaksaan
1. Penatalaksanaan medis
1. Pengobatan Umum
Terdiri dari perawatan yang baik, istirahat mutlak di tempat tidur, isolasi penderita dan
pengawasan ketat atas kemungkinan timbulnya komplikasi antara lain pemeriksaan EKG setiap
minggu (Buku kuliah ilmu kesehatan anak FKUI, 1999).
1. Pengobatan Spesifik (Buku kuliah ilmu kesehatan anak FKUI, 1999)
1)
Anti Diphteri Serum (ADS) diberikan sebanyak 20.000U/hari selam 2 hari berturut-turut,
dengan sebelumnya dilakukan uji kulit dan mata.
2)
Antibiotika, penicillin prokain 50.000U/kgBB/hari sampai 3 hari bebas panas. Pada
penderita yang dilakukan trakeostomi, ditambahkan kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari, dibagi 4
dosis.
3)
Kortikosteroid, dimaksudkan untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang
sangat berbahaya. Dapat diberikan prednisone 2mg/kgBB/hari selama 3 minggu yang kemudian
dihentikan secara bertahap.
1. Keperawatan .
Menurut Ngastiyah (1997),penatalaksanaan keperawatan pada pasien difteri yaitu pasien dirawat
dikamar isolasi yang tertutup. Petugas harus memakai skort (celemek) dan masker yang harus
diganti tiap pergantian tugas atau bila kotor. Harus disediakan pula perlengkapan cuci tangan,
desinfektan sabun, lap atau handuk yang kering. Juga tempat untuk merendam alat makan yang
diisi dengan desinfektan. Masalah yang perlu diperhatikan adalah resiko terjadi komplikasi
obstuksi jalan nafas, miokarditis, komplikasi pada ginjal, komplikasi susunan saraf pusat,
gangguan masukan nutrisi, gangguan rasa aman dan nyaman, resiko terjadi efek samping dari
pengobatan, kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit dan perawatan trakheostomi
(jika pasien perlu dilakukan trakheostomi).
H.
Pencegahan
Pencegahan penyakit difteria (Ngastiyah, 1997) ada beberapa macam cara yaitu :
1. Imunisasi
Penurunan drastic morbidity difteri sejak dilakukan pemberian imunisasi.Imunisasi aktif
diberikan dengan penyuntikan toksoid.imunisasi dasar dimulai pada umur 3 bulan dilakuakan 3
kali berturut-turut dengan selang wktu 1 bulan.biasanya diberikan bersamaan dengan toksoid
tetanus dan basil B,pertusis yang telah dimatikan sehingga disebut DPT.
Vaksinasi ulang dilakukan 1 tahun setelah suntikan terakhir imunisasi dasar (1 ½-2 tahun dan5
tahun,selanjutnya setiap 5 tahun sampai usia 15 tahun hanya diberiksn vaksin difteri jika kontak
dengan penderita difteri.doosis yang diberikan adalah 0,5 setiap kali pemberian.
1. Isolasi penderita
Penderita harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan kuman difteri dua kali
berturut-turut negative.
1. Pencarian seorang karier difteri
Dengan dilakukan uji shick.bila diambil hapusan tenggorok ditemukan Corynebacterium
diphteriae pasien (karier) diobati, bila perlu dilakukan tonsilektomi.
1. Pencegahan terhadap kontak
Terhadap anak yang kontak dengan difteriharus diisolasi selama 7 hari.Bila dalam pengamatan
tampak gejala-gejala maka penderita tersebut harus diobati.Bila tidak ada gejala klinis maka
diberi iminisasi difteri.
I.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium: Apusan tenggorok terdapat kuman Corynebakterium
difteri (Buku kuliah ilmu kesehatan anak, 1999).
2. Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis
polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin. Pada urin
terdapat albuminuria ringan (Ngastiyah, 1997).
3. Pemeriksaan bakteriologis mengambil bahan dari membrane atau bahnan di
bawah membrane, dibiak dalam Loffler, Tellurite dan media blood ( Rampengan,
1993 ).
4. Lekosit dapat meningkat atau normal, kadang terkadi anemia karena hemolisis sel
darah merah (Rampengan, 1993 )
5. Pada neuritis difteri, cairan serebrospinalis menunjukkan sedikit peningkatan
protein (Rampengan, 1993 ).
6. Schick Tes: tes kulit untuk menentukan status imunitas penderita, suatu
pemeriksaan swab untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung
antitoksin. Dengan titer antitoksin 0,03 ml satuan permilimeter darah cukup dapat
menahan infeksi difteri. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MLD
(Minimal Letal Dose) yang diberikan intrakutan dalam, bentuk larutan yang telah
diencerkan sebanyak 0,1 ml. Bila orang tersebut tidak mengandung antitoksin,
akan timbul vesikel pada bekas suntikan dan akan hilang setelah beberapa
minggu. Pada orang yang mengandung titer antitoksin yang rendah, uji shick
dapat positif pada orang dengan imunitas atau mengandung anti toksin yang
tinggi. Positif palsu dapat terjadi akibat reaksi alergi terhadap protein antitoksin
yang menghilang dalam 72 jam.Tes ini tidak berguna pada diagnosis dini, baru
dapat dibaca beberapa hari kemudian (Buku kuliah ilmu kesehatan anak FKUI,
1999 ).
7. Apabila pasien mengalami komplikasi kejantung (miokarditis),pada pemeriksaan
EKG hasilnya :Low voltage, depresi segment S ( Buku kuliah ilmu kesehatan
anak FKUI, 1999)
2. DAFTAR PUSTAKA
3. Fuadi, Hasan. 2008. Asuhan keperawatan difteri. www.detikhealth.com. 7 juni
2008.www.medicastrore.com
4.
5. Iwansain.2008. Difteria.www.iwansain.wordpress.com.7 juni 2008
6.
7. Jauhari,nurudin. 2008. Imunisasi Difteri.
8. www.who.lat/immunization/tipics/diphteria/en.7 juni 2008
9.
10. Kemala, Rita Wahidi. 1996. Nursing Care in Emergency. Jakarta: Fakultas Ilmu
Keperawatan UI
11.
12. Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media
Aesculapius.
13.
14. Nelson. 1992. Ilmu Kesehatan Anak Bagian 2. Jakarta: EGC
15.
16. Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC
17.
18. Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI
19.
20. Rampengan, H.T, dkk. 1993. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Jakarta : EGC
21.
22. Staf Pengajar ll Buku Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1958. Buku Kuliah Ilmu Kesehalan
Anak. Jakarta : Info Medika.
23.
24. Sulianti Suroso. 2004. Pengaruh Imunisasi pada anak.www.infeksi.com.7 juni 2008
25.
26. Suradi, dkk. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak Edisi I. Jakarta : CV. Agung Seto.
Keperawatan
Pencegahan Difteri
1. Memberikan kekebalan pada anak-anak dengan cara :
•
•
•
Imunisasi DPT/HB untuk anak bayi. Imunisasi di berikan sebanyak 3 kali yaitu pada saat usia 2
bulan, 3 bulan, dan 4 bulan.
Imunisasi DT untuk anak usia sekolah dasar (usia kurang dari 7 tahun). Imunisasi ini di berikan
satu kali.
Imunisasi dengan vaksin Td dewasa untuk usia 7 tahun ke atas.
2. Hindari kontak dengan penderita langsung difteri.
3. Jaga kebersihan diri.
4. Menjaga stamina tubuh dengan makan makanan yang bergizi dan berolahraga cuci tangan
sebelum makan.
5. Melakukan pemeriksaan kesehatan secara teratur.
6. Bila mempunyai keluhan sakit saat menelan segera memeriksakan ke Unit Pelayanan Kesehatan
terdekat.
dr. Mira Novia http://www.surabaya-ehealth.org/artikel/dapat-timbulkan-kematian-jika-tidakditangani-dengan-segera 2010
Miokarditis
Diagnosis dan Penatalaksanaan Pada
Miokarditis
Miokarditis adalah istilah kolektif untuk penyakit
inflamasi otot jantung dengan penyebab yang berbeda.
Meskipun sejumlah besar miokarditis asimtomatik berlalu,
mereka dapat memicu untuk gangguan jantung yang
mengancam jiwa irama jantung dan kematian mendadak
untuk memimpin. Apakah lapisan jantung (endocardium)
dan jantung meliputi (epicardium terpengaruh), ini disebut
Pankarditis.
Dasar Kelainan : Peradangan miokardium.
I. Diagnosa Miokarditis
•
Keluhan Pokok
o Demam
Nyeri dada mirip angina pectoris dan perikarditis (perikarditis kronis /
perikarditis akut)
o Palpitasi
o Sesak napas
Tanda Penting
o Takikardi
o Kardomegali (cepat terjadi)
o Bunyi jantung melemah
o Irama gallop; Tanda-tanda gagal jantung, terutama gagal jantung kanan.
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Khusus
o
•
•
•
Pemeriksaa EKG: Tidak khas
 ST-T changes inferior
 Gangguan konduksi jantung
2. Foto Toraks: Tidak khas
 Pembesaran jantung dengan efusi perikard atau pleura.
3. Ekokardiografi:
 Pembesaran jantung kiri
 Dapat di bedakan dengan kardiomiopati hipertrofi dan mitral stenosis.
1.
II. Komplikasi Miokarditis
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Gagal jantung kongestif
Aritmi jantung
Gangguan konduksi jantung (Blok total)
Kardiomiopati kongestif/dilated
Efusi pericardial
AV blok total
Trobi kardial
III. Penatalaksanaan Miokarditis
A.Terapi Umum
1. Istirahat
o Bed rost total
2. Diet
3. Medikamentosa Obat pertama:
o Pengobatan infeksi
o Digitalis: hati-hati
o Kortikostiroid pada kasus berat.
 Obat alternative : -
B.Terapi Komplikasi
•
Blok total: alat pacu jantung (pacemaker).
IV. Prognosisi Miokarditis
•
•
Sebagian cepat sembuh cepat, kadang jadi kronis.
Prognosis buruk bila:
1. Umur muda, sering mati mendadak
2. Bentuk akut fulminan karena virus atau difteri
3. Miokarditis yang sangat progresif
4. Bentuk kronis yang berlanjut menjadi kardiomiopati
5. Penyakit chaga.
]]
Diagonosis
Pada penyakit difteri ini diagnosis dini sangat penting. Keterlambatan pemberian antitoksin
sangat mempengaruhi prognosa. Diagnosa harus ditegakakkan berdasarkan gejala klinik. Test
yang digunakan untuk mendeteksi penyakit Difteri boleh meliputi:
•
•
Gram Noda kultur kerongkongan atau selaput untuk mengidentifikasi Corynebacterium
diphtheriae.
Untuk melihat ada tidaknya myocarditis (peradangan dinding otot jantung) dapat di
lakuka dengan electrocardiogram (ECG). Pengambilan smear dari membran dan bahan
dibawah membran, tetapi hasilnya kurang dapat dipercaya. Pemeriksaan darah dan urine,
tetapi tidak spesifik. Pemeriksaan Shick test bisa dilakukan untuk menentukan status
imunitas penderita.
Gejala Penyakit
Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :
1. Panas lebih dari 38 °C
2. Ada psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsil
3. Sakit waktu menelan
4. Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena pembengkakan kelenjar
leher.
Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak panas yang sakit waktu
menelan harus diperiksa pharynx dan tonsilnya apakah ada psedomembrane. Jika pada tonsil
tampak membran putih kebau-abuan disekitarnya, walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya
diambil sediaan (spesimen) berupa apusan tenggorokan (throat swab) untuk pemeriksaan
laboratorium. Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan. Pada anak tak
jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala. Pembengkakan kelenjar getah
bening di leher sering terjadi.
Patogenesis
Biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau
tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, hidung akan meler.
Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring) dan menyebabkan
pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi gangguan pernafasan. Bakteri ini
ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah
terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau
racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di
seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf. Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya
saraf di tenggorokan. Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi
toksin. Antara minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan
dan tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai. Kerusakan pada otot jantung
(miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggu pertama sampai minggu keenam, bersifat
ringan, tampak sebagai kelainan ringan pada EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan
menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung
secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk, tak
jarang difteri juga menyerang kulit. Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran,
yaitu lapisan selaput yang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di
dekat amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek dan berwarna
abu-abu. Jika membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir di bawahnya akan berdarah.
Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-tiba bisa terlepas dan
menyumbat saluran udara, sehingga anak mengalami kesulitan bernafas. Berdasarkan gejala dan
ditemukannya membran inilah diagnosis ditegakkan. Tak jarang dilakukan pemeriksaan terhadap
lendir di tenggorokan dan dibuat biakan di laboratorium. Sedangkan untuk melihat kelainan
jantung yang terjadi akibat penyakit ini dilakukan pemeriksaan dengan EKG.
Komplikasi
Komplikasi bisa dipengaruhi oleh virulensi kuman, luas membran, jumlah toksin, waktu antara
timbulnya penyakit dengan pemberian antitoksin.
Komplikasi difteri terdiri dari :
1. Infeksi sekunder, biasanya oleh kuman streptokokus dan stafilokokus
2. Infeksi Lokal : obstruksi jalan nafas akibat membran atau oedema jalan nafas
3. Infeksi Sistemik karena efek eksotoksin
Komplikasi yang terjadi antara lain kerusakan jantung, yang bisa berlanjut menjadi gagal
jantung. Kerusakan sistem saraf berupa kelumpuhan saraf penyebab gerakan tak terkoordinasi.
Kerusakan saraf bahkan bisa berakibat kelumpuhan, dan kerusakan ginjal.
Pencegahan dan Pengobatan
Setiap orang dapat terinfeksi oleh difteri, tetapi kerentanan terhadap infeksi tergantung dari
pernah tidaknya ia terinfeksi oleh difteri dan juga pada kekebalannya. Bayi yang dilahirkan oleh
ibu yang kebal akan mendapat kekebalan pasif, tetapi taka akan lebih dari 6 bulan dan pada umur
1 tahun kekebalannya habis sama sekali. Seseorang yang sembuh dari penyakit difteri tidak
selalu mempunyai kekebalan abadi. Paling baik adalah kekebalan yang didapat secara aktif
dengan imunisasi. Status imunisasi DPT dan DT anak adalah faktor yang paling dominan dalam
mempengaruhi terjadinya difteri. (Kartono,2008)
•
Pencegahan paling efektif adalah dengan imunisasi bersamaan dengan tetanus dan
pertusis (DPT) sebanyak tiga kali sejak bayi berumur dua bulan dengan selang
penyuntikan satu-dua bulan. Pemberian imunisasi ini akan memberikan kekebalan aktif
terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus dalam waktu bersamaan. Efek samping
yang mungkin akan timbul adalah demam, nyeri dan bengkak pada permukaan kulit, cara
mengatasinya cukup diberikan obat penurun panas . Berdasarkan program dari
Departemen Kesehatan RI imunisasi perlu diulang pada saat usia sekolah dasar yaitu
bersamaan dengan tetanus yaitu DT sebanyak 1 kali. Sayangnya kekebalan hanya
•
•
•
•
•
•
diiperoleh selama 10 tahun setelah imunisasi, sehingga orang dewasa sebaiknya
menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun sekali.
Bagi anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan system kekebalan
mereka atau mereka yang terinfeksi HIV diberikan imunisasi dengan vaksin difteria
dengan jadwal yang sama.
Selain pemberian imunisasi perlu juga diberikan penyuluhan kepada masyarakat terutama
kepada orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya imunisasi aktif diberikan
kepada bayi dan anak-anak.
Dan perlu juga untuk menjaga kebersihan badan, pakaian dan lingkungan. Penyakit
menular seperti difteri mudah menular dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat
sanitasi rendah.
Oleh karena itulah, selain menjaga kebersihan diri, kita juga harus menjaga kebersihan
lingkungan sekitar.
Disamping itu juga perlu diperhatikan makanan yang kita konsumsi harus bersih. Jika
kita harus membeli makanan di luar, pilihlah warung yang bersih.
Jika telah terserang difteri, penderita sebaiknya dirawat dengan baik untuk mempercepat
kesembuhan dan agar tidak menjadi sumber penularan bagi yang lain.
Pengobatan difteri difokuskan untuk menetralkan toksin (racun) difteri dan untuk membunuh
kuman Corynebacterium diphtheriae penyebab difteri. Setelah terserang difteri satu kali,
biasanya penderita tidak akan terserang lagi seumur hidup. Melihat bahayanya penyakit ini maka
bila ada anak yang sakit dan ditemukan gejala diatas maka harus segera dibawa ke dokter atau
rumah sakit untuk segera mendapatkan penanganan. Pasien biasanya akan masuk rumah sakit
untuk diopname dan diisolasi dari orang lain guna mencegah penularan. Di rumah sakit akan
dilakukan pengawasan yang ketat terhadap fungsi fungsi vital penderita untuk mencegah
terjadinya komplikasi. Mengenai obat, penderita umumnya akan diberikan antibiotika, steroid,
dan ADS (Anti Diphteria Serum).
Perawatan umum penyakit difteri yaitu dengan melakukan isolasi, bed rest : 2-3 minggu,
makanan yang harus dikonsumsi adalah makanan lunak, mudah dicerna, protein dan kalori
cukup, kebersihan jalan nafas, pengisapan lendir.
Dengan pengobatan yang cepat dan tepat maka komplikasi yang berat dapat dihindari, namun
keadaan bisa makin buruk bila pasien dengan usia yang lebih muda, perjalanan penyakit yang
lama, gizi kurang dan pemberian anti toksin yang terlambat.
Walaupun sangat berbahaya dan sulit diobati, penyakit ini sebenarnya bisa dicegah dengan cara
menghindari kontak dengan pasien difteri yang hasil lab-nya masih positif dan imunisasi.
•
•
•
Pengobatan khusus penyakit difteri bertujuan untuk menetralisir toksin dan membunuh
basil dengan antibiotika (Penicilin Procain, Eritromisin, Ertromysin, Amoksisilin,
Rifampicin, Klindamisin, tetrasiklin).
Pengobatan penderita difteria ini yaitu dengan pemberian Anti Difteria Serum (ADS)
20.000 unit intra muskuler bila membrannya hanya terbatas tonsil saja, tetapi jika
membrannya sudah meluas diberikan ADS 80.000-100.000 unit.
Sebelum pemberian serum dilakukan sensitif test.
•
•
•
Antibiotik pilihan adalah penicilin 50.000 unit/kgBB/hari diberikan samapi 3 hari setelah
panas turun.
Antibiotik alternatif lainnya adalah erythromicyn 30-40 mg/KgBB/hari selama 14 hari.
Penanggulangan melalui pemberian imunisasi DPT (Dipteri Pertusis Tetanus) dimana
vakisin DPT adalah vaksin yang terdiri dari toxoid difteri dan tetanus yang dimurnikan
serta bakteri pertusis yang telah diinaktifkan. Imunisasi DPT diberikan untuk pemberian
kekebalan secara simultan terhadap difteri, pertusis dan tetanus, diberikan pertama pada
bayi umur 2 bulan, dosis selanjutnya diberikan dengan interval paling cepat 4 (empat)
minggun (1 bulan). DPT pada bayi diberikan tiga kali yaitu DPT1, DPT2 dan DPT 3.
Imunisasi lainnya yaitu DT (Dipteri Pertusis) merupakan imunisasi ulangan yang
biasanya diberikan pada anak sekolah dasar kelas 1.
Seorang karier (hasil biakan positif, tetapi tidak menunjukkan gejala) dapat menularkan difteri,
karena itu diberikan antibiotik dan dilakukan pembiakan ulang pada apus tenggorokannya.
Kekebalan hanya diperoleh selama 10 tahun setelah mendapatkan imunisasi, karena itu orang
dewasa sebaiknya menjalani vaksinasi booster setiap 10 tahun.
Daftar Pustaka
http://www.who.int/immunization_monitoring/diseases/diphteria/en/index.html
http://www.who.int/immunization/topics/diphtheria/en/index.html
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs089/en/
Buku Manual Pemberantasan Penyakit JAMES CHIN, MD, MPH,Editor Penterjemah : Dr. I
NYOMAN KANDUN, MPH Edisi 17 Tahun 2000
disusun oleh Febby Hapsari Prastiten
E2A009198 / R2 2009
FKM
UNDIPhttp://febbyhapsari.wordpress.com/2011/03/20/difteri-sebagai-contoh-food-andwater-borne-disease/
MYOCARDITIS
PENGERTIAN: adalah radang otot jantung atau miokard. Peradangan ini dapat disebabkan oleh
penyakit reumatik akut dan infeksi virus seperti cocksakie virus, difteri, campak, influenza,
poliomielitis, dan berbagai macam bakteri, rikettsia, jamur, dan parasit.
EPIDEMIOLOGI: Miokarditis menyerang semua umur. Sebagian besar dapat sembuh spontan.
Miokarditis post mortem karena peradangan fokal atau
difus. Miokarditis sering disertai radang
perikard atau mioperikarditis.
GEJALA KLINIS: Gejala klinis tidak khas, kelainan ECG sepintas, jarang menyebabkan
pembesaran jantung, irama gallop dan dekompensasi jantung. Miokarditis oleh reuma akut
disertai gejala berat .
Gejala yang sering ditemukan:
1. Takikardia, Peningkatan suhu akibat infeksi menyebabkan frekuensi denyut nadi akan
meningkat lebih tinggi
2. Bunyi jantung melemah, disebabkan penurunan kontraksi otot jantung . Katub-katub
mitral dan trikuspid tidak dapat ditutup dengan keras
3. Auskultasi: gallop, gangguan irama supraventrikular dan ventrikular
4. Gagal jantung, Dekompensasi jantung terutama mengenai jantung sebelah kanan.
DIAGNOSIS: Bila tanda infeksi penyakit lain tidak ditemukan (decomp kanan, penyakit jantung
bawaan, penyakit katub jantung , penyakit jantung koroner dan lain-lain) maka perlu dipikirkan
ke miokarditis. Sukar dibedakan kardiomiopati kongestif, tetapi dengan pemeriksaan echografi
dapat membantu menegakkan diagnosis. Pemeriksaan EKG, histologik dan mikroskopik elektron
dan pemeriksaaan immunofluoresensi juga membantu.
http://ruslanpinrang.blogspot.com/2009_07_01_archive.html
PENDAHULUAN EPIDEMIOLOGI DIFTERI
Difteria masih merupakan penyakit endemic dibanyak negara di dunia.
Pada awal tahun 1980-an terjadi peningkatan insidensi kasus difteria pada
negara bekas Uni Soviet karena kekacauan program imunisasi, dan pada
tahun 1990-an masih terjadi epidemic yang besar di Rusia dan Ukraina. Pada
tahun 2000-an epidemic difteria masih terjadi dan menjalar ke negaranegara tetangga.1
Sebelum era vaksinasi, difteria merupakan penyakit yang sering
menyebabkan kematian. Namun sejak mulai diadakannya program imunisasi
DPT(di Indonesia pada tahun 1974), maka kasus dan kematian akibat difteria
berkurang sangat banyak. Angaka mortalitas berkisar 5-10%, sedangkan
angka kematian di Indonesia menurut laporan Parwati S. Basuki yang
didapatkan dari rumah sakit di kota Jakarta(RSCM), Bandung(RSHS),
Makasar(RSWS), Senmarang(RSK), dan Palembang(RSMH) rata-rata sebesar
15%.1
Difteria adalah penyakit yang jarang terjadi, biasanya menyerang remaja dan orang
dewasa. Di Amerika Serikat selama tahun 1980-1996 terdapat 71% kasus yang menyerang usia
kurang dari 14 tahun. Pada tahun 1994 terdapat lebih dari 39.000 kasus difteria dengan kematian
1100 kasus (CFR= 2,82%), sebagian besar menyerang usia lebih dari 15 tahun. Di Ekuador,
Amerika Selatan, pada tahun 1993-1994 terjadi ledakan kasus sebedsar 200 kasus, yang 50%-nya
adalah anak berusia 15 tahun atau lebih.1 Dari tahun 1980 sampai 2010, 55 kasus difteri
dilaporkan CDC Nasional dilaporkan Penyakit Surveillance System. Sebagian besar kasus (77%)
menyerang usia 15 tahun dan lebih ,empat dari lima kasus fatal terjadi di kalangan anak-anak
yang tidak divaksinasi, kasus fatal yang kelima adalah seorang laki-laki, dalam 75 tahun
kembali ke Amerika Serikat dari negara dengan penyakit endemic.9 Difteri tetap endemik di
banyak bagian dunia berkembang, termasuk beberapa negara Karibia dan Amerika Latin, Eropa
Timur, Asia Tenggara, dan Afrika. 9Dari wabah ini mayoritas kasus telah terjadi di kalangan
remaja dan orang dewasa, bukan anak-anak. Karena, banyak dari remaja dan orang dewasa
belum menerima vaksinasi rutin anak atau dosis booster toksoid difteri. 9
Di Indonesia, dari data lima rumah sakit di Jakarta, Bandung, Makassar, Semarang, dan
Palembang, Parwati S.Basuki melaporkan angka yang berbeda. Selama tahun 1991-1996, dari
473 pasien difteria, terdapat 45% usia balita, 27% usia kurang dari 1 tahun, 24% usia 5-9 tahun,
dan 4% usia diatas 10 tahun. Berdasarkan suatu KLB difteria di kota Semarang pada tahun 2003,
dilaporakan bahwa dari 33 pasien sebanyak 46% berusia 15-44 tahun serta 30% berusia 5-14
tahun.1 Khusus provinsi Sumatera Selatan, selama tahun 2003-2009 penemuan kasus difteri
cenderung terjadi penurunan, kasus terbanyak pada tahun 2007 (12 kasus) dan terendah pada
tahun 2003 (2 kasus), meskipun demikian Sumatera Selatan merupakan provinsi terbesar kedua
untuk kasus difteri pada tahun 2008.10
Meskipun difteri sekarang dilaporkan hanya jarang di Amerika Serikat, di era prevaccine,
penyakit ini adalah salah satu penyebab paling umum dari penyakit dan kematian pada anakanak.9
http://epidemiologiunsri.blogspot.com/2011/11/difteri.html
Download