Sumbangan Inspiratif Awardee LPDP UNAIR dari Lagi-lagi, komunitas Awardee LPDP UNAIR membuat langkah apik. Setelah sukses dengan beragam kegiatan di Scholarship Corner (SC) Perpustakaan Pusat Kampus B, kali ini mereka meluncurkan buku kumpulan esai. Terdapat tak kurang dari 30 esai dari para penerima beasiswa plat merah tersebut. Kontennya, seputar trik, tips, dan cerita menarik di balik pengalaman mereka meraih prestasi itu. Kenapa prestasi? Karena, untuk mencapainya, seseorang harus banyak berdoa dan bekerja keras. Dalam buku tersebut, ada esai yang bercerita tentang jatuhbangunnya seorang calon Awardee. Sebab, dia pernah gagal mencari beasiswa. Meski akhirnya, seperti biasa, takdir berpihak pada mereka yang pantang menyerah. Ada pula cerita tentang anak Pramuwisma yang sukses meraih beasiswa LPDP. Di tengah segala kekurangan, mimpi itu berhasil dicapainya. Yang jelas, tulisan-tulisan yang bergaya populer ini dapat dijadikan teman bersantai. Khususnya, bagi para pemburu kuliah S2 dan S3 gratis. Karena memang, LPDP secara teknis, setidaknya sampai saat ini, hanya menggelontorkan beasiswa magister dan doktor. Juga, beasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis. Dari kumpulan ini dapat diketahui, penerima beasiswa LPDP beragam latar belakang. Baik dari segi asal, maupun profesi. Ada yang dari Papua, Sulawesi, Nusa Tenggara, Jawa, Kalimantan, Sumatera, dan lain sebagainya. Ada yang PNS, dokter, wartawan, staf perusahaan, maupun fresh graduate sarjana. Artinya, siapapun orangnya, memiliki kesempatan yang sama untuk mendapat beasiswa ini. Buku ini sudah dicetak dan bakal diedarkan secara masif pada Jum’at (29/7) mendatang. Rencananya, dalam waktu dekat, para awardee LPDP juga bakal bersilaturahmi dengan Rektor UNAIR. Sekaligus, menghadiahkan buku ini pada orang nomor satu di kampus Airlangga. Apresiasi rektorat UNAIR Ada sejumlah testimoni positif dari sejumlah guru besar UNAIR di buku ini. Bahkan, Rektor UNAIR Prof. Dr. H. Mohammad Nasih, MT., SE., Ak., CMA menyempatkan diri memberi pengantar. “Karya yang berupa kumpulan esai penerima beasiswa LPDP di Unair tersebut bisa dibilang terobosan para awardee untuk bersumbangsih pada sekitar. Mereka berbagi pengalaman melalui catatan atau kisah lika-liku memburu beasiswa ini. Seru, kadang jenaka, sarat tips dan trik, serta penuh inspirasi!” catat Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis tersebut. Wakil Rektor III Prof. Mochammad Amin Alamsjah, Ir., M.Si., Ph.D, juga memberikan apresiasi. “Tulisan di buku ini sangat penting sebagai bagian dari pencerdasan & peningkatan sumber daya manusia yang berkualitas. Mari dibaca, dipahami, sehingga bisa menjadi inspirasi bagi kita semua,” katanya dalam testimoni. Kepala Perpustakaan UNAIR Prof. Dr. I Made Narsa, SE., M.Si., Ak yang selama ini banyak mendukung kegiatan Awardee pun menganggap penerbitan ini sebagai langkah yang luar biasa. “Kehadiran LPDP telah membuka nuansa baru bagi generasi penerus bangsa kelak. Jangan pernah kehilangan asa, karena asa akan muncul dari setiap usaha & doa. Itulah inspirasi dahsyat dari buku ini, sehingga wajib dibaca, bahkan oleh siapapun. Saya berharap buku ini bisa tersebar & dibaca seluas-luasnya untuk memberikan pencerahan & pelajaran berharga dari pengalaman sukses para Awardee,” papar dia. (*) Buku Judul Penulis Penerbit : Menggapai Asa Bersama LPDP : Awardee LPDP UNAIR : Pustaka Saga Cetakan Tebal : I, Juni 2016 : 248 halaman Belajar Menapak Kesederhanaan Jalan Orang Maiyah adalah mereka yang tahan selama lima sampai tujuh jam, mulai sekitar pukul 20.00 hingga 03.00, duduk bareng berbagi ilmu di forum Maiyah. Tanpa ada yang mengundang, mengajak, atau mewajibkan. Forum yang dalam terjemahan bebas berarti kebersamaan, dilaksanakan satu bulan sekali di sejumlah kota. Namanya Surabaya Mbulan, disebut Makassar berbeda-beda sesuai kearifan lokal. Misalnya, di disebut Bang-Bang Wetan, di Jombang disebut Padhang di Yogyakarta disebut Mocopat Syafaat, di Jakarta Kenduri Cinta, di Malang disebut Obor Ilahi, di disebut Paparandeng Ate, dan sebagainya. Maiyahan digelorakan oleh budayawan Emha Ainun Nadjib. Namun, pria yang akrab disapa Cak Nun itu menegaskan, Maiyah tidak bergantung pada sosok. Maiyah tidak berkiblat pada ketokohan tertentu. Tidak ada takzim berlebihan dan tidak proporsional pada manusia. Karena sejatinya, seluruh insan sedang meniti rentang usia untuk memburu kebenaran. Yang kata Nurcholish Madjid, tak pernah absolut di tangan makhluk. Orang-orang Maiyah bukan kelompok yang di permulaan berkedok organisasi kemasyarakatan atau keagamaan, ujung-ujungnya berkoalisi dengan kutub politik tertentu. Menjadi gaduh dan loba tiap ada hajatan KPU. Selebihnya, hanya cermin nafsu tak terbendung. Dalam perjalanan yang sudah lebih dari satu dekade, Maiyah tidak bertendensi kekuasaan apalagi kapital. Tidak ada keinginan untuk menjadi unggul dari yang lain. Justru, di sinilah tempat berbaur. Siapapun boleh bergabung untuk mendengar pencerahan multi disiplin. Siapapun boleh bicara. Dalam Kafir Liberal (Progress, 2005) Cak Nun mencatat tentang seseorang yang mengaku berasal dari Jaringan Kafir Liberal. Pria itu diberikan kesempatan melontarkan pendapat tentang kebenaran dan ketuhanan di Kenduri Cinta. Fakta itu menjadi bukti, meski mayoritas hadirin beragama Islam, bukan berarti non-Islam terpinggirkan. Pluralisme dengan analogi: biarkan kambing mengembik dan biarkan ayam berkokok dalam satu kandang, dipegang dengan seksama. Bukankah perbedaan adalah sunatullah dan hukum alam yang mutlak? Bukankah tidak ada yang bisa menjamin seorang manusia akan tetap memegang teguh suatu agama, ideologi, pandangan, hingga dia mati kelak? Semua bisa berubah, bahkan menjadi sesuatu yang awalnya sangat dibenci. Kemerdekaan berpikir yang menyasar pada perdamaian adalah keniscayaan. Manusia sangat mungkin berbeda pandangan dan keyakinan tak bisa dipaksakan. Namun, semua manusia ingin merdeka dan berdamai, bukan? Menjadi Jelata Seperti Nabi Buku yang pernah terbit pada 2007 ini diramu dengan bahasa sehari-hari. Namun, dibutuhkan kedalaman perenenungan untuk memahaminya. Secara umum, Cak Nun seperti merangkum cerita pribadi para penikmat Maiyahan. Dalam pengantar, pria kelahiran Jombang itu mengklaim dirinya sekadar “editor” dalam kumpulan artikel inspiratif ini. Secara prinsip, gagasan yang ingin disampaikan adalah bagaimana menjadi manusia yang baik dan sederhana. Tidak rakus dan sombong. Karena secara hakikat, sehebat apapun hidup, berkalang tanah jua akhirnya. Dengan kesederhanaan, manusia tidak akan bingung di saat sedih dan tidak akan heboh kala bahagia. Nabi Muhammad pun memilih jelata dan sederhana. Meskipun sebenarnya, bisa saja hidup berlimpah harta. Orang Maiyah mengerti persis Nabi Muhammad Saw. justru memilih menjadi orang miskin. Ia ditawari Allah Swt. apakah akan menjadi “mulkannabiyya”, nabi yang juga raja nan kaya raya? Allah Swt. sudah menyediakan harta berupa gunung emas. Tetapi, Kanjeng Nabi memilih “abdannabiyya”, nabi yang rakyat jelata. Rakyat jelata bukanlah orang kaya. (hal. 86). Dari waktu ke waktu, gelombang gerakan Maiyah semakin tinggi. Aktifitas itu berlangsung secara konsisten, signifikan, penuh keikhlasan, tanpa banyak perhatian dari media massa mainstream. Tak hanya dapat dilihat dari peningkatan jumlah hadirin di masing-masing lokasi. Juga, dari makin menjalarnya cakupan di banyak wilayah tanah air. Maiyahan jauh dari sikap tertutup atau eksklusif. Inilah yang membuatnya selalu dinantikan saban bulan. Forum ini secara tegas menempatkan manusia sebagaimana seharusnya manusia: sekadar makhluk Tuhan di muka bumi.(*) Resensi Buku Judul Penulis Penerbit Cetakan Tebal : Orang Maiyah : Emha Ainun Nadjib : Bentang, Yogyakarta : Pertama, November 2015 : viii + 100 halaman Sejarah Islam dalam “Balada Pencatat Kitab” UNAIR NEWS – Buku puisi tidak sekadar curhat. Kerap kali, mengandung pesan atau kritik sosial, pelajaran tentang prilaku, bahkan sejarah. Semua aspek yang disebutkan tadi tercermin dalam kumpulan Balada Pencatat Kitab karya Rio F. Rachman. Penyair alumnus S2 Media dan Komunikasi UNAIR ini meluncurkan buku tersebut pada 2016 lalu. Setidaknya, mushaf berisi 59 puisi itu sudah dibedah di Warung Mbah Tjokro Prapen oleh Masika ICMI Jatim, Surabaya (30 September) dan Kafe Pahlawan oleh Komunitas Stingghil, Sampang (20 November). Beberapa resensi tentangnya pun bisa dijumpai di media cetak maupun online. Sajak-sajak di sana tergolong ringan. Bahasa yang digunakan lugas dan tak bertele-tele, apalagi mendayu-dayu. Tak banyak majas dan to the point. Sejumlah riwayat sejarah Islam dikemukakan. Yang pada satu titik, menjadi sekelumit keunikan di dalamnya. Bila diperhatikan, apa yang diceritakan pada puisi “Balada Pencatat Kitab”, yang juga dijadikan judul kumpulan ini, bercerita tentang momen wafatnya Utsman bin Affan. Salah satu sahabat nabi yang sudah dijanjikan Tuhan masuk Surga. Seperti banyak diberitakan dalam banyak literatur, lelaki yang juga menantu Rasulullah Muhammad ini meninggal akibat pemberontakan. Dia dikepung dirumahnya, diserang oleh orangorang yang terhasut api fitnah. Utsman bisa saja menumpas mereka dari awal. Namun, dia memilih sabar. Pilihan yang sejatinya sudah diisyaratkan Nabi lebih dari dua puluh tahun sebelumnya. Kisah Utsman tidak satu-satunya sejarah Islam yang dipaparkan di Balada Pencatat Kitab. Pada “Kecuali Dia”, kehebatan Ali bin Thalib juga disinggung. Tentang kehebatan Ali, menantu dan sahabat Nabi, dalam peperangan. Dan keberaniannya mempertaruhkan nyawa demi junjungannya itu. Cerita soal pertempuran di Padang Uhud pada masa awal perjuangan Islam tercantum di puisi “Isyarat”. Sedangkan kisah Imam Syafi’i, pemimpin aliran yang paling populer di Asia Tenggara, diceritakan dengan menyentuh di “Guru”. Di sana tertulis bagaimana guru dari Sang Imam sampai harus “mengusirnya” ke luar kota untuk merantau. Kenapa? Karena ilmu guru tersebut sudah tumpas disesap oleh Imam Syafi’i. Dikisahkan pula ketika Imam Syafi’i telah sukses menjadi seorang ulama dan akhirnya pulang kampung membawa banyak oleholeh untuk Ibu. Namun, ibunya menolak itu semua dan bersikeras tak ingin menerimanya di rumah, bila tetap membawa semua itu. Sehingga Imam Syafi’i akhirnya menyerahkan semua perbekalan pada warga sekitar. Dia hanya membawa sebuah kitab saat menghadap Sang Bunda. Tentu, sejarah yang dipuisikan dalam kumpulan ini bisa jadi debatable. Karena, riwayat kisah-kisah tersebut tidak tunggal. Namun secara esensi, ada benang merah yang muncul dan diperlihatkan pada puisi-puisi tadi. Selain tentang sejarah Islam, Balada Pencatat Kitab juga berkisah tentang fenomena masyarakat kekinian yang serba terbuka di media sosial, kartun di televisi, problem rumah tangga wong cilik, hingga romantisme dan kerinduan. Cover buku yang simpel, membuatnya tampak manis dan sederhana. Buku Judul Kitab Penulis : Kumpulan Puisi Balada Pencatat : Rio F. Rachman Penerbit Tebal Cetakan : Penerbit Suroboyo : 60 halaman : Pertama, 2016 Gali Inspirasi dari Negeri Sakura Tak salah bila banyak anggapan menyebut Jepang adalah sebuah negara yang berkarakter kuat dan memiliki ciri khas yang mencolok. Dari segi seni, cara berpakaian, dan kreatifitas bahkan jargon, Negeri Matahari Terbit memunyai sisi-sisi yang menarik nan berbeda dengan negeri-negeri lain. Dengarkan lagu beraliran rock dari jepang. Selalu kental dengan cabikan bass yang melompat-lompat di setiap ketukan. Musik popnya, penuh dengan irama melodik tuts keyboard dan dentingan gitar yang mendayu tajam. Siapa saja yang mendengar lagu atau nada-nada asal negeri Sakura, akan dengan mudah mengidentifikasi kelahiran lagu tanpa harus mendengar suara vokalis mendendangkan lirik lagu berlafal huruf kanji. Di sisi lain, lihatlah para remaja jepang yang berkumpul dan bercengkrama di kawasan Harajuku, sekitar Stasiun JR Harajuku, Distrik Shibuya, Tokyo. Dandanan dan warna asal tubruk yang mungkin akan lebih terkesan norak serupa orang gila bila dipakai di negara lain, justru menjadi pusaran idola di sana. Bahkan, karakter unik tersebut sedikit demi sedikit menjangkit ke wilayah lain di Jepang bahkan dunia. Perkara kreatifitas, Jepang tak perlu diragukan. Entah sudah berapa ribu judul komik manga yang banyak di antaranya menjadi tren dengan cerita variatif. Sebut saja Dragon Ball yang imajinatif dan telah diterbitkan versi bahasa inggrisnya, Slam Dunk dan Doraemon yang inspiratif, Samurai X yang sarat nilainilai kehidupan, serta Kapten Tsubasa yang fenomenal. Konon, komik karya Yoichi Takahashi yang disebut terakhir tadi menjadi motivasi tersendiri bagi tim Samurai Biru dalam meraih sukses merebut posisi di pentas sepak bola dunia. Bila ditanya tentang jargon, Soichiro Honda si intelektual sangat brilian dengan ungkapan populernya: percayalah pada kekuatan mimpi (the power of dream). Pria kelahiran Iwatagun (kini Tenrryu City) tersebut telah menjadi simbol tersendiri di ranah otomotif dan bisnis level internasional. Kekhasan Salah satu kekhasan Jepang adalah bunga Sakura, yang memang identik dengan negeri tersebut. Pada Sakura, terkandung nilainilai luhur sebuah identitas dan semangat. Hal-hal itu ingin dipetik oleh Imam Robandi, penulis buku The Ethos of Sakura yang diterbitkan Penerbit Andi Yogyakarta. Melalui buku tersebut, guru besar teknik elektro ITS ini menjelaskan betapa kuatnya sakura mempengaruhi pandangan dan pemikiran orang Jepang. Ketika musim Sakura mekar, sang pohon membiarkan daun-daun gagah berjatuhan untuk kemudian digantikan dengan bunga yang jauh lebih indah dan mempesona. Pohon sakura tidak cukup puas dengan memiliki daun gagah dan batang kukuh. Bila memang bisa melakukan yang lebih mempesona, mengapa harus bangga dengan kebiasa-biasaan? Mungkin demikianlah yang ada dalam pikiran pohon sakura di seluruh penjuru Nippon andai pohon tersebut memiliki otak. Semua warga Jepang sangat antusias meluangkan waktu untuk menyaksikan kejadian tersebut di taman-taman atau pelataran depan rumah mereka. Seluruh penduduk berusaha menggali hikmah dari tumbuh, kuncup, dan mengembang eloknya bunga yang bernama lain Japan Cherry Blossom tersebut. Menghargai Waktu Hidup memang tidak begitu lama. Tak ada yang abadi. Demikian pula bunga Sakura yang hanya hidup selama musim semi sekitar bulan April tiap tahunnya. Namun dalam keterbatasan tersebut, Sakura berusaha memberikan yang terbaik dari hidupnya. Orang Jepang tak ingin membuang waktu dengan berjalan pelahanlahan. Bila melangkah, mereka tampak seperti setengah berlari. Waktu berharga bagi mereka walau hanya beberapa detik ayunan kaki kanan dan kiri. Imam Robandi sering menemui penundaan dan keterlambatan jamjam penerbangan. Namun penundaan tersebut disikapinya sebagai anugerah, bukan musibah. Waktu yang molor digunakannya untuk melakukan hal yang bermanfaat. Dalam sebuah diskusi, pria yang mengambil program doctoral di Jepang ini mengatakan, buku yang berisi 75 artikel dan kisah pendek ini nyaris semua ditulis dengan cara mencuri-curi waktu dan kesempatan di balik kemelesatan jadwal bandara. Semua artikel dan kisah merupakan sari pati dari pengalaman pria kelahiran Kebumen Jawa Tengah tersebut selama menjalani pendidikan S2 dan program doktoral di negeri Sakura. Ada juga yang murni bersumber dari penelaahan terhadap nilai-nilai kehidupan di negara itu. Manusia yang sukses memang dia yang menghargai waktu. Pelajaran mengenai waktu tak hanya bisa dipetik melalui bangsa Jepang. Ungkapan dalam bahasa Inggris berbunyi, Time is Money (waktu adalah uang atau waktu sangat berharga). Maestro asal Jazirah Arab Muhammad bin Abdullah pernah berkata, jagalah sempatmu sebelum sempitmu. Maksudnya, manusia harus memanfaatkan waktu dan kesempatan, sekecil apapun itu guna melakukan hal-hal yang bermanfaat. Sebab bila masa sempit telah tiba, seseorang tidak akan bisa melakukan apapun. Buku Judul: The Ethos Of Sakura, Bacaan strategik pribadi sukses Penulis: Imam Robandi Penerbit: Penerbit Andi Cetakan: 2010 Yogyakarta Tebal: 254 Halaman Menanti “Edisi Revisi” Buku Menyikapi Perang Informasi Dalam sebuah obrolan ringan di Radio UNAIR, Rio F. Rachman menuturkan keinginannya untuk menerbitkan/mencetak kembali buku Menyikapi Perang Informasi. Karya yang dipublikasikan melalui penerbit Sarbikita Publishing pada 2015 itu, kata Rio, memerlukan penambahan artikel sebagai pendalaman dari tulisantulisan yang sudah ada. Pendalaman, bukan pengulangan. Tapi artikel yang sudah ada, tentu tetap dpertahankan. Sejatinya, buku tersebut memiliki 27 esai ringkas (140 halaman) yang sudah dimuat di media massa: cetak maupun online. Pemikiran di dalamnya, dipartisi menjadi tiga topik besar: Media Komunikasi, Sosio-Kultural, dan Keindonesiaan. Di edisi revisi nantinya, ujar Rio, selain penambahan tulisan, tidak menutup kemungkinan akan diperluas pula poin pembagian topik. Bisa saja, akan ada lebih dari tiga bagian. Menyikapi Perang Informasi adalah deskripsi solutif dari sejumlah permasalahan di era keterbukaan informasi seperti sekarang ini. Banjir informasi membuat manusia berada dalam dua posisi: hanyut atau selektif. Bila tidak selektif dan asal percaya pada bahan “share” dari internet atau media massa lain, bersiaplah tenggelam dalam kabar negatif yang menjebak. Pelbagai problem atau perspektif tentang media dan strategi komunikasi dipaparkan di satu topik besar. Sementara di topik lain, Sosio-Kultural, Alumnus S2 Media dan Komunikasi UNAIR ini memaparkan banyak kritik sosial pada lingkungan sekitar yang makin egois, materialistik, dan gampang berkiblat pada hedonisme. Sementara di topik Keindonesiaan, terdapat banyak esai yang menuturkan soal pentingnya mengobarkan optimisme. Mengapa? Karena sejatinya, Indonesia adalah negara kaya yang potensial menjadi terdepan di muka bumi. Yang menarik, buku ini juga menjelaskan sejumlah pandangan mengenai kesusastraan. Disiplin yang digeluti penulisnya saat masih mengenyam S1 di Sastra Inggris Universitas Negeri Surabaya. Edisi revisi yang diidamkan Rio, tidak akan lepas dari tematema tersebut di atas. Meski memang, pasti akan pembenahan di sana-sini. Awalnya, buku baru tersebut ingin diterbitkannya pada tahun lalu melalui Penerbit Suroboyo. Namun, dia beranggapan, perlu persiapan konten yang lebih lama, agar hasil dari revisi bisa maksimal. (*)