BAB III. KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

advertisement
26
BAB III.
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN
DAN HIPOTESIS
3.1. Kajian Pustaka / Landasan Teori
3.1.1. Analisis Investasi Saham
Dalam melakukan analisa saham dikenal 2 jenis analisa yaitu analisa secara
teknikal dan fundamental. Analisa teknikal dipergunakan untuk memperkirakan
fluktuasi pergerakan harga saham dalam rentang waktu tertentu berdasarkan pola
(pattern), kecenderungan (trend), rata-rata pergerakan, volume perdagangan
dan
momentum harga (Tandelilin, 2010). Analisis teknikal adalah melihat perilaku pasar
dengan mengacu pada grafik pergerakan harga yang tujuan untuk memperkirakan
harga saham di masa yang akan datang. Harga saham yang terdapat pada grafik
adalah harga kesepakatan antara permintaan dan penawaran. Analisa fundamental
menggunakan berbagai faktor dalam memperkirakan pergerakan harga saham.
Faktor-faktor tersebut meliputi faktor ekonomi makro, ekonomi global, kinerja
perusahaan, persaingan dunia usaha dan industri (Wira, 2014). Analisis fundamental
berasumsi bahwa harga saham yang tepat dapat ditentukan melalui suatu analisis atau
perhitungan yang sangat hati-hati dan teliti terhadap kondisi harga saham saat ini dan
prospeknya untuk masa yang akan datang. Analisis fundamental berdasarkan ini
pemikiran bahwa harga saham dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal
26
27
perusahaan
misalnya
pertumbuhan
penjualan,
keputusan
dividen,
struktur
permodalan, pertumbuhan laba untuk faktor internal dan peraturan pemerintah,
kondisi ekonomi, persaingan usaha, sentimen pasar dan lain-lain untuk faktor
eksternal.
3.1.2. Analisis Ekonomi Makro
Analisis ekonomi adalah merupakan titik sentral bagi kegiatan investasi
dimana hampir setiap keputusan investasi didasarkan pada proyeksi kondisi ekonomi
misalnya inflasi, tingkat bunga, kurs, dan pertumbuhan ekonomi. Hampir setiap
persoalan yang timbul didalam perusahaan yang berhubungan dengan faktor eksternal
penyebabnya adalah faktor perekonomian. Kekuatan-kekuatan eksternal akan selalu
berkembang dan saling berinteraksi sehingga akan menimbulkan risiko pasar yang
akan berpengaruh terhadap kegiatan operasional perusahaan (Sudiyatno, 2010).
Faktor ekonomi dan risiko sistematis sebagai faktor kekuatan eksternal adalah yang
paling mendapatkan perhatian dari para investor dan calon investor, karena faktor ini
bersentuhan langsung dengan kegiatan perusahaan.
Bagi para investor di pasar modal, analisis yang digunakan untuk
memperkirakan harga saham di masa yang akan datang adalah dengan
memperkirakan nilai indikator ekonomi makro yang mempengaruhi harga saham di
masa yang akan datang dan mencari hubungan indikator-indikator yang ada sehingga
diperoleh perkiraan harga saham. Analisis ini didasarkan pada asumsi dimana kondisi
perusahaan tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi internal perusahaan saja tetapi juga
27
28
dipengaruhi kondisi eksternal perusahaan yaitu kondisi perekonomian mencakup
ekonomi makro, moneter, fiskal dan perekonomian global (Husnan, 2009).
Menurut Tandelilin (2010), fluktuasi yang terjadi dipasar modal selalu terkait
dengan perubahan yang terjadi pada berbagai indikator ekonomi makro karena
lingkungan ekonomi makro sangat mempengaruhi operasional perusahaan. Dari
berbagai penelitian beberapa indikator ekonomi makro yang harus dipertimbangkan
dalam antara lain product domestic bruto, tingkat pengangguran, tingkat inflasi,
tingkat suku bunga, kurs mata uang, neraca perdagangan, jumlah uang beredar dll.
3.1.2.1. Arbritage Pricing Theory
Menurut Ross (1976) bahwa Arbritage Pricing Theory secara umum
mengasumsikan bahwa tingkat imbal hasil (return) saham dipengaruhi oleh berbagai
faktor risiko dengan mengacu pada kondisi perekonomian dan industri secara umum.
Geske dan Roll (1983) mendapatkan hasil bahwa inflasi berpengaruh negatif terhadap
return saham meskipun dianggap tidak masuk akal dan bukan merupakan hubungan
sebab akibat. Chen, Roll dan Ross (1986) pada pasar saham AS mendapatkan hasil
bahwa perubahan produksi industri, perubahan premi risiko dan perubahan struktur
jangka, perubahan tingkat inflasi berpengaruh terhadap return saham yang
diharapkan. Burmeister et al (2003) menunjukkan bahwa ada beberapa sumber utama
risiko yang konsisten mempengaruhi return saham yang timbul dari perubahan tak
terduga dalam indikator ekonomi fundamental yaitu
kepercayaan investor, suku
bunga, inflasi, aktifitas riil perusahaan dan indeks pasar. Di bursa saham Istambul
28
29
(ISE) dengan pendekatan APT mengindikasikan bahwa terdapat hubungan yg
signifikan antara return saham dengan variabel ekonomi makro yaitu inflasi, tingkat
suku bunga, risk premium, dan jumlah uang beredar meskipun dengan koefisien R2
yang lemah (Rjoub, 2009). Hal ini juga diperkuat oleh Hsing (2011) yang
menyatakan bahwa indeks pasar saham AS secara positif terkait dengan PDB riil,
pendapatan saham, nilai tukar efektif nominal perdagangan-tertimbang, sedangkan
indeks pasar saham Inggris secara negatif dipengaruhi oleh rasio utang
pemerintah/PDB, rasio M2/PDB, tingkat suku bunga tagihan riil, yield obligasi
korporasi riil, tingkat inflasi yang diharapkan.
3.1.2.2. Eficient Market Hypothesis
Dalam hipotesis pasar efisien, Fama (1970) mendefinisikan bahwa pada pasar
yang efisien adalah pasar dimana semua informasi yang relevan termasuk perubahan
faktor atau kondisi ekonomi sepenuhnya tercermin dalam harga saham sehingga
investor tidak akan mendapatkan keuntungan yang tidak normal (abnormal return)
atau dengan istilah lain bahwa harga yang terbentuk di pasar merupakan cerminan
dari semua informasi yang ada. Hal ini sesuai dengan temuan Fama et al (1969)
dimana adanya informasi mengenai stock split menyebabkan terjadinya perubahan
harga saham secara langsung di pasar atau pasar langsung melakukan penyesuaian
sesuai informasi yang ada.
Sampai dengan saat ini, teori hipotesa pasar efisien didukung antara lain oleh
Chen dan Yeh (2002) yang meneliti perilaku yang terjadi di pasar saham dan
29
30
menunjukkan bahwa hipotesa pasar efisien masih berlaku untuk data time series.
Malkiel (2005) yang mendapatkan hasil bahwa manajer investasi profesional tidak
bisa mengungguli indeks pasar dan memberikan bukti bahwa harga pasar
mencerminkan semua informasi yang tersedia. Wilson and Marashdeh (2007)
menyatakan bahwa kointegrasi harga saham tidak konsisten dengan hipotesa pasar
efisien dalam jangka pendek, tetapi konsisten dalam jangka panjang. Kim et al (2014)
mendapatkan hasil penelitian bahwa efisiensi pasar saham di Asia meningkat dari
waktu ke waktu, kapitalisasi pasar dan keterbukaan ekonomi mempengaruhi efisiensi
pasar saham.
Tetapi tidak sedikit peneliti yang mengkritiknya antara lain Beja (1977) yang
menyatakan efisiensi pasar adalah tidak mungkin. Grossman dan Stiglitz (1980)
menyatakan bahwa informasi pasar efisien tidak mungkin sempurna, karena
informasi itu mahal sehingga harga saham tidak bisa mencerminkan informasi yang
tersedia. Shiller (1981) mendapatkan hasil bahwa harga saham bergerak sangat
fluktuatif yang disesuaikan adanya perubahan deviden. Marsh dan Merton (1986)
menganalisis dengan metodologi yang digunakan oleh Shiller dan menyimpulkan
bahwa pendekatan ini tidak dapat digunakan untuk menguji hipotesis rasionalitas
pasar saham sehingga konsekuensinya adalah bahwa hipotesa pasar efisien ditolak.
Dalam tulisannya mengenai krisis finansial global, Ball (2010) berpendapat bahwa
runtuhnya Lehman Brothers dan lembaga keuangan besar lainnya pada saat krisis
global 2008 adalah karena terlalu percaya pada pasar yang efisien dan hal ini
30
31
mencerminkan kegagalan dari pasar yang efisien. Lee et al (2010) meneliti
stasioneritas dari harga saham untuk 32 negara maju dan 26 negara berkembang yang
meliputi periode Januari 1999 sampai Mei 2007 dan menyimpulkan bahwa pasar
saham tidak efisien.
Hipotesa pasar efisien di Indonesia diteliti oleh beberapa peneliti dan
mendapatkan hasil yang berbeda dimana King (2009) menyatakan bahwa efisiensi
pasar bentuk lemah ditolak disebabkan penyebaran informasi yang belum merata
tetapi Astuti (2008) menyatakan sebaliknya bahwa bursa efek Indonesia sudah efisien
dalam bentuk lemah sehingga investor tidak bisa memanfaatkan perubahan harga
masa lalu untuk mendapatkan abnormal return pada saat ini dan dimasa yang akan
datang.
3.1.3. Indeks Harga Saham
Kinerja pasar saham biasanya diringkas dalam suatu nilai yg disebut indeks
harga saham yang merupakan cerminan dari kinerja saham-saham yang ada di bursa
efek (Husnan, 2009). Indeks harga saham adalah nilai rata-rata dari sekumpulan
harga saham dengan mempertimbangkan nilai dasar yang dijadikan acuan (May,
2013). Di bursa efek Indonesia dikenal IHSG sebagai indeks utama pasar saham
Indonesia. Terdapat 16 jenis indeks yang dikenal di BEI antara (1) Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG), (2) Indeks Sektoral, (3) Indeks LQ 45, (4) Indeks JII
(Jakarta Islamic Indeks), (5) Indeks Kompas 100, (6) Indeks Bisnis 27, (7) Indeks
Pefindo 25, (8) Indeks Sri-Kehati, (9) Indeks ISSI (Indeks Saham Syariah Indonesia),
31
32
(10) Indeks IDX 30, (11) Indeks Infobank 15, (12) Indesk SMInfra 18, (13) Indeks
MNC 36, (14) Indeks Papan Utama, (15) Indeks Papan Pengembangan dan (16)
Indeks Individual. Perbedaan utama pada masing-masing indeks adalah jumlah
emiten dan nilai dasar yang digunakan untuk penghitungan indeks.
Umumnya indeks harga saham gabungan (composite) menggunakan metode
rata‐rata tertimbang termasuk di Bursa Efek Indonesia. Perhitungan indeks yang
terdaftar di BEI menggunakan metode yang sama yaitu metode rata-rata tertimbang
berdasarkan jumlah saham tercatat (nilai pasar) atau Market Value Weighted Average
Index. Formula dasar penghitungan indeks adalah :
πΌπ‘›π‘‘π‘’π‘˜π‘  =
Nilai Pasar
x 100
π‘π‘–π‘™π‘Žπ‘– π·π‘Žπ‘ π‘Žπ‘Ÿ
Nilai Pasar yaitu kumulatif jumlah saham tercatat (yang digunakan untuk perhitungan
indeks) dikali dengan harga pasar. Nilai Pasar biasa disebut juga Kapitalisasi Pasar.
Formula untuk menghitung Nilai Pasar adalah:
Nilai Pasar = (p 1 x q 1 ) + (p 2 x q 2 ) + (p 3 x q 3 ) + ........ + (p n x q n )
Dimana :
p = Closing price (harga yang terjadi) untuk emiten ke-n
q = Jumlah saham yang digunakan untuk penghitungan indeks (jumlah saham yang
tercatat) untuk emiten ke-n.
n = Jumlah emiten yang tercatat di BEI (jumlah emiten yang digunakan untuk
perhitungan indeks)
32
33
Nilai Dasar adalah kumulatif jumlah saham pada hari dasar dikali dengan harga pada
hari dasar atau nilai pasar pada hari dasar. IHSG menggunakan hari dasar pada
tanggal 10 Agustus 1982 dan Indeks Harga Saham Sektoral adalah tanggal 28
Desember 1995.
Indeks Harga Saham yang digunakan dalam penelitian ini adalah Indeks
Harga Saham Gabungan dan Indeks Harga Saham Sektoral (9 sektor) yang nilainya
diambil dari data Bursa Efek Indonesia dari Januari 2009 sampai dengan Juni 2014.
Nilai yang dipakai adalah harga penutupan setiap bulannya.
3.1.4. Tingkat Bunga
Tingkat bunga merupakan indikator yang selalu menjadi perhatian utama
karena secara langsung mempengaruhi roda perekonomian baik dalam skala pribadi
sampai dengan skala nasional/internasional. Bunga adalah biaya pinjaman atau harga
yang dibayarkan atas pinjaman dana (Mishkin, 2011). Tingkat bunga merupakan
ukuran pendapatan yang diperoleh oleh para investor atau pemilik modal sehingga
tingkat bunga ini disebut dengan bunga simpanan atau bunga investasi. Dalam dunia
perbankan, bunga berarti harga yang harus dibayar bank kepada nasabah yang
mempunyai simpanan atau harga yang harus dibayar nasabah kepada bank jika
nasabah mendapatkan pinjaman dari bank (Kasmir, 2010)
Di Indonesia kebijakan tingkat suku bunga dikendalikan secara langsung oleh
Bank Indonesia melalui BI rate yang merupakan patokan dalam menentukan
besarnya bunga kredit dan tabungan. Definisi BI rate sendiri menurut Bank Indonesia
33
34
adalah kebijakan yang mencerminkan sikap atau respons atas kebijakan moneter yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia dan diumumkan kepada publik (www.bi.go.id). BI
Rate diumumkan oleh Dewan Gubernur Bank Indonesia setiap Rapat Dewan
Gubernur bulanan dan diimplementasikan pada operasi moneter yang dilakukan Bank
Indonesia. Respon kebijakan moneter dinyatakan dalam perubahan BI Rate secara
konsisten dan bertahap dalam kelipatan 25 basis poin (bps).
Dari sisi investor maka BI rate yang tinggi menyebabkan investor melakukan
investasi dalam bentuk tabungan atau deposito yang memiliki resiko yg kecil
dibanding dengan investasi di sektor riil atau saham. Dari sisi pelaku usaha maka BI
rate yang tinggi menyebabkan bunga pinjaman juga meningkat sehingga biaya
produksi menjadi lebih tinggi, sehingga menyebabkan harga naik atau pelaku usaha
menahan untuk mengembangkan usahanya. Saat harga barang naik maka konsumen
cenderung menahan melakukan konsumsi atau pembelian sehingga penjualan
menurun dan akibatnya kinerja perusahaan juga menurun. Menurunnya kinerja
perusahaan menyebabkan harga saham menjadi turun.
Sebaliknya jika BI rate turun maka akan memicu penurunan tingkat suku
bunga kredit maupun deposito/tabungan. Bagi investor, dengan adanya penurunan
tingkat suku bunga deposito/tabungan, maka akan mengurangi tingkat return atau
keuntungan yang diperoleh bila dana yang dimilikinya akan diinvestasikan dalam
bentuk deposito/tabungan. Bagi pelaku usaha, penurunan suku bunga kredit
menyebabkan perusahaan lebih mudah untuk memperoleh tambahan dana dengan
34
35
biaya yang murah untuk meningkatkan produktivitasnya. Dengan peningkatan
produktivitas maka akan mendorong perusahaan melakukan ekspansi untuk
meningkatkan kapasitas produksi dan peningkatan laba. Dengan meningkatnya laba
berarti bahwa kinerja perusahaan meningkat sehingga harga saham menjadi
meningkat pula. Hal ini dapat menjadi daya tarik bagi para investor untuk
berinvestasi di pasar modal.
3.1.5. Inflasi
Inflasi adalah suatu keadaan menurunnya nilai mata uang pada suatu negara
dan menaiknya harga-harga barang dan jasa yang berlangsung secara sistematis
(Noor,2009). Secara sederhana inflasi adalah kenaikan harga barang dan jasa secara
umum dimana barang dan jasa tersebut merupakan kebutuhan pokok masyarakat atau
turunnya daya jual mata uang suatu negara (www.bps.go.id). Jika kenaikan harga
terjadi pada satu atau dua barang atau jasa saja maka hal tsb tidak dapat disebut
inflasi. Indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat inflasi adalah Indeks
Harga Konsumen (IHK) yaitu suatu indeks yang menghitung rata-rata perubahan
harga dalam suatu periode, dari suatu kumpulan barang dan jasa yang dikonsumsi
oleh penduduk/rumah tangga dalam kurun waktu tertentu. Penghitungan IHK
ditujukan untuk mengetahui perubahan harga dari sekelompok tetap barang/jasa yang
pada umumnya dikonsumsi masyarakat. Perubahan IHK dari waktu ke waktu
menggambarkan tingkat kenaikan (inflasi) atau tingkat penurunan (deflasi) dari
barang/jasa kebutuhan rumah tangga sehari-hari. IHK di Indonesia dihitung dengan
35
36
rumus Laspeyres termodifikasi dengan menghitung rata-rata harga komoditas, ukuran
yang digunakan adalah rata-rata aritmatik, tetapi untuk beberapa komoditas seperti
beras, minyak goreng, bensin, dan sebagainya digunakan rata-rata geometri
(www.bps.go.id).
Kestabilan inflasi merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang
berkesinambungan yang pada akhirnya memberikan manfaat bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa
inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial
ekonomi masyarakat dan perekonomian suatu negara. Inflasi yang tidak stabil akan
menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil
keputusan. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan
menyulitkan keputusan masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi, dan
produksi, yang pada akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.
Bagi investor atau pemodal, jika inflasi tinggi artinya harga barang atau jasa
menjadi relatif mahal sehingga daya beli masyarakat turun. Turunnya daya beli
membuat investor mengurangi tabungan atau investasi terutama di pasar modal
sehingga menyebabkan harga saham menurun. Bagi pelaku usaha atau perusahaan,
inflasi yang tinggi menyebabkan biaya produksi naik atau harga barang menjadi naik
sehingga penjualan menurun diikuti turunnya profit dan kinerja perusahaan sehingga
harga saham juga akan menurun.
36
37
Sebaliknya jika inflasi rendah maka akan harga barang atau jasa akan relatif
stabil. Bagi investor, dengan stabilnya atau rendahnya inflasi maka harga secara
umum juga relatif stabil sehingga keinginan untuk berinvestasi meningkat. Jika
demand untuk berinvestasi di pasar saham meningkat maka harga saham akan
meningkat. Bagi pelaku usaha, stabil atau rendahnya inflasi membuat perusahaan
lebih mudah meningkatkan produktivitasnya melalui ekspansi untuk meningkatkan
kapasitas produksi dan peningkatan laba. Dengan meningkatnya laba berarti bahwa
kinerja perusahaan meningkat sehingga harga saham menjadi meningkat dan menjadi
daya tarik bagi investor.
3.1.6. Kurs Rupiah Terhadap US$
Kurs adalah nilai tukar suatu mata uang terhadap mata uang lainnya (Noor,
2009). Kurs merupakan jumlah satuan atau unit dari mata uang suatu negara tertentu
yang diperlukan untuk mendapatkan atau membeli jenis mata uang negara lainnya.
Kurs mata uang menunjukkan harga mata uang apabila ditukarkan dengan mata uang
lain. Penentuan nilai kurs mata uang suatu negara dengan mata uang negara lain
ditentukan sebagai mana halnya barang yaitu oleh permintaan dan penawaran mata
uang yang bersangkutan. Hal ini juga berlaku untuk kurs rupiah, dimana jika
demand/permintaan akan rupiah lebih banyak daripada supply/penawarannya maka
kurs rupiah ini akan menguat (mengalami apresiasi), demikian pula sebaliknya
dimana
jika
demand/permintaan
akan
rupiah
lebih
sedikit
daripada
supply/penawarannya maka kurs rupiah ini akan melemah (mengalami depresiasi).
37
38
Pemerintah Indonesia dalam hal ini Bank Indonesia berperan dalam menjaga kurs
sampai pada tingkat yang kondusif bagi dunia usaha. Kurs khususnya kurs rupiah
terhadap US$ sangat berkaitan erat dan mempengaruhi arus barang dan jasa serta
modal dari dalam dan keluar Indonesia. Adapun macam-macam kurs di antaranya
adalah :
•
Kurs beli, yaitu kurs yang digunakan apabila bank atau money changer
membeli valuta asing dari konsumen atau dapat diartikan sebagai kurs yang
diberlakukan bank jika melakukan pembelian mata uang valuta asing.
•
Kurs jual, yaitu kurs yang digunakan apabila bank atau money changer
menjual valuta asing dari konsumen atau dapat disingkat kurs jual adalah
harga jual mata uang valuta asing oleh bank atau money changer.
•
Kurs tengah, yaitu kurs antara kurs jual dan kurs beli (penjumlahan kurs beli
dan kurs jual yang dibagi dua).
Naik turunnya atau kuat lemahnya nilai tukar mata uang (kurs) domestik
terhadap mata uang asing bisa terjadi dengan beberapa cara yakni dilakukan secara
resmi oleh pemerintah atau karena tarik menarik kekuatan penawaran dan permintaan
di dalam pasar (market mechanism). Perubahan nilai tukar mata uang tersebut antara
lain :
•
Depresiasi adalah penurunan harga mata uang domestik terhadap berbagai
mata uang asing lainnya, yang terjadi karena tarik menariknya kekuatan
supply and demand di dalam pasar (market mechanism).
38
39
•
Appresiasi adalah peningkatan harga mata uang domestik terhadap berbagai
mata uang asing lainnya, yang terjadi karena tarik menariknya kekuatan
supply dan demand di dalam pasar (market mechanism).
•
Devaluasi adalah penurunan harga mata uang domestik terhadap berbagai
mata uang asing lainnya yang dilakukan secara resmi oleh pemerintah.
•
Revaluasi adalah peningkatan harga mata uang domestik terhadap berbagai
mata uang asing lainnya yang dilakukan secara resmi oleh pemerintah.
Bagi investor, jika kurs rupiah terhadap US$ melemah (naik) artinya prospek
perekonomian suram sehingga investor saham akan menjual sahamnya. Begitu pula
dengan harga barang akan cenderung ikut naik sehingga demand untuk melakukan
investasi di saham menurun. Di satu sisi investor menjual saham dan di sisi yang lain
demand investasi saham menurun maka hal ini menyebabkan harga saham turun.
Bagi pelaku usaha, dengan melemahnya rupiah maka biaya produksi akan meningkat
terutama biaya bahan baku import dan membuat harga barang ikut naik sehingga
penjualan dan laba akan menurun. Turunnya laba menyebabkan kinerja dan nilai
perusahaan turun yang berefek terhadap harga saham akan ikut turun.
Sebaliknya jika kurs rupiah terhadap US$ menguat (turun) artinya prospek
perekonomian cerah sehingga investor cenderung membeli saham sehingga
permintaan berinvestasi dipasar saham meningkat maka hal ini dapat membuat harga
saham naik. Bagi pelaku usaha, dengan menguatnya rupiah maka biaya produksi akan
bisa ditekan agar harga barang bisa bersaing dan tentunya dapat meningkatkan
39
40
penjualan dan laba. Naiknya laba menyebabkan kinerja dan nilai perusahaan
meningkat yang berefek terhadap harga saham akan ikut naik.
3.1.7. Jumlah Uang Beredar
Jumlah uang beredar adalah uang yang berada di tangan masyarakat.
Pengertian paling sempit atau biasa dikenal dengan istilah narrow money adalah
daya beli yang langsung bisa digunakan untuk pembayaran atau dapat diperluas
mencakup alat-alat pembayaran yang mendekati “uang” (deposito berjangka dan
tabungan). Narrow money atau uang sempit yang biasanya disimbolkan dengan M1
terdiri dari uang tunai/kartal (Currency) dan uang giral (Demand Deposit). Uang
kartal merupakan uang kertas dan uang logam yang ada di tangan masyarakat umum,
sedangkan uang giral mencakup saldo rekening koran/giro milik masyarakat umum
yang disimpan di bank.
M1 = C + D
Dimana :
M1 = Uang Sempit
C = Currency (uang kartal: kertas dan logam)
D = Demand Deposits (uang giral: rekening koran/giro)
Pengertian uang beredar dalam arti lebih luas (Broad Money) adalah M1 ditambah
dengan deposito berjangka dan tabungan milik masyarakat pada bank-bank.
M2 = M1 + TD + SD
40
41
Dimana :
M2 = Uang Luas
TD = Time deposits (deposito berjangka)
SD = Savings Deposits (Saldo Tabungan)
Definisi uang beredar yang lebih luas lagi adalah M3 yang mencakup semua TD dan
SD, besar kecil, rupiah atau dollar milik penduduk pada bank atau lembaga keuangan
non bank (uang kuasi)
M3 = M2 + QM
Dimana :
M3 = Uang Beredar
QM = Uang Kuasi
Di dalam kehidupan masyarakat, jumlah uang yang beredar ditentukan oleh
kebijakan dari bank sentral untuk menambah atau mengurangi jumlah uang melalui
kebijakan moneter. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah uang yang
beredar adalah :
•
Kebijakan Bank Sentral berupa hak otonom dan kebijakan moneter (meliputi:
politik diskonto, politik pasar terbuka, politik cash ratio, politik kredit
selektif) dalam mencetak dan mengedarkan uang kartal.
•
Kebijakan pemerintah melalui menteri keuangan untuk menambah peredaran
uang dengan cara mencetak uang logam dan uang kertas yang nominalnya
kecil.
41
42
•
Bank umum dapat menciptakan uang giral melalui pembelian saham dan surat
berharga.
•
Tingkat pendapatan masyarakat
•
Tingkat suku bunga bank
•
Selera konsumen terhadap suatu barang (semakin tinggi selera konsumen
terhadap suatu barang maka harga barang tersebut akan terdorong naik,
sehingga akan mendorong jumlah uang yang beredar semakin banyak,
demikian sebaliknya)
•
Harga barang
•
Kebijakan kredit dari pemerintah
Terdapat tiga macam tujuan individu memegang uang tunai, yaitu motif
transaksi, berjaga-jaga dan spekulasi. Permintaan uang tunai untuk tujuan transaksi
menunjukkan
jumlah
uang
tunai
yang
diminta
untuk
tujuan
membiayai
transaksi/pengeluaran yang sifatnya tertentu (perbulan) membayar dalam jumlah tetap
dan rutin. Permintaan uang tunai untuk berjaga-jaga menunjukkan uang tunai yang
diminta untuk tujuan membiayai transaksi/pengeluaran yang sifatnya bukan rutin dan
bukan spekulatif. Jumlah uang tunai yang diminta untuk tujuan transaksi dan berjagajaga dipengaruhi secara positif oleh tingkat pendapatan. Artinya semakin besar
tingkat pendapatan semakin besar pula jumlah uang tunai yang diminta untuk tujuan
transaksi dan berjaga-jaga, dan sebaliknya. Permintaan uang tunai untuk tujuan
spekulasi menunjukkan jumlah uang tunai yang diminta untuk tujuan membiayai
42
43
transaksi/pengeluaran yang sifatnya spekulatif misalnya membeli surat berharga
(obligasi) atau saham. Jumlah uang tunai yang diminta untuk tujuan spekulasi
dipengaruhi secara negatif oleh suku bunga, dimana semakin tinggi suku bunga
semakin sedikit jumlah uang tunai yang diminta untuk tujuan spekulasi, dan semakain
rendah suku bunga maka semakin banyak jumlah uangtunai yang diminta untuk
tujuan spekulatif. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah uang yang beredar akan
berpengaruh secara positif terhadap kinerja saham. Pertumbuhan jumlah uang beredar
yang terjadi secara wajar akan memberikan pengaruh positif terhadap ekonomi dan
pasar saham secara jangka pendek, namun pertumbuhan yang drastis dan tidak wajar
akan memicu inflasi yang tentunya memberikan pengaruh negatif.
3.1.8. Harga Emas Dunia
Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah emas yang merupakan salah satu
komoditi penting dalam berinvestasi sehingga dapat mempengaruhi pergerakan bursa
saham. Emas tersedia dalam berbagai macam bentuk, mulai dari batangan atau
lantakan, koin emas dan emas perhiasan. Kualitas emas ditentukan oleh kadar emas
dengan satuan karat. Satuan untuk emas dunia adalah troy per ounce (Oz) dimana 1
Oz = 31,1034768 gram ~ 31,1 gram dan dijual dengan mata uang US$. Jenis emas
batangan adalah yang terbaik untuk investasi karena dimanapun dan kapanpun
investor ingin menjualnya maka nilai/harganya akan mengikuti standar internasional
yang berlaku pada hari penjualan, sehingga kenaikan harga emas akan mempengaruhi
indeks harga saham karena investor yang semula berinvestasi di pasar modal akan
43
44
mengalihkan dananya untuk berinvestasi di emas yang relatif lebih aman daripada
berinvestasi di bursa saham (Oei, 2009).
Sebenarnya emas banyak dipilih sebagai salah satu bentuk investasi karena
nilainya cenderung stabil dan naik. Emas adalah alat yang dapat digunakan untuk
menangkal inflasi yang selalu terjadi setiap tahunnya. Ketika akan berinvestasi,
investor akan memilih investasi yang memiliki tingkat imbal balik tinggi dengan
resiko tertentu atau tingkat imbal balik tertentu dengan resiko yang rendah. Kenaikan
harga emas akan mendorong investor untuk memilih berinvestasi di emas daripada di
pasar modal. Sebab dengan resiko yang relatif lebih rendah, emas diharapkan
memberikan hasil imbal balik yang lebih baik dengan kenaikan harganya. Ketika
banyak investor yang mengalihkan portofolionya investasi dalam bentuk emas, hal ini
akan mengakibatkan turunnya indeks harga saham di negara yang bersangkutan
karena aksi jual yang dilakukan investor.
3.2. Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian terkait pengaruh tingkat suku bunga, inflasi, nilai tukar
rupiah terhadap US$, jumlah uang beredar dan harga emas dunia terhadap indeks
saham telah banyak dilakukan baik di Indonesia maupun di luar negeri. Adanya
perbedaaan hasil penelitian yang ada menjadi salah satu alasan yang mendasari
dilakukannya penelitian ini di Bursa Efek Indonesia pada periode januari 2009
sampai dengan Juni 2014.
44
45
Untuk tingkat inflasi, penelitian Thobary (2009) menyatakan bahwa inflasi
berpengaruh negatif terhadap indeks harga saham sektor properti. Sebaliknya
Yogaswari et al (2012), Subastine dan Syamsudin (2010), Kibria et al (2014)
mendapatkan hasil bahwa inflasi berpengaruh positif terhadap indeks harga saham.
Izedonmi dan Abdullahi (2011), Kewal (2012), Lawrence (2013) berpendapat bahwa
inflasi tidak berpengaruh terhadap indeks harga saham. Thaker et al (2010), Issahaku
et al (2013) dengan metode VECM menyatakan bahwa ada pengaruh jangka panjang
maupun jangka pendek dimana inflasi berpengaruh terhadap return saham.
Perubahan tingkat suku bunga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi
pergerakan harga saham dimana kebijakan tingkat suku bunga dikendalikan secara
langsung oleh Bank Indonesia melalui BI rate. Penelitian Kewal (2012), Sutanto et al
(2013) dan Lawrence (2013) menyatakan bahwa tingkat suku bunga tidak
berpengaruh terhadap IHSG dan hal ini didukung oleh
Talla (2013) dalam
penelitiannya terhadap Stockholm Stock Exchange (OMXS30) mendukung hasil di
atas bahwa tingkat suku bunga tidak berpengaruh terhadap indeks saham Stockholm..
Tetapi sebaliknya Wang dan Xu (2010) dalam penelitannya terhadap Shanghai
Composite Index berkesimpulan bahwa interest rate berpengaruh positif terhadap
SCI. Lain halnya dengan Nugroho (2008), Witjaksono (2010), Subastine dan
Syamsudin (2010), Yogaswari et al (2012) dan Silim (2013) menyatakan bahwa
tingkat suku bunga berpengaruh negatif terhadap indeks saham. Adam dan
Tweneboah (2008) dan Issahaku et al (2013) dalam meneliti pasar saham di Ghana
45
46
mendapatkan hasil bahwa interest rate merupakan salah satu faktor yang menetukan
pergerakan harga saham di Ghana.
Untuk nilai tukar (Kurs) mata uang domestik terhadap US$, Nugroho (2008)
dalam penelitiannya berkesimpulan bahwa nilai tukar rupiah berpengaruh positif
terhadap LQ45 begitu pula hasil yang didapat oleh Wang dan Xu (2010) dalam
penelitiannya berkesimpulan bahwa nilai tukar (kurs) RMB terhadap US$
berpengaruh positif terhadap indeks saham. Hasil berbeda didapat oleh Witjaksono
(2010), Subastine dan Syamsudin (2010), Kewal (2012), Yogaswari et al (2012),
Silim (2013), Sangmi dan Hassan (2013) dan Sutanto et al (2013) bahwa nilai tukar
berpengaruh negatif terhadap IHSG. Hasil berbeda diperoleh Izedonmi dan Abdullahi
(2011) dimana nilai tukar tidak berpengaruh terhadap harga saham, tetapi di Malaysia
Thaker et al (2010) menyimpulkan bahwa exchange rate berpengaruh secara
signifikan terhadap KLCI dengan pendekatan Error Correction Model.
Untuk jumlah uang beredar, Nugroho (2008) berkesimpulan bahwa jumlah
uang beredar berpengaruh positif terhadap indeks LQ45 yang didukung oleh
Subastine dan Syamsudin (2010) dan Lawrence (2013) mengenai pengaruh positif
indikator jumlah uang beredar terhadap IHSG. Hal yang sama didapatkan dari
penelitian terhadap Indeks Saham Pakistan (KSE 100 Index) oleh Kibria et al (2014)
berkesimpulan bahwa jumlah uang beredar berpengaruh positif terhadap indeks harga
saham. Dengan metode penelitian kausalitas granger oleh Issahaku et al (2013)
disimpulkan bahwa money supply mempunyai hubungan yang signifikan terhadap
46
47
return saham di Ghana. Tetapi dalam penelitian di Stockholm, hasil yang didapatkan
adalah berbeda dimana Talla (2013) menyatakan bahwa money supply tidak
berpengaruh terhadap Stockholm Stock Exchange (OMXS30). Hasil berbeda
didapatkan juga oleh Humpe dan Macmillan (2007) dimana money supply
berpengaruh negatif terhadap pasar saham di Jepang
Untuk harga emas dunia, dalam penelitiannya, Witjaksono (2010), Silim
(2013), Sutanto et al (2013) berkesimpulan bahwa harga emas dunia berpengaruh
positif terhadap indeks harga saham. Hasil yang berbeda didapat oleh Lawrence
(2013) dimana harga emas antam tidak berpengaruh terhadap IHSG, hasil yang
serupa terjadi di Pakistan oleh Basit (2013) bahwa gold price tidak berpengaruh
terhadap indeks saham KSE-100.
3.3. Kerangka Pemikiran
Kenaikan inflasi yang relatif tinggi yang disebabkan adanya kenaikan harga
secara umum menyebabkan terjadinya peningkatan biaya produksi yang lebih tinggi
dari peningkatan harga yang dapat dinikmati oleh perusahaan sehingga penjualan dan
laba perusahaan akan menurun. Hal ini berdampak pada penurunan harga saham di
pasar modal.
Kenaikan tingkat bunga (BI rate) akan mengakibatkan investor cenderung
untuk menabung daripada menginvestasikan modalnya dalam bentuk saham dengan
harapan resiko yang diharapkan dari menabung lebih kecil dibandingkan bila
menginvestasikan modalnya dalam bentuk saham, sehingga dapat membuat harga
47
48
saham turun. Jika tingkat bunga turun, investor cenderung lebih suka investasi
dengan membeli saham sehingga permintaan saham akan meningkat dan akan
mendorong peningkatan harga saham.
Melemahnya rupiah atau naiknya nilai tukar rupiah terhadap US$ dapat
menyebabkan biaya produksi/harga barang menjadi tinggi sehingga menyebabkan
penjualan, laba dan kinerja berpotensi menurun. Hal ini bisa memberikan pengaruh
negatif terhadap pasar saham dimana harga saham menjadi turun.
Jumlah uang beredar dengan pertumbuhan yang wajar memberikan pengaruh
positif pada perekonomian dimana untuk tujuan spekulatif investor akan cenderung
berinvestasi di pasar saham, sehingga dapat meningkatkan harga saham. Tetapi
pertumbuhan yang drastis akan memicu inflasi yang tentunya memberikan pengaruh
negatif terhadap perekonomian dimana inflasi yang tinggi dapat menyebabkan harga
saham turun.
Emas sebagai salah satu sarana investasi memberikan pengaruh negatif
terhadap pergerakan harga saham. Jika harga emas mengalami kenaikan maka
investor akan lebih memilih berinvestasi di emas dari pada saham karena terdapat
kecenderungan kenaikan harga emas dalam jangka panjang.
Sebagaimana diuraikan diatas maka akan diuji dan diukur apakah variabel
inflasi, tingkat suku bunga, kurs rupiah terhadap US$, jumlah uang beredar dan harga
emas dunia berpengaruh terhadap indeks saham sektoral baik secara simultan maupun
48
49
secara partial. Secara sistematis hubungan pengaruh tersebut dapat dilihat pada
gambar 3.1.di bawah ini :
Gambar 3.1. Alur Kerangka Pemikiran Investasi
49
50
3.4. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kajian teori diatas maka hipotesis penelitian adalah sebagai
berikut :
H 1 : Tingkat Inflasi berpengaruh negatif terhadap indeks harga saham sektoral
H 2 : Tingkat Suku Bunga berpengaruh negatif terhadap indeks harga saham sektoral
H 3 : Nilai Tukar Rupiah terhadap US$ berpengaruh negatif terhadap indeks harga
saham sektoral
H 4 : Jumlah Uang Beredar berpengaruh positif terhadap indeks harga saham sektoral
H 5 : Harga Emas Dunia berpengaruh negatif terhadap indeks harga saham sektoral
50
Download