II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Pohon kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) adalah tanaman dari familia palma dan berasal dari Guinea di Benua Afrika bagian tengah termasuk daerah khatulistiwa. Pohon kelapa sawit mulai ditanam di Indonesia pada waktu itu namanya Hindia Belanda yaitu di Kebun Raya Bogor pada tahun 1948 sebanyak dua pohon (PT. Perkebunan XI, 1993). Bibit tanaman kelapa sawit tersebut berasal dari Bourbon (Rheunion) atau Mauritius sebanyak 2 (dua) bibit yang dibawa ke Amsterdam dan kemudian dibawa ke Indonesia dan ditanam di Kebun Raya Bogor. Dari dua pohon inilah yang menjadi nenek moyang kelapa sawit yang ditanam diseluruh Indonesia dan Asia Tenggara. Perkebunan kelapa sawit di Indonesia dimulai pada tahun 1911 oleh Adrien Hallet yaitu bangsa Belgia yang telah berpengalaman menanam kelapa sawit di Benua Afrika. Pertama-tama ditanam di Sungai Liput di Aceh Timur (sekarang PT Socfindo) dan di Kebun Pulau Raja Sumatera Timur (PT. Perkebunan XI, 1993). Tanaman kelapa sawit berakar serabut yang sebagian besar berada dekat permukaan tanah yaitu pada kedalaman 15 – 30 cm (dangkal), sehingga peka terhadap cekaman kekeringan. Batangnya tegak tidak bercabang, berdiameter 40 – 75 cm, tinggi batang dalam pembudidayaan tidak lebih 15 – 18 m. Berdaun majemuk dengan pelepah daun tersusun melingkari batang berbentuk spiral. Panjang pelepah daun mencapai 9 m dengan panjang helai daun mencapai 1,2 m berjumlah 100 – 160 pasang. Jumlah pelepah yang dipertahankan dalam perkebunan kelapa sawit sekitar 30 – 50 pelepah (Hartley, 1977). Tipe pembungaan tanaman kelapa sawit adalah berumah satu yaitu bunga betina dan bunga jantan terdapat pada satu tanaman, tetapi pada tandan yang berbeda. Bunga tumbuh pada setiap ketiak pelepah daun, satu tandan bunga berupa bunga jantan atau bunga betina, dengan masa siap polinasi yang berbeda sehingga terjadi penyerbukan silang. Nisbah bunga jantan dan betina dapat dipengaruhi oleh keadaan iklim. Tanaman kelapa sawit mulai berbuah pada umur 3 – 4 tahun setelah tanam. Buah menjadi matang 5 – 6 bulan setelah penyerbukan, tergantung pada umur bibit ditanam, kesuburan tanah, iklim, dan teknik budidaya selama tanaman belum menghasilkan. Proses pematangan buah kelapa sawit dapat dilihat dari perubahan warna kulit buahnya, dari hijau pada buah muda menjadi merah jingga sewaktu buah telah matang (Tim Penulis Penebar Swadaya, 1999). Selain itu kriteria tandan buah dapat dipanen adalah terdapat berondolan buah yang jatuh alami di atas tanah sebanyak dua buah per kilogram tandan (Pamin, 1985 dalam Hazriani, 2004). Tanaman kelapa sawit dapat bertahan hidup sampai berumur lebih dari 130 tahun (seperti tercatat di kebun Raya Bogor), tetapi karena pertimbangan efisiensi dan ekonomi untuk usaha perkebunan biasanya dibudidayakan hanya sampai umur 25 – 30 tahun. Bagian-bagian tanaman kelapa sawit terdiri dari bagian vegetatif (akar, batang dan daun) dan bagian generatif yang merupakan alat perkembangbiakan yaitu bunga dan buah. 2.2. Faktor Lingkungan Kelapa Sawit Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan perkembangan kelapa sawit meliputi faktor tanah serta faktor cuaca dan iklim. dan a. Faktor Tanah. Tanaman kelapa sawit dapat dibudidayakan pada berbagai jenis tanah. Tanaman ini tumbuh dan berkembang dengan baik pada tanah subur bersolum dalam, berdrainase baik, pH berkisar 5.5 – 7.0. Tanah demikian terutama pada tanah-tanah bertekstur lempung liat berpasir yang biasa dijumpai pada tanah-tanah aluvial. Disamping itu tanah dengan topografi datar sangat baik untuk budidaya tanaman kelapa sawit (Hartley, 1977). Pada tanaman kelapa sawit, sifat fisik tanah lebih penting dari sifat kesuburan kimianya, karena kekurangan satu unsur hara dapat diatasi dengan pemupukan. Williams (1982, dalam Hazriani, 2004) dan Piggot (1990, dalam Hazriani, 2004), mengemukakan beberapa ciri tanah yang merupakan faktor pembatas dan tidak sesuai untuk pertumbuhan tanaman kelapa sawit. Ciri – ciri tanah tersebut meliputi: (i) berdrainase jelek dengan permukaan air dangkal ataupun karena struktur yang kurang baik sehingga terjadi penggenangan yang cukup lama, (ii) tanah-tanah lateritik yang berkembang lanjut, sehingga telah terjadi translokasi mineral-mineral liat mengakibatkan banyaknya fragmenfragmen kasar yang memiliki kapasitas menahan air rendah, (iii) tanah-tanah di daerah pantai yang bertekstur pasir, dan (iv) tanah gambut dengan ketebalan lebih dari 200 cm. Tanaman kelapa sawit memerlukan drainase yang relatif baik. Pada keadaan drainase yang terhambat ataupun jumlah air yang berlebihan, misalnya dalam keadaan tegenang, pertumbuhan akan terhambat. Tekstur tanah berperan terhadap aerasi tanah, efisiensi pemupukan dan lain-lain. Tanah-tanah dengan tekstur berat (liat) akan menyebabkan terhambatnya perkembangan akar kelapa sawit, tetapi tanah demikian mempunyai kemampuan besar dalam meretensi pupuk yang ditambahkan. Sedangkan tanah bertekstur ringan (pasir) mempunyai efisiensi pemupukan yang rendah (Panjaitan dan Wibowo, 1975 dalam Hazriani, 2004). Perkembangan akar kelapa sawit pada tanah bersolum dangkal akan terhambat. Adanya faktor pembatas pada profil tanah bagian bawah baik dalam bentuk bahan induk, tekstur tanah yang kasar, dan lain-lain akan membatasi perkembangan akar (Panjaitan dan Wibowo, 1975 dalam Hazriani, 2004). Menurut Panjaitan dan Wibowo (1975 dalam Hazriani, 2004), topografi lahan juga merupakan faktor lingkungan yang penting ikut menentukan efisiensi usaha perkebunan kelapa sawit. Beberapa unsur topografi yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman adalah relief, sudut lereng, arah lereng, dan ketinggian lahan di atas permukaan laut. Keseluruhan unsur tersebut bersamasama mempengaruhi iklim lokal kebun tersebut. b. Faktor Cuaca dan Iklim. Tanaman kelapa sawit tumbuh baik pada iklim tropis zone khatulistiwa, tanaman ini tumbuh dan berkembang dengan baik antara garis lintang13o Lintang Utara sampai 12o Lintang Selatan, yaitu di Benua Afrika, Asia dan Amerika Latin. Curah hujan. Tanaman kelapa sawit tumbuh dengan baik pada kawasankawasan dengan curah hujan tahunan 2000 – 2500 mm dan menyebar merata sepanjang tahun (Fauzi et al., 2002). Penyebaran curah hujan merata sepanjang tahun yang dimaksud adalah sebaran curah hujan yang tidak terdapat perbedaan mencolok dari satu bulan ke bulan berikutnya dan sebaiknya tidak terdapat curah hujan bulanan di bawah 60 mm sehingga tanaman tidak mengalami cekaman. Sebaran curah hujan merupakan faktor yang penting untuk perkembangan bunga. Pada umumnya sewaktu musim hujan terbentuk lebih banyak tandan bunga betina, sedang pada musim kemarau terbentuk lebih banyak bunga jantan dikarenakan mulai awal musim kemarau pemisahan bunga cenderung ke arah bunga jantan (Turner, 1977 dalam Hazriani, 2004). Radiasi matahari. Tanaman kelapa sawit membutuhkan penyinaran radiasi matahari yang cukup. Pada umumnya penyinaran radiasi matahari yang cukup untuk tanaman kelapa sawit adalah lebih dari 1600 jam per tahun dengan rata-rata 5 – 7 jam per hari (Ferwerda, 1977 dalam Hazriani, 2004). Dalam hal ini penyinaran radiasi matahari di daerah penelitian yaitu 4 – 5 jam per hari dengan alat Campbell Stokes (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Lampung, 2009). Sedangkan penyinaran radiasi matahari di daerah penelitian dengan menggunakan alat Solarimeter rakitan sendiri dengan benda hitam yang dihubungkan dengan counter kalkulator adalah sebesar 3 – 4.5 jam per hari (Lestari, 2008). Suhu udara dan ketinggian tempat. Pengaruh suhu udara terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman kelapa sawit banyak dideduksi dari penyebaran geografi dan ketinggian tempat, dimana suhu udara akan semakin menurun dengan bertambahnya ketinggian lokasi pertanaman. Ketinggian tempat yang ideal untuk pertanaman kelapa sawit mulai dari 5 m sampai 200 m di atas permukaan laut. Ketinggian lebih dari 600 m di atas permukaan laut tidak dianjurkan untuk budidaya kelapa sawit (Sianturi, 1991 dalam Hazriani, 2004). Tanaman kelapa sawit tumbuh dan berkembang baik pada kawasan yang mempunyai suhu udara rata-rata 24 – 28o C (Ferwerda, 1977 dalam Hazriani, 2004). Untuk produksi yang tinggi dibutuhkan suhu maksimum rata-rata pada kisaran 29 – 32o C dan suhu minimum rata-rata pada kisaran 22 – 24o C (Hartley, 1977). Ferwerda (1977, dalam Hazriani, 2004) menyatakan bahwa suhu udara di bawah 22o C menghambat pertumbuhan dan mengurangi hasil. Kelembaban udara dan angin. Kelembaban udara dan angin merupakan faktor yang cukup penting untuk menunjang pertumbuhan kelapa sawit. Kelembaban dapat mengurangi penguapan, sedangkan angin akan membantu penyerbukan secara alami. Faktor-faktor yang mempengaruhi kelembaban ini antara lain suhu, radiasi surya, curah hujan dan evapotranspirasi. 2.3. Kekeringan Pada Tanaman Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit jika ditinjau dari kebutuhan airnya dapat tumbuh dengan baik pada lahan dengan curah hujan yang cukup 2000 – 2500 mm/tahun (Fauzi et al., 2002) dengan penyebaran merata sepanjang tahun dan tidak mengalami bulan kering (curah hujan < 60 mm). Kecukupan kebutuhan air bagi tanaman bergantung pada kondisi tanaman, tanah, dan iklim. Perhitungan kecukupan air pada tanaman kelapa sawit untuk tujuan praktis dilapangan dapat dilakukan dengan perhitungan metode Tailliez. Perhitungan tersebut dilakukan dengan menggunakan asumsi umum yaitu bahwa keseimbangan air merupakan jumlah air dari curah hujan ditambah dengan cadangan air permulaan dalam tanah kemudian dikurangi dengan evapotranspirasi. Evapotranspirasi diasumsikan bernilai 150 mm/bulan jika hari hujan ≤ 10 hari/bulan dan bernilai 120 mm/bulan jika hari hujan > 10 hari/bulan. Asumsi lain yang digunakan adalah kemampuan tanah dalam menyimpan air/cadangan air dalam tanah maksimum 200 mm. Nilai keseimbangan air menunjukkan tingkat ketersediaan air per bulan. Keseimbangan air dengan nilai < 0 mm menunjukkan adanya defisit air, sedangkan keseimbangan air dengan nilai > 0 mm menunjukkan tidak adanya defisit air. jika keseimbangan air dalam perhitungan tersebut bernilai > 200 mm, maka kelebihan air akan disimpan dalam tanah sebagai cadangan awal untuk bulan berikutnya dengan nilai maksimum 200 mm (Darmosarkoro et al., 2001). Defisit air per bulan dapat dijumlahkan untuk memperoleh nilai defisit air pada periode tertentu, misalnya periode satu tahun. Pada pengamatan secara umum di perkebunan kelapa sawit defisit air < 200 mm belum berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman. Penentuan kecukupan air bagi tanaman kelapa sawit dengan cara perhitungan defisit air dapat menunjukkan bahwa penyebaran curah hujan bulanan dalam setahun merupakan hal yang penting dalam neraca air kelapa sawit dan jumlah hujan tahunan yang tidak menyebar merata dapat menimbulkan adanya defisit air (Darmosarkoro et al., 2001). Cekaman air pada tanaman dapat disebabkan kekurangan suplai air di daerah perakaran atau permintaan air yang berlebihan oleh daun akibat laju evapotranspirasi melebihi laju absorbsi air walaupun keadaan air tanah tersedia cukup. Pada lahan kering, cekaman air terjadi karena suplai air yang tidak mencukupi (Pangaribuan, 2001). Dari hasil simulasi Siregar (1998) menunjukkan bahwa selama atau setelah kekeringan, dapat menurunkan produksi tandan segar. Dilaporkan pula bahwa akibat kekeringan yang terjadi di Sumatera Selatan, produksi minyak menurun 8 – 10 % setiap defisit air 100 mm pada tahun berikutnya. 2.4. Metoda Konservasi Tanah dan Air Konservasi tanah merupakan penempatan sebidang tanah pada cara penggunaan tanah yang sesuai kemampuan tanah dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang dibutuhkan agar tidak terjadi kerusakan tanah (Arsyad, 2000). Usaha konservasi tanah tersebut ditujukan untuk dua hal, yaitu: (1) mencegah kerusakan tanah, dan (2) memperbaiki tanah agar dapat berproduksi optimal untuk waktu yang tidak terbatas. Konservasi air merupakan tindakan pemanfaatan air seefisien mungkin agar tetap tersedia di musim kemarau dan tidak terbuang di musim hujan. Pada dasarnya tindakan konservasi tanah merupakan bagian dari tindakan konservasi air. Masalah konservasi tanah adalah masalah menjaga agar struktur tanah tidak terdispersi, dan mengatur kekuatan gerak dan jumlah aliran permukaan. Berdasarkan asas ini ada tiga cara pendekatan dalam konservasi tanah, yaitu: (1) menutup tanah dengan tumbuh-tumbuhan dan tanaman, sisa-sisa tanaman/tumbuhan agar terlindung dari daya perusak butir-butir hujan yang jatuh, (2) memperbaiki dan menjaga keadaan tanah agar resisten terhadap penghancuran agregat dan terhadap pengangkutan, dan lebih besar dayanya untuk menyerap air di permukaan tanah, dan (3) mengatur air aliran permukaan agar mengalir dengan kecepatan yang tidak merusak dan memperbesar jumlah air yang terinfiltrasi ke dalam tanah. Setiap macam penggunaan tanah mempunyai pengaruh terhadap kerusakan tanah oleh erosi. Penggunaan tanah pertanian ditentukan oleh jenis tanaman dan vegetasi, cara bercocok tanam dan intensitas penggunaan tanah. Teknologi yang diterapkan pada setiap macam penggunaan tanah akan menentukan apakah akan didapat penggunaan dan produksi yang lestari dari sebidang tanah. Metoda konservasi tanah dapat dibagi dalam tiga golongan utama, yaitu: (1) metoda vegetatif, (2) metoda mekanik, dan (3) metoda kimia. Metoda yang digunakan pada penelitian ini adalah metoda vegetatif dan metoda mekanik Metoda vegetatif adalah penggunaan tanaman atau tumbuhan dan sisasisinya untuk mengurangi daya rusak hujan yang jatuh, mengurangi jumlah dan daya rusak aliran permukaan dan erosi. Dalam konservasi tanah dan air metoda vegetatif mempunyai fungsi: (a) melindungi tanah terhadap daya perusak butirbutir hujan yang jatuh, (b) melindungi tanah terhadap daya perusak aliran air di atas permukaan tanah, dan (c) memperbaiki kapasitas infiltrasi tanah dan penahanan air yang langsung mempengaruhi besarnya aliran permukaan. Penggunaan sisa-sisa tumbuhan untuk konservasi tanah dapat dalam bentuk mulsa. Pemanfaatan sisa tanaman sebagai mulsa vertikal pertama kali diperkenalkan oleh Spain dan McCune (1956, dalam Brata, 1998). Mulsa mengurangi erosi dengan cara meredam energi hujan yang jatuh sehingga tidak merusak struktur tanah, mengurangi kecepatan dan jumlah aliran permukaan, dan mengurangi daya kuras aliran permukaan (Arsyad, 2000). Mulsa sebagai sumber energi akan meningkatkan kegiatan biologi tanah dan dalam proses perombakannya akan akan terbentuk senyawa-senyawa organik yang penting dalam pembentukan struktur tanah. Oleh karena itu maka kemantapan struktur tanah akan meningkat, aerasi menjadi lebih baik dan permeabilitas tanah yang tinggi terpelihara. Mulsa vertikal adalah penggunaan bahan mulsa dengan cara ditempatkan pada parit-parit yang dirancang mengikuti kontur. Parit kontur biasanya dibuat dengan lebar 25 cm dan dalam 25 cm kemudian diisi mulsa. Parit yang diisi mulsa tersebut berfungsi menampung dan merembeskan air aliran permukaan serta menahan sedimen. Mulsa vertikal dapat pula diterapkan pada parit-parit teras bangku, pada parit-parit teras gulud untuk meningkatkan efektivitas pengendalian aliran permukaan (FAO and IIRR, 1995 dalam Noeralam et al., 2002). Efektivitas penggunaan mulsa vertikal pada lahan kering Latosol Darmaga diteliti Brata (1995) dan diperoleh bahwa mulsa vertikal yang terdiri dari jerami padi dan jagung sebanyak 3 ton bahan kering per hektar dapat digunakan untuk upaya konservasi tanah dan air lahan kering pada lereng 15 %. Jarak antara parit gulud untuk penempatan mulsa vertikal yang cukup efektif dalam mengurangi aliran permukaan pada lereng 15 % adalah 5 – 10 m. Pemberian mulsa vertikal mampu menekan aliran permukaan 67 – 82 % dan mengurangi erosi 92 – 95 % di banding dengan mulsa konvensional. Metoda mekanik adalah semua perlakuan fisik mekanis yang diberikan terhadap tanah dan pembuatan bangunan untuk mengurangi aliran permukaan dan erosi, dan meningkatkan kemampuan penggunaan tanah. Metoda mekanik dalam konservasi tanah berfungsi: (a) memperlambat aliran permukaan, (b) menampung dan menyalurkan aliran permukaan dengan kekuatan yang tidak merusak, (c) memperbaiki atau memperbesar infiltrasi air ke dalam tanah dan memperbaiki aerasi tanah, dan (d) penyediaan air bagi tanaman. Rorak merupakan sejenis embung yang dibuat sejajar kontur atau memotong lereng. Rorak merupakan lubang atau penampang yang dibuat memotong lereng yang berfungsi untuk menampung dan meresapkan aliran permukaan. Rorak dapat berfungsi untuk: (1) memperbesar peresapan air ke dalam tanah, (2) sebagai pengumpul tanah yang tererosi sehingga sedimen tanah lebih mudah dikembalikan ke bidang olah. Teras gulud dibuat dengan membuat saluran mengikuti arah garis kontur dengan lebar 30 cm dan dalam 30 cm. Kemudian tanah hasil galian ditumpukkan sebagai guludan di sepanjang sisi saluran sebelah bawah. Teras gulud pada tanah yang permeabilitasnya tinggi dapat dibuat tepat menurut arah garis kontur. Di dasar rorak dan saluran pada teras gulud dibuat lubang resapan yang selanjutnya diisi dengan mulsa vertikal yang berfungsi mengefektifkan peresapan air ke dalam tanah. Jarak antar guludan dan antar rorak tergantung pada kecuraman lereng, kepekaan erosi tanah dan erosivitas hujan. 2.5. Air Tanah dan Ketersediaannya bagi Tanaman Sumber air yang tersedia bagi tanaman sering ditandai dengan kisaran antara kapasitas lapang dan titik layu permanen. Pada kisaran ini tanaman masih mungkin untuk mengabsorbsi air. Kisaran ini disebut sebagai kadar air efektif untuk pertumbuhan atau kadar air optimum (Sosrodarsono dan Takeda, 1993) atau air segera tersedia (Soepardi, 1983) dan jika dijumlahkan dari seluruh lapisan tanah hingga kedalaman akar dinyatakan sebagai air total segera tersedia. Jumlahnya ditentukan oleh banyaknya air yang ditahan dalam profil tanah yang dapat dijangkau akar. Tanah liat lebih banyak memegang air dibandingkan tanah lempung berpasir ataupun tanah pasir. Tekstur liat paling besar kisaran air tersedianya dan kemudian disusul berturut-turut lempung liat, lempung berdebu, lempung berpasir dan pasir. Tanah-tanah bertekstur halus dan sedang mempunyai kapasitas penyimpanan air yang lebih besar dibandingkan tanah-tanah bertekstur kasar. Kemampuan tanah menyimpan air tergantung berbagai faktor, diantaranya adalah kedalaman tanah, tekstur tanah, dan kandungan bahan organik tanah. Kedalaman tanah menentukan jumlah air dapat disimpan dalam seluruh volume tanah. Tekstur tanah menentukan kapasitas lapang dan titik layu permanen. Tanah juga mempunyai kemampuan menahan air (waterholding capacity) dalam poriporinya. Kemampuan menahan air ini dipengaruhi oleh keadaan struktur dan tekstur tanah. Air yang ditahan oleh tanah setelah drainase berhenti dapat ditranspirasikan oleh tanaman atau hilang oleh evaporasi (Sosrodarsono dan Takeda, 1993). Proses mengalirnya air hujan ke dalam tanah disebabkan oleh tarikan gaya gravitasi dan gaya kapiler tanah. Laju air infiltrasi yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi dibatasi oleh besarnya diameter pori-pori tanah. Dibawah pengaruh gaya gravitasi, air hujan mengalir vertikal ke dalam tanah melalui profil tanah. Pada sisi lain, gaya kapiler bersifat mengalirkan air tersebut tegak lurus ke atas, ke bawah, dan ke arah horisontal (lateral). Gaya kapiler tanah ini bekerja nyata pada tanah dengan pori-pori yang relatif kecil. Pada tanah dengan pori-pori besar, gaya ini dapat diabaikan pengaruhnya dan air mengalir ke tanah yang lebih dalam oleh pengaruh gaya gravitasi. Dalam perjalanannya, air juga mengalami penyebaran ke arah lateral akibat tarikan gaya kapiler tanah, terutama ke arah tanah dengan poripori yang lebih sempit dan tanah yang lebih kering (Asdak, 2004). Bila tanaman berada dalam stadia berbunga dan mengalami kekurangan air, proses pembuahan akan terganggu karena proses tersebut sangat membutuhkan air yang cukup. Akibat secara umum tanaman tidak jadi berbuah karena bunga akan gugur. Walaupun terjadi juga pembuahan, buah tidak dapat berkembang dengan sempurna dan akibatnya buah tersebut akan gugur sebelum waktunya (Daubenmire, 1959 dalam Alian, 1987). 2.6. Faktor yang mempengaruhi Jumlah Air Tersedia a. Hisapan Matrik dan Osmotik Hisapan Matrik. Pengaruh hisapan matrik terhadap jumlah air tersedia dalam tanah pada kapasitas lapang dan sebaliknya pada koefisien layu, akan mempengaruhi jumlah air tersedia. Tekstur, struktur, dan bahan organik semuanya mempengaruhi jumlah air yang dapat disediakan tanah bagi tanaman. Pengaruh bahan organik perlu diperhatikan, suatu tanah mineral berdrainase baik dan mengandung 5% bahan organik akan mempunyai lebih banyak air tersedia daripada tanah sama tetapi berkadar bahan organik 3% (Soepardi, 1983). Keuntungan dari adanya bahan organik terletak pada pengaruh baiknya terhadap struktur tanah dan dengan demikian terhadap porositas tanah. Hisapan Osmotik. Adanya garam dalam tanah, apakah berasal dari pupuk atau bahan-bahan yang memang ada dalam tanah mempengaruhi hisapan osmotik dan menurunkan jumlah air tersedia, yaitu dengan menaikan koefisien layu (Soepardi, 1983). b. Kedalaman Tanah Kedalaman tanah sangat mempengaruhi jumlah air tersedia dalam tanah. Jika semua faktor sama, maka tanah-tanah yang memiliki solum yang dalam mempunyai jumlah air yang tersedia lebih besar dibandingkan dengan tanah-tanh yang memiliki solu yang dangkal (Soepardi, 1983). c. Pelapisan Tanah Faktor lainnya yang dapat mempengaruhi jumlah air tersedia dan pergerakannya di dalam tanah adalah pelapisan tanah (Soepardi, 1983). Adanya lapisan tanah yang keras atau lapisan kedap air dapat memperlambat pergerakan air dan mempengaruhi daya tembus akar. Pertumbuhan akar menjadi terbatas sehingga kedalaman tanah yang dapat ditembus oleh akar menjadi berkurang dan pergerakan air tanah terhambat.