Pengembangan uji cepat vigor benih jagung

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Vigor Benih
Vigor adalah sekumpulan sifat yang dimiliki benih yang menentukan
tingkat potensi aktivitas dan kinerja benih atau lot benih selama perkecambahan
dan munculnya kecambah (ISTA, 2007). Copeland dan McDonald (2001)
menambahkan kinerja tersebut adalah (1) proses dan reaksi kimia selama
perkecambahan seperti reksi enzim dan aktivitas respirasi, (2) rata-rata
keseragaman perkecambahan benih dan pertumbuhan kecambah, (3) rata-rata
keseragaman munculnya kecambah dan pertumbuhannya di lapang, dan (4)
kemampuan muunculnya kecambah pada kondisi lingkungan yang sub optimum.
Definisi vigor berdasarkan AOSA (1983) adalah suatu indikator yang
dapat menunjukkan bagaimana benih tumbuh pada kondisi lapang yang
bervariasi. Vigor merupakan gabungan antara umur benih, ketahanan, kekuatan,
dan kesehatan benih yang diukur melalui kondisi fisiologisnya, yaitu pengujian
stress atau melalui analisis biokomia.
Sadjad et al. (1999) mengemukakan bahwa benih vigor yang mampu
menumbuhkan tanaman normal pada kondisi alam suboptimum dikatakan
memiliki Kekuatan Tumbuh. Vigor Kekuatan Tumbuh (VKT) mengindikasikan
vigor benih yang dapat menghadapi lahan pertanian yang kondisinya suboptimum, sedangkan benih yang tetap mampu menumbuhkan tanaman normal
pada kondisi lapang sub optimum meskipun kondisi penyimpanannya suboptimum, dapat dikatakan bahwa benih tersebut memiliki Vigor Daya Simpan
(VDS) yang tinggi. Parameter Vigor Kekuatan Tumbuh (VKT) dapat diungkapkan
oleh kelompok tolok ukur masing-masing, diantaranya yaitu Kecepatan Tumbuh
(KCT), Keserempakan Tumbuh (KST), dan Vigor Biokimia (VKT Biokimia).
Berbagai Metode Pengujian Vigor Benih
Uji vigor dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Uji vigor
dikategorikan langsung jika cekaman lingkungan yang diharapkan terjadi di
lapang diperlakukan di laboratorium. Uji vigor dikategorikan tidak langsung, jika
sifat-sifat benih yang telah terbukti berkorelasi dengan aspek pemunculan bibit di
4
lapang diukur, misalnya laju respirasi/reaksi tetrazolium topografik dan uji
konduktivitas (ISTA, 2007). Justice dan Bass (2002) menambahkan bahwa uji
respirasi dapat dilakukan dengan mengukur konsumsi oksigen serta pelepasan
karbondioksida.
Metode pengujian vigor yang ideal berdasarkan ISTA (2007) memiliki
beberapa karakteristik, yaitu : murah, pelaksanaannya cepat, mudah dilakukan,
objektif (dapat distandarisasi dengan mudah dan terhindar dari interpretasi
subjektif), reproducible (dapat diulang), dan berkorelasi erat dengan pemunculan
bibit di lapang. Beberapa metode pengujian vigor menurut AOSA (1983), yaitu :
seedling growth and evaluation test, uji stres (accelerated aging, cold test, dan
cool germination tes), uji biokimia (tetrazolium test).
Berbagai penelitian mengenai alternatif metode pengujian vigor untuk
benih jagung telah banyak dilakukan. Miguel dan Filho (2002) melakukan
penelitian tentang bocoran potasium untuk menduga kualitas benih jagung
berdasarkan potensi fisiologisnya. Jumlah bocoran potasium diukur menggunakan
fotometer setelah benih dilembabkan selama 30, 60, 90, 120, 150, dan 180 menit
pada suhu 25ºC. Hasilnya menunjukkan bahwa metode ini dapat digunakan untuk
menentukan kualitas lot benih berdasarkan kualitas fisiologisnya setelah
dibandingkan dengan berbagai metode uji vigor lainnya, yaitu uji daya
berkecambah, uji indeks vigor, accelerated ageing test, uji konduktivitas listrik,
uji daya tumbuh, dan cold test.
Arief (2009) selanjutnya melakukan penelitian tentang bocoran kalium
sebagai indikator vigor benih jagung. Hasilnya menunjukkan bahwa bocoran
kalium berkorelasi negatif dengan bobot kering kecambah, daya berkecambah,
keserempakan tumbuh, dan kecepatan tumbuh. Bocoran kalium berkorelasi positif
dengan daya hantar listrik air rendaman benih dan gula pereduksi. Disamping itu,
bocoran kalium berkorelasi dengan beberapa variabel pertumbuhan vegetatif awal
tanaman di lapang.
5
Kemunduran Benih
Suseno (1975) menyatakan bahwa kemunduran benih merupakan turunnya
kualitas, sifat, atau vitalitas benih yang mengakibatkan rendahnya vigor dan
jeleknya pertanaman hasil. Benih mencapai kualitas maksimumnya pada
kematangan fisiologis, dan dari waktu itu sampai ditanaman hanya kemunduran
yang terjadi. Justice dan Bass (2002) menambahkan, beberapa faktor yang
mempengaruhi laju kemunduran benih dintaranya adalah : jenis benih, berat dan
bagian benih yang terluka, kelembaban dan suhu lingkungan di lapangan,
penanganan panen, dan kondisi penyimpanan benih.
Proses kemunduran benih dapat diidentifikasi melalui sejumlah perubahan
fisiologis dan biokimia yang terjadi jika vigor benih berkurang atau hilang.
Manifestasi fisiologis dari kemunduran benih diantaranya yaitu perubahan warna
benih, perkecambahan yang berkurang dan jumlah kecambah abnormal yang
meningkat. Sedangkan manifestasi biokimia dari kemunduran benih, diantaranya
yaitu metabolisme respirasi yang berkurang (Mugnisjah, 2007). Gejala biokimia
pada benih yang mengalami kemunduran diantaranya terjadi perubahanperubahan dalam aktivitas enzim respirasi. Perubahan-perubahan dalam respirasi
selama imbibisi dari biji yang menua biasanya dicerminkan dari rendahnya
konsumsi O2 dan tingginya kuosien respirasi (KR=CO2/O2). Perubahan-perubahan
ini menjadi jelas setelah menurunnya viabilitas benih dan telah disarankan pula
penggunaannya sebagai indeks deteriorasi (Suseno ,1975).
Pengujian Vigor Benih dengan Metode Respirasi
Menurut Justice dan Bass (2002) definisi respirasi adalah suatu proses
oksidasi-reduksi yang dijumpai pada semua sel hidup, yang menghasilkan
senyawa-senyawa dan melepaskan energi yang sebagian digunakan untuk
berbagai proses kehidupan. Proses respirasi benih terdiri dari tiga tahap, yaitu
perombakan cadangan makanan, terbentuknya hasil perantara atau hasil akhir, dan
pelepasan energi yang umumnya dalam bentuk panas.
Faktor- faktor yang mempengaruhi respirasi benih diantaranya adalah
kadar air dan suhu. Proses pernafasan benih akan meningkat apabila suhu naik,
dengan ukuran besarnya O2 yang diserap benih pada periode tertentu. Peristiwa
6
pernafasan membentuk energi biologi dalam bentuk ATP, kemudian terjadilah
proses-proses
anabolisme
sehingga
terjadi
proses
perkecambahan
dan
pertumbuhan. Derajat absorbsi oksigen atau pengeluaran CO2 oleh benih, dalam
teknologi benih dikaitkan dengan indikasi kekuatan (vigor) benih untuk tumbuh
(Sadjad, 1975).
Uji respirasi merupakan salah satu metode uji vigor benih yang dapat
diketahui melalui jumlah O2 yang dikonsumsi atau CO2 yang dihasilkan. Uji vigor
dengan metode ini telah banyak dilakukan. Cantrell et al. (1971) melakukan
penelitian tentang hubungan antara respirasi dengan vigor benih jagung selama
masa perkecambahan. Laju respirasi benih jagung diukur pada waktu yang
berbeda selama masa perkecambahan benih dan perkembangan kecambah.
Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif dengan nilai yang sangat
tinggi (r = +0.93) antara laju respirasi yang diukur selama 24 jam dengan vigor
kecambah pada benih jagung.
Metode respirasi selain digunakan untuk mendeteksi vigor benih jagung,
pada beberapa penelitian sebelumnya dapat juga digunakan untuk mendeteksi
status vigor dan deteriorasi benih lain, diantaranya benih kedelai, benih gandum,
benih kapas (Gossypiura hirsutum L.), dan benih kubis (Brassica). Pendugaan
kapasitas respirasi pada benih kedelai dilakukan dengan metode titrasi, seperti
penelitian yang telah dilakukan oleh Kusumadewi (1988) tentang tolok ukur status
viabilitas benih kedelai dengan kapasitas respirasinya. Hasilnya menunjukkan
bahwa kapasitas respirasi benih dapat mendeteksi viabilitas total, vigor daya
simpan, dan vigor kekuatan tumbuh. Tatipata et al. (2004) dalam penelitiannya
tentang kajian fisiologi dan biokimia deteriorasi penyimpanan benih kedelai,
menambahkan bahwa laju respirasi dapat digunakan untuk menduga kemunduran
benih kedelai dengan semaikin mundurnya benih maka semakin rendah pula laju
respirasinya.
Penelitian Kittock dan Law (1967) pada benih gandum, menunjukkan
bahwa terdapat nilai korelasi yang positif antara daya berkecambah dengan laju
respirasinya. Selain itu terdapat korelasi positif pula antara vigor dengan reduksi
tetrazolium serta laju respirasi benih gandum pada benih dengan umur yang
berbeda.
7
Penelitian lainnya yang menggunakan metode respirasi, dilakukan oleh
Woodstock et al. (1983) pada benih kapas. Benih kapas yang mengalami
kemunduran dapat dideteksi dengan laju pengambilan O2 dan nilai kuosien
respirasinya. Laju respirasi pada pengambilan O2 semakin menurun dan nilai
kuosien respirasi semakin meningkat pada benih kapas yang mengalami
deteriorasi setelah diimbibisi selama 7.5 jam.
Bettey dan Savage (1996) melakukan penelitian mengenai aktivitas enzim
respirasi selama perkecambahan pada lot benih kubis dengan vigor berbeda. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa laju konsumsi oksigen benih mengalami
peningkatan selama proses imbibisi yang diikuti oleh peningkatan laju
perkecambahan. Peningkatan konsumsi oksigen menunjukkan peningkatan
oksidasi karbohidrat melalui jalur respirasi.
Download