BAB I PENDAHULUAN Human immunodeficiency virus (HIV) adalah retrovirus yang dapat menyebabkan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) karena penurunan sistem imun yang menyebabkan ketidakmampuan tubuh untuk bertahan terhadap infeksi oportunistik. 1 Menurut Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS), kasus HIV yang terjadi di seluruh dunia pada tahun 2008 diperkirakan mencapai 33,4 juta orang, dan 2 juta diantaranya meninggal karena AIDS. Rata-rata kematian terjadi pada lebih dari 90% pada pasien dengan infeksi HIV yang tidak terobati. Diperkirakan pasien meninggal 8-10 tahun sejak terinfeksi. Saat infeksi berlanjut ke tahap AIDS, harapan hidup pasien biasanya dibawah 2 tahun pada kasus yang tidak terobati. Pada kasus yang tidak berlanjut, orang dengan infeksi HIV dapat terhindar dari AIDS selama 15 tahun atau lebih.2 Tanpa pengobatan, hampir seluruh individu yang terinfeksi HIV berkembang hingga tahap imunosupresi lanjut, dimana deplesi sel limfosit T CD4 mengarah kepada AIDS dan kematian dini. 3 Komplikasi neurologis muncul pada lebih dari 40% pasien dengan infeksi HIV. 10-20% kasus merupakan kelainan yang didasari oleh AIDS. Pada otopsi, prevalensi abnormalitas neuropatologi didapatkan sebesar 80%. Walaupun pada perkembangannya kelainan CNS akibat HIV telah diobservasi selama beberapa tahun terakhir, mortalitas dari penyakit ini tetap tinggi.4 HIV nampaknya tidak mengambil alih sel-sel dalam sistem saraf, tetapi menyebabkan inflamasi yang signifikan pada tubuh. Inflamasi ini dapat mengakibatkan kerusakan pada medulla spinalis dan otak, menghambat sel saraf untuk bekerja secara normal. Komplikasi neurologi dapat diakibatkan kerusakan yang disebabkan dari virus HIV sendiri, tetapi dapat juga disebabkan oleh efek samping HIV dan AIDS.5 Pada makalah ini akan dibahas mengenai manifestasi HIV pada sistem saraf pusat mengingat pentingnya hal tersebut untuk dipahami. Makalah ini disusun untuk menambah pengetahuan dan disusun dalam rangka pemenuhan tugas laporan dalam proses pembelajaran di bagian Ilmu Saraf RSPI Sulianti Saroso. BAB II Komplikasi HIV pada Sistem Saraf Pusat HIV merupakan virus ribonucleic acid (RNA) yang termasuk dalam subfamily Lentivirus dari family Retrovirus. Struktur HIV dapat dibedakan menjadi dua tipe : HIV-1 yang menyebar luas ke seluruh dunia; HIV-2 yang hanya ada di Afrika Barat dan beberapa Negara Eropa AIDS (Acruired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang termasuk family retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV6 Patologi Manifestasi HIV/AIDS dapat melalui 3 mekanisme: 1. Konsekuensi langsung dari virus HIV Demensia asosiasi HIV Infeksi oportunis Toxoplasmosis Cytomegalovirus Infeksi jamur Tuberculosis Neoplasma pada host immunocompromised Lymphoma primer CNS Demensia Asosiasi HIV7,8 Pada tahap lanjut HIV, komplikasi neurologis yang paling sering terjadi adalah subacute/chronic enchepalitis HIV yang timbul dalam bentuk dementia. Sebelumnya disebut sebagai encephalopathy AIDS, tetapi sekarang dementia AIDS kompleks lebih dipilih. Diperkirakan hanyak 3% dari kasus AIDS yang bermanifestasi sebagai dementia, tetapi frekuensi mendekati dua pertiga kasus terjadi setelah gejala konstitusional dan infeksi oportunistik pada AIDS telah ditegakan. Patologi Dasar patologis dari dementia menunjukkan penghalusan diffuse dan multifocal dari substansia alba disertai infiltrasi sedikit limfosit dan beberapa gugus makrofag yang berbusa, nodule microglia, dan multinucleated giant cell. CMV terbukti terlibat, tetapi dari evidence virologist dementia AIDS complex merupakan akibat langsung dari HIV. Perubahan patologis pada dementia AIDS sebenarnya tidak seragam seperti yang digambarkan. Dalam satu kelompok pasien, terdapat substansia alba yang menjadi pucat seperti difus dengan pewarnaan myelin, disertai astrosit reaktif dan makrofag, terjadi kerusakan pada blood brain barier dari cerminan myelin. Dalam bentuk lain, proses ini disebut “diffuse poliodystrophy” dimana terdapat astrosit yang tersebar luas dan aktivasi mikroglial di korteks serebral dengan sedikit neuron yang hilang. Pada pasien lain, terdapat focal perivascular dari demyelinisasi seperti pada post infeksi encephalomyelitis. Sifat lesi substansia alba yang difus ini tidak dapat dipahami. Perubahan bentuk patologis ini dapat terjadi secara tunggal atau bersamaan dan berkorelasi dengan derajat keparahan dementia. Presentasi Klinis Sindrom klinis yang terjadi pada dementia AIDS kompleks terdiri dari kombinasi disfungsi kognitif, perilaku, dan motor. Sementara ada beberapa variasi manifestasi individu meliputi: kurangnya perhatian, berkurangnya konsentrasi, apatis, menumpulnya kepribadian, perlambatan psikomotor, dan ataksia. Pengobatan dan prognosis Derajat keparahan bergantung pada viral load dan dapat berkurang dengan highly active antiretroviral therapy (HAART). Infeksi superimposed dapat berujung pada penyakit fulminant. Prognosis secara keseluruhan tidak baik, umumnya penyakit berkembang berujung kematian kurang dari setahun. 2. Toxoplasmosis7,8 Toxoplasma gondii dapat menyebakan infeksi asimtomatis pada 80% manusia sehat,namun bisa menimbulkan manifestasi klinis mematikan pada orang dengan HIV-AIDS (ODHA). Perjalanan penyakit toksoplasmosis otak biasanya berlangsung subakut pada pasien HIV stadium lanjut atau yang memiliki jumlah sel CD4 < 200 sel/UL. Keluhan dan gejala timbul secara bertahap pada minggu pertama hingga mingguke-4. Manifestasi utama yang tampak pada penderita AIDSdengan toksoplasmosis otak adalah demam, sakit kepala, defisit neurologis fokal dan penurunan kesadaran Etiologi dan Penularan Disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang dibawa oleh kucing, burung dan hewan lain yang dapat ditemukan pada tanah yang tercemar oleh tinja kucing dan kadang padadaging mentah atau kurang matang. Begitu parasit masuk ke dalam sistem kekebalan, ia menetap di sana, tetapi sistem kekebalan pada orang yang sehat dapat melawan parasit tersebut hinggatuntas, mencegah penyakit.Transmisi pada manusia terutama terjadi bila memakan daging babi atau domba yang mentah yang mengandung oocyst (bentuk infektif dari T.gondii). Bisa juga dari sayur yang terkontaminasi atau kontak langsung dengan feses kucing. Selain itu dapat terjadi transmisi lewat transplasental, transfusi darah, dan transplantasi organ. Infeksi akut pada individu yang immunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia dengan imunitas tubuh yang rendahdapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten. Yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi opportunistik dengan predileksi di otak. Gejala dan Tanda Gejala termasuk ensefalitis, demam, sakit kepala berat yang tidak respon terhadap pengobatan, lemah pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan yang meningkat, masalah penglihatan, pusing, masalah berbicara dan berjalan, muntah dan perubahan kepribadian. Tidak semua pasien menunjukkan tanda infeksi. Nyeri kepala dan rasa bingung dapat menunjukkan adanya perkembangan ensefalitis fokal dan terbentuknya abses sebagai akibat dari terjadinya infeksi toksoplasma. Keadaan inihampir selalu merupakan suatu kekambuhan akibat hilangnya kekebalan pada penderita- penderita yang semasa mudanya telah berhubungan dengan parasit ini. Gejala-gejala fokalnyacepat sekali berkembang dan penderita mungkin akan mengalami kejang dan penurunankesadaran Diagnosis Pemeriksaan Serologi Didapatkan seropositif dari anti-T.gondii IgG dan IgM. Deteksi juga dapat dilakukan dengan indirect fluorescent antibody (IFA), aglutinasi, atau enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Titer IgG mencapai puncak dalam 1-2 bulan setelah terinfeksi kemudian bertahan seumur hidup. Pemeriksaan cairan serebrospinal Menunjukkan adanya pleositosis ringan dari mononuklear predominan dan elevasi protein Pemeriksaan Polymerase chain reaction (PCR) Mendeteksi DNA T.gondii. PCR untuk T.gondii dapat juga positif pada cairan bronkoalveolar dan cairan vitreus atau aquos humor dari penderita toksoplasmosis yang terinfeksi HIV. Adanya PCR yang positif pada jaringan otak tidak berarti terdapat infeksi aktif karena tissue cyst dapat bertahan lama berada di otak setelah infeksi akut. CT scan Menunjukkan fokal edema dengan bercak-bercak hiperdens multiple disertai dan biasanya ditemukan lesi berbentuk cincin atau penyengatan homogen dan disertai edema vasogenik pada jaringan sekitarnya. Ensefalitis toksoplasma jarang muncul dengan lesi tunggal atau tanpa lesi. Biopsi otak Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi otak Penatalaksanaan Sebelum memulai terapi empiric TO sebaiknya dipenuhi tiga syarat berikut yaitu: Pasien HIV positif Gejala klinis neurologis yang progresif Neuroimaging menunjukkan ada lesi fokal di otak Toksoplasmosis otak diobati dengan kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin. Kedua obat ini dapat melalui sawar-darah otak. Toxoplasma gondii membutuhkan vitamin B untuk hidup. Pirimetamin menghambat pemerolehan vitamin B oleh tokso. Sulfadiazin menghambat penggunaannya. Dosis normal obat ini adalah 50-75mg pirimetamin dan 2-4g sulfadiazin per hari. Kedua obat ini mengganggu ketersediaan vitamin B dan dapat mengakibatkan anemia. Orang dengan toksoplasmosis biasanya memakai kalsium folinat (semacam vitamin B) untuk mencegah anemia sebanyak 10-20 mg per hari. Kombinasi obat ini sangat efektif terhadap toksoplasmosis. Lebih dari 80% orang menunjukkan kebaikan dalam 2-3 minggu. Orang yang pulih dari toksoplasmosis seharusnya terus memakai obat antitokso dengan dosis rumatan yang lebih rendah. Jelas bahwa orang yang mengalami toksoplasmosis sebaiknya mulai terapi antiretroviral (ART) secepatnya. Bila CD4 naik menjadi di atas 200 selama lebih dari tiga bulan, terapi rumatan toksoplasmosis dapat dihentikan. 3. Meningitis kriptokokus (MK) 7,8 Meningitis kriptokokus terlihat pada sekitar 10% individu dengan AIDSyang tidak diobati dan pada orang lain dengan sistem kekebalannya sangat tertekan oleh penyakit atau obat. Hal ini disebabkan oleh jamur Cryptococcus neoformans, yang umum ditemukan dalam kotoran kotoran dan burung. Jamur pertamatama menyerang paru dan menyebar menutupi otak dan sumsum tulang belakang, menyebabkan peradangan.Gejala termasuk kelelahan, demam, sakit kepala, mual, kehilanganmemori, kebingungan, mengantuk, dan muntah. Jika tidak diobati, pasien dengan meningitis kriptokokus dapat jatuh dalam koma dan meninggal. Etiologi Penyakit ini disebabkan oleh jamur Cryptococcus neoformans, yang umum ditemukan pada tanah dan tinja burung. Jamur ini pertama menyerang paru dan menyebar ke otak dan saraf tulang belakang, menyebabkan peradangan. Risiko infeksi paling tinggi jika jumlah CD4 di bawah 50. Patogenesis Cryptococcus neoformans merupakan ragi berkapsul berbentuk bulat hingga oval berukuran 4-6 micron yang dikelilingi kapsul polisakarida. Walaupun fagositosis dengan complemen merupakan perlindungan diri awal utama melawan invasi cryptococcal, hilangnya respon sel yang intak menyebabkan proses penelanan dan pembunuhan mikroorganisme tidak efektif menyebabkan diseminasi dan peningkatan Cryptococcus. Kapsul polisakarida yang tersusun dari exopolisakarida berkontribusi dalam virulensi dengan menekan respon imun, menginhibisi migrasi leukosit, dan memicu replikasi HIV. C neoformans dibedakan dengan jamur lain karena kemampuannya menghasilkan urea dan memiliki enzim phenoloxidase yang dapat berikaan dengan membrane sehingga mampu mengubah senyawa phenolic menjadi melanin. Cryptococcus memiliki kecenderungan untuk menyerang CNS karena kemampuanya menghasilkan melanin dari katekolamin yang terdapat pada jaringan ini dalam konsentrasi tinggi. Produksi melanin tidak didapatkan pada spesies Cryptococcus lain selain C neoformans. Tanda dan Gejala Gejala meningitis termasuk demam, kelelahan, leher pegal, sakit kepala, mual dan muntah, kebingungan, penglihatan kabur, dan kepekaan pada cahaya terang. Gejala ini muncul secara perlahan. Tanda-tanda seperti meningismus, termasuk kuduk kaku, timbul < 40% penderita. Kejang dan defisit neurologik fokal sering timbul dan merupakan tanda koma kriptokokosis dan tromboflebitis sinus venosus. Manifestasi ekstraneural, dapat terjadi dengan/tanpa meningitis, termasuk infiltrasi pulmoner, lesi di kulit, abses prostat dan hepatitis. Pemeriksaan Penunjang Tes laboratorium dipakai untuk menentukan diagnosis meningitis. Tes laboratorium ini memakai darah atau cairan sumsum tulang belakang. Darah atau cairan sumsum tulang belakang dapat dites untuk kriptokokus dengan dua cara. Tes yang disebut ‘CRAG’ mencari antigen (sebuah protein) yang dibuat oleh kriptokokus. Tes ‘biakan’ mencoba menumbuhkan jamur kriptokokus dari sampel. Tes biakan membutuhkan satu minggu atau lebih untuk menunjukkan hasil positif. Cairan sumsum tulang belakang juga dapat dites secara cepat bila diwarnai dengan tinta India (70% positif) dan ditemukan antigen kriptokokus dalam darah dan LCS (95-100% positif). LCS jumlah sel, glukosa, protein dapat terjadi tetapi tidak selalu. Kultur darah dan urin (+). Penatalaksanaan Meningitis kriptokokus diobati dengan obat antijamur. Beberapa klinisi memakai flukonazol namun ada juga yang memilih kombinasi amfoterisin B dan kapsul flusitosin. Amfoterisin B adalah yang paling manjur, tetapi obat ini dapat merusak ginjal. Walau jarang, meningitis kriptokokus tampaknya dapat kambuh atau menjadi lebih berat bila terapi antiretroviral (ART) dimulai dengan jumlah CD4 yang rendah. Hal ini disebabkan karena adanya pengembangan sindrom pemulihan kekebalan (immune reconstruction inflammatory syndrome/IRIS). Hal ini karena obat anti-HIV dapat memulihkan kemampuan sistem kekebalan untuk menanggapi infeksi dan menghasilkan pemberantasan bakteri secara cepat. ART sering ditunda hingga terapi awal untuk mengobati infeksi sudah diselesaikan. Minggu 1-2 Amfoterisin B 0.7-1 mg/kg per hari dalam infus dextrosa 5% dan diberikan selama 4-6 jam dikombinasi dengan flukonazol 800 mg per hari PO Minggu 3-10 Flukonazol 800 mg per hari PO Bila tidak dapat menggunakan amfoterisin B dapat digunakan flukonazol saja dengan dosis 8002000 mg per hari selama 12 minggu. Setelah fase akut terapi harus dilanjutkan dengan terapi rumatan dengan flukonazol 200 mg per hari. Terapi rumatan harus terus diberikan hingga jumlah sel CD4 > 200 sel/UL Pencegahan Memakai flukonazol waktu jumlah CD4 di bawah 50 dapat membantu mencegah meningitis kriptokokus. Tetapi ada beberapa alasan sebagian besar dokter tidak meresepkannya: Sebagian besar infeksi jamur mudah diobati Flukonazol adalah obat yang sangat mahal Memakai flukonazol jangka panjang dapat menyebabkan infeksi jamur ragi (seperti kandidiasis mulut, vaginitis, atau infeksi kandida berat pada tenggorokan) yang kebal (resistan) terhadap flukonazol. Infeksi yang resistan ini hanya dapat diobati dengan amfoterisin B. 4. Cytomegalovirus7,8 Pada awal epidemic AIDS, cytomegalovirus (CMV) merupakan penyebab mayor dari morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan AIDS. Epidemiologi menunjukkan bahwa setengah dari pasien HIV mengalami infeksi CMV dengan chorioretinitis, espohagitis, colitis, pneumonia, dan manifestasi pada CNS. Dengan pengobatan antiretroviral yang efektif terjadi penurunan CMV pada pasien AIDS. Epidemiologi CMV merupakan penyebab non-Epstein-Barr virus mononucleosis pada populasi umum dan merupakan pathogen penting pada host immunocompromised termasuk pasien AIDS. Resiko terpapar CMV meningkat sesuai umur dimana kejadian pada usia tua ditemukan lebih banyak. Seperti herpesvirus lain, CMV tetap tinggal secara laten pada host terinfeksi seumur hidup dan jarang mengalami reaktivasi kecuali pada individu immunocompromised. Prevalensi infeksi CMV lebih tinggi pada populasi dengan resiko infeksi HIV sekitar 75% dari pengguna obat injeksi dan >90% pada pria homoseksual. Patogenesis Pada pasien dengan AIDS, penurunan fungsi immune secara progresif dan secara spesifik imunitas termediasi sel, memungkinkan reaktivasi dan replikasi CMV untuk terjadi. Ekskresi urin asimptomatik pada CMV dapat terdeteksi sekitar 50% kejadian saat hitungan limfosit CD4 <100 sel/ µL. Tranmisi antar sel menyebabkan nekrosis jaringan sehubungan dengan inflamasi nonspesifik. Episode viremia CMV transient juga dapat terjadi, walaupun tidak terdapat hubungan klinis dengan viremia secara pasti, menyebabkan diseminasi CMV pada organ lain Gejala klinis Sebuah sindrom klinis yang berbeda didapatkan pada pasien AIDS dengan CMV seperti radikulopati, sebuah sindrom medulla spinalis yang ditandai dengan nyeri dan kelemahan ekstremitas bawah, spastisitas, arefleksia, retensi urin, dan hipoestesia. Pada CSF ditemukan infeksi virus atipikal, polimorfonuklear pleositosis, dan konsentrasi gula yang rendah. Kultur CSF dapat member hasil negative, tetapi DNA assay dan antigen biasanya positif. Ensefalitis CMV pada pasien ditandai dengan perubahan sifat, kesulitan berkonsentrasi, nyeri kepala, dan somnolen. Diagnosis dapat ditegakan dengan biopsy otak, dengan ditemukannya periventricular necrosis, giant cells, intranuclear, intrasitoplasmik inklusi, kultur CMV positif atau dengan identifitkasi strain antigen dan DNA assay jaringan otak atau CSF. Pengobatan Ganciclovir Ganciclovir (Ctovene, DHPG) merupakan sebuah analog nuklosida asiklik dari guanine yang merupakan inhibitor poten dari repiklasi CMV. Ganciclovir secara cepat difosforilasi didalam sel yang terinfeksi virus. Ganciclovir trifosfat secara kompetiti menginhibisi pengikatan trifosfat deoxyguanosin pada DNA polymerase, dengan hasil inhibisi sintesis DNA dan terminasi elongasi DNA. Untuk induksi terapi, ganciclovir diberikan secara IV dengan dosis 5 mg/kg dua kali sehari selama 2 hingga 3 minggu atau sampai terjadi stabilisasi. Terapi maintenance dengan ganciclovir (5 mg/kg) diberikan sehari sekali. Ganciclovir melalui eliminasi renal, sehingga pada pasien dengan insufisiensi renal perlu dilakukan penyesuaian dosis. Namun, ganciclovir IV telah dapat digantikan oleh valganciclovir (Valcyte), prodrug oral dari ganciclovir. Valganciclovir pada dosis 900 mg (2 tablet 450 mg) secara oral memberikan hasil sama dengan ganciclovir IV 5 mg/kg, dan menunjukan efikasi yang sama dengan pengobatan IV. Foscarnet Foscarnet (Foscavir, trisodium phosphonoformate) merupakan analog pyrophosphate dengan aktifitas vitro melawan semua jenis herpes virus. Tidak seperti ganciclovir, foscarnet tidak memerlukan fosforilasi intraseluler untuk menginhibisi polimerasi DNA virus, sehingga mempertahankan aktivitas pada CMV resisten ganciclovir. Foscarnet IV 90 mg/kg dengan infuse pump selama 1 jam dengan 1L normal saline 2 kali sehari selama 2 hingga 3 minggu pada terapi induksi. Maintenance terapi dengan foscarnet (90-120 mg/kg) diberikan selama 2 jam dengan 1L IV normal saline sekali sehari. Foscarnet dieliminasi melalui ginjal dan perlu dilakukan monitoring fungsi renal dua kali seminggu. Cidofovir Cidofovir merupakan analog nukleotida dengan waktu paruh lebih panjang secara intraseluler dan aktivitas poten melawan herpesvirus broad spectrum, termasuk CMV. Sebagai nukleotida, cidofovir tidak memerlukan aktivasi virus termediasi fosforilasi dan dapat mempertahankan aktivitas terhadap CMV resisten ganciclovir karena mutasi kinase pada fosforilasi ganciclovir. Cidofovir diberikan secara IV 5mg/kg sekali seminggu selama 2 minggu diikuti terapi maintenance 5mg/kg setiap 2 minggu. Pada hari obat diberikan, pasien harus menerima 4 g probenecid oral untuk mengurangi uptake ginjal pada cidofovir ( probenecid diberikan 3 jam preinfusi dan 1 g 2 jam dan 8 jam postinfusi) Pasien yang dapat mentoleransi loading cairan juga menerima 2 L IV hidrasi normal saline tiap infuse cidofovir. 5. Meningitis Tuberkulosis7,8 Infeksi tuberculosis (TBC) merupakan salah satu infeksi oportunistik pada penderita HIV yang dapat menyebabkan kematian. Berdasarkan data dari WHO dan UNAIDS, pada akhir tahun 2000, sekitar 11,5 juta orang yang terinfeksi HIV juga terinfeksi TBC, dan 20% diantaranya berada di Asia Tenggara. Lebih dari 12% dari seluruh penderita HIV di dunia meninggal karena infeksi TBC, dan resiko tertular TBC meningkat 10 kali lipat pada penderita HIV dibandingkan dengan yang bukan penderita HIV. Di Indonesia jumlah penderita TBC menempati peringkat ketiga di seluruh dunia dan jumlahna dapat bertambah seiring dengan peningkatan penderita HIV di Indonesia. Manifestasi klinis dari infeksi TBC di otak bermacam-macam. Diantaranya radang selaput otak atau meningitis dan tuberkuloma yang gambaran radiologisnya mirip dengan infeksi toksoplasma dan limfoma. Infeksi TBC di otak pada penderita HIV sendiri dapat terjadi pada stadium awal HIV, stadium lanjut dan pada keadaan Immune Reconstruction Syndrome (IRIS). Meningitis TBC merupakan salah satu infeksi otak yang tersering pada penderita HIZ setelah infeksi toksoplasma. Mengenali gejala dan menegakkan diagnosis meningitis TBC merupakan hal penting karena dapat disembuhkan pada penderita HIV sekalipun Patofisiologi Awal infeksi di SSP berawal dari penyebaran secara hematogen dimana basil TBC ini masuk ke otak melalui pleksus koroideus. Hal ini dapat terjadi pada fase infeksi primer, ataupun saat reaktivasi. Kemudia terjadi hal yang sama seperti infeksi tuberculosis di paru-paru sehingga timbul tuberkel-tuberkel kecil yang terdiri dari jaringan nekrotik di tengah dan dikelilingi oleh makrofag dan limfosit. Lesi ini disebut juga rich foci dapat diteumakn di meningen otak, di dalam parenkim otak atau di medulla spinalis. Perbedaan organ paru dan otak adalah di otak terdapat sawar darah otak yang melindungi otak dari antigen. Sawar darah otak ini dibentuk oleh kapiler intraparenkimal, berfungsi sebagai pertahanan yang dapat mencegah difusi obat dan faktor-faktor radang ke parenkim otak. Namun pada keadaan inflamasi permeabilitas sawar darah otak terganggu sehingga faktor-faktor inflamasi sendiri berpindah dari pembuluh darah ke jaringan. Selain itu otak tidak mempunyai sistem limfe atau jaringan retikuloendotelial sehingga tidak ada sistem yang menyaring kuman atau antigen dari pembuluh darah, akibatnya basil tuberculosis terperangkap dalam otak. Bila lesi-lesi yang terletak di permukaan otak rupture dan cairan kaseosa mengalir ke area subarachnoid atau ke daerah ventrikel dan menyebabkan meningitis. Sedangkan lesi-lesi yang terletak di dalam parenkim otak dan membesar akan membentuk tuberkuloma. Tuberkel-tuberkel kecil di otak yang multiple akan member gambaran tuberculosis milier di otak. Tuberkel sering ditemukan di fissure Sylvii, dekat pre atau post vena centrlis. Tuberkel milier juga bias ditemukan di dasar otak, ependyma, dan kadang-kadang tersebar di seluruh otak. Alasan mengapa ada tuberkel yang membesar membentuk tuberkuloma, dan yang lain tidak membesar belum diketahui Gejala klinis Secara klinis infeksi tuberculosis di otak memberkan gambaran yang bervariasi. Biasanya pasien mengeluh lemah, atau terdapat perubahan kepribadian. Selain itu keluhan pasien juga dapat berupa sakit kepala yang hilang timbul disertai atau tanpa mual muntah, bahkan kejang. Keluhan-keluhan ini muncul sekitar 2-3 minggu bahkan lebih. Pemeriksaan fisik yang ditemukan adalah penurnan kesadaran, demam ringan, adanya tanda rangsang meningeal berupa kaku kuduk, parese syaraf kranialis hemiparese, dan papil edema. Hal penting yang harus diingat infeksi TBC otak pada stadium awal belum memberikan tanda khas meningitis berupa kaku kuduk. Stadium 1 Tidak ada tanda spesifik Tidak ada perubahan kesadaran Stadium 2 Belum ada defisit neurologis Lemah/Perubahan kepribadian Kaku kuduk/iritasi meningen Stadium 3 Defisit neurologis minor berupa parese syaraf cranial Stupor/koma Kejang Defisit neurologis berat berupa hemiparesis Pada penderita HIV, kecurigaan terhadap infeksi TBC di otak tidak selalu ditemukan bersamaan dengan infeksi TBC di pari-paru. Terkadang gambaran adiologis thorax normal terutama bila penderita HIV memiliki status imun yang buruk. Gambaran thorax TBC baru ditemukan pada penderita HIV setelah diberikan obat anti tuberculosis (OAT) dan status imun yang mulai membaik. Hal ini terjadi pada stadium IRIS. Oleh karena itu gejala, tanda, riwayat pernah meminum OAT dan kontak dengan penderita TBC merupakan hal penting yang harus ditanyakan pada anamnesis. Setelah itu barulah dilakukan pemeriksaan penunjang untuk lebih menegakan diagnosis infeksi TBC di otak. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis tuberkuloss diantaranya terdapat limfositosis, laju endap darah (LED) yang meningkat, sputum basil tahan asam (BTA), foto Roentgen thorax, pemeriksaan cairan otak, dan CT-Scan kepala. Limfositosis darah ditemukan dari pemeriksaan hitung jenis leukosit. Tetapi karena penderita HIV mengalami gangguan sistem imun, maka limfositosis tidak selalu ditemukan. Sputum BTA dapat negative, dan terkadang sering ditemukan ro thoraz yang normal atau non spesifik pada penderita HIV-TBC. CT Scan kepala dengan kontras dapat ditemukan gambaran ventrikulitis, tuberkuloma, atau bahkan normal. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pengambilan cairan otak/lumbar puncture (LP). LP dapat membedakan jenis infeksi otak, apakah disebabkan oleh TBC atau bakteri lain. Gambaran cairan otak pada infeksi TBC akan terlihan pleositosis limfositer (100-400), protein yang meningkat (100-500 g/dl), glukosa menurun, kadang ditemukan adanya BTA namun peluangna <10%. Polymerase Chain Reaction (PCR) tuberkulosa cairan otak dapat diperiksa dengan sensitivitas 48% dan spesifitas 100%. Bila PCR TB analisa cairan otak positif, dianggap spesifik untuk tuberculosis. Pengobatan infeksi TBC di otak Pengobatan dapat dimulai bila terdapat gejala klinis dan pemeriksaan penunjang yang sesuai untuk TBC. Pengobatan yang sesuai untuk meningitis tuberculosis adalah Rifampisin (R), isoniazid (H), etambutol (E), dan pirazinamid (Z) selama 9-12 bulan. Panduan OAT yang diberikan 2RHZE/-10RH. Isoniazid (INH) memiliki efek bakterisidal dan bakteriostatik, bekerja dengan menghambat asam mikolat diberikan 5mg/kgBB/hari. Untuk mencegah timbulnya neuropati perifer akibat INH diberikan piridoksin (B6) 25-50 mg/kgBB/hari. Rifampisin bekerja secara bakterisidal dengan menghambat DNA dependent RNA polymerase diberikan 10 mg/kgBB/hari. Etambutol memiliki efek bakteriostatik dengan menginhibisi arabynosil transferase diberikan 15-25 mg/kgBB/hari. Pirazinamid memiliki efek bakterisidal dengan cara yang belum diketahui diberikan 15-30 mg/kbBB/hari. Selain itu diberikan juga dexamethasone untuk mengurangi efek inflamasi di otak. Indikasi untuk pemberian kortikosteroid untuk tuberculosis SSP adalah peningkatan tekanan intracranial, edema serebri, defisit neurologis fokal, hidrosefalus, infark, dan adanya meningitis basalis. Pengobatan infeksi TBC otak 2 bulan pertama Obat Dosis INH 300 mg 1x sehari Rifampisin 450 mg 1x sehari sebelum makan pagi Pyrazinamid 500 mg 3 x 1 tablet sehari setelah makan Ethambutol 250 mg 3 x 2 tablet sehari Pengobatan infeksi TBC otak 7-10 bulan berikutnya Obat Dosis INH 300 mg 1x sehari Rifampisin 450 mg 1 x sehari sebelum makan pagi Bila terdapat putus obat diberikan kategori 2 dengan menyertakan Streptomisin injeksi 750 mg 1x sehari untuk 2 bulan pertama, selanjutnanya dengan INH dan Rifampisin 7-10 bulan. Untuk menilai respons terapi dengan mudah adalah dengan menilai perbaikan secara klinis. Bila dalam 2 minggu terapi tidak terdapat perbaikan, pertimbangkan untuk mengesplorasi penyebab lain selain TBC. 6. Lymphoma Primer CNS7,8 Walaupun Kaposi sarcoma (KS) merupakan neoplasma sistemik paling umum pada HIV, namun penyebarannya pada CNS jarang terjadi. Diantara kanker sistemik, lymphoma non-Hodgkin merupakan penyebab penting dari disfungsi neurologis pada HIV dan menginvasi CNS dengan menyebar melalui leptomeningens. Tanda dan gejala seperti palsy nervus cranial dan poliradikulopathy, dan myelopathy karena metastasis epidural yang menekan medulla spinalis. Massa intraparenkim jarang terjadi. Primary CNS lymphoma (PCNSL) merupakan penyebab umum lesi massa cerebral pada pasien dengan AIDS. Tanda dan gejala yang paling sering terjadi berupa confusion, lethargy, dan perubahan sifat, biasanya dengan defisit focal, seperti hemiparesis, kehilangan hemisensory, ataxia, aphasia. Kejang lebih jarang terjadi, tapi ditemukan pada beberapa kasus. Pada CT atau MRI, lesi dapat ditemukan secara tunggal atau multiple. Pada injeksi kontras ditemukan peningkatan kontras secara difus atau dalam bentuk cincin. Sekitar setengah lesi berhubungan dengan edema dan efek massa, tetapi pada derajat pembengkakan yg biasanya ringan relative terhadap ukuran tumor. Lokasi paling sering pada substansia alba periventrikuler, dan pada substansia grisea dalam. Primary CNS lymphoma dapat dibedakan secara radiologi dari toxoplasmosis; namun, lesi tunggal pada MRI pada pasien AIDS menyerupai lymphoma. Diagnosa definitive membutuhkan biopsy otak atau hasil positif pada sitologi CSF. Assay special untuk mendeteksi marker clonal pada CSF dapat membantu diagnosis. Sebelum ketersediaan pengobatan antiretroviral efektif, pendekatan awal dengan evaluasi ulang secara klinis dan radiologi. Radiasi otak (4000 hingga 5000 cGy selama 3 minggu) memperpanjang survival pada beberapa pasien dengan AIDS. Tumor bersifat radiosensitive, tetapi rasio kekambuhan tinggi. Secara keseluruhan, pasien yang diobati mempunyai harapan hidup lebih tinggi dan lebih kebal terhadap infeksi oportunistik dibanding lymphoma, Dexamethasone, yang limpholitik juga efektif terhadap edema yg berasosiasi oleh tumor, dapat digunakan untuk mengontrol gejala. DAFTAR PUSTAKA 1. Mbita Z, Hull R, Dlamini Z. Human Immunodeficiency Virus-1 (HIV-1)-Mediated Apoptosis: New Therapeutic Targets. Viruses. 2014;6(8):3181-3227. 2. Bennett NJ. HIV Disease : MedlinePlus Medical Encyclopedia [Internet]. Nlm.nih.gov. 2015 [23 January 2015]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/211316overview 3. Panel on Antiretroviral Guidelines for Adults and Adolescents. Guidelines for the use of antiretroviral agents in HIV-1-infected adults and adolescents. Department of Health and Human Services. Available at http://www.aidsinfo.nih.gov/ContentFiles/AdultandAdolescentGL.pdf. [Cited 4 April 2016]. 4. Rani P. Central Nervous System Complications in HIV [Internet]. medscape. 2016 [cited 4 April 2016]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1167008-overview 5. Neurological Complications of HIV [Internet]. Hopkinsmedicine.org. 2016 [cited 4 April 2016]. Available from: http://www.hopkinsmedicine.org/healthlibrary/conditions/nervous_system_disorders/neur ological_complications_ 6. Marcelena R, Rengganis I.Infeksi HIV/AIDS. Kapita Selekta. 4th ed. 573-83. Jakarta: Media Aesculapius; 2014. 7. Modul Kursus Dasar NeuroAIDS 2011. Jakarta: 21-22 Maret 2011. 8. Neurologic Manifestation of HIV [Internet]. hivinsite.ucsf.edu. 2016 [cited 4 April 2016]. Available from: http://hivinsite.ucsf.edu/InSite?page=kb-04-01-02#S1.2X