III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di blok 375, blok 414 dan blok 415, Afdeling III Unit Usaha Rejosari, PT Perkebunan Nusantara VII, Lampung. Penelitian berlangsung dari bulan September 2006 hingga Januari 2007. Lokasi dan denah lokasi penelitian disajikan pada Gambar Lampiran 1a dan b. 3.2. Bahan dan Alat Pada penelitian digunakan lapangan kebun tanaman kelapa sawit menghasilkan (TM) dengan umur tanaman ±10 tahun (1996). Alat yang digunakan dalam penelitian adalah kantong plastik, aluminium foil, timbangan, cawan petri, oven, bor belgi, cangkul dan alat tulis, sensor tahanan listrik, AVO-meter, GPS (Global Positioning System), Software Arc View3.2, Surfer 8, microsoft excel 2003, microsoft word 2003. 3.3. Metode penelitian 3.3.1. Perlakuan Teknik Konservasi Tanah dan Air Perlakuan yang diamati dalam penelitian ini sebanyak tiga macam, yaitu: T0: Perlakuan kontrol, yaitu micro catchment yang tidak diberi perlakuan teknik peresapan air, dibiarkan sebagaimana adanya yang diterapkan pada blok 415, T1: micro catchment dengan perlakuan berupa teras gulud bersaluran yang dilengkapi dengan lubang peresapan dan mulsa vertikal yang diterapkan di blok 375, dan T2: micro catchment dengan perlakuan berupa rorak yang dilengkapi dengan lubang peresapan dan mulsa vertikal yang diterapkan pada blok 414. Guludan dibangun sejajar kontur pada setiap beda tinggi (vertikal interval) 80 cm. Guludan yang dibuat mempunyai ukuran tinggi, lebar dan dalam saluran masing-masing kurang lebih 30 cm. Lubang resapan dibuat di bagian tengah saluran dengan jarak antar lubang 2 m, diameter lubang 10 cm dan kedalaman 50 cm. Sisa tanaman berupa pelepah sawit dan daun semak belukar diberikan dengan cara dimasukkan ke dalam lubang resapan dan saluran. Perlakuan tersebut dilihat pada Gambar 1a. Gambar 1a. Teras Gulud dengan Lubang Resapan dan Mulsa Vertikal Rorak dibuat berukuran panjang 300 cm, lebar 50 cm, dan kedalaman 50 cm. Rorak dibangun di antara tanaman kelapa sawit sejajar kontur dengan pola zig-zag antar garis kontur. Jarak antar rorak dalam satu garis kontur adalah 2 meter. Pada setiap rorak dibuat 2 (dua) lubang resapan dengan jarak 2 m antar lubang. Ukuran lubang resapan pada rorak sama dengan ukuran lubang resapan pada perlakuan guludan. Sisa-sisa tanaman dan semak belukar dimasukkan ke dalam rorak dan lubang resapan sebagai mulsa vertikal. Perlakuan tersebut dapat dilihat pada Gambar 1b. Gambar 1b. Rorak dengan Lubang Resapan dan Mulsa Vertikal 3.3.2. Penetapan Kadar Air (KA) Lapang Kadar air tanah ditetapkan secara gravimetrik dan diduga berdasarkan hasil pengukuran tahanan listrik. Penetapan kadar air tanah gravimetrik dilakukan dengan pengambilan tanah basah berdekatan pada sembilan titik sensor yang mewakili lereng atas, tengah, dan bawah pada kedalaman 25, 50, dan 100 cm setiap blok. Sampel tanah dikeringkan dalam oven pada suhu 100-110 ºC selama 24 jam. Pengambilan sampel dilaksanakan dua tahap, pertama pengambilan sampel tanah diambil dua kali seminggu pada periode musim kemarau (Juli – November 2006) dan pada tahap kedua sampel tanah diambil tiga kali seminggu pada periode musim hujan (Desember 2006 – Juni 2007). Penetapan tahanan listrik dengan pengukuran tegangan air tanah yang mengikat air dengan menggunakan sensor tahanan listrik. Pengukuran dilaksanakan setiap hari pada 121 titik sensor yang tersebar pada blok 415 (T0) sebanyak 40 titik, blok 375 (T1) sebanyak 41 titik dan blok 414 (T2) sebanyak 40 titik dengan menggunakan AVO-meter. Setiap titik pengukuran terdapat tiga sensor yaitu sensor kedalaman 25, 50 dan 100 cm. Data hasil pengukuran tahanan listrik digunakan untuk menduga kadar air tanah. Pendugaan kadar tanah diperoleh dari data tahanan listrik dan kadar air gravimetrik pada sembilan titik sensor yang diambil pada tempat yang sama. Kedua data tersebut dilakukan kalibrasi dengan metode kurva linear yang selanjutnya akan diperoleh hubungan antara tahanan listrik dan kadar air tanah dalam bentuk persamaan. Rumus–rumus persamaan selanjutnya digunakan untuk memprediksi kadar air tanah seluruh titik sensor tahanan listrik yang tidak diambil kadar air gravimetrik dengan memperhatikan letak sensor, jarak antar sensor, kontur, dan lereng. Setelah data kadar air gravimetrik (% g/g) seluruh titik sudah diketahui maka selanjutnya dikonversi ke volumetrik (% v/v) melalui perkalian antara kadar air gravimetrik dengan bobot isi tanah masing-masing kedalaman. 3.3.3. Sebaran Ketersediaan Air Tanah Data kadar air tanah yang sudah diketahui menurut letak sensor dilakukan interpolasi titik dengan metode IDW (Invers Distance Weight) untuk memperoleh data sebaran kadar air tanah pada kawasan penelitian pada setiap periode musim yang disajikan dalam bentuk peta sebaran kadar air tanah dengan out put grid cell size 1 m. Data sebaran kadar air tanah lakukan klasifikasi pada tiap blok berdasarkan kriteria ketersediaan air (Tabel 1). Untuk menghitung ketersediaan air pada daerah penelitian digunakan persamaan : A = Xt- Xlp Keterangan: A = Ketersediaan air (Xt) = KAT rata-rata saat t (t = waktu pengukuran) (Xlp) = KAT rata-rata titik layu permanen Data kadar air tanah rata-rata titik layu permanen diperoleh hasil analisis sifatsifat fisik tanah di lokasi penelitian (Atmaja, 2007). KAT titik layu permanen adalah kandungan air tanah di mana akar-akar tanaman mulai tidak mampu lagi menyerap air dari tanah sehingga tanaman menjadi layu. Tabel 1. Klasifikasi Kadar Air Tanah Berdasarkan Ketersediaan Air Klasifikasi Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi Ketersediaan air 0-5 % 5-10 % 10-15 % 15-20 % 20-25 % Sumber : Landon (1984) Analisis perubahan ketersediaan air dilakukan dengan membandingkan nilai ketersediaan air tiap kedalaman, tiap blok antara periode musim hujan (Desember 2006 - Juni 2007) dengan periode musim kemarau (Agustus 2006 November 2006). Nilai kadar air tersebut merupakan rata-rata kadar air dari titiktitik pengamatan pada blok teras gulud (blok 1) sebanyak 41 titik; blok kontrol (blok 2) sebanyak 40 titik; blok rorak (blok 3) sebanyak 40 titik selama periode musim kemarau dan musim hujan.