HUBUNGAN PERBURUHAN DAN TAWAR MENAWAR YANG KOLEKTIF Dibuat untuk memenuhi tugas tertulis mata kuliah Manajemen Sumber Daya Manusia Dosen : Bapak Arik Prasetya, S.Sos,M.si,Ph.D Disusun Oleh : Kurniawati Pratiwi 125030200111133 Nurita Ziyadatur Rahman 125030200111136 Hani Am Maria 125030207111104 JURUSAN ILMU ADMINISTRASI BISNIS FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hubungan perburuhan dan tawar – menawar yang kolektif merupakan hal yang akan kami bahas dalam makalah ini. gerakan buruh di Indonesia memiliki sejarah yang sangat panjang mulai dari datangnya pedagang asing di Indonesia, pada masa colonial Belanda, masa orde lama, masa orde baru samapai masa reformasi. Undang – undang ketenagakerjaan di Indonesia tercantum dalam nomor 13 tahun 2003, Selanjutnya, Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 2004 yang mengatur tentang penempatan dan perlindungan kerja di luar negeri. Sebuah serikat pekerja berusaha untuk dikenal melalui gerakan dan pemilihan serikat pekerja untuk mewakili karyawan. Proses ini memiliki lima langkah dasar. Untuk mengabaikan pemilihan NLRB terdapat lima cara yang akan dijelaskan pada bab II, serta contoh tawar menawar yang tidak beritikad baik dan prosedur keluhan dalam serikat pekerja. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah sejarah singkat dari pergerakan buruh (tenaga kerja) di Indonesia? 2. Bagaimanakah isi dari Undang – Undang ketenagakerjaan? 3. Bagaimanakah gerakan dan pemilihan serikat kerja? 4. Bagaimanakah cara untuk mengabaikan pemilihan NLRB? 5. Apakah yang dimaksud dengan tawar menawar kolektif dan bagaimanakah contoh tawar menawar tidak beritikad baik? 6. Apakah dan bagaimanakah prosedur keluhan dalam serikat kerja? 1.3 Tujuan Pembahasan 1. Mengetahui sejarah singkat dari pergerakan buruh (tenaga kerja) di Indonesia. 2. Mengetahui isi dari Undang-Undang ketenagakerjaan di Indonesia. 3. Untuk mengetahui gerakan dan pemilihan serikat kerja. 4. Untuk mengetahui cara mengabaikan pemilihan NLRB. 5. Mengerti yang dimaksud dengan tawar menawar kolektif dan contoh tawar menawar yang tidak beritikat baik. 6. Mengerti prosedur keluhan dalam serikat kerja. 2 BAB II PEMBAHASAN 2.1 Sejarah Singkat Gerakan Buruh (Tenaga kerja) di Indonesia Sejak abad XIV Indonesia telah menjadi pusat perhatian dan menarik pedagangpedagang luar negri, karena kekayaan Indonesia mengenai hasil rempah-rempah seperti: lada, pala, ketumbar, kayu manis dsb. , yang diperdagangkan oleh pedagang-pedagang dari India, Persia, Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda. Untuk mendapatkan kepentingan ekonominya, pedagang-pedagang asing tersebut menggunakan pertentangan-pertentangan yang ada antara raja-raja di wilayah Indonesia. Perpecahan yang ada diantara raja-raja tersebut serta keunggulan teknik yang dimiliki oleh pedagang-pedagang asing itu menyebabkan mereka selalu kalah dalam peperangan menghadapi orang-orang asing tersebut. Pada tanggal 22 Juni 1596 armada Belanda berlabuh di Indonesia dibawah pimpinan Cornelis Houtman di Banten. Pada tahun 1602 dibentuk perkumpulan dagang bernama VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) serta kemudian diangkat seorang Gubernur Jenderal pada tahun 1610. Politik dalam negri VOC berdasarkan exploitasi terhadap organisasi-organisasi feodal yang telah ada, sehingga rakyat menderita dua macam penindasan, yaitu dari raja-raja dan dari VOC. Timbulnya perlawanan-perlawanan dari kaum tani yang menderita dua macam ketertindasan tersebut serta merajalelanya korupsi di dalam tubuh VOC menyebabkan VOC dibubarkan dan kekuasaannya dialihkan langsung kepada pemerintah Belanda pada tahun 1800. Pada saat itu penghisapan Belanda terhadap Indonesia dengan cara penimbunan modal secara sederhana beserta sistem monopolinya. Kedudukan Indonesia sejak tahun 1895 di dalam hubungan ekonomi Dunia ialah bahwa Indonesia dijadikan tempat sumber bahan mentah, tempat penanaman modal, tempat pemasaran hasil produksi kapitalis dunia serta sebagai sumber tenaga buruh yang sangat murah. Dengan lahirnya imperialisme Belanda di Indonesia itulah, lahir dalam arti yang sebenarnya kaum buruh di Indonesia. Pada masa 1920-23, aksi pemogokan berlangsung di berbagai tempat. Pemogokan besar terjadi pada tahun 1920, yang dilakukan oleh PFB. Buruh-buruh industri gula melalui organisasi ini menuntut kenaikan upah. Pada bulan Agustus, PFB mengumumkan bahwa akan terjadi pemogokan besar kepada pihak pengusaha. Walaupun mereka telah memberikan ultimatum, pihak pengusaha mengabaikan tuntutan mereka, sehingga pemogokan tetap 3 berlangsung. Gubernur Jendral cepat mengambil tindakan, dengan melarang kegiatan pemogokan itu. Ia menuduh bahwa PFB melakukan pemogokan itu bukan untuk menuntut perbaikan kondisi kerja, melainkan memiliki ‘maksud-maksud politik’. Pemogokan ini berakhir tanpa terjadi perubahan berarti dalam kesepakatan. Pada bulan Januari 1922 buruh-buruh pegadaian melakukan pemogokan. Ribuan buruh yang terlibat pemogokan ini tidak masuk kerja sebagai ungkapan protes mereka. Pemerintah Hindia Belanda tidak mempedulikan para buruh yang mogok ini, sehingga tidak ada penyelesaian. VSTP dan RVC sementara itu mendukung para pelaku aksi mogok ini dengan melakukan kampanye pengumpulan dana. Dalam kongres PVH bulan Desember 1922, pemogokan umum menjadi bahan pembicaraan yang penting. Persetujuan terhadap rencana ini tidak datang dengan cepat, sehingga Semaun kemudian mengambil keputusan mengadakan pemogokan buruh melalui VSTP. Kemudian pada tahun 1923, pemogokan buruh kereta api pun terjadi, sehingga lalulintas Jawa terganggu sama sekali. Pemerintah Hindia Belanda mengambil tindakan keras, dengan menangkap seluruh pemimpin pemogokan, serta melarang organisasi tersebut mengadakan pertemuan. Semua propaganda yang dilakukan aktivis buruh, dianggap sebagai tindakan kriminal. Para aktivis PKI sementara itu terus melakukan aksi-aksi propaganda. Pada tahun 1925 terjadi pemogokanpemogokan di hampir semua intansi penting tingkat lokal. Dari sejumlah catatan aksi tersebut, terlihat bahwa hubungan sesama buruh menjadi amat penting. Kampung, sebagai tempat tinggal mereka menjadi sarana penghubung untuk memberitahu aksi-aksi yang akan dilakukan buruh, sehingga persatuan di antara mereka dapat digalang dengan mudah. Para aktivis gerakan buruh sendiri mengakui bahwa penggalangan kekuatan buruh di pelabuhan, adalah pekerjaan yang sangat sulit, karena umumnya mereka tidak bekerja secara tetap. Pekerjaan sampingan sebagai buruh tani di desa membuat mereka tidak sepenuhnya bekerja di pelabuhan, dan tentunya pengalaman kolektif sebagai buruh yang berhadapan dengan modal, tak begitu dirasakan. Hal ini amat berbeda dengan para buruh di perusahaan kereta api, rumah gadai, industri cetak, dan pabrik yang menggunakan mesin. Buruh trampil yang bekerja tetap memiliki peranan sentral dalam gerakan buruh pada masa itu. Mereka menjadi semacam penghubung antara para intelektual dan massa buruh yang bekerja di pabrik, pelabuhan, rumah gadai dan sebagainya. ‘Kelebihan’ sebagian buruh ini pada gilirannya juga menjadi masalah dalam menangani gerakan buruh. Karena ketrampilannya (baca, tulis dan lainnya) mereka tahu bahwa posisinya menjadi penting, baik dalam gerakan buruh maupun dalam kegiatan ekonomi kolonial. ‘Kelebihan’ ini pula yang membuat mereka cenderung diperlakukan baik oleh penguasa dan 4 menerima upah yang tinggi. Hal ini kemudian berpengaruh dalam hubungan mereka dengan massa buruh lainnya. Masalah lain yang juga menghambat gerakan buruh yang kuat adalah pembagian tempat kerja, yang disusun berdasarkan pangkat, status, sukubangsa dan wilayah. Pada periode-periode 1945-47 sejumlah serikat buruh kembali dibentuk, seperti Serikat Boeroeh Goela (SBG), Serikat Boeroeh Kereta api (SBKA), Serikat Boeroeh Perkeboenan Repoeblik Indonesia (Sarbupri), Serikat Boeroeh Kementrian Perboeroehan (SB Kemperbu), Serikat Boeroeh Daerah Autonom (SEBDA), Serikat Sekerjdja Kementrian Dalam Negeri (SSKDN), Serikat Boeroeh Kementrian Penerangan (SB Kempen), dan sebagainya. Banyak di antara pemimpin serikat-serikat buruh ini menjadi tokoh gerakan buruh pada masa sebelumnya, dan juga ikut dibuang oleh pemerintah Hindia Belanda. Dengan sekian banyak serikat buruh seperti ini, kembali muncul keperluan mendirikan sebuah federasi serikat buruh. Mengenai pembentukan federasi serikat buruh ini muncul perbedaan pendapat, sehingga pada tanggal 21 Mei 1946 didirikan Gaboengan Serikat-Serikat Boeroeh Indonesia (GASBI) sebagai hasil peleburan BBI. Perubahan nama ini juga terlihat dalam perubahan bentuknya, karena hanya organisasi yang dibentuk berdasarkan lapangan kerja, yang dapat bergabung di dalamnya. Kenyataan ini sulit diterima oleh organisasi buruh vertikal, seperti SB Minjak, SB Postel, Pegadaian, PGRI, Listrik dan lainnya. mereka kemudian membentuk Gaboengan Serikat Boeroeh Vertikal (GSBV) pada bulan Juli 1946. Tanggal 20 Februari 1973 didirikan Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) yang dimpin oleh Agus Sudono (semula dari GASBIINDO) dengan sekjen Sukarno (dari OPSUS). Dalam pembentukan federasi ini organisasi internasional seperti ICFTU yang pernah berhubungan dengan gerakan buruh di bawah koordinasi Masyumi dan AFL-CIO. Organisasi federatif ini beranggotakan Serikat Buruh Lapangan Pekerjaan (SBLP). Pengelompokan serikat buruh ditentukan berdasarkan jenis pekerjaan. Sekali pun telah berada dalam pengawasan negara, SBLP ini masih berperan penting dalam kegiatan gerakan buruh. Kedudukan mereka yang otonom membuatnya sulit dikendalikan, oleh FBSI sekalipun. Pemogokan yang dilakukan oleh buruh di sebuah pabrik sepatu misalnya, dapat segera diikuti oleh buruh pabrik sepatu lainnya. Sebelum didirikannya FBSI ini, tahun 1972 masyarakat menyaksikan penciutan partai politik dari 10 menjadi 2 dan 1 Golkar. Sementara harga bahan kebutuhan pokok tidak dapat ditahan. Upah buruh yang tetap bertahan rendah harus bersaing dengan kenaikan harga tersebut. Jumlah buruh yang tergabung dalam satu-satunya organisasi buruh di masa Orde Baru ini juga mengalami penurunan. Setelah berdiri selama 8 tahun, Agus Sudono mengklaim bahwa FBSI memiliki 21 SBLP, 26 DPD FBSI, 268 DPC, 8.210 basis SBLP dan 2. 77 anggota. Kasus perselisihan buruh sementara itu semakin meningkat 5 sejak pemerintah mengeluarkan Knop 15 di tahun 1978, dan rupanya FBSI tak sanggup menangani berbagai perkara. Setelah bertahan selama 12 tahun, FBSI lalu diganti menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) yang menggunakan sistem unit-unit kerja. 2.2 Undang-undang Kentenagakerjaan Dalam Undang-Undang Dasar, Pemerintah sebagai penyelenggara pembangunan berkewajiban untuk memfasilitasi setiap warga negaranya agar dapat bekerja dalam rangka meningkatkan kesejahteraan diri dan keluarganya dan harus dilakukan seoptimal mungkin oleh Negara. Dengan demikian, hak setiap warga Negara dalam Memperoleh pekerjaan dapat terpenuhi. Artinya, Indonesia dituntut untuk melakukan perencanaan terhadap hal tersebut untuk menyediakan lapangan pekerjaan agar terciptanya kesadaran atas kewajiban suatu Negara. Akan tetapi faktanya, sampai saat inidi Indonesia lapangan pekerjaan sangat terbatas. Karea Indonesia belum mampu menyediakan pekerjaan sepeti yang diamanatkan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, sehingga secara ekonomi masyarakat banyak memprihatinkan. Disamping itu persatuan dan kesatuan harus dijaga dan stabilitas syarat bagi usaha-usaha lain dalam pembangunan ekonomi dan menggunakan strategi-strategi dalam mememcahkan persoalan bidang ekonomi yang terjadi di Indonesia. Dalam ketentuan Undang-Undang, penempatan tenaga kerja Indonesia dibagi atas 2 yaitu tenaga kerja dalam negeri dan tenaga kerja luar negeri. Tenaga kerja dalam Negeri telah mempunyai kekuatan dalam perlindungan ketenagakerjaan dapat di lihat dalam UndangUndang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Selanjutnya, Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 2004 yang mengatur tentang penempatan dan perlindungan kerja di luar negeri. Tenaga kerja dalam Negeri di awasi secara langsung oleh Negara karena buruh bekerja dalam kedauatan Negara Republik Indonesia, sedangkan Tenaga Kerja Indonesia yang berada di luar negeri perlindungan hukum mereka adalah MoU (Memorandum of Understanding) dan kedutaan besar. Beberapa hal yang dijelaskan dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 adalah tentang jam kerja, jam kerja dalah waktu untuk melakukan pekerjaan, dapat dilaksanakan siang hari dan/atau malam hari. Jam Kerja bagi para pekerja di sektor swasta diatur dalam Undang-Undang No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya pasal 77 sampai dengan pasal 85. 6 Pasal 77 ayat 1, UU No.13/2003 mewajibkan setiap pengusaha untuk melaksanakan ketentuan jam kerja. Ketentuan jam kerja ini telah diatur dalam 2 sistem seperti yang telas disebutkan diatas yaitu: 7 jam kerja dalam 1 hari atau 40 jam kerja dalam 1 minggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu; atau 8 jam kerja dalam 1 hari atau 40 jam kerja dalam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu. Pada kedua sistem jam kerja tersebut juga diberikan batasan jam kerja yaitu 40 (empat puluh) jam dalam 1 (satu) minggu. Apabila melebihi dari ketentuan waktu kerja tersebut, maka waktu kerja biasa dianggap masuk sebagai waktu kerja lembur sehingga pekerja/buruh berhak atas upah lembur. Akan tetapi, ketentuan waktu kerja tersebut tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu seperti misalnya pekerjaan di pengeboran minyak lepas pantai, sopir angkutan jarak jauh, penerbangan jarak jauh, pekerjaan di kapal (laut), atau penebangan hutan. Perempuan yang bekerja pada shift malam, menurut pasal 76 Undang-Undang No. 13 tahun 2003, pekerja perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00, yang artinya pekerja perempuan diatas 18 (delapan belas) tahun diperbolehkan bekerja shift malam (23.00 sampai 07.00). Perusahaan juga dilarang mempekerjakan pekerja perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. Hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja, menurut pasal 50 sampai dengan pasal 66 di jelaskan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh, perjanjian dibuat secara tertulis atas lisan. Perjanjian kerja dibuat atass dasar kesepakatan kedua belah pihak, kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum, adanya pekerjaan yang diperjanjikan. Perlindungan, pengupahan dan kesejahteraan terdapat dalam pasal 67 sampai 101. Tentang pemutusan hubungan kerja di atur dalam pasal 150 sampai dengan pasal 172 yaitu melipuri pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik Negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai 7 pengurus dan memperkerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. 2.3 Gerakan dan pemilihan serikat pekerja Sebuah serikat pekerja berusaha untuk dikenal melalui gerakan dan pemilihan serikat pekerja untuk mewakili karyawan. Proses ini memiliki lima langkah dasar. Langkah 1. Kontak Awal Selama tahap kontak awal, serikat pekerja menentukan minat karyawan dalam mengatur dan membuat sebuah komite organisasi. Inisiatif untuk kontak pertama antara karyawan dan serikat dapat datang dari karyawan, dari sebuah serikat pekerja yang telah mewakili karyawan lain dari perusahaan itu, atau dari sebuah serikat pekerja yang mewakili para pekerja di tempat lain. Bagaimanapun, terdapat sebuah kontak awal antara perwakilan serikat pekerja dengan beberapa karyawan. Saat seseorang pengusaha menjadi target, seorang pejabat serikat pekerja biasanya menugaskan seseorang perwakilan untuk menilai minat karyawan. Perwakilan itu mengunjungi perusahaan untuk menentukan apakah ada cukup ada karyawan yang tertarik hingga cukup berharga untuk menentukan apakah ada cukup karyawan yang tertarik hingga cukup berharga untuk melakukan akmpanye serikat pekerja. Orang itu juga mengidentifikasikan karyawan yang akan menjadi pemimpin yang baik dalam mengatur kampanye dan mengumpulkan mereka untuk menciptakan sebuah komite organisasi. Tujuannya di sini adalah untuk mendidik komite itu tentang manfaat membentuk sebuah serikat pekerja, UU dan prosedur yang terlibat dalam pembentukan sebuah serikat pekerja local. Serikat pekerja harus mengikuti peraturan tertentu saat mereka mulai menghubungi karyawan. UU mengizinkan para pejabat mengajak karyawan untuk bergabung menjadi anggota sepanjang usaha tersebut tidak membahayakan kinerja atau keamanan karyawan. Karenanya, sebagaian besar kontak dilakukan di luar jam kantor, misalnya, di rumah atau di tempat makan dekat kantor. Para pengatur juga dapat menghubungi karyawan dengan aman pada lokasi perusahaan selama jam istirahat (misalnya makan siang atau waktu istirahat). Namun, dalam praktiknya, akan ada lebih banyak pengaturan informal yang terjadi pada tempat kerja saat para karyawan memperdebatkan manfaat dari pengaturan tersebut. Bagaimanapun, tahap kontak awal ini bisa diam-diam. Terkadang firasat pertama manajemen mengenai kampanye itu 8 adalah distribusi atau penempatan surat edaran yang mengajak untuk bergabung dengan serikat pekerja. Teknologi, dalam bentuk e-mail, tentu saja mempengaruhi proses pengaturan. Namun, mencegah karyawan serikat pekerja mengirim e-mail yang mendukung serikat pekerja pada e-mail perusahaan ternyata lebih mudah dikatakan dari pada dilakukan. Misalnya, melarang hanya e-mail serikat pekerja dapat melanggar keputusan NLRB. Dan membuat sebuah peraturan yang melarang para pekerja menggunakan e-mail untuk topic-topik yang tidak berhubungan dengan pekerjaan juga bisa sia-sia jika perusahaan sebenarnya tidak melakukan banyak hal untuk menghentikan e-mail daripada pesan yang mendukung serikat pekerja. Langkah 2. Memperoleh Kartu Otorisasi Agar serikat pekerja dapat mengajukan posisi atas hak untuk mengadakan sebuah pemilihan kepada NLRB, mereka harus memperlihatkan bahwa ada sejumlah besar karyawan yang mungkin tertarik untuk melakukan pengorganisasian. Jadi langkah berikutnya adalah para pengatur serikat pekerja berusaha untuk membuat para karyawan menandatangani kartu otorisasi. Biasanya hal ini memberikanotorisasi kepada serikat pekerja untuk mengusahakan sebuah pemilihan perwakilan dan menyatakan bahwa karyawan telah membuat aplikasi untuk bergabung dengan serikat pekerja. Tiga puluh persen dari karyawan yang memenuhi syarat dalam sebuah unit persetujuan harus menandatanganinya sebelum serikat pekerja dapat mengajukan petisi kepada NLRB untuk sebuah pemilihan. Selama tahap ini, baik serikat pekerja maupun manajemen menggunakan berbagai bentuk propaganda. Serikat pekerja menyatakan bahwa mereka dapt memperbaiki kondisi kerja, menaikkan upah, menaikkan tunjangan, dan umumnya memberikan kesepakatan yang lebih baik kepada para pekerja. Manajemen dapat menyerang serikat pekerja atas dasar etika dan moral dan menyebutkan biaya keanggotaan serikat pekerja. Manajemen juga dapat menjelaskan track record (catatan prestasi), menyatakan fakta dan opini, dan menjelaskan UU yang berlaku untuk mengorganisasikan kampanye. Namun, pihak manapun tidak boleh memberikan janji-janji tunjangan bagi karyawan atau membuat perubahan sepihak dalam hal persyaratan mempekerjakan yang tidakdirencanakan untuk diterapkan sebelum permulaan aktivitas pengorganisasian serikat pekerja. 9 Satu hal yang tidak boleh dilakukan manajemen adalah melihat-lihat kartu otorisasi jika mereka dikonfrontasikan oleh perwakilan serikat pekerja. NLRB dapat menafsirkan hal itu sebagai praktik pekerja yang tidak adil, karena memata-matai orang yang menandatangani kartu. Dan jika kemudian perusahaan menjatuhkan disiplin kepada seseorang yang menandatangani kartu, hal ini dapat dijadikan dasar untuk menuntut dugaan diskriminasi atas aktivitas serikat pekerja. Langkah 3. Melaksanakan pemeriksaan Saat serikat pekerja mengumpulkan kartu otorisasi, satu dari tiga hal dapat terjadi. Jika pengusaha memilih untuk tidak menentang pengakuan serikat pekerja, kedua pihak tidak memerlukan pemeriksaan, dan diadakan “pemilihan persetujuan” khusus. Jika pengusaha memilih untuk tidak menentang hak serikat pekerja melakukan pemilihan, dan/atau cakupan dari unit persetujuan, dan/atau karyawan memenuhi syarat untuk memberikansebuah pemilihan. Jiak pengusaha memang ingin menentang hak serikat pekerja, mereka dapat membantu pada sebuah pemeriksaan untuk menentukan permasalahan tersebut. Keputusan seorang pengusaha tentang apakah akan membantu pemeriksaan adlah keputusan yang stratejik berdasarkan fakta-fakta dari setiap kasus dan apakah mereka piker akan membutuhkan waktu tambahan untuk berusaha membujuk mayoritas karyawan agar tidak memilih sebuah serikat pekerja untuk mewakili mereka. Sebagian besar perusahaan memang menentang serikat pekerja untuk mewakili karyawan mereka, dengan menyatakan bahwa sebagian besar karyawan tidak benarbenar menginginkan serikat pekerja. Pada saat inilah Dewan Hubungan Pekerja Nasional (NLRB) terlibat. Biasanya serikat pekerja menghubungi NLRB, dan meminta sebuah pemeriksaan. Direktur regional NLRB, kemudian mengirimkan pejabat pemeriksa untuk melakukan penyelidikan. Penguji ini mengirimkan pejabat pemeriksa untuk melakukan penyelidikan. Penguji ini mengirimkan pejabat pemeriksa untuk melakukan pemnyelidikan. Penguji ini mengirimkan sebuah pemberitahuan tentang pemeriksaan perwakilan kepada manajemen dan serikat pekerja yang menyatakan waktu dan tempat pemeriksaan tersebut. Jika hasil dari pemeriksaan tersebut menguntungkan serikat pekerja, NLRB akan memerintahkan untuk melakukan pemilihan. Mereka akan mengeluarkan pemberitahuan pemilihan atas hal tersebut, untuk dipasang oleh pengusaha. 10 Langkah 4. Kampanye Selama kampanye yang mendahului pemilihan, serikat pekerja dan pengusaha meminta suara para karyawan. Serikat pekerja menekankan bahwa mereka akan mencegah ketidakadilan, mereka membuat system keluhan dan senioritas, dan memperbaiki upah yang tidak memuaskan. Mereka mengatakan bahwa kekuatan serikat pekerja akan memberikan suara kepada karyawan dalam menentukan upah dan kondisi kerja. Manajemen akan menekankan bahwa perbaikan seperti yang di janjikan serikat pekerja tidak membutuhkan pembentukan serikat pekerja, dan bahwa upah adalah sama dengan atau lebih baik dari pada keadaan mereka tanpa serikat pekerja. Manajemen juga akan menekankan biaya keuangan iuran serikat pekerja; kenyataannya bahwa serikat pekerja adalah “orang luar”; dan jika serikat pekerja menang, memang mungkin akan diikuti dengan pemogokan. Manajemen bahkan dapat menyerang serikat pekerja atas dasar etika dan moral, sementara menekankan bahwa karyawan akan lebih baik tanpa serikat pekerjadan mungkin kehilangan kebebasan. Tetapi pihak manapun tidak boleh melakukan ancaman, penyuapan atau pemaksaan terhadap karyawan. Langkah 5. Pemilihan Pemilihan dilakukan dalam 30 hingga 60 hari setelah NLRB mengeluarkan keputusan dan arahan pemilihan. Pemilihandilakukan dengan surat suara rahasia; NLRB menyediakan surat suaranya, ruang pemberian suara, dan kotak surat suara dan menghitung suara dan menyatakan hasilnya. Serikat pekerja menjadi perwakilan karyawan jika mereka memenangkan pemilihan dan memenangkan berarti mendapatkan mayoritas suara yang diberikan, bukan mayoritas dari total pekerja dalam unit persetujuan. Beberpa hal mempengaruhi apakah serikat pekerja memenangkan pemilihan sertifikasi. Serikat pekerja memiliki kemungkinan keberhasilan lebih tinggi dalam daerah geografis yang memiliki presentase pekerja serikat yang tinggi. Sebagian karena karyawan serikat pekerja menikmati upah dan tunjangan yang lebih tinggi. Pengangguran yang tinggi kelihatannya mengarah kepada hasil yang lebih buruk bagi serikat pekerja, barangkali karena karyawan takut bahwa pembuatan organisasi serikat pekerjaakan mengakibatkan berkurangnya keamanan pekerjaan atau pembalasan pengusaha.makin banyak suara 11 pekerja, makin kecil kemungkinan kemenangan serikat pekerja, barangkali karena lebih banyak pekerja yang bukan suara pendukung kuat. 2.4 Lima Cara Untuk Mengabaikan Pemilihan NLRB 1. Tidak menyadari perubahan Dalam sebuah studi, 68% perusahaan yang kalah dari serikat, ternyata para eksekutifnya tidak menyadari keadaan. Dalam perusahaan ini, pergantian dan absennya pekerja meningkat, produktivitasnya tidak stabil, dan keamanannya buruk. Prosedur keluhan jarang terjadi. Saat laporan kartu otorisasi pertama mulai masuk ke manajer puncak, biasanya mereka merespons dengan serbuan surat yang menggambarkan bagaimana perusahaan merupakan “satu keluarga besar” dan menghentikan “usaha-usaha kelompok” 2. Menunjuk sebuah komite Dari perusahaan yang kalah, 36% membentuk sebuah komite untuk mengatur kampanye. Menurut para pakar, ada tiga masalah dalam hal ini: (1) ketepatan waktu sangat penting dalam situasi pemilihan, dan komite terkenal lamban. (2) kebanyakan anggota komite adalah orang baru NLRB. Karena itu pandangan mereka sebagian besar merupakan cerminan dari harapan, dan bukan pengalaman. (3) keputusan sebuah komite biasanya merupakan sebuah kompromi. Hasilnya sering mendekati opini konservatiftetapi, tidak selalu merupakan opini yang paling berdasarkan pemahaman atau yang paling efektif. Para pakar ini menyarankan untuk memberikan tanggung jawab penuh kepada seorang eksekutif pengambilan keputusan. Seorang direktur sumber daya manusia dan seorang konsultan atau penasihat dengan pengalaman yang luas dalam hubungan pekerja harus bergiliran membantu orang ini. 3. Berkonsentrasi pada uang dan tunjangan Dari 54% pemilihan yang dipelajari, perusahaan kalah karena manajemen puncak berkonsentrasi pada permasalahan yang salah: uang dan tunjangan. 4. Titik lemah industri Para peneliti menemukan bahwa dalam beberap industry, para karyawan lebih merasa diabaikan dan tidak dianggap daripada dalam industry lainnya. Dalam industry yang amat otomatis, ada kecenderungan dari para eksekutif untuk mengabaikan karyawan yang dibayar per jam, walaupun saat ini kondisiini berubah ketika perusahaan menerapkan lebih banyak program perbaikan kualitas. Dalam hal ini, solusinya adalah memberikan lebih banyak perhatian pada kebutuhan dan sikap para karyawan. 12 5. Mendelegasikan terlalu banyak tanggung jawab kepada divisi Untuk perusahaan dengan pabrik yang tersebar di seluruh Negara, mengelola beberapa pabrik akan memberikan desakan kepada serikat untuk menggoda para pekerja pabrik lainnya. Membuat serikat pekerja pada satu pabrik atau lebih akan mengarah kepada pembuatan serikat pekerja di pabrik lainnya. Sebagian solusinya adalah mengingat empat alasan yang telah di katakan di atas, jadi mengurangi kemampuan serikat pekerja untuk mengelola beberapa pabrik pertama tadi. Juga, jangan melepaskan tanggung jawab semua hubungan personalia dan industry kepada para manajer pabrik. Dengan menghadapi serikat secara efektif- mengawasi sikap karyawan, bersikap sepantasnya saat pekerja muncul, dan seterusnya-umumnya membutuhkan bimbingan terpusat dari kantor pusat dan staf SDM nya. 2.5 Tawar Menawar kolektif Dalam arti sempit tawar menawar kolektif merupakan proses dimana perwakilan dari manajemen dan serikat pekerja bertemu untuk menegosiasikan sebuah persetujuan pekerja. Menurut UU Hubungan Pekerja Nasional, tawar menawar kolektif adalah proses kewajiban kerjasama antara pengusaha dan perwakilan karyawan untuk bertemu pada waktu yang tepat dan dengan maksud baik dengan memperhatikan upah, jam kerja dan syarat serta kondisipekerjaan atau negosiasi kesepakatan atau adanya pertanyaan yang muncul saat itu, dan pelaksanaan kontrak tertulis yang menggabungkan kesepakatan yang diraih jika diminta oleh salah satu pihak, tetapi jika kewajiban tidak mengharuskan salah satu pihak untuk setuju dengan sebuah usulan atau meminta pembuatan sebuah konsesi. Persetujuan dengan maksud baik merupakan dasar dari hubungan pekerja dengan manajemen yang efektif, yang berarti adanya dua belah pihak yang berkomunikasi dan bernegosiasi, saling mencocokkan usulan atau pendapat dan keduanya membuat usaha yang wajar untuk mencapai kesepakatan. Proses tawar menawar kolektif dimulai ketika serikat buruh dikenal sebagai negosiator yang diistimewakan bagi para anggotanya. Siklus tawar menawar sendiri dimulai ketika pimpinan serikat buruh bertemu dengan perwakilan manajemen untuk menyepakati sebuah kontrak. 2.5.1 Contoh tawar menawar yang tidak beritikad baik 1. Persetujuan permukaan Melalui mosi persetujuan tanpa adanya maksud nyata menyelesaikan sebuah kesepakatan formal. 13 2. Konsesi yang tidak memadai Tidak bersedia berkompromi, walaupun tidak ada yang diminta membuat konsesi 3. Usulan dan permintaan yang tidak memadai NLRB menganggap kemajuan usulan menjadi sebuah factor yang positif dalam menentukan keseluruhan maksud baik. 4. Taktik memperlambat UU meminta pihak – pihak untuk bertemu dan berunding pada waktu dan interval yang wajar. Penolakan untuk bertemu dengan serikat pekerja tidak memenuhi kewajiban positif yang dikenakan pada pengusaha. 5. Kondisi pembebanan Usaha untuk membebankan kondisi yang begitu berat atau tidak wajar untuk menunjukkan maksud buruk 6. Membuat perubahan sepihak dalam persyaratan Sebuah indikasi kuat bahwa pengusaha tidak membuat persetujuan dengan maksud yang diminta untuk mencapai sebuah kesepakatan 7. Memotong perwakilan Kewajiban manajemen untuk membuat persetujuan dengan maksud baik meliputi minimum pengakuan bahwa perwakilan serikat pekerja adalah pihak yang harus dihadapi pengusaha dalam melakukan negosiasi 8. Melakukan praktik pekerja yang tidak adil selama negosiasi Mencerminkan praktik yang buruk dari pihak yang bersalah. 9. Menahan informasi Saat diminta, pengusaha harus menyediakan informasi kepada serikat pekerja agar mereka mampu memahami dan secara cerdas membahas permasalahan yang muncul dalam pembuatan persetujuan tersebut. 10. Mengabaikan hal-hal persetujuan Penolakan untuk membuat persetujuan atas hal-hal yang bersifat memberi wewenang atau desakan pada hal yang permisif. 2.5.2 Apabila tawar menawar gagal 1. Kebuntuan Terjadi bila setelah satu rangkaian sesi tawar menawar, manajemen dan tenaga kerja gagal menyepakati kontrak baru atau kontrak untukmenggantikan kesepakatan yang hamper kadaluwarsa. 14 2. Taktik serikat buruh Terjadi apabila permintaan mereka tidak terpenuhi, serikat buruh mungkin menempuh berbagai taktik untuk meraih tawar menawar, yang paling utama adalah pemogokan yang mungkin berbentuk demonstras, boikot atau pelambatan kerja. 3. Pemogokan Yaitu aksi tenaga kerja dimana karyawan untuk sementara keluar dari tempat kerja dan menolak untuk bekerja. 4. Tindakan tenaga kerja lainnya a. Picketing, yaitu aksi tenaga kerja dimana para pekerja melakukan demonstrasi di dekat tempat usaha pengusaha. b. Boikot, yaitu aksi tenaga kerjadimana para pekerja menolak memebli prosuk dari pemberi kerja sasaran. c. Perlambatan kerja, yaitu aksi tenaga kerja dimana para pekerja melakukan pekerjaan lebih lambat dari biasanya. 5. Taktik manajemen a. Lockout, yaitu taktik manajemen dimana para pekerja ditolak untuk masuk ketempat kerja pemberi kerja. b. Strikerbreaker, yaitu pekerjaan yang dipekerjakan secara permanen atau sementara untuk menggantikan karyawan yang mogok. c. Mediasi, yaitu metode penyelesaian perselisihan tenaga kerja dimana pihak ketiga dapat meyarankan, tetapi tidak dapat memutuskan kesepakatan. d. Arbitrasi sukarela, yaitu metode menyelesaikan perselisihan tenaga kerja dimana kedua pihak setuju untuk menerima penilain dari pihak netral. e. Arbitrasi wajib, yaitu metode penyelesaian perselisihan tenaga kerja dimana kedua pihak secara hokum dituntut untuk menerima penilaian dari pihak yang netral. 2.6 Prosedur keluhan Prosedur keluhan tenaga kerja biasanya menangani permasalahan seperti ketidakhadiran, pembangkangan, lembur dan peraturan pabrik. Prosedur ini memberikan sebuah system yang teratur dimana baik pengusaha dan serikat pekerja menentukan apakah suatu tindakan itu melanggar kontrak. Sebagian besar kontrak persetujuan kolektif berisi prosedur keluhan yang sangat spesifik, kontrak tersebut menyebutkan berbagai langkah dalam prosedur tersebut, batas waktu yang 15 terkait dengan setiap langkah dan aturan khusus seperti “semua tuntutan pelanggaran kontrak harus dikurangi hingga tertulis”. Prosedur keluhan serikat pekerja berbeda pada setiap perusahaan. Sebagian berisi dua langkah, disisi lain berisi 6 langkah. Langkah pertama adalah pihak yang mengajukan keluhan dan pramuniaga took bertemu secara informal dengan pihak penyelia yang mengajukan keluhan dan untuk menemukan sebuah solusi. Jika tidak bias, karyawan mengajukan keluhan formal dan diadakan pertemuan dengan karyawan, pramuniaga took dan atasan penyelia. Langkah berikutnya melibatkan perwakilan yang mengajukan keluhan dan perwakilan serikat pekerja bertemu dengan manajer yang memiliki tingkatan yang lebih tinggi. Jika manajemen puncak dan serikat pekerja tidak mencapai kesepakatan, keluhan tersebut dibawa kepada arbitrator. Keluhan merupakan suatu factor yang melibatkan upah, jam kerja atau kondisi pekerjaan yang digunakan sebagai sebuah keluhan terhadap pengusaha. 2.6.1 Contoh keluhan 1. Ketidakhadiran Seorang pengusaha memberhentikan seorang karyawan karena absen yang berlebihan. Karyawan mengajukan keluhan yang menyatakan bahwa tidak ada peringatan atau tindakan dislipin sbelumnya atas absen yang berlebihan tersebut. 2. Pembangkangan Seorang karyawan pada dua peristiwa menolak untuk mematuhi perintah penyelia untuk menemuinya kecuali hadir juga seorang perwakilan serikt pekerja. Akibatnya, karyawan itu diberhentikan dan berikutnya mengajukan sebuah keluhan yang memprotes pemberhentian tadi. 3. Lembur Pengusaha menghentikan kerja lembur hari minggu setelah sebuah departemen dipecahkan. Karyawan yang terpengaruh mengajukan sebuah keluhan yang memprotes dihilangkannya kerja lembur. 4. Peraturan pabrik Pabrik telah memasang peraturan yang melarang karyawan untuk makan atau minum selama masa istirahat yang tidak terjadwal. Karyawan mengajukan keluhan yang menyatakan peraturan tersebut sewenang wenang. 16 Cara terbaik untuk menangani keluhan adalah dengan cara mengembangkan lingkungan kerja dimana keluhan tidak terjadi sejak awalnya. Mengembangkan kemampuan untuk mengenali, mendiagnosis dan memperbaiki potensi penyebab rasa tidak puas karyawan (seperti penilaian yang tidak adil, upah yang tidak pantas, atau komunikasi yang buruk) sebelum menjadi keluhan. 2.6.2 Hal yang boleh dilakukan untuk menangani keluhan 1. Menyelidiki dan menangani setiap kasus seolah hal itu pada akhirnya mengakibatkan arbitrase 2. Berbicara dengan karyawan tentang keluhannya, memberikan kesempatan untuk didengar 3. Meminta serikat pekerja untuk mengenali ketetapan kontraktual khusus yang diduga telah dilanggar. 4. Memenuhi batas waktu kontraktual untuk menangani keluhan 5. Mengunjungi daerah kerja keluhan 6. Menentukan apakah ada saksi saksi 7. Menguji catatan personaliaorang yang mengajukan keluhan 8. Menguji sepenuhnya catatan keluhan sebelumnya 9. Memperlakukan perwakilan serikat pekerja sebagai pihak yang setara dengan anda 10. Lakukan diskusi keluhan tersebut secara tertutup 11. Member informasi sepenuhnya kepada penyelia anda tentang masalah keluhan tersebut. 2.6.3 Hal yang tidak boleh dilakukan dalam menangani keluhan 1. Mendiskusikan kasus keluhan dengan pengurus serikat pekerja saja, orang yang mengajukan keluhan juga harus berperan dalam diskusi tersebut 2. Membuat pengaturan dengan masing masing karyawan yang tidak konsisten dengan kesepakatan pekerja 3. Menahan perbaikan jika perusahaan bersalah 4. Mengakui pengaruh yang mengikat dari praktik masa lalu 5. Melepaskan hak anda sebagai manajer kepada serikat pekerja 6. Menyelesaikan keluhan berdasarkan pada apayang ‘adil’, tetapi lebih baik tetap mengikuti kesepakatan pekerja 7. Melakukan persetujuan atas hal hal yang tidak dicakup dalam kontrak 17 8. Memperlakukan keluhan sebagai subjek tuntutan arbritase yang meminta tindakan dislipin atau pemberhentian manajer 9. Memberikan jawaban keluhan tertulis yang lama 10. Menukarkan penyelesaian keluhan dengan penarikan keluhan 11. Menolak keluhan karena terikat oleh manajemen 12. Menyetujui perbaikan informal dalam kontrak. 18 BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan 3.2 Saran 19