Ħŧ ΉėΎΚŧ ΔėΞΊẂΎΙŋΚŪėΛΎΚĨΡŎŌΎΙŎΜΚǿ ΒΏΌŊė ġΒΏ

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Potensi akhlak sudah ada pada setiap manusia sejak ia dilahirkan.
Potensi ini berupa dorongan untuk mengabdi kepada Sang Pencipta. 1 Hal ini
dikuatkan dengan dalil naqli dari Al-Qur’an
Allah SWT berfirman dalam Surat Al-A’raf ayat 172 :
Ħŧ Ή
ėΎΚŧ ℮ΔėΞΊẂΎΙŋΚŪėΛΎΚĨΡŎŌΎΙŎΜ
Κǿ ΒΏΌŊė╘ġΒΏ ġŎōŅėŌėΛ
. ╚Ί℮ỲėōΙ ΒẂ
Ĝ
Ε΄ Ĝ
ΔėĤΐΣ⅞Ή
ėΌΜ
ΡėΜ
Ή
Μ
⅞ħΑėĜ
ΔŋΚŪΞΊġėΜ
Ή
Ĝ
⅝Ύ΅ ġŏġ
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang
belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini
Tuhanmu ?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami
bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan “Sesungguhnya kami (bani adam) adalah orang-orang yang
lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)“
Manusia diciptakan Allah SWT dalam keadaan lurus, suci, dan
bersih, namun syetan menggodanya agar manusia tergelincir dan melakukan
perbuatan yang menyesatkan dari kebenaran agama, melakukan perbuatan
maksiat dan perbuatan buruk lainnya.
Oleh karena itu, Allah SWT menurunkan para Rasul untuk
mengembalikan keadaan manusia dari dalam keadaan sesat agar kembali ke
jalan yang benar. Allah mengirim wahyu kepada Nabi Adam sampai Nabi
Muhammad SAW untuk memperbaiki akhlak manusia.
1
Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), cet. Ke-8,
hlm. 67
1
2
Allah SWT berfirman, memuji dan memperlihatkan kenikmatanNya
kepada Nabi Muhammad di dalam Al-Qur’an Surat Al-Qalam ayat 4 :
♫ΎąΣĘ· ăẂ♫⅜ʼnΊĄŅΞIJΊăẃIJΉ
“Dan sesungguhnya engkau mempunyai budi pekerti yang agung”2
Setelah Rasulullah SAW wafat, yang menggantikan beliau dalam
memperbaiki akhlak manusia dan masyarakat adalah para Ulama’ Mereka adalah
adalah Khulafaurrasyidin, para Sahabat Nabi, Tabi’in, Tabiittabi’in, dan generasi
setelah Tabi’ittabi’in yang termasuk orang-orang sholih.
Manusia pada dasarnya dilahirkan dalam keadaan fitrah atau suci.
Akan tetapi dalam perjalanan hidupnya, acapkali manusia terjerumus dalam
perbuatan buruk. Perbuatan buruk pada manusia, biasanya terjadi karena
kurangnya pendidikan akhlak, baik dari orang tua atau keluarga, sekolah,
maupun
masyarakat.
Ketika
seseorang
usianya
semakin
dewasa,
kemungkinan untuk meninggalkan sifat yang tercela semakin berat, apalagi
sifat itu sudah mengakar dalam dirinya dan sudah menjadi kebiasaan aktifitas
setiap harinya.
Oleh karena itu diperlukan pendidikan akhlak pada diri setiap
muslim yang dimulai dari kecil hingga dewasa, bahkan sampai tua.
Pendidikan akhlak bersifat seumur hidup dan fardhu bagi tiap-tiap muslim.
Pendidikan akhlak dimulai dari komunitas keluarga, sekolah, kemudian
masyarakat.
2
Al-Qur’an Dan Terjemahannya, Kementerian Agama RI, Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam, Direktorat Urusan Agama Islam Dan Pembinaan Syari’ah, Tahun
2012, hlm. 826
3
Dengan pendidikan akhlak diharapkan agar dalam tiap muslim
tertanam sedini mungkin benih-benih akhlakul karimah yang akan semakin
membuahkan tingkah laku akhlakul karimah seiring perkembangan
kedewasaannya.
Pendidikan
merupakan
usaha
sadar
dan
bertujuan
untuk
mengembangkan kualitas manusia, sehingga dalam pelaksanaannya berada
pada proses keseimbangan setiap jenjang pendidikan.3 Dengan adanya
pendidikan akhlak diharapkan masyarakat menjadi lebih cerdas dan
berkualitas serta tercapainya tujuan pendidikan nasional.
Fungsi dan tujuan pendidikan nasional bangsa Indonesia tertuang
dalam UU No. 20 Tahun 2003 Bab II pasal 3, menyebutkan bahwa
pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis. 4
Tujuan pendidikan nasional di antaranya adalah mengembangkan
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Maka, perlu di setiap
3
Syaiful Bahri, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta : Rineka Cipta,
2002), hlm. 22
4
UU RI No.20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasioanal, (Jakarta : Sinar
Grafika,2009), Cet II, hlm. 7
4
jenjang pendidikan, di lingkungan keluarga, dan di lingkungan masyarakat
ditanamkan pendidikan akhlak.
Indonesia butuh generasi muda penerus bangsa yang memenuhi
kompetensi-kompetensi tertentu yang sesuai dengan zaman modern untuk
tetap bisa eksis di dalam perkembangan globalisasi. Namun kompetensikompetensi tidak hanya berhubungan dengan intelegensia saja. Sekarang ini,
tidak sedikit orang pandai dan cerdas, tapi tidak bijaksana dan arif. Dengan
istilah lain, memperhatikan faktor intelegensia saja belum cukup untuk
mewujudkan manusia yang mampu beramal saleh, bertindak dewasa lagi dan
bertanggungjawab. Apalagi untuk menjamin suatu ketenangan, ketentraman,
dan kedamaian lahir batin. Faktor lain yang sering terlupakan ialah dari segi
rohani, yang dalam hal ini adalah fitrah manusia. Karena dalam pendidikan
Islam, manusia tidak hanya dituntut untuk memiliki kecerdasan yang luas,
tetapi juga akhlak yang mulia yang juga menjadi prioritas. Karena itu, mereka
yang berhasil menyatukan kemampuan religi dengan ilmu pengetahuan dan
teknologi diyakini bakal memenangi persaingan global.5
Dalam Islam, terdapat nilai-nilai keteladanan yang dicontohkan oleh
para ahli pendidikan. Para ahli pendidikan Islam di antaranya adalah Ibnu
Miskawaih, Ibnu Qoyim Al-Jauziyah, Imam Al-Ghazali, dan masih banyak
tokoh-tokoh pendidikan yang lain. Karena di dalam Islam terdapat tokohtokoh pendidikan Islam, maka sangatlah relevan apabila kaum muslimin
terutama para penuntut ilmu mengambil contoh dan pemikiran mereka.
5
Talenta SDM Kunci Menangi Persaingan Global, Suara Merdeka, 28 November 2014
5
Tentu saja pemikiran-pemikiran mereka tidak bertentangan dengan ajaran
Nabi Muhammad SAW.Tidak ada dalam sejarah peradaban ini seseorang
yang mampu mengubah peradaban bangsa dalam waktu singkat kecuali Nabi
Muhammad SAW.
Pendidikan akhlak pada hakekatnya sebuah komitmen mengenai
langkah-langkah
yang
harus dilakukan oleh pendidik
untuk dapat
mengarahkan peserta didik agar bisa berpikir positif sehingga tertanam nilainilai kebijakan, dan mengharapkan peserta didik akan taat pada norma-norma
agama dan nilai-nilai akhlak di masyarakat, serta adanya peningkatan kualitas
pendidikan yang diperoleh peserta didik.
Untuk mewujudkan suatu generasi muda yang berakhlak mulia,
diperlukan suatu sinergi dan hubungan timbal balik antara lembaga
pendidikan, keluarga, masyarakat, media informasi, dan pemerintah. Tanpa
kerjasama yang aktif dan kooperatif dalam membina generasi muda, akan
berakibat bangsa ini tertinggal oleh bangsa lain karena terpuruknya moral
pada generasi muda.
Melalui karya-karyanya yang ditulis oleh Imam Al-Ghazali yang
berhubungan dengan akhlak mulia, sebagai kontribusi ilmiah dalam perbaikan
akhlak dan budaya di tengah dunia pendidikan dan masyarakat pada
umumnya, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang
“Pemikiran Imam Al-Ghazali Tentang Pendidikan Akhlak Dan Relavansinya
Dengan Pendidikan Akhlak Di Era Modern”.
6
Karya-karya beliau berisi ajaran tentang akhlakul karimah sangat
tepat sekali dijadikan pedoman bagi kaum muslimin dalam berakhlak mulia.
Melalui kitab-kitabnya, Imam Al-Ghazali menguraikan panjang lebar tentang
pokok-pokok akhlakul karimah yang terdiri dari empat sifat, sifat hikmah
(bijaksana), sifat adil, sifat syaja’ah (berani), sifat ‘iffah (memelihara
kehormatan). Empat sifat tersebut harus ada pada diri manusia agar manusia
memiliki akhlakul karimah.6
Pendidikan akhlakul karimah menurut Imam Al-Ghazali berkaitan
dengan mujahadah dan riyadhah, yaitu bersungguh-sungguh berlatih untuk
membiasakan mempraktekkan sifat-sifat yang baik, sehingga sifat-sifat yang
baik tersebut menjadi kebiasaan, manjadi karakter yang mendarah daging
pada pendidik dan peserta didik. Mujahadah atau memerangi hawa nafsu
meliputi memerangi hawa nafsu amarah, yaitu sifat-sifat yang membuat
manusia mudah marah, benci, iri, dengki, dendam, hasud, fitnah, riya’
(pamer), sombong. Juga memerangi nafsu syahwat, yaitu nafsu yang
berhubungan dengan perut dan kemaluan. Nafsu amarah yang dikendalikan
akan menjadi sifat yang baik yaitu syaja’ah (pemberani) sedangkan nafsu
syahwat yang dikendalikan akan menimbulkan sifat yang baik yaitu ‘iffah
(memelihara kehormatan diri).7
Di dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, Imam Al-Ghazali mendidik kaum
muslimin untuk menjadi insan kamil, yaitu insan yang cinta kepada sifat-sifat
kesempurnaan seperti yang dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW. Imam AlGhazali mendidik kaum muslimin agar giat menuntut ilmu, melaksanakan
rukun-rukun Islam dengan baik, rajin membaca Al-Qur’an, rajin berdzikir dan
6
Imam Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, terj.Moh. Zuhri, Terjemah
(Semarang : Asy-Syifa’, 2003), jilid V, hlm. 109
7
Ibid, hlm. 123
Ihya’ Ulumuddin
7
berdo’a, berakhlak dalam makan dan minum, berakhlak dalam berkeluarga,
berakhlak dalam mencari penghidupan, persahabatan, mengasingkan diri, dan
bepergian. Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin juga mendidik
umat Islam agar senantiasa memiliki hati yang bersih, jauh dari sifat-sifat
jelek seperti marah, dendam, dengki, terlalu mencintai dunia, kikir, sombong,
riya’ (pamer), dan sifat-sifat jelek lainnya, dan dekat dengan sifat-sifat yang
baik seperti senantiasa bertaubat, sabar, syukur, harap dan takut kepada Allah,
zuhud, tawakal, cinta, rindu, dan ridho kepada Allah, selalu ikhlas, tafakur,
dan mengingat kematian.8
Akhlak, budi pekerti, ataukarakter yang baik itulah yang akan
mengantarkan para penuntut ilmu menuju surga Allah SWT. Maka perlu
ditanamkan akhlak-akhlak dan karakter-karakter yang baik tersebut dalam
tiap pribadi penuntut ilmu, baik di dalam keluarga, sekolah, maupun
masyarakat.
Penulis memfokuskan kajian pada lima kitab yaitu kitab Ayyuhal
Walad, Bidayatul Hidayah, Minhajul ‘Abidin, Ihya’ Ulumuddin, dan
Mukasyafatul Qulub karena kelima kitab tersebut adalah kitab-kitab standar
pendidikan akhlak yang banyak digunakan di pesantren-pesantren di
Indonesia dan banyak digunakan dalam pengajian-pengajian di berbagai
daerah di Indonesia serta secara umum merupakan kitab-kitab yang selalu ada
di perpustakaan-perpustakaan besar di Indonesia.
8
Ibid, hlm. 184
8
B. Rumusan Masalah
Dalam sebuah proses penelitian, rumusan masalah sangat penting
sebagai landasan berpijak untuk langkah-langkah penelitian selanjutnya.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Apa yang melatarbelakangi Imam Al-Ghazali menyusun pemikiran
pendidikan akhlak ?
2. Bagaimana pemikiran Imam Al-Ghazali tentang pendidikan akhlak yang
meliputi tujuan, metode, dan materi pendidikan akhlak ?
3. Bagaimana relevansi pemikiranImam Al-Ghazali tentang pendidikan
akhlak dengan pendidikan akhlak di era modern ?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mendeskripsikan latar belakang Imam Al-Ghazali menyusun
pemikiran tentang pendidikan akhlak
2. Untuk mendeskripsikan pemikiran Imam Al-Ghazali tentang pendidikan
akhlak
3. Untuk menganalisis relevansi pemikiran Imam Al-Ghazali tentang
pendidikan akhlak dengan pendidikan akhlak di era modern
9
D. Manfaat Penelitian
a. Hasil
penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
sumbangan
perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam kajian pendidikan
akhlak.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memperkaya
penggunaan teori-teori pendidikan dalam segala bidang.
c. Sebagai petunjuk dalam memberikan filter bagi generasi muda dalam
menghadapi dampak negatif era globalisasi
d. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi pelajaran yang berharga
bagi penulis tentang pentingnya pendidikan akhlak.
e. Bagi pendidik, diharapkan dapat menggunakan pemikiran Al-Ghazali
dalam menerapkan pendidikan akhlak pada peserta didik
f. Sebagai acuan bagi lembaga pendidikan agar dapat menerapkan
pendidikan akhlak
g. Bagi para pembaca hasil penelitian dapat dijadikan sebagai pedoman
dalam menerapkan pendidikan akhlak bagi diri sendiri maupun orang lain.
10
E. Kajian Pustaka
Fokus penelitian yang sedang dikerjakan perlu diulas melalui
kajian pustaka. Kajian pustaka dapat berupa buku-buku, teks, laporan hasil
penelitian, makalah, risalah, dan karya-karya ilmiah seperti skripsi, tesis, dan
disertasi. Dalam kajian pustaka, peneliti membuat deskripsi secara sistematis
tentang hasil penelitian oleh peneliti sebelumnya yang sejalan dengan topik
penelitian yang peneliti sedang lakukan. Dengan kata lain, penelitian
dibandingkan dengan kajian-kajian yang sama dengan hasil penelitian
terdahulu.9
Penelitian-penelitian terdahulu adalah sebagai berikut :
1. Disertasi Amin Abdullah (Turkiye Diyaret Vaktij, Turki, 1992) berjudul
The Idea of Universaly of Ethical Norms in Ghazali and Kant,
menghasilkan hasil penelitian yang menyebutkan bahwa sumber etika
menurut Al-Ghazali adalah tindakan secara eksklusif bersumber dari
Tuhan, bukan saja nilai-nilainya, melainkan juga kehendak dan
kemampuan untuk bertindak etis itu sendiri. Sedangkan Kant yang
menggunakan pendekatan rasionalitas menekankan kepada kausalitas
(hukum sebab akibat), menekankan bahwa sifat aktif perlu dalam suatu
tindakan, apresiasi terhadap perubahan sosial perlu dikembangan dalam
etika, dan Kant percaya bahwa betapa pun juga rasio masih berperan
dalam perumusan etika dan dalam pemikiran-pemikiran non metafisis. 10
9
Muhammad, M.Hum Metode Penelitian Bahasa, (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2011),
hlm. 108
10
Amin Abdullah, The Idea of Universaly of Ethical Norms in Ghazali and Kant, (Turki
: Turkiye Diyaret Vaktij, 1992), hlm. iv
11
2. Tesis Andre Dermawan (Universitas Muhammadiyah Surakarta, Fakultas
Agama Islam, 1998) berjudul Filsafat Pengetahuan Islam : Studi Atas
Pemikiran Ma’rifat Al-Ghazali, menghasilkan hasil penelitian yang
menyebutkan bahwateori Ma’rifat menurut Al-Ghazali adalah suatu ilmu
yang menerima pengetahuan tanpakeraguan. Di sini, kemurnian dan
kehakikian dibuktikan. Dasar Ma’rifat Al-Ghazali adalah Musyahadah
dengan Allah secara langsung. Hal itu sama dengan para sufi yang lain
pada umumnya. Menurut Al-Ghazali, ketenteraman hati itu hanya akan
diperoleh dengan penyucian jiwa. Sedang peranan Ma’rifat dalam
kehidupan seseorang akan berhasil bila seseorang itu melakukan dan
menjalani paket-paket tasawuf yang telah ditentukan. Di sini, Al-Ghazali
mengharuskan adanya Syekh. 11
3. Tesis Nailul Umam Wibowo (Universitas Muhammadiyah Surakarta,
Fakultas Agama Islam, 2003) berjudul Pendidikan Tasawuf : Studi
Komparatif
Pemikiran Al-Ghazali dan Nasr, menghasilkan hasil
penelitian yang menyebutkan bahwa pendidikan tasawuf
meliputi :
pendidikan akidah, syariat, dan akhlak. Semua itu harus dilandasi ilmu.
Dalam hal pengetahuan, Al-Ghazali mengunggulkan ilmu agama atas
ilmu umum. Sedangkan Nasr tidak menyinggung bahkan menganggap
sumber ilmu adalah satu dan yang terlahir darinya juga satu (monotomi).
Inti pendidikan akidah adalah pemahaman akan Allah, namaNya,
af’alNya, dan sifatNya. Sedangkan pendidikan syariat merupakan buah
11
Andre Dermawan , Filsafat Pengetahuan Islam : Studi Atas Pemikiran Ma’rifat AlGhazali,(Surakarta : Universitas Muhammadiyah Surakarta, Fakultas Agama Islam, 1998), hlm. v
12
dari akidah. Syariat memiliki makna batin. Untuk mencapai makna batin,
seseorang harus menjalankan syariat dan menghayati makna di balik
syariat. Sedangkan pendidikan akhlak diperoleh dengan meneladani sifat
Rasulullah karena beliau adalah Uswatun Khasanah. Perbaikan akhlak
melalui beberapa tahap, yaitu takhalli (pengosongan diri dari sifat-sifat
tercela), tahalli (pengisian diri dengan sifat-sifat terpuji), dan tajalli
(mendekatkan diri pada Allah). Dalam hal ini, diperlukan seorang guru
atau mursyid untuk membimbing murid dalam menapak jalan spiritual. 12
4. Tesis Robi’ah (UIN Sultan Syarif Kasim Riau, Fakultas Tarbiyah, 2014)
berjudul Guru Dan Murid Dalam Perspektif Imam Al-Ghazali Dan
Implementasinya Dalam Pendidikan Nasional (Studi Atas Kitab Ihya’
Ulum Ad-Din), menghasilkan hasil penelitian yang menyebutkan bahwa
menurut Imam Al-Ghazali, guru harus memiliki akhlak-akhlak: (1)
Memiliki rasa kasih sayang kepada murid sebagaimana kepada anaknya
sendiri, (2) Mengikuti Rasulullah SAW, (3) Tidak meninggalkan nasihat,
(4) Mencegah murid dari akhlak tercela, (5) Tidak mewajibkan pada
murid agar mengikuti guru tertentu, (6) Memperlakukan murid sesuai
dengan kesanggupannya, (7) Kerjasama dengan murid, (8) Mengamalkan
ilmunya. Sementara murid harus memiliki akhlak-akhlak : (1)
Membersihkan jiwanya, (2) Tidak banyak melibatkan diri dalam urusan
duniawi, (3) Jangan sombong, (4) Menghindari perbedaan pendapat para
ulama, (5) Memilih ilmu yang terpuji, (6) Fokus pada suatu bidang ilmu
12
Nailul Umam Wibowo, Pendidikan Tasawuf : Studi Komparatif Pemikiran Al-Ghazali
dan Nasr, (Surakarta : Universitas Muhammadiyah Surakarta, Fakultas Agama Islam, 2003), hlm.
v
13
pengetahuan, (7) Menyempurnakan bidang ilmu tertentu, (8) Mengetahui
sebab-sebab yang dapat menimbulkan kemuliaan ilmu, (9) Menghiasi
batin dengan sifat-sifat terpuji, (10) Mengetahui hubungan macam-macam
ilmu dan tujuannya. Dalam konteks Pendidikan Nasional, khususnya pada
UU RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 10 ayat 1,
pemikiran Al-Ghazali terimplementasikan pada kompetensi yang harus
dimiliki oleh seorang guru, yaitu meliputi kompetensi pedagogi,
kompetensi professional, kompetensi kepribadian, dan kompetensi
sosial13
5. Tesis Zainal Muttaqin (UIN Malang, Fakultas Tarbiyah, 2012) berjudul
Implementasi Kurikulum Pendidikan Al-Ghazali di Pondok Pesantren
(Studi Kasus di Pondok Pesantren Ngalah, Purwosari, Pasuruan),
menghasilkan hasil penelitian yang menyebutkan bahwa pemikiran
kurikulum pendidikan Al-Ghazali menjadi dasar kurikulum dan masuk
dalam ranah komponen kurikulum pendidikan di Pondok Pesantren
Ngalah. Dasar Kurukulum pendidikan (filosofis, sosiologis, dan
psikologis) terangkum dalam syariat Islam dengan mengaplikasikan
tradisi Ahlussunnah Wal Jamaah sebagaimana Al-Ghazali. Komponen
kurikulum (tujuan, isi/materi, metode, dan evaluasi) yang diberlakukan
13
Robi’ah, Guru Dan Murid Dalam Perspektif Imam Al-Ghazali Dan Implementasinya
Dalam Pendidikan Nasional (Studi Atas Kitab Ihya Ulum Ad-Din),(Riau : UIN Sultan Syarif
Kasim, Fakultas Tarbiyah, 2014), hlm. v
14
sejalan dengan pemikiran Al-Ghazali yang terdapat di dalam karyanya
seperti Ihya Ulumuddin.14
Penelitian ini berbeda dengan lima penelitian di atas. Dari kajian
di atas, Disertai Amin Abdullah lebih mempersoalkan apakah etika
meliputi nilai, kemauan, dan tindakan hanya berasal dari Allah ataukah
ada campur tangan manusia, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa secara
hakikat, etika baik nilai, kemauan, maupun tindakan adalah berasal dari
Allah. Sedangkan Kant di dalam Disertai Amin Abdullah, berpendapat
bahwa akal manusia juga berperan di dalam menentukan rumusan etika
dan pemikiran-pemikiran lainnya. Disertai Amin Abdullah membahas
tentang peranan akal dalam persoalan etika.
Tesis Andre dan Nailul mengemukakan tentang pendidikan
akhlak yang diambil dari pendidikan tasawuf. Kedua tesis tersebut telah
membahas pendidikan tasawuf, namun pendidikan tasawuf yang
dikemukakan mencakup tasawuf secara umum. Sementara masalah
akhlak tidak dibahas secara komprehensif.
Tesis Robi’ah lebih menekankan pada akhlak-akhlak antara guru
dan murid dan bagaimana implementasinya di dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Sedangkan tesis Zainal Muttaqin lebih
menekankan pada penerapan pemikiran Al-Ghazali pada kurikulum di
Pondok Pesantren
14
Zainal Muttaqin, Implementasi Kurikulum Pendidikan Al-Ghazali di Pondok
Pesantren (Studi Kasus di Pondok Pesantren Ngalah, Purwosari, Pasuruan), (Malang : UIN
Malang, Fakultas Tarbiyah, 2012), hlm. v
15
Sedangkan tesis yang penulis susun lebih pada pendidikan akhlak
menurut Imam Al-Ghazali yang meliputi bagaimana tujuan pendidikan
akhlak dalam perspektif Imam Al-Ghazali, bagaimana metodenya, apa saja
materinya, dan bagaimana relevansinya dengan pendidikan akhlak di era
modern.
F. Kajian Teori
Untuk melengkapi penelitian ini, penulis paparkan beberapa teori
tentang pendidikan akhlak dari para ulama baik ulama salaf (terdahulu)
maupun ulama khalaf (kemudian).
1.
Teori Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih
Menurut Ibnu Miskawaih, akhlak adalah
keadaan jiwa yang
mendorongnya untuk melakukan aktivitas secara spontan. Keadaan jiwa
dapat berupa naluri atau fitrah sejak lahir, dapat pula latihan dan
pembiasaan. Karakter manusia dapat di bentuk dan dipengaruhi oleh
kondisi lingkungan tempat ia hidup dan pendidikan yang diterimanya.
Beberapa hal pokok dalam teori pendidikan akhlak, khususnya
metode pendidikan akhlak Ibnu Miskawaih, adalah sebagai berikut :
a. Metode Alami (Thabi’i)
Manusia
sesuai
dengan
mempunyai
proses
metode
alam.
alami
Cara
ini
yang
dilakukan
berangkat
dari
pengamatan potensi manusia, di mana potensi yang muncul
lebih
dahulu,
kebutuhan.
selanjutnya
Menurut
pertama terbentuk
Ibnu
pendidikan
diupayakan
Miskawaih
potensi
sesuai
yang
bersifat umum yang juga ada pada hewan dan
16
tumbuhan
kemudian baru potensi yang khusus manusia. Oleh
karena itu, pendidikan harus dimulai dengan memperhatikan
kebiasaan makan dan minum, karena dengannya akan terdidik jiwa
syahwiyyah, kemudian baru yang berhubungan dengan jiwa
ghadhabiyah yang berfungi memunculkan cinta kasih dan baru
muncul
jiwa nathiqoh yang berfungi memenuhi kecenderungan
pengetahuan.
b. Metode Bimbingan
Metode ini banyak ditemukan dalam Al-Qur’an, yang
menunjukkan betapa pentingnya nasihat dalam interaksi pendidikan.
c. Metode Ancaman, Hardikan dan Hukuman
Jika peserta didik tidak melaksanaka nilai yang telah
diajarkan
maka mereka diberi berbagai cara secara bertahap
sehingga kembali kepada tatanan nilai yang ada, seperti ancaman
lalu hukuman.
d. Metode Pujian
Jika peserta didik melaksanakan syari’at dan berperilaku
baik maka ia perlu dipuji dihadapannya.15
2.
Teori Pendidikan Akhlak Al-Khatib Al-Baghdadi
Al-Khatib Al-Baghdadi, seperti menjadi kelaziman pemikir
muslim, menganggap
akhlak sebagai sesuatu yang sangat penting.
Bahkan akhlak dijadikannya sebagai inti dan sekaligus identitas
15
280
Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam (Bandung : CV Pustaka Setia, 11), hlm. 279 -
17
kehidupan. Dalam kitab-kitabnya, ia banyak menuliskan keutamaan
akhlak dan menyebutkan akhlak-akhlak terpuji.
Islam tidak hanya mengajarkan perlunya akhlak bagi
kehidupan manusia. Lebih dari itu, akhlak dikaitkannya dengan
keyakinan (‘aqidah). Dengan demikian, akhlak memiliki kekuatan dan
sekaligus menjadi langgeng karena akan berpulang pada asal yang
kekal, yaitu Allah. Oleh karena itu, akhlak memiliki tempat yang
khusus dalam Islam. Dikatakan dalam sebuah hadits bahwa muslim
yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya.
Pandangan semacam itu menjadi keyakinan Al-Khatib Al-Baghdadi
bahwa betapa pentingnya kedudukan akhlak dalam kehidupan muslim
umumnya, dan para pencari ilmu khususnya.
Berdasarkan keyakinan seperti itulah, ia menyebutkan banyak sekali
akhlak yang dianjurkannya dimiliki oleh pencari hadits khususnya dan pencari
ilmu umumnya. Di antara akhlak yang dikatakannya sebagai akhlak terpuji
ialah jujur, takwa, ikhlas, lemah lembut, amanah, teliti, cinta ilmu, objektif,
tegas dalam mencari kebenaran. Dalam menyebutkan akhlak-akhlak itu, AlKhatib Al-Baghdadi senantiasa menyebutkan hadis atau ungkapan ulama.
akhlak
Jika dilihat dari pandangannya terhadap akhlak dan
jenis
yang
yang
dianjurkannya, tujuan pendidikan akhlak
diinginkannya dapat diidentifikasikan sebagai berikut :
a.
Menciptakan hubungan yang harmonis, baik dengan Al-Khaliq
maupun sesamanya.
b.
Menumbuhkan rasa ikhlas beramal, guna mendapat kebahagiaan
dunia dan akhirat.
c.
Mengarahkan agar berakhlak yang sesuai dengan ajaran Islam
18
d.
Menanamkan akhlak utama dan perilaku yang mulia
e.
Menanamkan rasa tanggung jawab untuk melaksanakan amar
ma’ruf nahi munkar
f.
Menanamkan semangat belajar dan bekerja
g.
Memperkuat motivasi dan memperhalus tabiatnya.
Teknik yang digunakan Al-Khatib
AL-Baghdadi untuk
mencapai tujuan di atas adalah : uswah hasanah, ‘ibadah, amar ma’ruf
nahi munkar, al-mumarasah wa at-tatbiq (pembiasaan) al-wa’adz wa
at-tadzkir, dharb alal-amtsal (perumpamaan)16
3.
Teori Pendidikan Akhlak Ibnu Taimiyah
Pendidikan sebagai suatu yang alami bagi manusia dan AlQur’an sebagai dasar rujukan serta kajian dalam pendidikan dan
pengajaran. Keduanya merupakan fondasi bagi semua keahlian yang
diperoleh kemudian. Apsek-aspek pendidikan menurut Ibnu Taimiyah
adalah : Pertama, dilihat dari ruang lingkup belajar, tujuan pendidikan
yang harus
dirumuskan dalam tiga matra capaian, yaitu kognitif
(penguasaan ilmu), afektif (penguasaan
akhlak), dan
matra
psikomotorik (penguasaan keterampilan). Kedua, dilihat dari segi pola
mengajar. Tiga tahap atau matra tujuan itu harus dirumuskan untuk
setiap tahap yang berlangsung, dan masing-masing tahap diharapkan
dapat mencapai sasaran tertentu.17
236 - 238
297 - 298
16
Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2011), hlm.
17
Mahmud,Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2011), hlm.
19
4.
Teori Pendidikan Akhlak Ibnu Qoyim Al-Jauziyab
Ibnu Qoyim Al-Jauziyah berkeyakinan bahwa Allah telah
membagi hukum-hukumnya secara variatif kepada manusia, semenjak
dilahirkan ke alam dunia hingga ia menetap di alam yang kekal
selamanya. Sebelum itu, semua manusia berada (dalam
perut ibu
kejadian demi kejadian) dalam tiga kegelapan dan hukum-hukum Allah
yang bersifat takdir pun berlaku atas dirinya. Setelah lepas dari rahim
sang ibu, hukum-hukum Allah yang bersifat perintah pun mulai terkait
padanya. Ketika itu, yang menjadi mukhattab (pihak yang mendapat
seruan perintah) yakni perintah untuk mendidik
akhlak dan
memeliharanya adalah kedua orang tuanya atau orang yang berposisi
sebagai orang tuanya.
Allah SWT memiliki hukum-hukum yang bersifat perintah
yang harus
dilaksanakan oleh orang yang mengurus hamba-Nya,
selama hamba itu berada dalam tanggungannya. Orang itulah yang
terkena perintah Allah, hingga apabila hamba itu mencapai usia baligh
(dewasa), maka hukum-hukum Allah tersebut langsung terkait padanya
dan pencatatan seluruh amal diberlakukan atasnya. Pada saat itulah,
anak yang telah baligh ini pun mulai dihukumi dengan hukum-hukum
sebagai orang muslim atau sebagai orang kafir. Pada akhirnya, ia mulai
mempersiapkan diri untuk menempati tempat orang-orang yang
berbahagia atau orang-orang yang celaka. Selanjutnya hamba itu
menghabiskan waktu malam dan siangnya menuju tempat yang telah
ditetapkan baginya. Ia pun
kehidupannya dengan
diperjalankan menuju tahapan-tahapan
mengerjakan
beberapa
sebab dan amal
perbuatan. 18
18
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Hanya Untukmu Anakku, terj. Harianto, (Jakarta :
Pustaka Imam Syafi’i, 2012) hlm. 29-30
20
5.
Teori Pendidikan Akhlak Muhammad An-Naquib Al-Attas
Menurut
pendapat Al-Attas, paham Islam perlu dan harus
memberi arah pada kehidupan sehari-hari yang merangkumi bidang
ilmu, kebudayaan, pendidikan, dan sains untuk mengelakkan umat
Islam dari pemikiran Barat dan orientalis yang menyesatkan.
Sebagai sarjana Islam pertama yang mengemukakan gagasan
islamisasi, khususnya dalam bidang ilmu (kemudian baru Isma’il Raji
Al-Faruqi), Al-Attas berpendapat perlunya kesadaran akan pentingnya
ilmu dan pendidikan dalam dunia Islam.
Gagasan
islamisasi ilmu pengetahuan
yang merupakan
gagasan besar itu pada dasarnya merupakan suatu respons intelektual
muslim terhadap efek negatif ilmu modern yang semakin tampak dan
dialami masyarakat dunia. Dengan islamisasi ilmu pengetahuan yang
selama ini menjadi obsesi dan cita-cita intelektual Al-Attas, jauh-jauh
sebelumya, ia telah melihat adanya krisis dalam ilmu modern, yakni
konsepsi tentang realitas atau pandangan dunia yang melekat pada
setiap bidang ilmu, kemudian merembet pada persoalan-persoalan
epistemologi, seperti sumber-sumber pengetahuan, masalah kebenaran
bahasa, krisis akhlak, dan lain-lain. Krisis ini pada akhirnya
berpengaruh terhadap nilai ilmu yang dihasilkan masyarakat modern
itu.
Terkait dengan pemikiran filosofis itu, Al-Attas kemudian
memberikan perhatian besar pada persoalan-persoalan pendidikan Islam
dan pendidikan
akhlak. Al-Attas berusaha merekonseptualisasikan
pendidikan Islam secara filosofis agar pendidikan tidak hanya sebatas
teori atau ilmu tetapi juga dibarengi dengan akhlak
atau
21
pengamalannya.
Berikut
ini
merupakan
pemikiran-pemikiran
kependidikannya pada tiga konsep, yaitu : (1) konsepsi tarbiyah, ta’lim,
dan ta’dib, (2) konsepsi definisi pendidikan Islam, (3) konsepsi ilmu,
manusia, dan tujuan akhir pendidikan Islam. 19
6.
Teori Pendidikan Akhlak Hasan Langgulung
Langgulung
berpendapat
bahwa pendidikan
yang
baik
memberi sumbangan pada semua bidang pertumbuhan individu, baik
akalnya, akhlaknya, bakat, minat, keterampilannya. Tujuan pendidikan
menurutnya di antaranya adalah : pembinaan akhlak, menyiapkan anak
didik untuk
hidup di dunia dan
akhirat, penguasaan ilmu, dan
keterampilan bekerja dalam masyarakat. Materi pendidikan juga
meliputi tiga jenis materi yaitu ilmu pengetahuan (kognitif), akhlak
(afektif), keterampilan (psikomotorik). Dalam hal metode, Langgulung
tidak secara langsung merinci metode umum yang sudah baku dalam
pendidikan. Mengenai evaluasi, karena tujuan pendidikan
adalah
berakhlak dan beribadah kepada Allah maka kriteria penilaian juga
harus bertumpu pada Kitab Allah dan Sunnah RasulNya. Lulus bukan
saja lulus dalam akademisnya saja, namun juga baik akhlaknya.
Penilaian menurutnya tidak semestinya bersifat materialistik, artinya
ganjaran materi jangan terlalu diutamakan, kalaupun digunakan harus
ditunjukkan bahwa ia hanya sebagai alat bukan tujuan. 20
208-209
273-274
19
Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2011), hlm.
20
Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2011), hlm.
22
7.
Teori Pendidikan Akhlak Abdullah Nashih ‘Ulwan
Abdullah Nashih ‘Ulwan berkeyakinan bahwa Islam memiliki
manhaj yang sempurna dalam mempersiapkan anak dalam keimanan
dan akhlaknya, juga pembentukan mental dan intelektual anak, agar
pada masa depan menjadi manusia yang utuh yang memiliki akidah,
akhlak dan siap mengemban risalah. Ketika
pendidik berusaha
bersungguh-sungguh menerapkan manhaj yang telah Allah turunkan
dan melaksanakan sistem yang berdasarkan syari’at Islam, maka anak
akan tumbuh dalam keimanan, ketakwaan, dan akhlak yang mulia.
Sehingga anak tampil di tengah-tengah masyarakat sebagai manusia
yang matang akalnya, sempurna akhlaknya, seimbang perilakunya,
toleran dalam bermuamalah, dan baik tingkah lakunya. 21
G. Metode Penelitian
1. Desain Penelitian
a. Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan
kualitatif menekankan analisisnya pada data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Pendekatan
kualitatif digunakan untuk menganalisis pendidikan akhlak pada kitab-kitab
karangan Imam Al-Ghazali.
b. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini memakai studi kepustakaan, yaitu
menjadikan bahan pustaka sebagai sumber data utama, baik berupa
buku, catatan, maupun laporan hasil penelitian dan penelitian
21
Abdullah Nashih ‘Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam, terj. Arif Rahman Hakim,
(Solo : Insan Kamil 2012), hlm. 897
23
terdahulu.22 Oleh karena itu guna mendapatkan data-data yang
dibutuhkan, peneliti menelaah buku-buku kepustakaan yang relevan
dengan judul penelitian ini.
2. Sumber Data Penelitian
Untuk mendapatkan data-data yang valid maka penulis
menggunakan dua sumber data, yaitu :
a. Sumber Data Primer
Yang dimaksud sumber data primer adalah data yang
diperoleh secara langsung dari obyek yang diteliti. Dalam hal ini yang
dijadikan sebagai sumber utama oleh penulis dalam penelitian adalah :
1) Imam Al-Ghazali, Ayyuhal Walad, (Semarang : Al-Barokah,
1430 H)
2) Imam Al-Ghazali, Bidayatul Hidayah, (Kudus : Menara, 1384 H)
3) Imam Al-Ghazali, Minhajul Abidin, (Surabaya
:
Al-Ikhsan,
1403 H)
4) Imam Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Jilid III, (Beirut : Dar Al-Fikr, t.t)
5) Imam Al-Ghazali, Mukasyafatul Qulub, (Indonesia : AlHaromain, 1424 H)
22
M. Iqbal Hasan, Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian, (Jakarta : Ghalia
Indonesia, 2002), hlm. 11
24
b. Sumber Data Sekunder
Yaitu sumber data pendukung untuk menunjang sumber data
primer. Sumber data sekunder diperoleh dari buku-buku dan karyakarya ilmiah yang dijadikan sebagai buku-buku pendukung atau
sumber-sumber lain yang relevan dengan pembahasan penelitian ini.
1) Imam Al-Ghazali, Ayyuhal Walad, terjemahan Ma’ruf Asrori,
Kiat Mendidik Anak Sholeh, (Surabaya : Dunia Ilmu, 1997)
2) Imam Al-Ghazali, Bidayatul Hidayah, terjemahan Mudjab M,
Bimbingan Mencapai Hidayah, (Surabaya : Pustaka Progressif,
1993)
3) Imam Al-Ghazali, Minhajul ‘Abidin, terjemahan Abul Hiyadh,
Terjemahan Minhajul ‘Abidin, (Surabaya : Mutiara Ilmu, 2012)
4) Imam Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, terjemahan Moh. Zuhri,
Terjemahan Ihya’ Ulumuddin, (Semarang : Asy-Syifa, 2003)
5) Irwan Kurniawan, Mutiara Ihya’ Ulumuddin, (Bandung : Mizan,
2000)
6) Asrifin, Ajaran-ajaran Sufi Imam Al-Ghazali, (Delta Prima Press,
2013)
7) Prof. Fathiyyah Hasan Sulaiman, Alam Pikiran Al-Ghazali
Mengenai Pendidikan dan Ilmu, terjemahan Herry Noer Ali,
Bandung : CV Diponegoro, 1986)
Dan sumber-sumber lain yang relevan dengan judul penelitian.
25
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk
mendapatkan
data-data,peneliti
menggunakan
cara
dokumentasi. Di mana dalam melaksanakan metode dokumentasi, peneliti
menyelidiki data yang tersedia, laporan, dan sebagainya, yang
dikumpulkan dengan cara studi pustaka yakni dengan cara membaca,
mengidentifikasi, menganalisa, dan membandingkan dari data-data yang
dipandang relevan sesuai dengan penelitian yang dibuat. Setelah data itu
terkumpul, kemudian diklasifikasikan sesuai dengan sifat masing-masing
dalam bentuk bab-bab untuk selanjutnya dianalisis guna mempermudah
dalam proses analisa23
4. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini, teknik yang digunakan untuk menganalisa
data adalah sebagai berikut :
a. Analisi Isi (Content Analysis)
Metode content analysis atau dinamakan juga kajian isi,
Weber, dalam bukunya Lexy J. Moleong, menurut pendapat Weber,
kajian
isi
adalah
metodologi
penelitian
yang
memanfaatkan
seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang sahih dari
sebuah buku atau dokumen, dan menurut Hostli menyatakan bahwa
kajian isi adalah teknik apa pun yang digunakan untuk menarik
kesimpulan melalui usaha menemukan karakteristik pesan, dan
23
Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan
Ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta : Kencana, 2008), hlm. 122
26
dilakukan secara objektif dan sistematis. Metode ini menampilkan tiga
syarat, yaitu : objektifitas, pendekatan sistematis, dan generalisasi. 24
Analisa ini dikembangkan sebagai upaya penggalian lebih lanjut
mengenai pendidikan akhlak menurut Imam Al-Ghazali
b. Interpretasi
Untuk memperoleh sebuh penelitian kualitatif yang baik,
maka harus ada interpretasi data yang ada. Interpretasi data adalah
sebuah upaya untuk memperoleh arti dan makna yang lebih mendalam
dan luas terhadap hasil penelitian yang sedang dilakukan. Pembahasan
hasil penelitian dilakukan dengan cara meninjau hasil penelitian secara
kritis dengan teori yang relevan dan informasi akurat yang diperoleh
dari lapangan.25 Dalam hal ini interpretasi digunakan untuk mendalami
pemahaman sebuah topik dari apa yang telah ditentukan peneliti. 26
Dengan demikian, analisa ini berguna bagi peneliti dalam mencari
relevansi dan aktualisasi pendidikan akhlak menurut Imam Al-Ghazali
H. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian ini, untuk memudahkan mendeskripsikan dan
mengetahui pokok-pokok penjelasan tesis, maka penulis
menyusun
sistematika sebagai berikut :
24
Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya,
2008), Cet ke 25, hlm 220
25
Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif… hlm. 151
26
Septiawan Santana K, Menulis Ilmiah : Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia, 2007), hlm. 80
27
BabI Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka,kajian teori,
metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II Landasan Teori tentang tentang pendidikan akhlak yang
terdiri dari pengertian pendidikan akhlak, istilah-istilah yang berkaitan
dengan akhlak, hubungan antara etika, moral, susila, dan akhlak, dasar-dasar
pendidikan akhlak, tujuan pendidikan akhlak, metode pendidikan akhlak,
materi pendidikan akhlak, evaluasi pendidikan akhlak, nilai-nilai dalam
pendidikan akhlak, dan pendidikan akhlak dalam perspektif pendidikan Islam
Bab III Pemikiran Imam Al-Ghazali tentang pendidikan akhlak
terdiri dari sub bab biografi Imam Al-Ghazali meliputi riwayat hidup, setting
sosial, karya-karya Imam Al-Ghazali dan sub bab pemikiran Imam AlGhazali tentang pendidikan akhlak meliputi pengertian, dasar, dan tujuan
pendidikan akhlak menurut Imam Al-Ghazali, metode pendidikan akhlak
menurut Imam Al-Ghazali, materi pendidikan akhlak menurut Imam AlGhazali.
Bab IV Analisis pemikiran Imam Al-Ghazali tentang pendidikan
akhlak terdiri dari sub bab pertama analisis pendidikan akhlak menurut
Imam Al-Ghazali meliputi analisis tujuan, metode, materi pendidikan akhlak
menurut Imam Al-Ghazali. Sub bab kedua analisis relevansi pemikiran Imam
Al-Ghazali tentang pendidikan akhlak dengan pendidikan akhlak diera
modern.
Bab V Penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
Download