Industri perbankan merupakan salah satu sektor industri yang sangat penting di suatu Negara. Industri perbankan merupakan tulang punggung perekonomian dan memiliki peran sebagai perantara di bidang keuangan dan memfasilitasi implementasi dari semua kebijakan keuangan suatu Negara (Dumbili, 2013). Dalam menjalankan aktivitasnya, industri perbankan mengedepankan efisiensi dan efektifitas untuk memaksimalkan kinerja organisasi secara keseluruhan. Salah satu upaya yang dilakukan industri ini adalah dengan menggunakan sistem karyawan kontrak yang dipekerjakan di bagian pendukung kegiatan perbankan. Penggunakan karyawan kontrak di industri perbankan di Indonesia berkembang pesat. Masing-masing organisasi memiliki peraturan masing-masing dalam hal penggunaan karyawan kontrak yang tetap mengacu pada peraturan yang berlaku di Indonesia. Organisasi menggunakan tenaga kerja kontrak sebagai salah satu strategi untuk menekan biaya organisasi. Penggunaan tenaga kerja kontrak dapat dilaksanakan dengan dua cara yaitu organisasi langsung melakukan kontrak dengan tenaga kerja yang bersangkutan (secara langsung). Kedua adalah organisasi menggunakan tenaga kerja kontrak yang berasal dari penyalur tenaga kerja kontrak (Maryono, 2009). Sistem yang dianut industri perbankan dalam penelitian ini menerapkan penggunaan karyawan kontrak yang memiliki kontrak masa kerja selama dua tahun. Saat memasuki masa kontrak yang telah hampir selesai, perusahaan menawarkan perpanjangan kontrak bagi karyawan selama 1 tahun. Umumnya setelah masa perpanjangan kontrak kerja habis, karyawan akan dirumahkan untuk sementara dan kemudian akan dipekerjakan kembali dengan ketentuan kontrak kerja yang baru. Kontrak kerja baru bagi karyawan tersebut berarti bahwa karyawan tersebut mengawali karirnya dari awal dan memperoleh fasilitas-fasilitas kerja seperti karyawan yang baru pertama kali bekerja di organisasi tersebut. Karyawan kontrak memiliki kesempatan untuk dapat meningkatkan status kepegawaian mereka melalui beberapa tes yang dilakukan organisasi. Namun tidak semua karyawan tersebut berhasil melewati proses tersebut dan merubah status kepegawaian mereka menjadi karyawan tetap. Ketidakstabilan mengenai status kepegawaian bagi karyawan kontrak meliputi kekhawatiran apakah mereka memiliki kesempatan untuk dapat meningkatkan status kepegawaian mereka menjadi karyawan tetap di masa yang akan datang. Karyawan kontrak sangat mungkin merasa gelisah serta merasa tidak memiliki kekuatan untuk mempengaruhi kondisi kerja serta kelanjutan hubungan kerjanya di organisasi. Kekhawatiran tersebut dapat mempengaruhi tingkat job insecurity yang dialami karyawan kontrak. Salah satu karyawan kontrak menjelaskan bahwa mereka memiliki harapan besar untuk dapat menjadi karyawan tetap di perusahaan. Status mereka sebagai karyawan kontrak terkadang membuat mereka berpikir untuk mencari alternatif pekerjaan lain sehingga dapat mengganggu fokus dalam menyelesaikan pekerjaan sehari-hari. Hal tersebut juga dijelaskan oleh salah satu karyawan berstatus tetap yang merasa beberapa karyawan kontrak cenderung kurang serius dalam bekerja bahkan dengan mudah absen dari pekerjaan. Hal ini kemungkinan disebabkan fokus karyawan terpecah antara melakukan pekerjaan di perusahaan atau mencari alternatif pekerjaan lain dengan mengikuti tes kerja di perusahaan lain. Salah satu karyawan kontrak menjelaskan jika mereka menjadi karyawan tetap mereka dapat lebih fokus dan berkonsentrasi dalam pekerjaan. Sebagai karyawan kontrak memiliki kekhawatiran bahwa sewaktu-waktu perusahaan tidak membutuhkan tenaga mereka dan mereka akan kehilangan pekerjaan. Greenhalgh dan Rosenbalt (2010) mengungkapkan job insecurity adalah perasaan tidak berdaya dalam memelihara kontinuitas yang diinginkan pada saat menghadapi situasi kerja yang mengancam. Job insecurity dapat dialami seseorang pada tingkat individu maupun di tingkat eksternal seperti ketidakpastian terhadap masa depan pekerjaannya (Naswall, Sverke, & Hellgren, 2005). Karyawan yang merasakan ketidakamanan pada pekerjaannya dapat digambarkan sebagai kombinasi antara perasaan adanya ancaman terkait pekerjaannya dan perasaan tidak berdaya untuk melakukan sesuatu untuk menghadapi ancaman tersebut (Storseth, 2006). Job insecurity berhubungan dengan persepsi seseorang terhadap ancaman, kesempatan, dan kontrol individu yang berkaitan dengan tanggung jawab pekerjaan. Ketika ancaman dirasakan lebih besar dari pada kesempatan, atau ketika seseorang merasa tidak mampu mengendalikan dan merubah karakteristik pekerjaannya, maka karyawan akan mengalami apa yang dinamakan job insecurity (Yashoglu, Karagulle, & Baran, 2013). Karyawan yang mengantisipasi kecemasan dan kekhawatiran akan kehilangan pekerjaan dengan memberikan respon psikologis dan berperilaku dengan menarik diri dari pekerjaannya. Hal ini disebabkan karena pekerjaan merupakan bagian yang substansial dalam kehidupan sehari-hari seseorang. Pekerjaan memberi substansi ekonomi bagi kehidupan modern. Anitisipasi akan kehilangan sesuatu yang dianggap penting menimbulkan reaksi yang kuat baik secara psikologis maupun perilaku. Reaksi tersebut umumnya bersifat kontraproduktif dalam mencapai tujuan pekerjaan (Greenhalgh & Rosenblatt, 2010). Oleh karena itu job insecurity yang dialami oleh karyawan memiliki dampak baik bagi karyawan maupun organisasi. Karyawan yang mengalami job insecurity mempersepsikan lingkungan pekerjaannya yang sebagai sesuatu yang tidak pasti dan merasa tidak memiliki kekuatan untuk mempertahankan pekerjaan. Pada kasus yang dihadapi karyawan kontrak ketidakpastian di lingkup pekerjaan meliputi kapan dan apakah karyawan kontrak dapat memiliki kesempatan untuk meningkatkan status kepegawaian mereka di perusahaan. Penurunan imbalan maupun fasilitas yang didapat juga menjadi ancaman bagi karyawan kontrak yang mungkin dihadapi di masa depan. Berada pada situasi yang dirasa tidak memliki kepastian, kejelasan atau ambigu akan menyebabkan seseorang mengalami kondisi psikologis yaitu kecemasan (Turner & Barret, 2003). Lebih lanjut dijelaskan oleh Turner dan Barret bahwa individu akan mengalami kecemasan jika berada pada sesuatu yang tidak menentu dan mengancam. Karyawan mengantisipasi kecemasan dan kekhawatiran akan kehilangan pekerjaan dengan memberikan respon psikologis dan berperilaku dengan menarik diri dari pekerjaannya. Hal ini disebabkan karena pekerjaan merupakan bagian substansial dalam kehidupan sehari-hari seseorang. Pekerjaan memberi subtansi ekonomi bagi kehidupan modern. Antisipasi akan kehilangan sesuatu yang dianggap penting menimbulkan reaksi yang kuat baik secara psikologis maupun perilaku. Reaksi tersebut umumnya bersifat kontraproduktif dalam mencapai tujuan pekerjaan (Greenhalgh & Rosenblatt, 2010). Oleh karena itu job insecurity yang dialami oleh karyawan memiliki dampak baik bagi karyawan maupun organisasi. Penelitian sebelumnya banyak memfokuskan pada dampak job insecurity bagi organisasi seperti kepuasan kerja (Chirumbolo, 2005; Reisel, Chia, III, & Jhon, 2007); Yashoglu, dkk. 2013), komitmen organisasi (Chirumbolo & Hellgren, 2003; Sora, Caballer, & Peiro, 2010), turnover (Chirumbolo & Hellgreen, 2003; Laine, Van Der Heijden, Wickstrom, Hasselhorn, & Tackenberg, 2009; Sora, dkk. 2010) dan organizational citizenship behavior (Konig, Debus, Hausler, Lendemann, & Kleinmann, 2010). Chirumbolo (2005) pada penelitiannya terhadap 425 karyawan dari sektor swasta dan pemerintahan menemukan job insecurity memiliki dampak jangka pendek terhadap kepuasan kerja dan komitmen organisasi serta dampak jangka panjang pada kinerja dan absensi. Kepuasan kerja dan komitmen organisasi menjadi moderator bagi job insecurity sehingga berdampak negatif bagi kinerja. Job insecurity menurunkan kinerja karyawan jika mereka memiliki kepuasan kerja dan komitmen organisasi yang rendah. Oleh karena itu job insecurity yang dialami karyawan akan berdampak pada kinerja baik individu maupun organisasi yang pada akhirnya akan menurunkan keuntungan kompetitif organisasi tersebut. Yusoff, Che Mat, dan Zainol (2014) melakukan penelitian terkait job insecurity terhadap 141 karyawan bank di Malaysia. Penelitian ini menemukan bahwa job insecurity memiliki hubungan positif terhadap ketakuan kehilangan pekerjaan dan intensi mencari pekerjaan baru. Penelitian ini juga menemukan bahwa karyawan yang memiliki locus of control internal memiliki hubungan negative terhadap job insecurity dan ketakutan kehilangan pekerjaan. Witte (2005) menggambarkan job insecurity sebagai persepsi yang subjektif. Konsep tersebut diperoleh dari rangkuman beberapa penelitian mengenai penyebab munculnya job insecurity pada karyawan. Penyebab munculnya job insecurity sendiri dibagi menjadi tiga yaitu organisasi seperti kondisi organisasi atau wilayah tempat organisasi berada, seperti perubahan yang mungkin terjadi dalam struktur organisasi tersebut atau seberapa banyak jumlah pengangguran di wilayah tersebut. Kedua adalah karakteristik individu, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan posisi karyawan di organisasi seperti usia, masa kerja, tingkat jabatan. Penyebab terakhir yaitu hal yang bersifat personal yaitu kepribadian individu. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa job insecurity adalah situasi dimana karyawan menghadapi ancaman yang membuatnya khawatir mengenai keberlangsungan pekerjaan dan segala aspek dalam pekerjaan tersebut di masa yang akan datang. Hal tersebut mencakup kekhawatiran karyawan akan kehilangan pekerjaannya saat ini dan kekhawatiran karyawan tidak memperoleh aspek pekerjaan seperti yang dia harapkan. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa job insecurity karyawan disebabkan karena 2 faktor utama yaitu faktor organisasi, yaitu segala hal yang berhubungan dengan organisasi seperti kondisi lingkungan eksternal dan internal organisasi. Kedua adalah faktor individu yaitu karakteristik individu seperti gender, usia, masa kerja, jabatan, kepribadian dan kondisi psikologis karyawan. Sebagai perasaan subjektif yang dirasakan karyawan menjadikan karakteristik individu merupakan hal yang penting untuk dipertimbangan pengaruhnya terhadap munculnya job insecurity pada karyawan. Naswall dkk (2005) menjelaskan mengapa karakteristik individu menjadi hal yang penting terhadap job insecurity. Karakter yang dimiliki seseorang mempengaruhi bagaimana dirinya mengevaluasi situasi dan menilai kebermaknaan hidup yang mereka miliki. Individu yang mempersepsikan diri mereka dan orang lain secara negatif cenderung memberikan respon yang negatif pula terhadap lingkungan mereka dibandingkan dengan individu yang memiliki nilai positif terhadap dirinya dan orang lain. Hal ini menjelaskan bagaimana pengaruh karakteristik personal seseorang mempengaruhi bagaimana cara yang ditempuh untuk menghadapi situasi yang mengancam atau permasalahan dalam hidupnya. Beberapa karakteristik personal yang dikaitkan dengan job insecurity pada penelitian sebelummnya antara lain self efficacy (Konig, dkk, 2010), afeksi positif dan negatif (Naswall, dkk 2006), serta locus of control (Bosman & Buitendach, 2005; Konig, dkk, 2006; Naswall, dkk 2006; Yusoof, dkk, 2014). Salah satu faktor individu yang ingin diteliti lebih lanjut pengaruhnya terhadap job insecurity adalah locus of control yang selanjutnya disingkat LOC. LOC adalah persepsi individu mengenai penyebab utama kejadian dalam hidupnya (Konig dkk, 2010). Locus of control juga didefinisikan sebagai persepsi seseorang tentang sumber nasibnya (Robbins & Judge 2008). Ng, Sorensen, dan Eby (2006) mengungkapkan bahwa seseorang cenderung mencari kontrol yang lebih besar dalam hidup mereka, dan persepsi mengenai kontrol dalam hidup seseorang menguntungkannya secara psikologis. Locus of control berhubungan dengan berbagai variabel terkait kepribadian, motivasi, sikap, dan perilaku terkait konteks pekerjaan seperti stres dan kepuasan kerja (Muhonen & Torkelson, 2004), dan komitmen untuk berubah (Chen & Wang, 2007). Beberapa penelitian juga menemukan locus of control sebagai variabel moderator antara job insecurity dan kesehatan mental (Naswall, dkk. 2005). Seseorang yang memiliki harapan dan mampu mengontrol reinforcement secara internal mempercayai perilaku mereka menentukan reinforcement yang akan mereka terima. Orang dengan karakteristik seperti ini disebut memiliki internal LOC. Mereka memiliki keyakinan dan bertindak seolah-olah mereka yang memegang kendali atas masa depan mereka dan melihat diri mereka sebagai agen paling efektif yang menentukan segala sesuatu dalam hidup mereka. Sebaliknya orang yang percaya pada kontrol reinforcement eksternal seperti kesempatan, keberuntungan, takdir, kekuatan pihak lain mempengaruhi apa yang terjadi pada diri mereka. Orang dengan karakteristik seperti ini disebut memiliki LOC eksternal. Orang dengan LOC eksternal percaya bahwa kekuatan seperti takdir, keberuntungan, kesempatan, kekuatan pihak lain, dukungan sosial merupakan faktor penting penentu peristiwa dalam hidupnya. Mereka percaya bahwa reinforcement tidak bergantung pada bagaimana sikap atau perilaku mereka (Rotter dalam Igbeneghu & Popoola, 2011). Kreitner dan Kinich (2001) mengatakan bahwa hasil yang dicapai locus of control internal dianggap berasal dari aktivitas dirinya. Individu dengan locus of control eksternal menganggap bahwa keberhasilan yang dicapainya dikontrol dari keadaan sekitarnya. Locus of control merupakan dimensi kepribadan yang berupa kontinum dari internal menuju eksternal, oleh karena itu tidak satupun individu yang benar-benar internal atau yang benar-benar eksternal. Setiap individu memiliki kedua tipe LOC, hanya dibedakan pada kecenderungan keaarah tipe LOC tertentu. Oleh karena itu dalam penelitian ini difokuskan melihat kecenderungan locus of control eksternal seseorang yang berperan dalam job insecurity karyawan kontrak. Terkait penelitian di lingkup pekerjaan, maka locus of control dalam dunia kerja disebut dengan work locus of control yang kemudian disingkat WLOC. WLOC didefiniskan oleh Spector (dalam Tong & Wang, 2011) adalah domain spesifik tentang harapan terhadap penghargaan, hukuman, atau hasil kerja seperti promosi, situasi yang menguntungkan, kenaikan gaji yang dialami karyawan, dikendalikan oleh diri mereka sendiri (internal) atau dikendalikan oleh kekuatan di luar diri mereka (eksternal). Spector mengembangkan pengukuran WLOC yang disebut Work Locus of Control Scale (WLCS) pada tahun 1988. Pengukuran ini terdiri dar 16 aitem yang mengukur generalisasi control beliefs dalam setting kerja (Spector, 1988). WLOC digunakan untuk memprediksi stres, kinerja supervisor, keletelitian, dan perilaku alturistik (Tong & Wang, 2011). Pengukuran mengenai WLOC di desain untuk mengevaluasi karyawan dalam organisasi. Pengukuran tersebut fokus pada keyakinan karyawan tentang manusia secara general dibandingkan tentang diri mereka sendiri. Pengukuran mengenai WLOC mengungkap laporan karyawan mengenai diri mereka sendiri yang menjadi prediktor bagi sikap dan perilaku mereka dianggap lebih baik dibandingkan pengukuran yang mengungkap perilaku manusia di tempat kerja secara general (Tong & Wang, 2011). Perbedaan antara karyawan yang memiliki WLOC internal dan eksternal dalam konteks organisasi menjadi dasar penjelasan bagaimana pendekatan karyawan tersebut terkait pekerjaannya baik dalam sikap maupun perilakunya. Seseorang dengan WLOC internal mengenali tanggung jawab mereka dalam setiap kesuksesan dan kegagalan yang dialami. Mereka percaya bahwa diri mereka adalah penentu takdir mereka, percaya diri, dan memiliki dorongan untuk mengontrol lingkungan sekitar mereka. Oleh karena itu ketika menghadapi situasi pekerjaan buruk, individu dengan WLOC internal cenderung memiliki keyakinan untuk dapat merubah keadaan menjadi lebih baik. Sedangkan individu dengan WLOC eksternal merasa tidak memiliki kekuatan atas apa yang terjadi pada mereka dan merasa mereka tidak memiliki kendali apapun terhadap nasib mereka. Mereka yang memiliki WLOC eksternal percaya bahwa mereka tidak dapat secara langsung mengontrol takdir mereka dan bersikap pasif terhadap apa yang terjadi lingkungan sekitar mereka (D'souza, Agarwal, & Chavali, 2013). Individu dengan WLOC eksternal akan lebih mudah mempersepsikan negative situasi di lingkungan kerja, sehingga ketika menghadapi situasi yang buruk cenderung tidak yakin bahwa mereka mampu mengubah keadaan menjadi lebih baik. Berdasarkan penjelasan diatas maka disimpulkan bahwa WLOC adalah bagaimana individu menilai peran diri mereka terhadap segala sesuatu yang terjadi dalam hidup terutama di dunia kerja baik itu kejadian yang menguntungkan maupun merugikan bagi mereka. Karyawan dengan WLOC internal menilai diri mereka memegang peranan penuh dan memiliki kendali terhadap segala sesuatu yang terjadi. Karyawan dengan WLOC internal merasa baik dan buruk kejadian yang terjadi pada diri mereka terutama di pekerjaan sebagai akibat dari diri mereka sendiri. Oleh karena itu mereka memiliki keyakinan untuk dapat mengontrol berbagai kejadian yang mungkin terjadi dalam hidupnya. Dengan keyakinan tersebut WLOC internal juga dianggap mampu segera bangkit dan mengatasi permasalahan yang dihadapi karena mereka merasa memiliki kemampuan merubah situasi yang mereka hadapi. Oleh karena itu individu dengan WLOC internal dianggap lebih mampu mengatasi situasi yang mengancam yang dapat menimbulkan meningkatnya perasaan job insecurity. Sebaliknya karyawan dengan WLOC eksternal menilai diri mereka tidak memiliki kendali terhadap segala sesuatu yang terjadi dan menilai lingkungan eksternalnya yang mempengaruhi apa yang terjadi dalam hidup mereka. Baik dan buruk kejadian dihidup mereka semata-matai dinilai terjadi karena faktor eksternal dan mereka tidak memiliki kekuatan untuk merubah apa yang terjadi dihidup mereka. Oleh karena itu ketika menghadapi situasi yang sulit atau sesuatu yang mengancam terutama di pekerjaan, individu dengan WLOC eksternal merasa bahwa mmereka tidak dapat berbuat apa-apa untuk mengubah situasi yang ada. Individu dengan WLOC eksternal diangap lebih mudah merasa terancam yang dapat memicu meningkatnya perasaan job insecurity. Beberapa penelitian sebelumnya telah menemukan bahwa terdapat hubungan antara work locus of control dengan job insecurity karyawan. Pada tahun 2005, Labuschagne dalam disertasinya yang berjudul Job Insecurity, Job Satisfaction And Work Locus of Control of Eemployees in a Government Organisation menemukan peran work locus of control sebagai mediator terhadap kepuasan kerja. Dikatakan bahwa job insecurity memprediksi kepuasan kerja sebesar 12% dan meningkat menjadi 22% dengan memasukan variabel work locus of control. Bosman dan Buitendach (2005) menemukan bahwa work locus of control dan variabel demografis karyawan mampu memprediksi job insecurity sebesar 13%. Sedangkan Yusoof, Che Mat, dan Mohd Zainol (2014) melakukan penelitian mengenai job insecurity pada karyawan bank di Malaysia dan menemukan bahwa work locus of control memiliki hubungan yang kuat terhadap job insecrurity dengan angka R=0,88: P<0.01. Selain faktor individu, faktor yang dipengaruhi oleh organisasi yang menarik untuk dikaji lebih lanjut mengenai pengaruhnya terhadap job insecurity adalah persepsi karyawan terhadap keadilan organisasi. Job insecurity erat kaitannya dengan ketidakpastian situasi pekerjaan di masa depan baik itu pekerjaan secara keseluruhan maupun aspek-aspek dari suatu pekerjaan. Lind dan Bos (2002) dalam penelitiannya menjelaskan mengenai hubungan antara ketidakpastian dan persepsi keadilan. Persepsi keadilan dinilai mampu membantu seseorang mengatasi ketidakpastian. Mendapatkan perilaku yang adil membuat seseorang merasa lebih nyaman dan percaya diri bahwa mereka akan memperoleh hasil yang baik dan mampu mengurangi kecemasan. Sebaliknya perlakuan yang dirasa tidak adil di bawah situasi yang tidak pasti semakin membuat seseorang merasa khawatir dan tidak nyaman (Lind & Bos, 2002). Sejauh mana karyawan merasa bahwa prosedur, interaksi, dan segala hasil yang terjadi di tempat kerja terjadi secara adil disebut dengan keadilan organisasi (Baldwin, 2006). Keadilan organisasi adalah persepsi individu dan reaksi terhadap sistem keadilan dalam organisasi (Roch & Schanok, 2006). Hal inilah yang berpengaruh pada baik buruknya sikap dan perilaku karyawan, serta memberikan dampak positif maupun negatif terhadap kinerja dan proses kerja dalam organisasi. Keadilan organisasi adalah penilaian personal mengenai standar etika dan moral dari perilaku manajerial (Cropanzano, Bowen, & Gilliland, 2007). Menurut Cropanzano, dkk. terdapat tiga alasan mengapa orang peduli tentang keadilan. Pertama adalah manfaat jangka panjang. Karyawan perlu memperkirakan bagaimana mereka akan diperlakukan dari waktu ke waktu, dengan keadilan memungkinkan mereka memprediksi atau mengontrol apa yang mungkin mereka terima dari organisasi. Keputusan personal mungkin tidak sesuai dengan keinginan karyawan, namun dengan mempertimbangkan keadilan dapat memberikan kepastian tentang keuntungan masa depan. Kedua adalah pertimbangan sosial. Sebagai makhluk sosial, karyawan ingin diterima dan dihargai dengan cara yang adil bukan diekploitasi dan diperlakukan kasar oleh pihak pengambil keputusan. Ketiga adalah pertimbangan etis. Secara moral, manusia percaya bahwa keadilan adalah cara yang tepat memperlakukan orang lain. Colquitt (2001) dalam penelitiannya menjelaskan empat aspek keadilan organisasi yaitu (a) keadilan procedural, persepsi terhadap proses dan aturan dalam pebutan keputusan; (b) keadilan distributif, persepsi terhadap alokasi outcomes; (c) keadilan interpersonal, persepsi terhadap sensitivitas dan penghargaan yang ditunjukkan kepada seseorang; (d) keadilan informasi, persepsi tentang penjelasan kepada seseorang. Fokus mengenai keadilan dalam organisasi menjadi hal yang penting karena beberapa dampak terkait pekerjaan memiliki hubungan dengan bagaimana persepsi karyawan terhadap keadilan dalam konteks organisasi. Beberapa penelitian menemukan hubungan persepsi keadilan organisasi dengan sikap kerja dan perilaku karyawan. Persepsi terhadap keadilan organisasi memiliki hubungan positif terhadap kepuasan kerja dan kepercayaan terhadap atasan dan manajemen organisasi, serta memiliki hubungan negatif terhadap keinginan karyawan untuk keluar dari perusahaan (Choi, 2011). Sora, dkk. (2010) menemukan bahwa persepsi individu terhadap keadilan organisasi menjadi moderator dalam hubungan antara ketidakamanan kerja dan kepuasan kerja dan keinginan untuk keluar dari organisasi. Karyawan yang merasakan ketidakamanan kerja akan cenderung menunjukkan kepuasan kerja yang lebih tinggi jika mereka memiliki perepsi yang baik mengenai keadilan dalam organisasi. Niat untuk keluar dari pekerjaan juga lebih rendah bagi karyawan yang memiliki persepsi keadilan organisasi yang baik meskipun mereka mengalami job insecurity. Oleh karena itu keadilan organisasi ini dianggap dapat berperan dalam mengurangi rasa ketidakamanan kerja karyawan. Lebih lanjut Sora, dkk. (2010) mengungkapkan bahwa karyawan yang bekerja dalam organisasi yang memiliki iklim keadilan organisasi yang tinggi mengalami reaksi yang minim terhadap job insecurity. Lind dan Bos (2002) mengungkapkan bahwa orang menggunakan keadilan untuk mengelola reaksi mereka terhadap ketidakpastian, menemukan rasa nyaman baik yang berhubungan maupun tidak terhadap pengalaman keadilan, dan menemukan tekanan yang lebih ketika mengalami ketidakadilan. Ketidakpastian dalam pekerjaan dianggap sebagai situasi yang mengancam karyawan yang jika dibiarkan terus menerus dapat meningkatkan job insecurity. Dengan mempersepsikan bagaimana keadilan yang berlaku di organisasi tempatnya bekerja, membuat individu mampu memprediksi bagaimana posisi mereka di masa yang akan datang atas pekerjaan mereka dan membuat karyawan menemukan kepastian dan rasa aman. Oleh karena itu persepsi keadilan organisasi diprediksi mampu mempengaruhi tingkat job insecurity yang dialami karyawan. Beberapa penelitian telah mencoba melihat hubungan antara keadilan organisasi dan job insecurity, namun terbatas pada keadilan prosedural.). Loi, Lam, dan Chan (2012) dalam penelitiannya terhadap 381 pekerja di China menemukan bahwa keadilan procedural memiliki hubungan terhadap job insecurity dengan b=,034; p<0,01. Temuan mengenai keadilan prosedural memiliki hubungan yang signifikan terhadap job insecurity karyawan juga pada penelitian Awosusi dan Fasanmi (2013) menemukan angka korelasi antara variabel tersebut sebesar R=0.39; p<0,05. Penemuan tersebut meningkatkan pemahaman mengenai penyebab munculnya job insecurity karyawan dan menekankan bahwa etika dalam organisasi memegang peranan terhadap munculnya job insecurity karyawan. Job insecurity hadir sebagai akibat dari ketidakpastian. Ketidakpastian terhadap suatu ancaman yang disadari yaitu dalam hal ini adalah tidak meneruskan pekerjaan yang merupakan sumber utama stres bagi sebagan besar orang (Lazarus & Folkmann, 1984). Besarnya stres terseut juga disebabkan karena pekerjaan merupakan hal yang penting bagi seseorang sebagai sumber pendapatan dan juga status sosial. Faktor individu dan lingkungan memperngaruhi tingkat stres yang dialami seseorang dan bagaimana reaksinya menghadapi stres tersebut. Karakteristik individu dan kondisi lingkungan yang diinterpretasikan oleh karywan secara bersama- sama juga memengaruhi bagaimana ancaman yang menimbulkan rasa job insecurity (Sverke, dkk 2004). Grrenhalgh dan Rosenblat (1984) menjelaskan 2 aspek dalam job insecurity yaitu severity of threat dan powerlessness. Severity of threat adalah persepsi seseorang terhadap situasi yang dapat menganggu ekspektasi mereka terhadap kontinuitas pekerjaan.karyawan yang mengalami job insecurity mempersepsikan lingkungan pekerjaannya sebagai sesuatu yang tidak pasti dan merasa tidak memiliki kekuatan untuk mempertahankan pekerjaannya. Pada kasus tang dihadapi karyawan kontrak ketidakpastian di lingkup pekerjaan meliputi kapan dan apakah karyawan kontrak dapat memiliki kesempatan untuk meningkatkan status kepegawaian mereka di perusahaan. Penurunan imbalan maupun fasilitas yang didapat juga menjadi ancaman bagi karyawan kontrak yang mungkin dihadapi di masa depan. Salah satu hal yang mempengaruhi persepsi karyawan terhadap hal yang menjadi ancaman dalam pekerjaan adalah bagaimana kayawan mempersepsikan system keadilan dalam organisasi. Penilaian atas keadilan menjadi salah satu cara memprediksi situasi pekerjaan yang tidak pasti (Lind & Boss, 2002). Jika penilaian organisasi dinilai rendah, maka karyawan semakin merasa terancam terhadap ketidakpastain status di masa yang akan datang. Oleh karena ini persepsi keadilan organisasi menjadi salah satu variabel yang diangkat dalam penelitian ini. Aspek berikutnya dalam job insecurity adalah powerlessness yaitu perasaan tidak berdaya atau tidak memiliki kekuatan untuk memperbaiki kondisi atau mempertahankan posisi mereka. Besarnya rasa ketidakberdayaan karyawan dipengaruhi oleh karakteristik personal salah satunya adalah work locus of control. Work locus of control adalah bagaimana individu menilai peran diri mereka terhadap segala sesuatu yang tejadi dalam hidup terutama di dunia kerja baik itu kejadian yang menguntungkan maupun merugikan bagi mereka. Karyawan dengan work locus of control eksternal menilai dirinya tidak memiliki kekuatan apapun untuk merubah keadaan. Semakin merasa tidka berdaya menghadapi ketidakpastian dan ancaman. Oleh karena itu work locus if control juga menjadi salah satu variabel yang diangkat dalam penelitian ini. Berdasarkan uraian diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peran locus of control dan persepsi keadilan organisasi terhadap job insecurity karyawan. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji dan menganalisis peran work locus of control dan persepsi keadilan organisasi terhadap job insecurity. Hipotesis Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah work locus of control dan persepsi keadilan organisasi secara bersama-sama menpengaruhi job insecurity karyawan kontrak. Manfaat studi Manfaat penelitian ini adalah memberikan sumbangan teoritis di bidang psikologi industri dan organisasi mengenai peran work locus of control dan persepsi keadilan organisasi karyawan terhadap job insecurity. Sedangkan manfaat praktis dari penelitian ini adalah memberikan sumbangan praktis terhadap upaya manajemen dalam mengurangi job insecurity karyawan sehingga dapat menghasilkan proses kerja yang lebih efektif dan menguntungkan organisasi.