BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Penyelenggaraan akuntansi di instansi-instansi pemerintahan di Indonesia sudah mulai menjadi keharusan dan tuntutan jaman seiring dengan tuntutan reformasi yang semakin luas dan menguat dalam satu dekade terakhir. Tuntutan reformasi dalam hal ini adalah agar pemerintah mewujudkan transparansi dan akuntabilitas yang memadai kepada masyarakat.Dalam konteks yang lebih luas pemerintah dituntut untuk mewujudkan good and clean governance. Penyelenggaraan akuntansi menjadi sebuah kebutuhan karena adanya reformasi pelaporan keuangan sebagai bagian dari reformasi di bidang pengelolaan keuangan negara. Reformasi tersebut ditandai dengan berlakunya paket Undang-Undang di Bidang Keuangan Negara, yang terdiri dari UndangUndang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Di dalam penjelasan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintahan dijelaskan bahwa sebelum berlakunya paket undang-undang di bidang keuangan negara tersebut di 1 atas, ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku mengharuskan pertanggung jawaban pengelolaan keuangan negara dalam bentuk perhitungan anggaran negara/daerah. Wujud laporan ini hanya menginformasikan aliran kas pada APBN/APBD sesuai dengan format anggaran yang disahkan oleh legislatif, tanpa menyertakan informasi tentang posisi kekayaan dan kewajiban pemerintah.Laporan demikian, selain memuat informasi yang terbatas, juga waktu penyampaiannya kepada legislatif amat terlambat. Keandalan (reliability) informasi keuangan yang disajikan dalam perhitungan anggaran juga sangat rendah karena sistem akuntansi yang diselenggarakan belum didasarkan pada standar akuntansi dan tidak didukung oleh perangkat data dan proses yang memadai. Upaya konkrit dalam mewujudkan akuntabilitas dan transparansi di lingkungan pemerintah mengharuskan setiap pengelola keuangan negara untuk menyampaikan laporan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan dengan cakupan yang lebih luas dan tepat waktu. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 menegaskan bahwa laporan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan dimaksud (APBN/APBD) dinyatakan dalam bentuk Laporan Keuangan yang setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, dan disusun berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Selanjutnya di dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004 dipertegas kembali bahwa Laporan Keuangan dimaksud harus disusun berdasarkan proses akuntansi yang wajib dilaksanakan oleh setiap Pengguna Anggaran dan kuasa Pengguna Anggaran serta pengelola Bendahara Umum Negara/Daerah. Oleh karena itu, pemerintah pusat maupun setiap pemerintah daerah perlu menyelenggarakan akuntansi dalam suatu sistem yang pedomannya ditetapkan 2 oleh Menteri Keuangan untuk lingkungan pemerintah pusat dan oleh Menteri Dalam Negeri untuk lingkungan pemerintah daerah. Salah satu hal yang amat penting dalam praktek akuntansi dan pelaporan keuangan di lingkungan pemerintah berhubungan dengan penetapan satuan kerja instansi yang memiliki tanggung jawab publik secara eksplisit di mana laporan keuangannya wajib diaudit dengan opini dari lembaga pemeriksa yang berwenang.Instansi demikian digolongkan sebagai Entitas Pelaporan. Sementara instansi lain yang wajib menyelenggarakan akuntansi dan berperan secara terbatas sebagai entitas akuntansi berperan sebagai penyumbang bagi Laporan Keuangan yang disusun dan disampaikan oleh Entitas Pelaporan. Dalam PP No. 8 Tahun 2006 ditetapkan bahwa yang termasuk Entitas Pelaporan adalah (i) Pemerintah pusat, (ii) Pemerintah Daerah, (iii) setiap Kementerian Negara/Lembaga, dan (iv) Bendahara Umum Negara. Sementara itu, setiap kuasa Pengguna Anggaran, termasuk entitas pelaksana Dana Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan, untuk tingkat pemerintah pusat, Satuan Kerja Perangkat Daerah, Bendahara Umum Daerah, dan kuasa Pengguna Anggaran tertentu di tingkat daerah diwajibkan menyelenggarakan akuntansi sebagai Entitas Akuntansi. Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, ditetapkan bahwa Laporan Keuangan pemerintah pada gilirannya harus diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebelum disampaikan kepada pihak legislatif sesuai dengan kewenangannya. Pemeriksaan BPK dimaksud adalah dalam rangka pemberian pendapat (opini) sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004. Dengan 3 demikian, Laporan Keuangan yang disusun oleh pemerintah yang disampaikan kepada BPK untuk diperiksa masih berstatus belum diaudit (unaudited financial statements). Sebagaimana lazimnya, Laporan Keuangan tersebut setelah diperiksa dapat disesuaikan berdasarkan temuan audit dan/atau koreksi lain yang diharuskan oleh SAP. Laporan Keuangan yang telah diperiksa dan telah diperbaiki itulah yang selanjutnya diusulkan oleh pemerintah pusat/daerah dalam suatu rancangan undang-undang atau peraturan daerah tentang Laporan Keuangan pemerintah pusat/daerah untuk dibahas dengan dan disetujui oleh DPR/DPRD. Selain itu, menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, pada rancangan undang-undang atau peraturan daerah tentang Laporan Keuangan pemerintah pusat/daerah disertakan atau dilampirkan informasi tambahan mengenai Kinerja instansi pemerintah, yakni prestasi yang berhasil dicapai oleh Pengguna Anggaran sehubungan dengan anggaran yang telah digunakan. Pengungkapan informasi tentang Kinerja ini adalah relevan dengan perubahan paradigma penganggaran pemerintah yang ditetapkan dengan mengidentifikasikan secara jelas keluaran (output) dari setiap kegiatan dan hasil (outcomes) dari setiap program. Dalam rangka memperkuat akuntabilitas pengelolaan anggaran perbendaharaan , setiap pejabat yang menyajikan Laporan Keuangan dan diharuskan memberi pernyataan tanggung jawab atas Laporan Keuangan yang bersangkutan. Menteri / Pimpinan Lembaga / Gubernur/ Bupati / Walikota / Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah harus secara jelas menyatakan bahwa Laporan Keuangan telah disusun berdasarkan Sistem Pengendalian Intern yang memadai dan informasi yang termuat pada Laporan Keuangan telah disajikan sesuai dengan SAP. 4 Adapun perkembangan akuntansi dan pelaporan keuangan di pemerintah daerah, bahkan telah ‟didorong‟ sejak keluarnya PP No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Peraturan Pemerintah tersebut salah satu peraturan yang mengatur tentang pengelolaan keuangan daerah sejak era otonomi daerah bergulir yang ditandai dengan ditetapkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Di dalam pasal 35, PP 105/2000 disebutkan bahwa penatausahaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah berpedoman pada standar akuntansi keuangan pemerintah daerah yang berlaku. Selanjutnya di dalam pasal 38 dinyatakan bahwa laporan pertanggungjawaban keuangan daerah yang harus disusun oleh kepala daerah terdiri dari laporan perhitungan APBD, nota perhitungan APBD, laporan aliran kas dan neraca. Akan tetapi, standar akuntansi pemerintahan itu sendiri pertama kali baru ditetapkan pada tahun 2005 dengan PP No. 24 Tahun 2005, sehingga hal ini menjadi salah satu kendala yang muncul di dalam penerapan akuntansi di Pemda. Perkembangan pada periode berikutnya, seiring dengan keluarnya undangundang di bidang keuangan negara sebagaimana telah diuraikan di atas, PP No. 105/2000 direvisi/diganti dengan PP No. 58 Tahun 2005 tentang Keuangan Daerah yang merupakan turunan dari UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (pengganti UU No. 22/1999) dan UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (pengganti UU No. 25/1999). Istilah dan komponen laporan keuangan pemerintah daerah di dalam PP 58/2005 telah sesuai dengan yang dinyatakan di dalam undang-undang di bidang keuangan negara. 5 Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa laporan keuangan pemerintah daerah merupakan bentuk pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah. Oleh karena itu, penyelenggara akuntansi di pemerintah daerah tidak cukup hanya memahami SAP tetapi juga harus memahami dan/atau memperhatikan peraturan-peraturan yang terkait dengan pengelolaan keuangan daerah, (terutama misalnya menyangkut struktur APBD, mekanisme penatausahaan pelaksanaan APBD), sebagaimana diatur dalam PP No. 58/2005 dan diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah direvisi dengan Permendagri No. 59 Tahun 2007 dan terakhir dengan Permendagri No. 21 Tahun 2011 (revisi kedua). Penyusunan laporan keuangan yang berpedoman pada standar akuntansi pemerintah sesungguhnya dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk mewujudkan good governance. Alasannya adalah terpenuhinya tiga elemen good governance yaitu akuntabilitas, transparansi dan partisipasi, Pertama akuntabilitas karena adanya standar, pengungkapan efektifitas dan efisiensi APBN /APBD menjadi bersifat kredibel dan dapat dipertanggungjawabkan, Kedua transparansi karena dengan adanya standar, BPK menjadi mudah menyingkap tempat-tempat yang memiliki celah untuk melakukan korupsi karena telah mempunyai basis yang baku, mantap dan komprehensif dalam tugas pemeriksaan keuangan dan audit atas laporan keuangan. Ketiga, partisipasi karena dengan adanya standar,rakyat pada tiap daerah melalui DPRD makin mampu mengendalikan keuangan daerahnya karena pemerintah tidak bisa mencatat pemakaian sumber daya sesuai keinginannya. 6 Keinginan untuk mewujudkan good governance merupakan salah satu agenda pokok reformasi yang diharapkan dapat dilaksanakan secara konsisten oleh pemerintah daerah. Masyarakat menuntut adanya akuntabilitas yang baik disertai dengan transparansi dan keterbukaan pengelolaan sektor publik supaya masyarakat dapat turut serta dalam mengontrol dan memperbaiki kinerja pemerintah daerah. Karena masalah pengelolaan keuangan daerah merupakan salah satu bagian yang mengalami perubahan mendasar dengan ditetapkannya UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Kedua Undang-Undang tersebut telah memberikan kewenangan lebih luas kepada pemerintah daerah. Kewenangan dimaksud diantaranya adalah keleluasaan dalam mobilisasi sumber dana, menentukan arah, tujuan dan target penggunaan anggaran. Di sisi lain tuntutan transparansi dalam sistem Pemerintah semakin meningkat pada era reformasi saat ini, tidak terkecuali transparansi dalam pengelolaan keuangan Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah diwajibkan menyusun laporan pertanggungjawaban yang menggunakan sistem akuntansi yang diatur pemerintah pusat dalam bentuk oleh Undang-undang dan Peraturan Pemerintah yang bersifat mengikat seluruh Pemerintah Daerah. Dalam sistem Pemerintah Daerah terdapat 2 subsistem,yaitu Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD) dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).Laporan Keuangan SKPD merupakan sumber untuk menyusun Laporan Keuangan SKPKD, oleh karena itu setiap SKPD harus menyusun Laporan Keuangan sebaik mungkin, Hal ini 7 diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Sedangkan untuk memudahkan teknis pelaksanaannya, pada tanggal 5 April 2007 lalu, pemerintah telah mengeluarkan sejenis petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) melalui Surat Edaran Mendagri Nomor S.900/316/BAKD tentang “Pedoman Sistem dan Prosedur Penatausahaan dan Akuntansi,Pelaporan, dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah” Selaku Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah (PKPKD), Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) yang mendelegasikan sebagian kewenangannya kepada kepala SKPD, pada akhirnya akan meminta kepala SKPD membuat pertanggungjawaban atas kewenangan yang dilaksanakannya. Bentuk pertanggungjawaban tersebut bukanlah SPJ (surat pertanggungjawaban), tetapi berupa laporan keuangan. Penyebutan SKPD selaku entitas akuntansi (accounting entity) pada dasarnya untuk menunjukkan bahwa SKPD melaksanakan proses akuntansi untuk menyusun laporan keuangan yang akan disampaikan kepada Gubernur/Bupati/Walikota melalui Pejabat Pengelola Keuangan Daerah sebagai bentuk pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah. Kertas kerja / Laporan keuangan Dinas Pengawasan dan penertiban Banngunan dilatarbelakangi oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. Dan Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, Badan Kepegawaian Daerah 8 (BKD) sebagai salah satu Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang ada di wilayah Pemerintah Daerah sekaligus sebagai pengguna anggaran juga harus membuat pertanggungjawaban atas kewenangan yang dilaksanakannya sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), entitas pelaporan menyususn laporan keuangan yang meliputi Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan Atas Laporan Keuangan. Dari latar belakang tersebut penulis tertarik untuk mengetahui sejauh mana Penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan Nomor 71 Tahun 2010 pada Laporan Keuangan Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan Provinsi DKI Jakarta. B. Rumusan Masalah Penelitian Mengingat luas aspek yang mungkin dihubungan dengan judul di atas , masalah yang akan dibahas secara garis besar dapat diindentifikasi sebagai berikut : 1. Bagaimana Penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan Nomor 71 Tahun 2010 pada Laporan Keuangan Pemerintah ( Studi Kasus Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan Provinsi DKI Jakarta ? 2. Apakah Sistem Pencatan dan basis Akuntansi Keuangan daerah pada Dinas Pengawasan dan penertiban Bangunan Provinsi DKI Jakarta dengan Standar Akuntansi Pemerintahan Nomor 71 Tahun 2010 ? 9 sudah sesuai 3. Apakah Sistem Akuntansi Satuan Kerja Perangkat Daerah pada Dinas Pengawasan dan penertiban Bangunan sudah Sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan Nomor 71 Tahun 2010 ?. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Secara umum,tujuan yang dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui Kesesuaian Penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) Nomor 71 Tahun 2010 pada Laporan Keuangan Pemerintah pada Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan Provinsi DKI Jakarta. 2. Untuk mengetahui sistem pencatatan dan basis akuntansi keuangan Daerah pada Dinas Pengawasan dan Penertiban Banguna Provinsi DKI Jakarta. 3. Untuk mengetahui sistem akuntasi Satuan Perangkat Daerah pada Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan Provinsi DKI Jakarta D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian yang diharapkan dapat diperolah dari penelitian ini adalah : 1. Bagi Penulis untuk menambah wawasan serta menambah pengetahuan mengenai Standar Akuntansi Pemerintahan pada Laporan Keuangan Pemerintah juga sebagai studi banding antara teori yang telah didapat dari masa perkuliahan dengan kenyataan yang terjadi didalam Praktek tentanng Pencatatan dan Pelaporan Keuangan pada 10 Satuan Kerja Perangkat Daerah ( SKPD ) Keuangan Daerah penyusunan skripsi yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh derajat kesarjanaan Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Mercubuana. 2. Bagi Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan Provinsi DKI Jakarta diharapkan dapat menjadi bahan rekomendasi penerapan Standar Akuntansi Pemerintah Pada Laporan Keuangan Pemerintah dalam mencapai kualitas Laporan Keuangan Pemerintah seperti yang diharapkan. 3. Bagi Penulis Peneliti selanjutnya Semoga dapat menjadi inspirasi, sumber informasi dan menjadi dasar untuk meneliti mengenai hal – hal yang berkaitan. 11 selanjutnya yang lebih spesifik