BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masa remaja, baik anak autis maupun bukan seringkali ”membingungkan” bagi banyak orangtua, karena merupakan masa transisi menuju kedewasaan. Pada periode ini, hormon-hormon mereka berkembang, organ reproduksi sudah berfungsi, penampilan fisik pun berubah. Anak lakilaki sudah mengalami mimpi basah dan suara mereka pun berubah. Anak perempuan sudah mulai ditumbuhi payudara dan sudah mendapat haid. Perubahan-perubahan ini juga berpengaruh pada emosi seseorang. Perubahan seperti itu juga terjadi pada anak autis. Menurut dr. Tjin Wiguna (dalam dyah puspita, 2007), masa pubertas adalah fase yang kritis dalam perkembangan jiwa setiap orang. Apabila masa remaja tidak mendapatkan arahan yang tepat, banyak remaja yang mengalami krisis identitas. Pelariannya bisa sesuatu yang negatif. Oleh karena itu, seharusnya ada figur yang mampu membimbing anak remaja tersebut agar memperoleh pemahaman tentang perubahan yang dialami, baik fisik maupun psikis. Urusan perkembangan seksual dan jatuh cinta pun termasuk di dalamnya. Apabila anak autis sudah mulai mengenal konsep cinta, maka perlu mengarahkan dengan jelas dan instruktif apa yang boleh dan tidak. Seorang remaja autis yang bermasturbasi di muka umum, akan merasa nyaman-nyaman saja, tak sedikit pun merasa malu atau aneh melakukan onani di depan publik. Anak-anak autis menjelang masa remaja sulit memahami pertumbuhan fisiknya 1 sama dengan rekan sebayanya yang bukan autis karena perkembangan mental dan emosi mereka tertinggal. Remaja yang normal dapat mudah mengungkapkan, mencari informasi, dan mendiskusikan perubahan-perubahan tubuh mereka kepada teman sebayanya ataupun kepada orangtuanya. Orang tua dan guru biasanya sudah mengajarkan pendidikan seksual kepada para remaja umumnya sebelum tanda-tanda kedewasaan itu datang, tetapi tidak demikian halnya dengan anak autis. Perubahan yang mereka alami tak mendapat penjelasan memadai karena anak autis dipandang akan sulit memahami sehingga mereka semakin tenggelam dalam kebingungan dan perasaan tertekan. Di sinilah pentingnya peran orang tua, guru, orang-orang terdekat untuk memperlakukan anak sebagai ”remaja biasa” yang butuh informasi serupa dengan cara khusus. Individu autis adalah individu yang sudah mendapat diagnosa memiliki gangguan perkembangan autisme sebelum usia 3 tahun, dengan manifestasi gangguan komunikasi, gangguan perilaku dan gangguan interaksi. Kadang mereka juga memiliki masalah lain seperti masalah makan, masalah tidur, gangguan sensoris dan sebagainya. Individu dengan kebutuhan khusus (special needs individuals) juga terjadi perkembangan yang kurang lebih sama dengan individu yang tidak mengalami gangguan perkembangan. Mereka mengalami perubahan emosional, fisik dan sosial pada dasarnya sama dengan anak-anak normal. Mereka juga lapar, haus, perlu kasih sayang, mengalami perubahan hormon sama seperti teman-teman sebayanya. Perubahan fisik mereka antara lain: mulai tumbuh rambut di wajah, ketiak dan di daerah kemaluan, terjadi 2 perubahan pertumbuhan rambut di seluruh tubuh, perubahan suara (pria),mulai menstruasi (wanita). Meski demikian, perubahan emosional bagi anak dengan kebutuhan khusus (termasuk autis) prosesnya cenderung lebih sulit karena minat mereka terhadap lawan jenis sering ditentang oleh lingkungan (Schwier&Hingsburger, 2000) sehingga tidak ada informasi yang jelas. Sebaliknya, mereka justru menarik diri sama sekali dari pergaulan karena tidak mampu menterjemahkan begitu banyak ‘pesan tersirat’ dan aturan sosial yang membingungkan. Seksualitas adalah integrasi dari perasaan, kebutuhan dan hasrat yang membentuk kepribadian unik seseorang, mengungkapkan kecenderungan seseorang untuk menjadi pria atau wanita. Sebaliknya seks biasanya hanya didefinisikan sebagai jenis kelamin (pria atau wanita), kegiatan atau aktifitas dari hubungan fisik seks itu sendiri. Anak dengan gangguan autis mereka tampaknya terhambat dalam memahami sinyal-sinyal tersirat yang selalu ada dalam hubungan antar manusia, meskipun mereka mengalami perkembangan fisik yang kurang lebih sama dengan anak lain seusianya, tapi perkembangan emosi dan ketrampilan sosial mereka yang tidak berimbang cenderung menghambat mereka untuk berinteraksi secara positif dan efektif dengan orang lain (dalam hal ini lawan jenis). Aktivitas yang sering muncul pada anak-anak penyandang autis yang mengalami masa puber, antara lain tidak ada perasaan malu saat berjalan telanjang, memperlihatkan penis atau payudaranya, membuka celana di luar kamar, dan masturbasi di tempat umum. Berdasarkan pengamatan pendahuluan 3 di beberapa sekolah, ada beberapa anak remaja autis yang selalu mengejar temannya, baik laki-laki maupun perempuan sesama remaja autis untuk menyalurkan dorongan sekualnya. Ada anak yang merasakan senang dan tenang ketika sudah bertemu dengan teman yang disenangi dengan menunjukkan berbagai macam ekspresinya. Seksualitas anak autis juga tidak terfokus pada orang lain. Keinginan seksualnya hanya untuk diri sendiri. Tidak berminat terhadap hubungan seksual tetapi lebih berminat terhadap ciri-ciri seseorang, seperti keharuman tubuhnya, keindahan rambutnya, atau kehalusan kulitnya. Dalam menangani dorongan seksual pada anak penyandang autis harus bijaksana. Bagaimanapun, dorongan seksual merupakan kebutuhan biologis yang harus dapat tersalurkan dengan baik dan benar sesuai dengan norma sehingga tidak merugikan orang lain. Demikian halnya pada anak penyandang autis juga memiliki kebutuhan seksual menjelang remaja, di mana dorongan seksual begitu kuat, akan tetapi mereka tidak dapat mengkomunikasikan dan mengontrolnya dengan baik layaknya remaja normal lain. Pada masa puber, anak mengalami keadaan emosi yang labil dan gejolak seksualitas, sementara kita tahu bahwa anak autis kurang mampu melakukan hubungan emosional timbal balik, memiliki keadaan emosional yang tidak stabil, dan beragam keterbatasan lain, seperti ciri utama yang menonjol yakni kesendirian yang amat sangat. Hal ini menjadi pemicu timbulnya banyak kendala bagi orangtua maupun guru dalam memberikan penanganan tentang masalah pubertas terutama dalam penyaluran dorongan seksual mereka 4 Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka perlu adanya penanganan penyaluran dorongan seksual anak autis masa remaja dari berbagai perspektif nara sumber sesuai dengan keahliannya. Berangkat dari bagaimana pencegahan munculnya perilaku-perilaku yang positif ketika memasuki masa remaja, bagaimana penanganan ketika remaja autis dalam melakukan penyaluran dorongan seksualnya, serta bagaimana rehabilitatifnya ketika perilaku-perilaku yang muncul sudah menjadi kebiasaan remaja autis tersebut. Penelitian ini bermaksud untuk menganalisis perspektif penanganan penyaluran dorongan seksual bagi anak autis remaja, dikaji dari kehidupan anak autis dalam keluarga, sekolah, maupun masyarakat. B. Fokus Penelitian Setelah melakukan pengamatan awal selama dua bulan maka situasi sosial yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah keluarga-keluarga yang memiliki anak autis usia remaja serta sekolah khusus autis yang memiliki murid usia remaja dalam penanganan penyaluran dorongan seksualnya. Fokus penelitian ini diarahkan pada : 1. Usia perkembangan memasuki masa remaja anak autis 2. Gejala-gejala perkembangan masa remaja autis 3. Perilaku seksual remaja autis 4. Faktor terjadinya perilaku seksual remaja autis 5. Bentuk-bentuk perilaku seksual pada masa remaja autis menyimpang dan tidak menyimpang 5 6. Persiapan orangtua maupun guru terhadap anak-anak autis untuk memasuki masa remajanya 7. Upaya-upaya pencegahan yang dapat dilakukan terhadap munculnya bentuk-bentuk perilaku seksual remaja autis 8. Upaya penanganan yang dapat dilakukan terhadap perilaku seksual remaja autis 9. Pernikahan bagi remaja autis untuk penyaluran dorongan seksual yang tepat C. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan fokus penelitian yang telah ditetapkan di atas, maka pertanyaan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Berapakah usia perkembangan memasuki masa remaja ada anak autis ? 2. Bagaimanakah gejala-gejala perkembangan masa remaja autis ? 3. Bagaimanakah perilaku seksual yang muncul pada masa remaja autis dan bentuk-bentuk perilaku seksualnya? 4. Bagaimanakah faktor-faktor terjadinya perilaku seksual remaja autis ? 5. Apakah bentuk-bentuk perilaku seksual masa remaja autis termasuk perilaku seksual yang menyimpang atau tidak menyimpang? 6. Bagaimanakah persiapan orangtua maupun guru terhadap anak-anak autis untuk memasuki masa remajanya? 7. Bagaimanakah upaya-upaya pencegahan yang dapat dilakukan terhadap munculnya bentuk-bentuk perilaku seksual remaja autis? 6 8. Bagaimanakah upaya penanganan yang dapat dilakukan terhadap perilaku seksual remaja autis yang sudah muncul bentuk perilaku seksualnya bahkan menjadi kebiasaan? 9. Apakah pernikahan bagi remaja autis sebagai penyaluran dorongan seksual yang tepat? D. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah dan fokus penelitian di atas maka tujuan yang akan dicapai dengan selesainya penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1. Usia perkembangan masa remaja anak autis 2. Gejala-gejala perkembangan masa remaja autis 3. Perilaku seksual yang muncul pada masa remaja autis dan bentuk-bentuk perilaku seksualnya 4. Faktor-faktor terjadinya perilaku seksual remaja autis 5. Bentuk-bentuk perilaku seksual masa remaja autis yang termasuk perilaku seksual menyimpang atau tidak menyimpang 6. Persiapan-persiapan orangtua maupun guru terhadap anak-anak autis untuk memasuki masa remajanya 7. Upaya-upaya pencegahan yang dapat dilakukan orangtua dan guru terhadap bentuk-bentuk perilaku seksual remaja autis 8. Upaya penanganan terhadap perilaku seksual remaja autis 9. Pernikahan bagi remaja autis sebagai penyaluran dorongan seksual yang tepat 7 E. Manfaat Penelitian Secara teoritis maupun praktis tujuan penelitian ini tercapai, maka manfaat yang diperoleh sebagai berikut : 1. Manfaat teoritis : mendapatkan asumsi atau teori-teori tentang pencegahan dan penanganan dari berbagai perspektif permasalahan (problem-problem) penyaluran dorongan seksual anak-anak autis. 2. Manfaat praktis : sebagai dasar pijakan bagi guru, orangtua, pemerhati autis di dalam memberikan bimbingan dan pendampingan kepada anak autis usia remaja dalam penyaluran dorongan seksual. 8 9