1 PENGANTAR Latar Belakang Sumber protein hewani

advertisement
PENGANTAR
Latar Belakang
Sumber protein hewani merupakan kebutuhan primer manusia yang tidak
tergantikan. Protein berperan penting dalam perkembangan sel otak, serta
memelihara dan mengganti sel yang rusak. Salah satu sumber protein yang
bermutu tinggi bagi masyarakat yang relatif murah dan mudah didapat adalah
produk pangan asal unggas, khususnya telur dan daging. Daging ayam juga
merupakan sumber zat besi, fosfor, dan vitamin B yang baik (Charley dan
Weaver, 1998).
Kampanye dan anjuran kepada masyarakat dalam pemenuhan gizi dan
konsumsi produk unggas seharusnya diimbangi dengan usaha peningkatan
produksi peternakan ayam. Peredaran daging ayam di pasar Indonesia saat ini
baru mencukupi kurang lebih 56% dari kebutuhan daging ayam nasional, yang
62,8%-nya berasal dari daging broiler (Santoso, 2009 ; Yuwanta, 2004). Usaha
peningkatan
produksi
dapat
dilakukan
melalui
peningkatan
manajemen
pemeliharaan maupun aspek kesehatan, termasuk inovasi pada berbagai aspek
pemeliharaan (Cruch, 1984 ; Anggorodi, 1995 ; Bahri dkk., 2005).
Seiring dengan perkembangan jaman dan semakin tingginya tuntutan
kesehatan serta kesejahteraan manusia, permasalahan kadar bahan asing dalam
produk daging unggas saat ini tidak hanya terbatas pada residu antibiotika atau
bahan kimia. Keberadaan bahan - bahan kimia lain yang tidak diinginkan pada
produk unggas perlu mendapatkan perhatian karena dapat berpengaruh pada
keamanan pangan, nilai produksi, dan ekonomi, sehingga berdampak pada
1
kesejahteraan hidup manusia. Pestisida pada ayam dan produknya diduga terjadi
karena cemaran pada pakan, program sanitasi, maupun lingkungan sekitar.
Pestisida banyak digunakan di Indonesia mengingat Indonesia adalah negara
agraris yang mengandalkan sektor pertanian. Indonesia merupakan negara ketiga
terbesar di Asia dalam hal penggunaan pestisida (Indraningsih, 2006).
Penggunaan pestisida menyebabkan berbagai permasalahan. Kemerosotan
kualitas lahan dan perubahan lingkungan menjadi problema yang harus dihadapi
masyarakat. Gerakan revolusi hijau pada tahun 1970-an hingga gerakan panca dan
sapta usaha tani hanya menghasilkan keberhasilan yang sifatnya sesaat.
Penggunaan pestisida terbukti meningkatkan produksi hasil tanaman pangan,
namun pemakaian yang berlebihan dapat menjadi pencemar bagi pangan, air, dan
lingkungan. Pemakaian pestisida yang tidak prosedural dalam jangka panjang
menyebabkan terjadinya resistensi pada patogen tumbuhan/hewan (Abadi, 2005).
Pestisida banyak digunakan untuk kegiatan pengendalian parasit di
peternakan. Kontrol lalat dalam suatu lokasi peternakan merupakan hal yang
paling mendasar dalam manajemen pengendalian penyakit, selain manajemen
sanitasi dan program kesehatan lain. Terdapatnya serangga di peternakan dapat
menimbulkan berbagai masalah, baik sebagai vektor penyebar penyakit,
mengganggu pekerja kandang, menurunkan produksi, menurunkan kualitas telur,
dan dapat menimbulkan kadar ammonia tinggi pada feses (Darjono, 2009).
Deltametrin merupakan salah satu pestisida yang populer dipakai oleh
petani di Indonesia pada sektor pertanian dan peternakan (Matsumura, 1980 ;
Jayasree dkk., 2003). Dari sekitar 2475 jenis produk pestisida yang diizinkan
2
beredar, 950 jenis adalah insektisida dan 43 jenis adalah deltametrin (Ditjen.
Prasarana dan Sarana Pertanian, 2012). Deltametrin adalah senyawa lipofilik yang
termasuk dalam senyawa piretroid sintetik. Deltametrin memiliki spektrum luas
dan merupakan senyawa golongan piretroid yang paling kuat dan paling beracun
(Kim dkk., 2007). German Federal Environment Agency menggolongkan
deltametrin sebagai agen potensial penghambat endokrin. Deltametrin juga
merupakan racun kontak yang mampu membunuh serangga dan dapat digunakan
sebagai pemberantas kutu pada beberapa hewan kesayangan (Uysal dan Bilisli,
2006).
Di dunia perunggasan, deltametrin banyak digunakan untuk mengontrol
ektoparasit, namun keberadaannya sering dikesampingkan termasuk kaitannya
dengan residu yang mungkin ditimbulkan (Conell dan Miller, 1995). Deltametrin
bersifat stabil dan dapat bertahan di lingkungan selama beberapa hari hingga
berbulan-bulan dalam kondisi penyinaran yang rendah (Mueller, 1990 ; Csilik
dkk., 2000).
Insektisida ini tidak hanya berefek pada insekta, namun juga dapat
memberi dampak buruk pada manusia maupun hewan terutama jika terpapar
dalam jumlah tertentu melebihi ambang batas (Gilbert, 2012). Residu bahan kimia
termasuk pestisida dapat masuk ke tubuh manusia secara langsung maupun tidak
langsung. Pestisida terhirup melalui pernafasan, atau masuk ke saluran pencernaan
melalui makanan dan minuman (Jones, 1992 ; Atmawidjaja dkk., 2004).
Pestisida dapat mengakibatkan efek toksik berupa mual, pusing, sakit
perut, diare, pingsan, gangguan saraf, dan secara umum akan mengakibatkan
3
penurunan kualitas hidup secara keseluruhan. Konsumsi pestisida dalam jangka
waktu lama akan menimbulkan penimbunan yang sangat membahayakan manusia
karena akan menurunkan kualitas sel-sel tubuh dan menimbulkan gangguan yang
lebih kompleks bahkan dapat menimbulkan kematian (Mueller, 1990 ; Kishi dkk.,
1995 ; Mutiatikum dkk., 2002 ; Nurlaila dkk., 2005 ; Kim dkk., 2007 ; Raini,
2008 ; Hidayat dkk., 2010). Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah (2000)
melaporkan kejadian keracunan pada petani di tahun 1999 sebesar 67,5% dengan
rincian keracunan berat 2,5%, keracunan sedang 8,75%, dan keracunan ringan
55,26%.
Dalam rangka mendukung penelitian analisis pestisida deltametrin,
diperlukan metodologi dan penggunaan alat atau teknologi yang tepat. Division of
Toxicology ToxFAQsTM (2003) menjelaskan bahwa alat analisis Kromatografi Gas
(gas chromatography (GC)) digunakan dalam analisis golongan piretrin dan
piretroid. Alat lain yang digunakan antara lain adalah electron capture detection
(ECD), flame ionization detection (FID), mass spectrometry (MS), dan high
performance liquid chromatography (HPLC) atau Kromatografi Cair Kinerja
Tinggi (KCKT). Usaha optimasi dan validasi alat analisis terus dilakukan untuk
mendapatkan alternatif uji diagnostik yang baik dan lebih ekonomis.
Validasi prosedur merupakan teknik konfirmasi bahwa prosedur analisis
yang akan digunakan valid dan sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Tahap
validasi prosedur harus dilakukan terutama apabila prosedur alat maupun metode
analisis tidak memiliki referensi yang baku, atau pengembangan metode baru.
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi merupakan pengembangan dari teknik
4
kromatografi klasik dan merupakan alat penting dalam teknik analisis.
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi saat ini banyak dikembangkan sebagai alat
analisis residu bahan kimia, termasuk pestisida. Keunggulan utama dari KCKT
adalah fungsinya sebagai pemisah yang efisien (Eiphstein, 2002 ; Harmita, 2004).
Metode yang telah tervalidasi perlu diuji kesesuaian dengan metode lain yang
telah dikembangkan jika standar emas metode belum tersedia (Martin dkk., 1988 ;
Thrusfield, 2007).
Penelitian epidemiologi dilakukan di wilayah Kabupaten Sleman karena
potensi peternakan broiler dan keunikan geografis yang dimiliki. Jumlah populasi
ayam broiler di Kabupaten Sleman berkisar antara 2.907.147 ekor yang tersebar
pada 476 peternakan (Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Sleman, 2009).
Perbedaan geografis Kabupaten Sleman terkait dengan tekstur wilayah, batas
dengan gunung berapi di wilayah utara, pegunungan kapur di timur - selatan, dan
daerah landai di sebelah barat. Hal ini berimplikasi pada perbedaan kondisi
lingkungan, ekosistem, dan budaya masyarakat.
Analisis epidemiologi dilaksanakan untuk mengetahui prevalensi dan
faktor yang berasosiasi dengan residu deltametrin pada daging broiler, meliputi
faktor manajemen pemeliharaan, kesehatan, sumber daya manusia, dan
lingkungan. Penelitian secara umum dilaksanakan dalam rangka mendukung visi
pembangunan pertanian Indonesia yaitu terwujudnya pertanian tangguh untuk
pemantapan ketahanan pangan, peningkatan nilai tambah dan daya saing produk
pertanian, serta peningkatan kesejahteraan petani (Departemen Pertanian R.I.,
2006).
5
Permasalahan
Berdasarkan latar belakang, dapat dikemukakan beberapa masalah sebagai
berikut :
1. Pengembangan teknologi analisis di bidang farmakologi diperlukan untuk
mendapatkan prosedur analisis yang lebih efektif dan efisien, terutama terkait
dengan ketersediaan alat dan dana. Permasalahan yang mungkin muncul adalah
validitas hasil analisis dari pengembangan prosedur yang dilakukan. Tahap
validasi prosedur diperlukan untuk menjawab apakah prosedur analisis alat
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) yang dikembangkan pada penelitian
memiliki validitas dan tingkat kesesuaian yang baik dalam analisis residu
pestisida deltametrin.
2. Dari penelitian terdahulu diketahui bahwa residu pestisida deltametrin sangat
mungkin terjadi pada produk asal hewan, termasuk daging broiler. Faktor
eksternal yang terkait dengan manajemen, salah satunya faktor pakan maupun
air yang dikonsumsi oleh ayam diduga berperan besar pada terdapatnya residu
deltametrin pada produk broiler. Dugaan ini perlu dibuktikan melalui penelitian
dengan kontrol pemaparan deltametrin. Tahap ini dilaksanakan untuk
mengetahui ada tidaknya hubungan antara ayam yang diberi perlakuan
deltametrin per oral dan munculnya residu pada produk yang dihasilkan.
3. Keamanan pangan merupakan permasalahan strategis yang perlu diperhatikan
oleh pemerintah, produsen, maupun konsumen. Berbagai usaha dilakukan
untuk mendapatkan sumber pangan yang aman, sehat, utuh, dan halal. Produk
pangan yang dikonsumsi masyarakat harus berkualitas baik, bebas dari bibit
6
penyakit,
terhadap
dan
bebas
kejadian
dari
bahan-bahan
terdapatnya residu
yang
pada
merugikan.
daging
broiler
Kajian
termasuk
faktor - faktor yang mempengaruhi perlu dilakukan untuk ditindaklanjuti
sebagai dasar pencegahan dan penanganan masalah.
Keaslian Penelitian
Penelitian terhadap pestisida deltametrin pada produk pangan sudah
banyak dilaksanakan terkait aspek farmakologi, pengembangan teknologi, dan
kajian epidemiologi yang bermuara pada usaha-usaha pencegahan dan
penanggulangan kemunculannya sebagai residu pada bahan pangan. Collaborative
International Pesticides Analytical Council Limited (CIPAC) (2010) dan World
Health Organization (WHO) (1999) telah menetapkan prosedur analisis
deltametrin menggunakan KCKT dengan prosedur dan parameter analisis tertentu.
Pengembangan teknologi analisis dengan KCKT juga telah dilakukan oleh
Pavan dkk. (1999), WHO (1999), Trajkovska dan Jovanovic (2002), Zein dkk.
(2002), Nurhamidah, (2005), Pereira (2007), CIPAC (2010), Wijayanti dan Satria
(2011), Green dkk. (2013), dan Satria dkk. (2013). Pengembangan prosedur pada
umumnya dilakukan dengan modifikasi pada parameter komponen penyusun
KCKT, yang meliputi jenis dan suhu kolom, macam detektor, serta bahan dan laju
alir fase gerak. Beberapa kesamaan dan perbedaan penting dalam prosedur
analisis menggunakan KCKT yang pernah dikembangkan disajikan pada Tabel 1.
Penelitian tentang aspek farmakologi, toksikologi, maupun kajian
deltametrin di lapangan telah banyak dilakukan. Penelitian berskala laboratorium
pada berbagai hewan coba maupun kajian lapangan pada populasi telah dilakukan
7
antara lain oleh Frank dkk. (2000), Jayasree dkk. (2003), Heitzman (2003), dan
Kim dkk. (2007).
Tabel 1. Penelitian terdahulu penggunaan KCKT
No.
Topik Penelitian
Kesamaan
Perbedaan
1.
Prosedur analisis KCKT
(CIPAC, 2010)
Gelombang 236 nm
Perbedaan fase gerak
(iso-oktan dan dioksan),
penggunaan standar
internal dsb.
2.
Penelitian pestisida pada
penanganan nyamuk di laos
(Green, MD dkk., 2013)
Suhu kolom 30 oC
Laju alir 1,5 ml/menit,
panjang gelombang 230 nm
3
Optimasi KCKT pada produk cabai
(Nurhamidah, 2005)
Penggunaan detektor
UV-vis, jenis fase
gerak
Berbagai variasi konsentrasi
asetonitril sebagai fase
gerak dan laju alirnya,
penggunaan panjang
gelombang UV vis 270 nm
4.
Penentuan residu pestisida dalam
air buangan sapi (Pavan dkk., 1999)
Perbandingan fase
gerak yaitu asetonitril
80%
Laju air 1 ml/menit
5.
Prosedur analisis dengan KCKT
ditetapkan oleh Thermo Scientific
(Pereira, 2007)
Kolom 150Lx4,6 mm,
Suhu 30 oC
Volume injeksi 10 µl,
Gelombang 214 nm
6.
Optimasi analisis pada sampel
murni (Satria dkk., 2013)
Penggunaan kolom
C-18, fase gerak
asetonitril 80%, ,
Laju alir fase gerak
1,6 ml/menit, panjang
gelombang UV-vis 190 nm
7.
Prosedur analisis Deltametrin
dengan KCKT (WHO, 1999)
Laju alir
1 - 1,7 ml/menit
Volume injeksi 20 µl,
panjang gelombang UVvis 254 nm
8.
Validasi prosedur KCKT untuk
deltametrin (Wijayanti dan Satria,
2011)
Penggunaan kolom
C-18, fase gerak
asetonitril 80%, ,
Laju alir fase gerak 1 ml/
menit, panjang gelombang
UV-vis 270 nm
9.
Penentuan Imidakloprid,
Profenofos dan Deltametrin
Sebagai Residu Pestisida pada Buah
Cabe Secara Kromatografi Cair
Kinerja Tinggi. (Zein dkk., 2002)
kolom C18
(Shimpack CIC ODS,
150 x 4,6 mm),
Volume injeksi 20 µl,
detektor UV vis SPD
10AV
Perbandingan fase gerak
fase gerak (asetonitril:air =
70:30, panjang gelombang
270 nm
8
Penelitian lain juga pernah dilakukan oleh Pavan dkk. (1999) yang
meneliti kadar deltametrin pada air buangan limbah sapi. Csilik dkk. (2000)
meneliti residu deltametrin pada ikan di Danau Balaton. Zein dkk. (2002)
melakukan penelitian tentang penentuan deltametrin sebagai residu pestisida pada
buah cabai. Uysal dan Bilisli (2006) meneliti keberadaan residu deltametrin pada
produksi tomat. Mutiatikum dan Sukmawati (2009) menganalisis kadar residu
pestisida, termasuk deltametrin pada beras yang diambil dari lapangan. Fairchild
dkk. (2010) melakukan penelitian residu deltametrin pada udang dan lobster.
Narwanti dkk. (2012) meneliti residu deltametrin pada bawang merah di wilayah
DIY. Kajian toksisitas Deltametrin terhadap lele pernah dilakukan oleh Datta dan
Kaviraj (2003), sedangkan Kim dkk. (2007) melakukan penelitian toksisitas pada
tikus.
Penelitian-penelitian terdahulu yang telah dilaksanakan merupakan
referensi yang dijadikan acuan pada penelitian disertasi ini. Modifikasi dan
inovasi yang dilakukan terutama pada teknologi dan prosedur analisis, serta
metodologi penelitian eksperimental, membuat penelitian ini berbeda dengan
penelitian - penelitian sebelumnya. Kajian residu deltametrin di lapangan
khususnya di wilayah Kabupaten Sleman beserta faktor - faktor yang
berhubungan belum pernah dilakukan sebelumnya.
Tujuan Penelitian
Penelitian dilakukan dengan tujuan sebagai berikut :
1. Validasi prosedur analisis deltametrin menggunakan alat Kromatografi Cair
Kinerja Tinggi (KCKT) berdasarkan parameter spesifikasi/selektifitas, presisi,
9
akurasi, batas deteksi, batas kuantifikasi, dan linearitas, serta dilanjutkan
dengan melaksanakan konfirmasi tingkat kesesuaiannya menggunakan uji
Kappa.
2. Mengetahui kadar residu deltametrin pada daging broiler yang diberi perlakuan
deltametrin pada berbagai tingkat dosis secara per oral dan menganalisis
korelasinya dengan dosis perlakuan dan kadar dalam sampel darah dan hati.
3. Mengetahui prevalensi kejadian residu deltametrin pada daging broiler dan
analisis terhadap faktor - faktor yang berasosiasi.
Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari penelitian adalah sebagai berikut :
1. Digunakan sebagai prosedur standar analisis deltametrin dan sebagai dasar
pengembangan teknologi analisis yang lebih efektif dan efisien.
2. Digunakan sebagai referensi usaha peningkatan keamanan pangan produk
ayam broiler, khususnya pada perbaikan manajemen dan tata laksana
pemeliharaan.
10
Download