BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Perbedaan
Laporan
Keuangan
Komersial
dengan
Laporan
Keuangan Fiskal
Laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal pada
dasarnya memiliki beberapa perbedaan yaitu laporan keuangan komersial
dibuat untuk tujuan memberikan informasi tentang posisi keuangan,
kinerja, dan arus kas perusahaan yang bermanfaat bagi sebagian besar
kalangan pengguna laporan dalam rangka membuat keputusan ekonomi,
sedangkan laporan keuangan fiskal dibuat untuk tujuan membuat SPT PPh
Badan perusahaan yang bersangkutan sehingga dapat dibayarkan pajak
terutangnya demi menjalankan kewajibannya kepada Negara (IAI, 2009).
Perbedaan berikutnya adalah laporan keuangan komersial disusun
berdasarkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). Sementara
itu laporan keuangan fiskal disusun berdasarkan peraturan perpajakan
(Resmi, 2009).
Perbedaan utama antara laporan keuangan komersial dan laporan
keuangan fiskal disebabkan karena perbedaan tujuan serta dasar
hukumnya, walaupun dalam beberapa hal terdapat kesamaan antara
laporan keuangan komersial dan laporan keuangan pajak. Tujuan utama
laporan keuangan komersial adalah pemberian informasi keuangan
kepada para pengguna baik internal maupun eksternal. Standar Akuntansi
10
Keuangan memberikan panduan agar laporan keuangan relevan dan
reliabel sehingga informasi yang diterima oleh pengguna tidak sesat dan
dapat digunakan sebagai pembuatan keputusan. Tujuan utama peraturan
atau sistem perpajakan adalah pemungutan pajak yang adil, terdapatnya
kepastian hukum, dan terjaganya penerimaan Negara yang berasal dari
pajak (Persada dan Martani, 2010). Perbedaan tujuan tersebut
menyebabkan perbedaan konsep, ketentuan dan prinsip yang dianut antara
pembuatan laporan keuangan komersil dan laporan keuangan fiskal.
Prinsip yang dianut oleh akuntansi keuangan salah satunya adalah
prinsip konservatisme. Konservatisme menurut Suwardjono (2005)
didefinisikan
sebagai
sikap
atau
mazhab
dalam
menghadapi
ketidakpastian untuk mengambil tindakan atau keputusan atas dasar
outcome yang terjelek dari ketidakpastian tersebut. Konsep ini mengakui
biaya dan rugi lebih cepat, mengakui pendapatan dan untung lebih lambat,
menilai aktiva dengan nilai yang terendah, dan kewajiban dengan nilai
yang tertinggi. Konservatisme merupakan prinsip akuntansi yang jika
diterapkan akan menghasilkan laba yang terlalu rendah (understatement).
Oleh karena hal tersebut, dari sudut pandang perpajakan laporan keuangan
yang terlalu rendah (understatement) tidak dapat digunakan sebagai dasar
untuk menetapkan besarnya pajak yang terutang (Martani dan Persada,
2010).
Menurut Resmi (2009) perbedaan penyusunan laporan keuangan
komersial dengan laporan keuangan fiskal mengakibatkan perbedaan
11
penghitungan laba (rugi) suatu entitas (wajib pajak). Peraturan pajak di
Indonesia tidak mengharuskan perusahaan untuk membuat laporan
keuangan komersial dan fiskal secara terpisah atau pembukuan ganda
untuk memenuhi tujuan penghitungan laba (rugi) tersebut. Perusahaan
cukup membuat laporan keuangan komersial dan melakukan rekonsiliasi
fiskal terhadap laporan keuangan komersial untuk menentukan besarnya
laba fiskal dengan cara melakukan penyesuaian-penyesuaian laba
akuntansi berdasarkan peraturan pajak. Rekonsiliasi fiskal tersebut
dilakukan karena terdapat perbedaan penghitungan laba menurut
akuntansi komersial dengan laba menurut fiskal (IAI, 2009).
2.1.2 Perbedaan antara Laba Akuntansi dan Laba Fiskal (Book Tax
Differences)
Laba akuntansi merupakan terminologi yang digunakan standar
akuntansi keuangan yang berarti laba bersih atau rugi bersih selama satu
periode sebelum dikurangi dengan beban pajak (Persada dan Martani,
2010). Laba fiskal atau penghasilan kena pajak merupakan terminologi
yang digunakan undang-undang perpajakan yang berarti laba atau rugi
selama satu periode yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan dan
menjadi dasar perhitungan pajak penghasilan suatu perusahaan. Dalam
laporan perpajakan (Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan/SPT) yang
didefinisikan sebagai penghasilan kena pajak, yaitu penghasilan yang
dikenakan pajak dikurangi dengan beban yang boleh dikurangkan
(Persada dan Martani, 2010). Perbedaan antara laba akuntansi dan laba
12
fiskal tersebut akan menimbulkan selisih yang disebut dengan book tax
differences.
Menurut Phillips et al. (2003) perbedaan antara laba akuntansi dan
laba fiskal merupakan komponen total dari beban pajak yang ditanggung
oleh perusahaan dan mencerminkan efek pajak yang ditimbulkan oleh
perbedaan temporer antara akuntansi dan pajak. Menurut Plesko (2004)
perbedaan antara laba akuntansi dan laba fiskal atau book tax differences
adalah perbedaan pelaporan laba yang disebabkan karena perbedaan
konsep dan peraturan dalam masing-masing sistem pelaporan. Book tax
differences yang terjadi ketika laba sebelum pajak lebih besar
dibandingkan penghasilan kena pajak disebut positive book tax
differences, sedangkan jika pendapatan sebelum pajak lebih kecil
dibandingkan laba kena pajak disebut negative book tax differences
(Revsine, 2005).
Book tax differences terjadi karena perusahaan melakukan
rekonsiliasi fiskal pada akhir periode pembukuan terhadap laporan
keuangan komersial untuk tujuan penentuan penghasilan kena pajak.
Rekonsiliasi fiskal merupakan penyesuaian-penyesuaian terhadap laporan
keuangan komersial berdasarkan ketentuan perpajakan di Indonesia. Book
tax differences disebabkan oleh perbedaan ketentuan pengakuan dan
pengukuran antara standar akuntansi keuangan dan peraturan perpajakan.
Perbedaan tersebut menurut Persada dan Martani (2010) secara umum
13
dikelompokkan menjadi dua, yaitu perbedaan permanen dan perbedaan
temporer.
Perbedaan yang terjadi karena pendapatan dan beban bukan obyek
pajak, dikenakan pajak final atau beban yang secara spesifik tidak
dibolehkan menurut pajak disebut perbedaan permanen (permanent
differences). Perbedaan ini tidak mengakibatkan pajak yang dibayarkan di
masa mendatang lebih besar atau lebih kecil sehingga tidak menimbulkan
aset atau liabilitas pajak tangguhan. Perbedaan permanen tidak
menyebabkan DTA ataupun DTL tetapi mengakibatkan effective tax rate
(ETR) berbeda dengan tarif pajak yang diwajibkan (statutory tax rate).
Informasi tentang perbedaan permanen ini dijelaskan dalam catatan atas
laporan keuangan perusahaan melalui rekonsiliasi ETR. Perbedaan
permanen merupakan item-item yang dimasukkan dalam salah satu
ukuran laba, tetapi tidak pernah dimasukkan dalam ukuran laba yang lain.
Dengan kata lain, jika suatu item termasuk dalam ukuran laba akuntansi,
maka item tersebut tidak dimasukkan dalam ukuran laba fiskal dan
sebaliknya (Kieso et al., 2011).
Perbedaan yang disebabkan oleh ketentuan pengakuan dan
pengukuran yang berbeda antara standar akuntansi keuangan dan
peraturan pajak disebut perbedaan temporer (temporary differences).
Perbedaan ini dapat berupa deferred tax liability jika kewajiban pajak
dimasa yang akan datang akan lebih besar atau deferred tax asset jika
dimasa depan ada tax benefit yang akan diperoleh perusahaan (Hanlon,
14
2005). Perbedaan temporer disebabkan oleh perbedaan persyaratan waktu
pengakuan item pendapatan dan biaya. Untuk tujuan pelaporan keuangan,
pendapatan diakui ketika diperoleh dan biaya diakui pada saat terjadinya,
atau accrual basic. Sedangkan untuk tujuan pajak, perusahaan hanya
mengakui pendapatan yang diterima dan biaya yang dikeluarkan pada
periode yang bersangkutan. Dengan kata lain, pendapatan dicatat ketika
kas diterima, penangguhan pendapatan (unearned) tidak dimasukkan
dalam laba fiskal dan biaya diakui pada saat kas dikeluarkan, atau cash
basic. Perbedaan temporer mengandung konsekuensi pajak yang
dibayarkan menjadi lebih besar dan lebih kecil di masa mendatang,
sehingga menimbulkan aset atau liabilitas pajak tangguhan. Catatan atas
laporan keuangan perusahaan merupakan sumber informasi utama secara
detil tentang perbedaan temporer ini (Kieso et al., 2011).
Tang and Firth (2011) membedakan book tax differences menjadi
dua yaitu normal book tax differences (NBTD) dan abnormal book tax
differences (ABTD). NBTD dapat dijelaskan oleh perbedaan standar
akuntansi keuangan dengan peraturan perpajakan. ABTD yang dapat
dijelaskan oleh aktivitas manajemen laba dan manajemen pajak yang
dilakukan oleh manajemen perusahaan. Oleh karena itu book tax
differences tidak selalu timbul akibat perbedaan standar akuntansi
keuangan dengan peraturan perpajakan, book tax differences juga timbul
akibat adanya unsur-unsur oportunistik pihak manajemen seperti
contohnya manajemen laba dan manajemen pajak.
15
2.1.3 Manajemen Laba
Manajemen laba adalah pilihan yang dilakukan oleh seorang
manajer atas kebijakan akuntansi atau tindakan nyata manajer yang
mempengaruhi laba untuk mencapai tujuan spesifik dari laba yang
dilaporkan (Scott, 2012). Manajemen laba menurut Schipper (1989)
dalam Dechow dan Skinner (2000) adalah suatu intervensi yang dilakukan
manajemen dengan tujuan tertentu dalam proses pelaporan keuangan yang
sengaja dilakukan dengan kepentingan pribadi. Menurut Healy dan
Wahlen (1999) manajemen laba terjadi ketika manajemen menggunakan
judgement dalam menyusun transaksi untuk merubah laporan keuangan,
dengan tujuan untuk menyesatkan pemangku kepentingan terkait dengan
kinerja ekonomi perusahaan dan atau untuk mempengaruhi hasil-hasil
kontrak yang tergantung pada praktik pelaporan akuntansi. Dari beberapa
definisi manajamen laba tersebut, terdapat kesamaan yang dapat
disimpulkan, yaitu usaha campur tangan manajemen untuk menaikkan
atau menurunkan laba untuk memperoleh keuntungan tertentu.
Manajemen laba merupakan aktivitas yang berawal dari adanya
konflik kepentingan antara pemilik (principal) dan manajemen (agent).
Pemilik berkepentingan untuk memperoleh laba yang stabil atau
meningkat dan return saham yang memuaskan, sedangkan manajemen
berkepentingan untuk memaksimalkan kontrak kompensasi atau bonus
yang
diterima.
Setiap
pihak
berkeinginan
untuk
mencapai
kepentingannya, hal tersebut yang mendorong terjadinya manajemen
16
untuk melakukan aktivitas manajemen laba. Selain itu, menurut Jensen
dan Meckling (1976) dalam teori agency manajemen sebagai pihak
pengelola perusahaan (agent) memiliki informasi terkait dengan internal
perusahaan yang lebih banyak dibanding dengan pemilik (principal).
Kondisi ini akan menyebabkan asimetri informasi antara manajemen
dengan pemilik yang berakibat pada praktik manajemen laba.
Aktivitas manajemen laba sering dihubungkan dengan perilaku
manajemen yang negatif karena manajemen laba menyebabkan informasi
yang terkandung dalam laporan keuangan khususnya informasi yang
menyangkut laba tidak mencerminkan keadaan sebenarnya. Informasi
yang menyangkut tentang laba padahal informasi yang dijadikan perhatian
utama oleh pemangku kepentingan karena informasi tersebut digunakan
untuk menilai kinerja dan membuat keputusan. Meskipun tindakan
manajemen laba tidak melanggar prinsip-prinsip akuntansi yang diterima
umum, namun dampaknya dapat mengikis kepercayaan masyarakat
terhadap laporan keuangan yang diterbitkan perusahaan.
Pola manajemen laba menurut Scott (2012) yaitu adalah:
a. Taking a bath
Disebut juga big baths, bisa terjadi selama periode dimana terjadi
tekanan dalam organisasi atau terjadi reorganisasi, misalnya
pergantian direksi. Jika pola ini dilakukan maka biaya-biaya yang ada
pada periode yang akan datang diakui pada periode berjalan.
17
Akibatnya, laba di masa yang akan datang akan lebih tinggi meskipun
kondisi yang tidak menguntungkan akan terjadi.
b. Income minimization
Pola meminimalkan laba dilakukan karena motif politik atau motif
meminimalkan pajak. Cara ini dilakukan saat perusahaan memperoleh
laba yang tinggi dengan tujuan agar tidak mendapat perhatian secara
politis. Kebijakan yang dapat diambil perusahaan yaitu dapat berupa
penghapusan atas barang-barang modal dan aktiva tak berwujud,
pembebanan pengeluaran iklan, riset dan pengembangan yang cepat.
c. Income maximization
Pola memaksimalkan laba bertujuan untuk memperoleh bonus yang
maksimal. Tindakan memaksimalkan laba juga bisa dilakukan untuk
menghindari pelanggaran atas kontrak hutang jangka panjang (debt
covenant).
d. Income smooth
Pola ini dilakukan karena perusahaan umumnya lebih memilih
pertumbuhan laba yang stabil daripada menunjukkan pertumbuhan
laba yang meningkat atau menurun secara drastis.
Dua motivasi utama para manajer melakukan manajemen laba,
yaitu tujuan oportunis dan informasi (signaling) kepada investor. Tujuan
oportunis mungkin dapat merugikan pemakai laporan keuangan karena
informasi yang disampaikan manajemen menjadi tidak akurat dan juga
tidak menggambarkan nilai fundamental perusahaan. Sikap oportunis ini
18
dinilai sebagai sikap curang manajemen perusahaan yang diimplikasikan
dalam laporan keuangannya pada saat menghadapi intertemporal choice
(kondisi yang memaksa eksekutif tersebut menggunakan keputusan
tertentu dalam melaporkan kinerja yang menguntungkan bagi dirinya
sendiri ketika menghadapi situasi tertentu). Sikap curang tersebut
didefinisikan sebagai satu atau lebih tindakan yang disengaja dan didesain
untuk menipu orang lain sehingga menyebabkan hilangnya kekayaan
(Scott, 2012).
Tujuan informatif (signaling) kemungkinan besar membawa
dampak yang baik bagi pemakai laporan keuangan. Manajer berusaha
menginformasikan kesempatan yang dapat diraih oleh perusahaan di masa
yang akan datang. Sebagai contoh, karena manajer sangat erat kaitannya
dengan keputusan yang berhubungan dengan aktivitas investasi maupun
operasi perusahaan, otomatis para manajer memiliki informasi yang lebih
baik mengenai prospek perusahaan masa datang. Oleh karena itu, manajer
dapat mengestimasi secara baik laba masa datang dan diinformasikan
kepada investor atau pemakai laporan keuangan lainya. Manajer dapat
menggunakan diskresi akrual untuk merefleksikan kinerja perusahaan
tersebut melalui laporan laba (Scott, 2012).
2.1.4 Manajemen Pajak
Upaya dalam melakukan penghematan pajak secara legal dapat
dilakukan melalui manajemen pajak. Lubantoruan dalam Suandy (2005)
mendefinisikan manajemen pajak adalah sarana untuk memenuhi
19
kewajiban pajak dengan benar tetapi dengan jumlah pajak yang dapat
ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuditias yang
diharapkan. Minnick dan Noga (2010) menjelaskan manajemen pajak
sebagai kemampuan untuk membayar jumlah yang lebih sedikit atas pajak
dalam jangka waktu yang panjang.
Suandy (2005) menyatakan bahwa manajemen pajak mempunyai
dua tujuan, yaitu menerapkan peraturan pajak secara benar dan usaha
efisiensi untuk mencapai laba yang seharusnya. Untuk mencapai kedua
tujuan tersebut, maka manajemen pajak memiliki tiga fungsi, yaitu
perencanaan pajak (tax planning), pelaksanaan pajak (tax implementation)
dan pengendalian pajak (tax control).
Strategi mengefisienkan beban pajak (penghematan pajak) yang
dilakukan perusahaan harus bersifat legal atau tidak melanggar peraturan
agar tidak terkena sanksi-sanksi pajak dikemudian hari. Meminimumkan
kewajiban pajak dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik yang masih
memenuhi ketentuan perpajakan maupun yang melanggar peraturan
perpajakan. Istilah yang sering digunakan adalah tax evasion dan tax
avoidance. Mardiasmo (2011) menjelaskan definisi terkait dua istilah
tersebut. Tax evasion (penggelapan pajak) adalah penghindaran pajak
dengan melanggar ketentuan peraturan perpajakan. Tax avoidance
(penghindaran pajak) adalah penghindaran pajak dengan menuruti
peraturan yang ada.
20
2.1.5 Teori Keagenan
Teori keagenan merupakan suatu kontrak yang terjadi antara
principal dan agent. Teori Keagenan merupakan dasar yang digunakan
dalam memahami corporate governance (Anggit dan Shodiq, 2014).
Menurut Jensen dan Meckling (1976) hubungan agensi terjadi ketika satu
orang atau lebih (principal) membayar orang lain sebagai agent untuk
memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang
pengambilan keputusan ke agent tersebut. Dalam konteks perusahaan go
public, principal adalah pemegang saham atau investor, sedangkan agent
adalah manajemen yang bertugas untuk mengelola perusahaan.
Eisenhardt dalam Ujiyantho dan Pramuka (2007) menjelaskan
bahwa terdapat tiga asumsi sifat manusia dalam teori keagenan, yaitu: (1)
manusia pada umumnya lebih mementingkan dirinya sendiri (self
interest), (2) terbatasnya daya pikir manusia mengenai persepsi di masa
yang akan datang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu
menghindari risiko (risk averse). Dari penjelasan terkait asumsi sifat dasar
manusia tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa manusia akan
bertindak oportunistik dan selalu mengutamakan kepentingan pribadinya.
Hal tersebut merupakan faktor penyebab timbulnya konflik keagenan
antara manajer (agent) dan pemegang saham (principal).
Motivasi yang berbeda antara masing-masing pihak sesuai dengan
kepentingannya dan keinginan masing-masing pihak untuk mencapai atau
mempertahankan kemakmurannya menyebabkan timbulnya konflik
21
kepentingan antara pemegang saham atau investor selaku principal dan
manajemen selaku agent. Meningkatnya konflik kepentingan disebabkan
principal tidak selalu dapat mengawasi aktivitas manajemen untuk
memastikan apakah manajemen sebagai agent telah bekerja sesuai dengan
keinginan principal (Anggit dan Shodiq, 2014). Menurut Scott (2012)
dalam mengelola perusahaan manajemen memiliki informasi yang lebih
dari pihak luar perusahaan termasuk principal itu sendiri. Keadaan
tersebut dikenal dengan asimetri informasi. Menurut Scott (2012) asimetri
informasi terbagi menjadi dua jenis, yaitu: (1) manajemen memiliki
informasi yang lebih dari pihak luar perusahaan (adverse selection) dan
(2) manajemen paham tentang segala aktivitas di dalam perusahaan,
sedangkan pihak luar tidak (moral hazard). Oleh karena asimetri
informasi tersebut manajer seringkali memberikan laporan yang tidak
mencerminkan kondisi perusahaan yang sesungguhnya dengan tujuan
memaksimalkan kepentingan pribadinya.
Menurut Anggit dan Shodiq (2014) manajer dalam melakukan
tugasnya akan menerbitkan laporan pertanggungjawaban yang berupa
laporan keuangan. Dengan laporan keuangan tersebut kinerja perusahaan
akan dinilai oleh principal dan manajemen akan diberikan kompensasi
atau insentif sesuai kesepakatan dengan principal atau apabila kinerja
manajemen sesuai dengan keinginan principal. Namun, penilaian kinerja
melalui laporan keuangan tersebut menimbulkan masalah baru. Dalam
penyusunan laporan keuangan Standar Akuntansi Keuangan di Indonesia
22
yang berkiblat pada International Financial Reporting Standards (IFRS)
memberikan kebebasan dalam memilih metode akuntansi yang akan
digunakan (Rachmawati dan Triatmoko, 2007). Dengan begitu
perusahaan melalui pemilihan metode akuntansi yang berbeda dapat
menghasilkan nilai laba yang berbeda sesuai dengan keinginan
manajemen (Anggit dan Shodiq, 2014). Dengan demikian nilai laba yang
dilaporkan perusahaan bisa saja tidak mencerminkan kondisi perusahaan
yang sebenarnya. Aktivitas tersebut sering dikenal dengan manajemen
laba dan manajemen pajak.
Konflik kepentingan yang disebabkan asimetri informasi antara
principal dan agent dapat diatasi melalui tata kelola perusahaan yang baik
sebagai suatu mekanisme yang mengontrol manajer (Shleifer dan Vishny,
1997 dalam Sirait, 2014). Tata kelola perusahaan (corporate governance)
diyakini mampu membatasi ruang gerak manajemen sehingga akan sulit
untuk melakukan tindakan manajemen pajak dan manajemen laba karena
dengan pembatasan tersebut perilaku oportunistik manajer dalam
memaksimalkan kepentingan pribadi akan dapat diminimalisir.
2.1.6 Corporate Governance
Corporate governance menurut FCGI (Forum for Corporate
Governance) (2001) mempergunakan definisi Cadburry Committee, yaitu
seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham,
pengurus (pengelola) perusahaan, kreditur, pemerintah, karyawan serta
para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan
23
dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain sistem yang
mengatur dan mengendalikan perusahaan. Disamping itu FCGI juga
menjelaskan, bahwa tujuan dari Corporate Governance adalah untuk
menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan
(stakeholders).
World Bank dalam Otoritas Jasa Keuangan (2013) mendefinisikan
corporate governance sebagai suatu perpaduan antara hukum, peraturan
perundang-undangan dan praktik yang dilakukan oleh sektor privat atas
dasar sukarela yang memungkinkan perusahaan untuk menarik modal
keuangan dan tenaga kerja, berkinerja secara efisien, dan dengan semua
itu dapat secara berkesinambungan menghasilkan nilai-nilai ekonomi
jangka panjang bagi para pemegang sahamnya, dan pada saat yang
bersamaan memperhatikan kepentingan para pemangku kepentingan dan
masyarakat secara keseluruhan.
Corporate Governance yang baik disebut dengan Good Corporate
Governance. Menurut Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG),
Good Corporate Governance (GCG) adalah salah satu pilar dari sistem
ekonomi pasar. GCG diperlukan untuk mendorong terciptanya pasar yang
efisien, transparan dan konsisten dengan peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu penerapan GCG harus didukung oleh tiga pilar yang saling
berhubungan, yaitu Negara dan perangkatnya sebagai regulator, dunia
usaha sebagai pelaku pasar dan masyarakat sebagai pengguna produk dan
jasa dunia usaha.
24
Setiap perusahaan harus memastikan bahwa asas GCG telah
diterapkan pada setiap aspek bisnis dan di semua jajaran perusahaan.
Menurut KNKG (2006) untuk mencapai kesinambungan usaha
(sustainability)
perusahaan
dengan
memperhatikan
kepentingan
stakeholders GCG memiliki lima asas yang mendasar, yaitu:
a. Transparansi (Transparency)
Untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan
perlu menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara
yang mudah diakses dan dipahami oleh stakeholders.
b. Akuntabilitas (Accountability)
Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya secara
transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola dengan
benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan
tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku
kepentingan lain.
c. Responsibilitas (Responsibility)
Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta
melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan
sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka
panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen.
25
d. Independensi (Independency)
Perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masingmasing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat
diintervesi oleh pihak lain.
e. Kewajaran dan kesetaraan (Fairness)
Perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang
saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas
kewajaran dan kesetaraan.
Secara lebih rinci, terminologi Corporate Governance dapat
dipergunakan untuk menjelaskan peranan dan perilaku dari dewan
komisaris, komisaris independen, dan komite audit.
a. Dewan Komisaris
Menurut FCGI (2001) dewan komisaris merupakan inti dari
corporate governance. Dewan komisaris menurut KNKG (2006)
bertugas dan bertanggung jawab secara kolektif untuk melakukan
pengawasan dan memberikan nasihat kepada direksi serta memastikan
bahwa perusahaan melaksanakan GCG. Dewan komisaris memiliki
peran untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi
manajemen
dalam
mengelola
perusahaan,
serta
mewajibkan
terlaksananya akuntabilitas. Dewan Komisaris merupakan suatu
mekanisme mengawasi dan memberikan petunjuk serta arahan pada
pengelola perusahaan. Dewan komisaris memiliki otoritas dan posisi
lebih tinggi daripada dewan direksi, namun dewan komisaris memiliki
26
kelemahan yaitu hanya sedikit mengetahui informasi tentang situasi
dan kondisi perusahaan dibandingkan dewan direksi. Oleh karena itu,
dewan komisaris harus mengawasi kinerja dewan direksi.
b. Komisaris Independen
Dewan komisaris independen di Indonesia diatur dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Pengertian komisaris independen menurut UU tersebut adalah anggota
dewan komisaris yang tidak terafiliasi dengan direksi, anggota dewan
komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali, serta bebas dari
hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi
kemampuannya untuk bertindak independen.
Klein (2002) menyatakan bahwa dewan yang independen yang
bukan berasal dari luar perusahaan mampu manjadi alat pengawasan
yang lebih efektif. Komisaris independen adalah anggota dewan
komisaris yang bukan merupakan pegawai atau orang yang berurusan
langsung dengan organisasi tersebut dan tidak mewakili pemegang
saham.
c. Komite Audit
Menurut FCGI (2001) komite audit adalah komite yang
dibentuk oleh dewan komisaris yang bertanggung jawab utama untuk
membantu dewan komisaris dalam menjalankan tanggung jawabnya
terutama terhadap masalah yang berhubungan dengan kebijakan
akuntansi, perusahaan, pengawasan internal dan sistem pelaporan
27
keuangan. Pada umumnya komite audit bertanggung jawab pada tiga
bidang, yaitu laporan keuangan, tata kelola perusahaan dan
pengawasan perusahaan. Keberadaan komite audit sangat penting bagi
pengelolaan perusahaan oleh karena itu The Institute of Internal
Auditor
(IIA)
merekomendasikan
setiap
perusahaan
untuk
mempunyai komite audit.
Menurut KNKG (2006) komite audit bertugas membantu
Dewan Komisaris untuk memastikan bahwa: (1) laporan keuangan
telah disajikan secara wajar sesuai dengan Prinsip Akuntansi yang
Berlaku Umum (PABU), (2) struktur pengendalian internal
perusahaan dilaksanakan dengan baik, (3) pelaksanaan audit internal
maupun eksternal dilaksanakan sesuai dengan standar audit yang
berlaku, dan (4) tindak lanjut temuan hasil audit dilaksanakan oleh
manajemen.
Komite audit memiliki tugas khusus dan dibentuk dengan
tujuan untuk mengatasi masalah-masalah penting yang tidak dapat
ditangani secara langsung oleh dewan komisaris. Hal tersebut sejalan
dengan pernyataan Nasution dan Setiawan (2007) yang menyatakan
bahwa komite audit bertugas untuk menangani masalah-masalah yang
membutuhkan integrasi dan koordinasi sehingga dimungkinkan
permasalahan-permasalahan yang signifikan atau penting dapat segera
teratasi.
28
2.2 Penelitian Terdahulu
Upaya mendeteksi perilaku oportunistik manajemen memiliki hambatan
besar terkait dengan tindakan manajemen yang sulit untuk diamati dan proksi
manajemen laba yang masih memiliki beberapa kelemahan (Hofmann, 2002
dalam Tang, 2006). Dalam riset manajemen laba, proksi yang sering digunakan
adalah discretionary accruals meskipun memiliki beberapa kelemahan (Tang,
2006). Akrual mencerminkan inkonsistensi laba dan arus kas yang disebabkan
oleh
pemilihan
metode
akuntansi
dan
kebijakan
manajemen.
Jika
nondiscretionary accruals merupakan pengakuan akrual laba yang wajar, yang
tunduk pada suatu standar akuntansi, sedangkan discretionary accruals adalah
pengakuan akrual laba atau beban yang bebas dan tidak diatur dalam standar
akuntansi dan merupakan pilihan atas kebijakan manajemen (Healy, 1985
dalam Tang, 2006). Pendekatan akrual memiliki beberapa kelemahan dan hal
tersebut menuai beberapa kritik. Roychodhury (2006) dalam Warsini (2014)
dan Jian dan Wong (2003) dalam Tang (2006) mengkritik bahwa akrual
merupakan selisih antara laba akuntansi dengan arus kas sehingga hal tersebut
tidak dapat menangkap tindakan manajemen laba melalui aktivitas riil.
Serupa dengan manajemen laba, upaya mengukur manajemen pajak
juga tidak mudah. Dalam perkembangan penelitian perpajakan, effective tax
rate (ETR) merupakan proksi untuk manajemen pajak yang paling sering
digunakan (Mills et al., 1998; Gupta dan Mills, 2002; Phillips, 2003; Tang,
2006). Tang (2006) juga mengakui bahwa dalam perkembangan penelitian
terkait manajemen pajak sulit untuk menemukan proksi yang lebih baik
29
daripada effective tax rate. Menurut Shackelford dan Shevlin (2001) effective
tax rate dihitung dengan membagi current tax expense dengan pre tax book
income yang dapat mendeteksi adanya manajemen pajak. Manajemen pajak
yang efektif ditandai dengan semakin rendahnya ETR. Plesko (2004)
menjelaskan bahwa kemampuan ETR dalam mendeteksi manajemen pajak akan
berkurang karena kesalahan pengukuran dan pengecualian terhadap pajak
implisit. Selain itu, Tang (2006) menjelaskan ETR mengandung informasi atas
manajemen pajak dan efek insentif dari kebijakan pajak. Oleh karena itu Tang
(2006) menegaskan bahwa sulit untuk memastikan apakah semakin rendah ETR
disebabkan oleh aktivitas penghindaran pajak atau insentif/preferensi pajak.
Ketika perkembangan riset terkait manajemen laba dan manajemen
pajak masih belum ditemukan pengukuran yang benar-benar tepat, beberapa
penelitian menyebutkan bahwa book tax differences (BTD) merupakan
indikator yang baik untuk manajemen laba. Beberapa peneliti terkait
manajemen laba dan kualitas laba telah memusatkan perhatiannya pada selisih
antara laba akuntansi dan laba fiskal (Mills dan Newberry, 2001; Manzon dan
Plesko, 2002; Phillips et al., 2003; Lev dan Nissin, 2004; Hanlon, 2005;
Jackson, 2009). Mereka berpendapat bahwa BTD dapat mengindikasikan
adanya aktivitas manajemen laba yang nantinya akan berpengaruh terhadap
kualitas laba yang dilaporkan. Logika yang mendasarinya menurut Wijayanti
(2006) adalah adanya sedikit kebebasan akuntansi yang diperbolehkan dalam
pengukuran laba fiskal sehingga BTD dapat memberikan informasi terkait
management discretion dalam proses akrual.
30
Revsine et al. (1999) dalam Tang (2006) menjelaskan bahwa rasio laba
akuntansi dan laba fiskal dapat digunakan untuk mengukur konservatisme atau
agresivitas akuntansi. Palepu et al. (2000) dalam Hanlon (2005) menjelaskan
bahwa semakin besar perbedaan antara laba akuntansi dan laba fiskal akan
menunjukkan “tanda bahaya” bagi pengguna laporan keuangan. Mills dan
Newberry (2001) memberikan bukti bahwa perusahaan dengan insentif
manajemen laba akan memiliki BTD yang lebih besar. Penman (2001) juga
menyatakan bahwa BTD dapat digunakan sebagai pendeteksi adanya
manipulasi pada biaya utama suatu perusahaan.
Phillips et al. (2003) melakukan penelitian untuk mengevaluasi apakah
BTD lebih dapat digunakan dalam mendeteksi manajemen laba dibandingkan
dengan pengukuran dengan pendekatan akrual lainnya. Phillips et al. (2003)
menggunakan biaya pajak tangguhan sebagai proksi BTD. Dengan asumsi
bahwa standar akuntansi memperbolehkan manajer untuk melakukan discretion
yang lebih besar daripada peraturan perpajakan dalam menentukan jumlah laba
dan beban, dan dengan asumsi bahwa laba fiskal selalu konstan, Phillips et al.
(2003) menemukan bukti bahwa BTD lebih dapat digunakan daripada total
akrual dan discretionary accruals dalam mengklasfikasikan perusahaan yang
melakukan manajemen laba atau tidak untuk tahun perusahaan yang
menghindari kerugian dan penurunan laba.
Perkembangan penelitian terkait manajemen pajak juga menyebutkan
bahwa BTD dapat dijadikan proksi yang baik untuk mendeteksi adanya
tindakan manajemen pajak (Desai dan Dharmapala, 2004; Plesko, 2004;
31
Wilson, 2007; Frank et al., 2009). Tang (2006) menyatakan bahwa kebijakan
akuntansi dan pelaporan pajak yang tidak konsisten dapat dijadikan
karakteristik dari perencanaan pajak karena tujuan perencanaan pajak sendiri
adalah untuk meminimalkan beban pajak. Manzon dan Plesko (2002); Plesko
(2004) menemukan bukti bahwa sejak tahun 1990-an nilai BTD semakin
meningkat, tetapi pertumbuhan ini tidak dapat dijelaskan secara jelas. Mereka
beranggapan bahwa nilai yang tak dapat terjelaskan dalam BTD tersebut dapat
diatribusikan ke dalam peningkatan aktivitas perencanaan pajak. Mills et al.
(1998) dalam penelitiannya menemukan bukti bahwa BTD yang semakin besar
dan positif mengindikasikan pelaporan pajak yang agresif. Wilson (2009) dan
Frank et al. (2009) menemukan bukti adanya hubungan positif antara BTD
dengan perusahaan yang teridentifikasi melakukan perencanaan pajak. Hanlon
(2005) dalam penelitiannya juga konsisten dengan penelitian sebelumnya,
bahwa perusahaan dengan BTD yang besar baik itu positif maupun negatif
memiliki ETR yang lebih rendah yang menandakan adanya perencanaan pajak.
Selain berfokus kepada apakah BTD dapat dijadikan proksi yang baik
bagi manajemen laba dan manajemen pajak, perkembangan penelitian terkini
juga menemukan bukti bahwa manajemen dapat melakukan pengaturan laba
akuntansi dan laba fiskal secara bersamaan karena memang berbeda secara
tujuan dan aturan (Warsini, 2014). Shackelford dan Shevlin (2001) menyatakan
bahwa manajemen laba dan manajemen pajak mungkin dapat terjadi secara
simultan dan saling berinteraksi antar satu dengan yang lain. Frank et al. (2009)
juga menemukan bukti yang mengindikasikan bahwa perusahaan yang
32
melakukan pelaporan keuangan agresif juga dapat terlibat dalam pelaporan
pajak yang agresif. BTD juga dapat digunakan sebagai gabungan untuk kedua
ukuran manajemen laba dan manajemen pajak (Tang, 2006; Tang dan Firth,
2011). Tujuan akhir BTD menurut Tang dan Firth (2011) adalah untuk
mempengaruhi nilai laba dan pajak yang dibayarkan. Oleh karena itu BTD
menginformasikan tidak hanya perbedaan mekanik antara peraturan akuntansi
dan perpajakan, melainkan juga strategi dan perilaku manajemen dalam
mengatur laba dan pajaknya.
Penelitian-penelitian terkait dengan BTD terus berkembang dan tidak
hanya membahas hubungannya dengan manajemen laba dan atau manajemen
pajak, akan tetapi juga hubungannya dengan corporate governance. Penelitian
tersebut diantaranya dilakukan oleh Annisa dan Kurniasih (2012); Septiani dan
Martani (2014); Winata (2014); Desai dan Dharmapala (2004). Penelitian
Winata (2014) membuktikan bahwa proksi corporate governance yang terdiri
dari persentase dewan komisaris independen dan jumlah komite audit
berpengaruh secara signifikan terhadap nilai BTD. Septiani dan Martani (2014)
juga membuktikan bahwa penilaian direksi dan komisaris sebagai salah satu
proksi corporate governance berpengaruh secara signifikan terhadap ABTD.
Corporate governance merupakan suatu mekanisme dalam perusahaan
yang berkaitan erat dalam menurunkan aktivitas manajamen laba dan
manajemen pajak. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya penelitian yang
membuktikan bahwa corporate governance berpengaruh negatif terhadap
manajemen laba dan atau manajemen pajak (Dechow et al., 1998; Becker et al.,
33
1998; Klein, 2002; Desai dan Dharmapala, 2004; Wedari, 2004; Nasution dan
Setiawan, 2007; Annisa dan Kurniasih, 2012; Anggit dan Shodiq, 2014; Winata,
2014). Corporate governance pada beberapa penelitian tersebut umumnya
menggunakan proksi secara partial (terpisah), seperti proporsi dewan komisaris
independen, jumlah komite audit, kualitas audit, struktur kepemilikan dan lain
sebagainya.
Dalam perkembangan literatur terkait manajemen laba, manajemen
pajak dan corporate governance, terdapat faktor atau insentif yang
menyebabkan aktivitas manajemen pajak maupun manajemen laba semakin
besar. Berdasarkan hasil penelitian terkait corporate governance yang
menunjukkan hubungan negatif terhadap manajemen pajak dan manajemen
laba, corporate governance juga dapat digunakan sebagai moderator yang dapat
menurunkan pengaruh faktor atau insentif tersebut terhadap aktivitas
manajemen pajak dan manajemen laba dalam perusahaan. Logika yang
mendasarinya adalah jika corporate governance suatu perusahaan baik, maka
lima asas mendasar berupa transparansi, akuntabilitas, responsibilitas,
independensi dan kewajaran dalam suatu perusahaan akan terpenuhi (Winata,
2014). Struktur good corporate governance menurut Lin dan Hwang (2010)
juga membantu untuk memastikan bahwa manajemen telah mengelola sumber
daya dengan baik sesuai dengan keinginan pemilik dan melaporkan kondisi
keuangan dan kinerja operasi perusahaan secara wajar.
Penelitian Desai dan Dharmapala (2004) memberikan bukti bahwa
insentif kompensasi dengan kekuatan yang besar mengakibatkan tindakan
34
perencanaan pajak semakin kecil. Hubungan negatif tersebut dibuktikan terjadi
ketika mekanisme corporate governance dalam perusahaan cenderung lemah.
Dapat disimpulkan bahwa mekanisme corporate governance suatu perusahaan
dapat dijadikan moderator terkait dengan pengaruh insentif kompensasi
terhadap tindakan perencanaan pajak. Penelitian Conyon dan He (2011) juga
membuktikan bahwa perusahaan dengan susunan direksi dan komisaris
independen sebagai mekanisme corporate governance juga berhubungan positif
dengan tingkat pembayaran kompensasi. Penelitian Anggreni et al. (2015)
membuktikan bahwa kepemilikan institusional sebagai proksi corporate
governance memperkuat hubungan negatif manajemen pajak dengan kualitas
laba.
Penelitian Herawaty (2008) membuktikan bahwa komisaris independen,
kualitas audit dan kepemilikan institusional sebagai proksi corporate
governance dapat dijadikan moderator dalam menurunkan pengaruh
manajemen laba terhadap nilai perusahaan. Hal ini membuktikan bahwa
manajemen laba dapat diminimumkan dengan mekanisme monitoring oleh
komisaris independen, kualitas audit dan kepemilikan institusional. Penelitian
Septiadi dan Mimba (2015) membuktikan bahwa komposisi dewan komisaris
dan ukuran komite audit mampu memperlemah hubungan asimetri informasi
terhadap manajemen laba. Dapat disimpulkan bahwa sebagai variabel
dependen, manajemen laba juga dapat dimoderasi oleh corporate governance.
Hal tersebut menunjukkan bahwa corporate governance juga dapat dijadikan
moderasi antara insentif manajemen laba dengan tindakan manajemen laba.
35
2.3 Pengembangan Hipotesis
2.3.1 Insentif manajemen pajak dapat digunakan sebagai faktor
pendeteksi ABTD.
Menurut Irawan dan Farahmita (2013) konflik kepentingan antara
pemilik perusahaan dengan manajemen menyebabkan manajemen tidak
akan bertindak untuk kepentingan pemegang saham jika tindakan tersebut
tidak bermanfaat bagi manajemen itu sendiri. Untuk mengatasi konflik
kepentingan tersebut, pemilik perusahaan umumnya memberikan
kompensasi kepada manajemen agar manajemen dapat lebih transparan
dan meningkatkan kinerja manajemen. Jika kinerja manajemen baik maka
kinerja perusahaan juga akan baik. Pengukuran kinerja pada umumnya
dilakukan dengan melihat laba perusahaan. Laba perusahaan dipengaruhi
oleh salah satunya adalah pembayaran pajak perusahaan. Semakin rendah
pajak yang dibayarkan maka laba yang dihasilkan perusahaan akan
semakin tinggi. Dengan adanya kompensasi manajemen diharapkan
kinerja perusahaan melalui efisiensi pembayaran pajak akan semakin
meningkat. Penelitian terdahulu diantaranya penelitian Armstrong et al.
(2012) menemukan bukti bahwa kompensasi yang diterima eksekutif
perusahaan berhubungan negatif dengan rendahnya pembayaran pajak
perusahaan. Rego dan Wilson (2009) juga melakukan penelitian yang
membuktikan bahwa semakin besar level kompensasi maka tindakan
pajak agresif juga semakin tinggi.
36
Maka dari penjelasan di atas dapat diambil hipotesis sebagai
berikut:
H1a: semakin tinggi tingkat kompensasi direksi mengakibatkan
ABTD akan semakin tinggi.
Selain kompensasi yang diberikan secara langsung oleh pemilik
perusahaan, kompensasi secara tidak langsung juga dapat diperoleh
melalui kepemilikan saham direksi. Kepemilikan saham oleh direksi dapat
dilakukan dengan cara membeli sendiri atau melalui program khusus
perolehan saham yang sengaja dilakukan perusahaan. Hal tersebut
dilakukan agar mendorong manajemen memiliki rasa kepemilikan yang
besar
terhadap
meningkatkan
perusahaan
nilai
dan
pemegang
memotivasi
saham
manajemen
perusahaan
dengan
untuk
cara
meningkatkan kinerja perusahaan, salah satunya melalui aktivitas
manajemen pajak (Irawan dan Farahmita, 2013). Penelitian Minnick dan
Noga (2010) menemukan bukti bahwa kompensasi berbasis saham yang
diterima manajer akan mendorong tindakan manajemen pajak untuk
efisiensi pembayaran pajak perusahaan. Desai dan Dharmapala (2006)
menemukan bukti bahwa paket kompensasi yang diterima manajemen
menjadi faktor penentu signifikan atas tindakan penghindaran pajak. Dari
penjelasan tersebut maka dapat diambil hipotesis sebagai berikut:
H1b: semakin tinggi kepemilikan saham oleh direksi mengakibatkan
ABTD akan semakin tinggi.
37
2.3.2 Insentif manajemen laba dapat digunakan sebagai faktor pendeteksi
ABTD.
Seasoned Equity Offerings (SEON) merupakan penawaran saham
tambahan yang dilakukan perusahaan yang listed di pasar modal, diluar
saham yang terlebih dahulu beredar di masyarakat melalui Initial Public
Offerings (IPO) (Megginson, 2000). SEON dapat dilakukan dengan dua
cara, yaitu: melalui mekanisme right issue dan melalui mekanisme second
offerings, third offerings dan seterusnya. Baik IPO maupun SEON
keduanya bertujuan untuk menawarkan sahamnya kepada publik untuk
kegiatan pendanaan perusahaan. Menurut Scott (2012) salah satu motivasi
perusahaan untuk melakukan manajemen laba adalah IPO (Initial Public
Offering), selain itu perusahaan yang melakukan aktivitas SEON
(Seasoned Equity Offering) cenderung melaporkan peningkatan laba
akrual diskresioner selama waktu penawaran ekuitas (Teoh et al., 1998;
Marquadt dan Wiedman, 2004). Perusahaan menyajikan laba yang ada di
prospektus sebagai sinyal kepada investor mengenai nilai perusahaan
sehingga dapat mempengaruhi keputusan investor. Begitu juga dengan
perusahaan yang melakukan right issue, yang bertujuan agar sahamnya
dapat lebih banyak dibeli oleh investor. Penelitian terdahulu diantaranya
penelitian Tang (2006); Tang dan Firth (2011); menemukan bukti bahwa
perusahaan yang melakukan right issue atau public offering cenderung
menaikkan profitabilitas perusahaannya dengan melakukan manajemen
38
laba yang ditandai dengan semakin besarnya nilai ABTD. Dapat disusun
hipotesis sebagai berikut:
H2a: perusahaan yang melakukan right issue memiliki nilai ABTD
yang lebih besar.
Perusahaan yang hanya memperoleh laba yang kecil atau yang
mengalami kerugian membuat reputasinya menjadi buruk di mata
pemangku kepentingan serta menanggung biaya agensi yang tinggi
(Shackelford et al., 2001). Selain itu menurut Burgstahler dan Dichev
(1997) perusahaan yang mengalami kerugian akan cenderung melakukan
manajemen laba. Hal tersebut disebabkan karena dalam pelaporan
keuangan, para pemangku kepentingan cenderung tidak ingin perusahaan
yang berhubungan dengannya mengalami kerugian. Penelitian terdahulu
diantaranya penelitian Tang (2006); Tang dan Firth (2011) menemukan
bukti bahwa perusahaan yang mengalami kerugian berpengaruh positif
terhadap ABTD yang merupakan faktor pendeteksi manajemen laba.
Dapat dikembangkan hipotesis sebagai berikut:
H2b: perusahaan yang mengalami kerugian memiliki nilai ABTD
yang lebih besar.
2.3.3 Good corporate governance dapat meminimalkan ABTD.
Manfaat penerapan GCG bagi perusahaan adalah untuk
meningkatkan kinerja perusahaan dengan tetap memperhatikan pemangku
kepentingan. Penerapan GCG akan mendorong manajemen melakukan
pengelolaan perusahaan yang efektif dan efisien. Pengelolaan perusahaan
39
yang efektif dan efisien tersebut menjadi unsur untuk menghasilkan laba
yang baik.
1) Proporsi dewan komisaris independen
Dewan komisaris sebagai puncak dari sistem pengelolaan
internal perusahaan memiliki peranan terhadap aktivitas pengawasan
di dalam perusahaan (Siallagan dan Machfoedz, 2006). Dechow et al.
(1995) dalam penelitiannya memberikan bukti bahwa perusahaan
yang melakukan manajemen laba lebih besar kemungkinannya
memiliki dewan komisaris yang didominasi oleh manajemen dan lebih
besar kemungkinannya memiliki direksi utama yang merangkap
menjadi komisaris utama. Wedari (2004) dalam penelitiannya juga
menunjukkan bahwa dewan komisaris yang independen akan
membatasi aktivitas oportunistik manajemen. Anggit dan Shodiq
(2014) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa proporsi dewan
komisaris independen berpengaruh negatif terhadap manajemen laba.
Hasil tersebut sejalan dengan hasil penelitian Nasution dan Setiawan
(2007). Selain hubungannya dengan manajemen laba, Winata (2014)
menemukan bukti bahwa proporsi dewan komisaris juga berhubungan
negatif
secara
signifikan
dengan
manajemen
pajak.
Dapat
dikembangkan hipotesis sebagai berikut:
H3a: proporsi dewan komisaris independen yang semakin tinggi,
nilai ABTD akan semakin rendah.
40
Dewan
komisaris
memiliki
peran
untuk
menjamin
pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi manajemen dalam
mengelola perusahaan dan mewajibkan terlaksananya akuntabilitas.
Dewan komisaris merupakan suatu mekanisme mengawasi dan
memberikan petunjuk serta arahan pada pengelola perusahaan.
Penelitian
yang
dilakukan
Desai
dan
Dharmapala
(2004)
menunjukkan bahwa corporate governance dapat dijadikan moderasi
antara pengaruh insentif kompensasi berkekuatan besar dan
perencanaan pajak. Kompensasi yang diberikan kepada eksekutif
perusahaan dapat berupa kompensasi kas dan saham. Penelitian
Conyon dan He (2011) memberikan bukti bahwa susunan
independensi eksekutif perusahaan sebagai
proksi
corporate
governance berhubungan positif terhadap tingkat pembayaran
kompensasi yang nantinya berhubungan dengan manajemen laba dan
manajemen pajak perusahaan.
Kepemilikan saham direksi dapat dilakukan dengan cara
pembelian sendiri atau melalui program khusus perolehan saham yang
sengaja dilakukan oleh perusahaan. Semakin banyak komisaris yang
independen maka semakin kecil juga kemungkinan kepemilikan
saham oleh direksi dikarenakan komisaris menganggap kepemilikan
saham oleh direksi menyebabkan manajemen akan lebih banyak
melakukan manajemen laba dan manajemen pajak. Hal tersebut
didasari atas keinginan manajemen yang ingin meningkatkan nilai
41
perusahaan dikarenakan manajemen juga mempunyai saham
perusahaan tersebut (Irawan dan Farahmita, 2013).
Perusahaan yang ditahun berikutnya melakukan right issue
dan mengalami kerugian ditahun berjalan cenderung akan melakukan
manajemen laba dikarenakan perusahaan tidak ingin reputasinya
terlihat buruk di mata pemegang saham (Shackelford et al., 2001). Hal
tersebut dapat dibatasi oleh semakin banyaknya komisaris independen
dikarenakan komisaris independen adalah komisaris yang tidak secara
langsung berurusan dengan organisasi tersebut dan tidak mewakili
pemegang saham. Oleh karena itu jika tugas dewan komisaris sebagai
pengawas dan pengarah pengelola perusahaan menjadi semakin baik
dan independen maka aktivitas oportunistik perusahaan juga akan
dibatasi (Wedari, 2004). Berdasarkan hal tersebut maka dapat
diturunkan beberapa hipotesis seperti berikut:
H3b: proporsi komisaris independen menurunkan pengaruh
kompensasi direksi terhadap ABTD.
H3c: proporsi komisaris independen menurunkan pengaruh
kepemilikan saham direksi terhadap ABTD.
H3d: proporsi komisaris independen menurunkan pengaruh
seasoned equity offerings terhadap ABTD.
H3e: proporsi komisaris independen menurunkan pengaruh
kerugian terhadap ABTD.
42
2) Jumlah komite audit
Komite audit memiliki tanggung jawab terhadap pengawasan
laporan keuangan, pengawasan audit eksternal dan mengamati sistem
pengendalian internal perusahaan termasuk audit internal sehingga
diharapkan dapat mengurangi sifat oportunistik manajemen melalui
manajemen laba atau manajemen pajak (Siallagan dan Machfoedz,
2006). Penelitian yang dilakukan Klein (2002) menemukan bukti
bahwa perusahaan yang tidak mempunyai komite audit independen
melaporkan laba dengan kandungan akrual diskresioner yang lebih
tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang mempunyai komite
audit independen. Penelitian yang dilakukan Wedari (2004) juga
menunjukkan bahwa komite audit berhubungan negatif dengan
manajemen laba. Hal tersebut ditandai dengan manajemen laba pada
perusahaan yang mempunyai komite audit lebih rendah dibandingkan
dengan perusahaan yang tidak mempunyai komite audit. Selain
hubungannya dengan manajemen laba, komite audit juga berhubungan
negatif dengan manajemen pajak. Hal tersebut ditunjukkan dalam
penelitian Annisa dan Kurniasih (2012) yang menemukan bukti bahwa
semakin sedikit jumlah komite audit maka hal tersebut akan
meningkatkan tindakan oportunistik manajemen untuk kepentingan
pajak dengan melakukan minimalisasi laba. Winata (2014) juga
menemukan bukti bahwa semakin banyaknya jumlah komite audit
yang ada pada sebuah perusahaan dapat membuat praktik manajemen
43
pajak yang dilakukan dapat diminimalisir. Dapat diambil hipotesis
sebagai berikut:
H3f: jumlah komite audit yang semakin tinggi, nilai ABTD akan
semakin rendah.
Menurut FCGI (2001) tanggung jawab komite audit adalah
melakukan pengawasan laporan keuangan, pengawasan audit
eksternal dan mengamati sistem pengendalian internal. Komite audit
yang dibentuk dalam perusahaan sebagai sebuah komite khusus yang
diharapkan
dapat
mengoptimalkan
fungsi
pengawasan
yang
sebelumnya telah dilakukan dewan komisaris. Jika pengawasan
optimal maka diharapkan konflik kepentingan antara manajer dengan
pemegang saham dapat diminimalkan.
Kompensasi direksi dan kepemilikan saham oleh direksi
merupakan insentif manajemen pajak (Minnick dan Noga, 2010;
Irawan dan Farahmita, 2013). Kedua hal tersebut berkaitan erat
dengan peningkatan kinerja keuangan yang salah satunya dilakukan
dengan cara pembayaran pajak yang rendah. Sudah semestinya bagi
komite audit untuk melakukan pengawasan pelaporan keuangan jika
terdapat pengelolaan laba khususnya ketika komite audit menjumpai
jumlah kompensasi yang diterima perusahaan semakin besar dan
saham dari perusahaan sebagian dimiliki oleh direksi. Pengaruh kedua
insentif tersebut terhadap pengelolaan pajak akan dapat diturunkan
oleh komite audit dikarenakan komite audit memiliki hubungan
44
khusus dengan audit internal. Pemeriksaan laporan keuangan oleh
auditor eksternal didasarkan pada laporan auditor internal yang
diawasi dan ditunjuk oleh komite audit terkait. Oleh karena alasan
tersebut manajemen akan lebih berhati-hati dalam melakukan
pengelolaan laba dan pajak jika jumlah komite audit perusahaan
semakin banyak.
Perusahaan yang melakukan right issue cenderung akan
melaporkan laba menjadi lebih tinggi dari yang seharusnya dengan
tujuan untuk mengirim sinyal bahwa investor mengenai nilai
perusahaan (Teoh et al., 1998; Marquadt dan Wiedman, 2004) dan
perusahaan yang mengalami kerugian juga melakukan pengelolaan
laba karena stake holders tidak ingin perusahaannya berhubungan
dengan kerugian (Burgstahler dan Dichev, 1997). Right issue dan
kerugian merupakan salah satu hal yang dianggap signifikan oleh
perusahaan karena pengaruhnya terhadap aktivitas operasional
perusahaan. Segala hal yang dianggap signifikan atau sensitif dalam
perusahaan
yang
mempengaruhi
pelaporan
keuangan
akan
didiskusikan dan dikendalikan oleh komite audit. Oleh karena hal
tersebut, niatan pengelolaan laba oleh manajemen yang disebabkan
insentif right issue dan kerugian akan cenderung menurun jika komite
audit semakin banyak.
H3g: jumlah komite audit menurunkan pengaruh kompensasi
direksi terhadap ABTD.
45
H3h: jumlah komite audit menurunkan pengaruh kepemilikan
saham direksi terhadap ABTD.
H3i: jumlah komite audit menurunkan pengaruh seasoned equity
offerings terhadap ABTD.
H3j: jumlah komite audit menurunkan pengaruh kerugian
terhadap ABTD.
3) Kualitas audit
Menurut Winata (2014) audit merupakan unsur penting dalam
praktik corporate governance yang memiliki kaitan erat dengan
prinsip corporate governance itu sendiri yaitu transparansi.
Transparansi informasi dapat diukur dengan kualitas audit, dan
kualitas audit dapat diukur melalui proksi spesialisasi industri dan
ukuran KAP (Mayangsari, 2003; Annisa dan Kurniasih, 2012).
Penelitian yang dilakukan Becker et al. (1998) menunjukkan bahwa
klien dari auditor The Big Six melakukan manajemen laba lebih rendah
daripada klien dari auditor non The Big Six. Di Indonesia, penelitian
Annisa dan Kurniasih (2012) menunjukkan bahwa laporan keuangan
yang diaudit oleh The Big Four memiliki tingkat kecurangan yang
lebih rendah dan lebih susah melakukan kebijakan pajak agresif
dibanding dengan perusahaan yang diaudit oleh KAP non The Big
Four. Dapat diambil hipotesis sebagai berikut:
H3k: semakin baik kualitas audit, nilai ABTD akan semakin
rendah.
46
Menurut Lin dan Hwang (2010) auditor eksternal bertanggung
jawab dalam untuk memverifikasi bahwa pelaporan keuangan telah
disajikan secara wajar dan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan.
Setelah diperiksa oleh auditor eksternal maka laporan keuangan akan
lebih kredibel. Kualitas audit diharapkan untuk meminimalkan
perilaku oportunistik pengelolaan laba beserta pula untuk mengurangi
risiko informasi yang terkandung dalam laporan keuangan terdapat
salah saji material.
Penelitian Lin dan Hwang (2010) menggunakan analisis meta
membuktikan bahwa semakin bagus kualitas audit maka semakin
rendah tingkat pengelolaan laba suatu perusahaan. Arens et al. (2011)
menyebutkan bahwa untuk mengukur kualitas audit dapat dilihat dari
kompentensi, independensi dan kemahiran professional seorang
auditor. Audit yang berkualitas salah satunya dapat dilihat dari KAP
yang melakukan pemeriksaan. Jika KAP yang mengaudit adalah The
Big Four maka kualitas audit dapat dikatakan baik karena dipandang
lebih independen dan lebih transparan jika dibandingkan dengan KAP
Non The Big 4 (Winata, 2014).
Auditing mencakup seluruh pemeriksaan aktivitas perusahaan.
Oleh karena hal tersebut jika kualitas audit baik maka aktivitas
oportunistik perusahaan yang disebabkan oleh insentif-insentif
tertentu akan dibatasi. Insentif tersebut diantaranya besarnya
kompensasi direksi dan kepemilikan saham oleh direksi yang
47
mendorong direksi untuk mengatur pajaknya (Minnick dan Noga,
2010) dan penerbitan right issue yang menyebabkan manajemen untuk
‘mempercantik’ laporan keuangannya (Marquadt dan Wiedman,
2004) serta perusahaan yang mengalami kerugian yang terdorong
untuk menaikkan laba karena tidak ingin terlihat mempunyai reputasi
yang buruk (Shackelford et al., 2001). Berdasarkan hal tersebut dapat
diturunkan hipotesis seperti berikut:
H3l: kualitas audit menurunkan pengaruh kompensasi direksi
terhadap ABTD.
H3m: kualitas audit menurunkan pengaruh kepemilikan saham
direksi terhadap ABTD.
H3n: kualitas audit menurunkan pengaruh seasoned equity
offerings terhadap ABTD.
H3o: kualitas audit menurunkan pengaruh kerugian terhadap
ABTD.
2.4 Kerangka Pemikiran
Sesuai dengan telaah literatur dan melihat hasil-hasil penelitian yang
berkaitan dengan manajemen pajak, manajemen laba, corporate governance
dan book-tax differences seperti pada pembahasan sebelumnya, maka penulis
dapat mengembangkan kerangka teoritis penelitian dalam bentuk bagan yang
digambarkan berikut ini.
48
Gambar 2.1
Kerangka Teoritis Hubungan Antar Variabel
Insentif Manajemen Pajak
H1a (+)
Kompensasi Direksi
Kepemilikan Saham
Direksi
H1b (+)
Abnormal BookTax Differences
H2a (+)
Insentif Manajemen Laba
Seasoned Equity
Offerings
H2b (+)
Kerugian
H3b, c, d, e, g, h,
i, j, l, m, n, o (-)
Variabel Kontrol:
H3a; H3f; H3k (-)
Ukuran Perusahaan
Variabel Moderator
Corporate Governance
Proporsi Komisaris
Independen
Jumlah Komite
Audit
Kualitas Audit
49
Download