JESP Vol. 1, No. 3, 2009 Deliberate Inflation pada Kebijakan Desentralisasi Fiskal Jawa Timur dan Dampaknya bagi Pertumbuhan Daerah Jurnal Ekonomi Studi Pembangunan __________________________________________________________________________________________ Abstract The implementation of local government law number 5/1974 provides centralistic governmental mechanism, centralistic power, overlapping policy implementation, that cause high cost economic. Decentralization theory states that the higher degree of centralization will increase local economic growth, and local government will create and increase public sector efficiency as well. This research was conducted to evaluate 5 years of fiscal decentralization in East Java throughout 29 districts and 9 cities in East Java with fixed effect model (FEM) analysis, especially to test the second hypothesis of the World Bank: "Fiscal decentralization will increase macroeconomic instability that has negative impact to growth." The results show that expenditure decentralization had negative significant impact on macro economic instability and the total local spending ratio to government budget had a negative significant impact on economic instability. It indicates that fiscal decentralization during 2002-2006 from local total expenditure point of view will increase macro economic stability. Macro economic instability has a positive significant impact on economic growth, instability of macroeconomy was presented by inflation of GDP deflator number in this analysis has significantly positive to the economic growth of East Java. Specific finding of the research is the existing of positive relationship of inflation on economic growth of East Java. This condition leads to phenomenon of deliberate inflation that was strengthened by changing subsidy policy among sectors, namely: education, health, and housing. Keywords: decentralization of expenditure, instability of macroeconomic, economic growth __________________________________________________________________________________________ Kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia ditandai dengan pergantian regim UndangUndang sebagai reaksi atas hasil dari proses pembangunan daerah yang telah berlangsung selama Orde Baru dimana regim UU No. 5, tahun 1974 menghasilkan mekanisme pemerintahan yang sentralistik, kekuasaan yang terpusat, implementasi kebijakan yang tumpang tindih sehingga mengakibatkan ekonomi biaya tinggi, diganti dengan UU No. 22 dan 25, tahun 1999 yang selanjutnya direvisi menjadi UU No. 32 dan 33, tahun 2004 tentang desentralisasi dan perimbangan keuangan antara pemerintah Pusat dan Daerah. Diharapkan dengan perubahan kebijakan berdasarkan Undang-undang tersebut terjadi pendelegasian wewenang dari pemerintah pusat kepada peme- rintah daerah, serta implementasi kebijakan yang lebih fokus dan terarah sehingga meningkatkan efektifitas dan efisiensi kinerjanya, sehingga berdampak maksimal bagi pertumbuhan daerah. Dalam melihat kaitan pertumbuhan ekonomi dan kebijakan desentralisasi fiskal, perlu kiranya dipaparkan mengenai teori desentralisasi generasi pertama (tradisional). Teori desentralisasi fiskal tradisional memberikan pandangan yang menunjukkan bagaimana desentralisasi fiskal bisa meningkatkan fungsi sektor publik, melalui potensi alokasi sumber daya yang lebih efektif dan efisien di sektor publik. Oates (2006) berpendapat bahwa pengeluaran untuk infrastruktur dan sektor sosial yang merespon perbedaan-perbedaan regional __________________________________________ Alamat korespondensi: Hadi Sumarsono & Sugeng Hadi Utomo, Jurusan Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi. Universitas Negeri Malang. E-mail: [email protected] JESP Vol. 1, No. 3, 2009 dan lokal mungkin akan lebih efektif dalam mempertinggi pembangunan ekonomi daripada kebijakan-kebijakan sentral yang bisa jadi mengabaikan perbedaan-perbedaan antar daerah tersebut. Argumen ini dapat dibenarkan sebab pemerintah kota/kabupaten mengetahui daerahnya lebih baik daripada yang diketahui oleh pemerintah pusat. Berdasarkan pandangan ini, pemerintah daerah dipercaya bisa mengalokasikan dana kepada masing-masing sektor dalam ekonomi secara lebih efektif dan efisien daripada pemerintah pusat. Efektivitas dan efisiensi dampak bagi pembangunan tersebut tidak hanya karena masalah preferensi yang sesuai dengan keinginan konstituen/penduduk lokal, tetapi juga dikarenakan masalah skala ekonomi dari cakupan pengadaan barang publik tersebut bagi masing-masing daerah. Bank Dunia (1997) menyebutkan bahwa antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan mempunyai kemungkinan kondisi sebagai berikut: pertama, desentralisasi fiskal akan meningkatkan efisiensi pengeluaran pemerintah sehingga berdampak positif terhadap pertumbuhan; kedua, desentralisasi fiskal mempunyai dampak meningkatkan instabilitas makro ekonomi sehingga berdampak negatif terhadap pertumbuhan; ketiga, desentralisasi fiskal untuk suatu daerah bisa berdampak positif ataupun negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, hal tersebut tergantung kesiapan kelembagaan daerah tersebut dalam menjalankan kebijakan desentralisasi fiskal. Berdasarkan pada uraian di atas, kajian ini akan fokus menganalisa kondisi kedua dari hipotesis bank dunia tersebut, yaitu pendapat Bank Dunia bahwa Otonomi Daerah (desentralisasi fiskal) selain dapat berdampak pada pertumbuhan, disisi lain juga bisa meningkatkan instabilitas makro ekonomi. Hubungan antara ketiganya akan dijelaskan melalui hubungan variabel pembelanjaan daerah, inflasi (GDP deflator), dan pertumbuhan. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa Kebijakan Otonomi Daerah mengharuskan daerah otonom untuk menerjemahkan kebi158 jakan tersebut, diantaranya, melalui penyusunan dan pemberlakuan Perda baru untuk menggali PAD, serta pemenuhan fiscal gap dengan berutang kepada fihak ketiga. Munculnya Perda baru dan kebijakan utang tersebut jika tidak dalam kondisi yang tepat (poor rules of law) akan meningkatkan instabilitas makro ekonomi lokal sehingga berdampak negatif bagi pertumbuhan. Sebaliknya, dengan kebijakan yang good rules of law akan meningkatkan stabilitas makro ekonomi. Hal ini sekaligus untuk mengklarifikasi temuan KPPOD terhadap persepsi kalangan bisnis (investor), mereka berpendapat bahwa pajak/retribusi baru daerah merupakan hambatan sangat besar bagi pengembangan usaha dan investasi karena cenderung meningkatkan biaya produksi sehingga bersifat meningkatkan cost push inflation. MASALAH Berdasarkan latar belakang di atas yang dikontekskan dengan hipotesis kedua Bank Dunia, maka pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah desentralisasi fiskal (dalam aspek pembelanjaan) berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi? 2. Apakah desentralisasi fiskal berdampak positif terhadap instabilitas makroekonomi? 3. Apakah In-stabilitas ekonomi makro berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah? DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PERTUMBUHAN Beberapa ahli melihat hubungan antara desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan melalui Tiebout models sebagai centerpiece teori desentralisasi fiskal. Dalam makalahnya yang terkenal (1956), Tiebout menyatakan bahwa individu (rumah tangga) yang mobil bebas menyeleksi komunitas berdasarkan preferensi barang publik yang disediakan pemerintah daerah. Individu dalam Tiebout sorting bebas memilih daerah tinggalnya berdasarkan kesesuaian kebutuhan dan ketersediaan barang publik JESP Vol. 1, No. 3, 2009 yang ada, utilitas maksimal akan tercapai berdasarkan preferensi masing-masing individu. Adanya kebijakan desentralisasi fiskal, secara tidak langsung memunculkan kompetisi antar daerah otonom dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, dimana daerah dengan pelayanan yang baik akan memaksimalkan utilitas masyarakat (konstituen) dengan pilihan politiknya. Berdasarkan teori Tiebout Model yang menjadi landasan konsep desentralisasi fiskal, bahwa dengan adanya pelimpahan wewenang akan meningkatkan kemampuan daerah dalam melayani kebutuhan barang publik dengan lebih baik dan efisien. Kondisi peningkatan pelayanan barang publik ini dalam kaitannya hubungan antar daerah otonom akan memberikan kondisi kompetisi persaingan antar kabupaten/kota untuk memaksimalkan kepuasan bagi masyarakat. Penyebab mendasar dari peningkatan kemampuan tersebut adalah karena pemerintah daerah dipandang lebih mengetahui kebutuhan dan karakter masyarakat lokal, sehingga program-program dari kebijakan pemerintah akan lebih efektif untuk dijalankan, sekaligus dari sisi penganggaran publik akan muncul konsep efisiensi karena tepat guna dan berdaya guna. Dalam perkembangan selanjutnya, teori desentralisasi fiskal menemukan fenomena bahwa dalam pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal bisa menimbulkan kondisi meningkatnya instabilitas ekonomi makro di daerah. Hal ini terjadi manakala daya dukung kelembagaan yang disusun untuk menjalankan kebijakan tersebut kurang memadai. Lockwood (dalam Oates, 2008) menegaskan karakteristik ini, dalam konteks pendekatan ekonomi politik dari desentralisasi fiskal sebagai pengayaan teori generasi kedua, mengasumsikan bahwa kebiasaan-kebiasaan dari agen-agen publik dan institusi politik sering kali terjadi trade off antara sebuah koordinasi antara tingkat sistem pemerintahan dalam otoritas publik dan preferensi respon daerah. Respon daerah yang berlebihan dalam pelaksanaan wewenang, seperti kebijakan utang dari daerah otonom kepada fihak ketiga yang berlebihan, cenderung memberikan dampak inflasi bagi ekonomi daerah. Desentralisasi dapat menimbulkan instabilitas makroekonomi Berikut akan dijelaskan landasan adanya hubungan tidak langsung antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi melalui dampak tidak langsung desentralisasi yaitu instabilitas makroekonomi. Beberapa penelitian mengatakan bahwa adanya desentralisasi fiskal akan meningkatkan instabilitas makroekonomi daerah. Secara umum, perubahan kewenangan sebagai akibat dari pelaksanaan desentralisasi fiskal, akan mempengaruhi kemampuan pemerintah pusat melakukan kebijakan dan koordinasi ekonomi makro. Untuk negara sedang berkembang, kebijakan desentralisasi cenderung akan memperbesar masalah di bidang makroekonomi. Berkurangnya kewenangan pemerintah pusat pada sejumlah pengendalian anggaran belanja akan banyak mengurangi ruang geraknya untuk mengadakan pelayanan dan koordinasi aspek ekonomi publik secara langsung, sehingga pengendalian variabel ekonomi makro di tingkat sub-nasional cenderung menurun. Di sisi lain adanya pelimpahan wewenang dan orientasi pemerintah daerah terhadap kepentingan lokal mengakibatkan pola hubungan antara daerah dan pusat kurang kooperatif (Tanzi, 1995). Dalam negara yang terdesentralisasi, pemerintah pusat bertanggung jawab secara eksklusif terhadap kebijakan fiskal. Di dalam negara yang terdesentralisasi, kebijakan fiskal menjadi tanggung jawab yang dibagi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Beberapa peneliti KPPOD (2004) mempunyai argumentasi, bahwa keuangan pemerintahan daerah lebih suka untuk memperhatikan tujuan-tujuan daerah dalam pemanfaatan sumber dayanya, misalnya untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) cenderung melakukan ekstensifikasi retribusi dan pajak daerah. Tanzi (1995) juga memperhatikan adanya kebijak159 JESP Vol. 1, No. 3, 2009 an defisit anggaran dan melakukan kebijakan utang sebagai penyebab adanya pemicu instabilitas makro ekonomi daerah. Adanya kebebasan peminjaman oleh daerah otonom, memungkinkan pemerintah daerah memiliki kelebihan utang yang melampaui kapasitas pengembalian kewajibannya. Kedua hal tersebut bisa meningkatkan inflasi sehingga akan mengakibatkan bertambahnya instabilitas makroekonomi. Di banyak negara, termasuk Rusia dan China, keberadaan soft-budget loans tetap merupakan ancaman bagi stabilitas makroekonomi. Pada kasus-kasus tersebut, desentralisasi fiskal mengakibatkan pertumbuhan ekonomi yang lebih kecil, sehingga ini dapat menjadi bukti bahwa instabilitas makroekonomi memperlambat pertumbuhan ekonomi (Fischer, 1993). Bukti empiris yang mengambarkan hubungan antara desentralisasi fiskal dan stabilitas makroekonomi masih jarang dan tidak menyediakan kesimpulan yang pasti atas arah dan signifikansi hubungan. Fornasari, Webb, dan Zou (dalam Vasquez, 2001) melihat keberadaan korespondensi satu-satu antara kenaikan defisit pemerintah daerah dengan pengeluaran pemerintah, dan defisit pada periode berikutnya. Temuan ini nampaknya menyatakan secara tidak langsung bahwa jalur transmisi pada sistem desentralisasi bisa menyebabkan permasalahan stabilitas makroekonomi jika pembiayaan defisit lebih tinggi. Desentralisasi ekonomi berdampak positif terhadap output riil pasca reformasi di China, sebaliknya desentralisasi fiskal berdampak negatif terhadap stabilitas harga atau inflasi. Desentralisasi fiskal mempengaruhi inflasi di China melalui kewenangan penciptaan pendapatan oleh daerah (Felterstein & Iwata, 2005). Desentralisasi sering tidak mengikutsertakan seignorage dan utang luar negeri dalam cakupan wewenang yang dimiliki oleh pemerintah daerah, sehingga jalur instabilitas yang mungkin terjadi di daerah akibat desentralisasi fiskal adalah dengan kenaikan inflasi dari aspek biaya (cost push inflation) yang muncul dari kebijakan pemerintah daerah dalam hal 160 penciptaan pendapatan melalui pajak dan retribusi. Terkait kewenangan pusat dan daerah tentang tanggung jawab stabilitas makro ekonomi Musgrave (1983) dan Oates (1972) mengemukakan pendapat bahwa stabilitas makroekonomi menjadi tanggung jawab pusat sepenuhnya dan tidak bisa dibagi dengan pemerintah daerah. Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Gramlich (1993), Spahn (1997), dan Shah (1999) bahwa ada ketidaksesuaian asumsi distribusi asimetris pada simpulan tanggung jawab pusat terhadap stabilitasi makroekonomi. Kenyataannya, kejutan makroekonomi sering tidak berdistribusi merata (asimetris), sehingga pada posisi ini pemerintah daerah cukup berperan dalam proses pengendalian instabilisasi makroekonomi (inflasi). ANALISIS DAMPAK Dalam kaitan dampak antar variabel desentralisasi fiskal, instabilitas makroekonomi dan pertumbuhan, dikembangkan persamaan (1) dan persamaan (2) untuk melihat dampak langsung dan dampak tidak langsung ke pertumbuhan. Hubungan dampak langsung terjadi melalui pemodelan persamaan (1), sedangkan dampak tidak langsung dari desentralisasi fiskal melalui persamaan (2), yaitu variabel instabilitas makroekonomi. Hubungan tidak langsung terjadi jika terdapat variabel ketiga yang memediasi hubungan kedua variabel ini. Koefisien jalur dihitung dengan membuat persamaan struktural yang menunjukkan hubungan yang menjadi hipotesis. Dalam hal ini ada 2 persamaan berikut: PEt = ε + ζ1DFi+ ISM + e ...................... (1) ISM = ε + ζ1DFi+ e ................................ (2) HASIL ANALISIS Dampak Langsung Berdasarkan hasil regresi pengaruh desentralisasi pembelanjaan (df1) yang direpresentasikan oleh rasio belanja total daerah terhadap total belanja pusat, dan variabel instabilitas makroekonomi (ism), ber- JESP Vol. 1, No. 3, 2009 pengaruh positif-signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur. Tabel 1. Dampak Desentralisasi Aspek Pembelanjaan dan Inflasi terhadap Pertumbuhan Ekonomi Variabel DF1 ISM Weighted Statistics R-squared Adjusted Rsquared S.E. of regression F-statistic Prob (Fstatistic) Coefficient Std. Error 1.616060 0.331539 4.677693 0.208563 t-Statistic 4.874414 22.42821 Prob. 0.0000 0.0000 0.979551 Mean dependent var 0.973886 S.D. dependent var 9.308449 5.388569 0.870779 Sum squared resid 112.2218 2363.193 Durbin-Watson stat 0.000000 2.903071 Sumber: data diolah (2008). Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa nilai kritis t tabel untuk α = 5%, dengan degree of freedom (n-k) 183 pada uji dua sisi masing-masing sebesar 4.874414 untuk variabel desentralisasi pembelanjaan dengan signifikansi <5%, serta variabel instabilitas makroekonomi (sm) bernilai 22. 42821 dengan signifikansi <5%, sehingga dapat disimpulkan berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi (pe). Koefisien instabilitas makroekonomi (ism) sebesar 4.677693 menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1 unit GDP Deflator akan menaikkan pertumbuhan ekonomi sebesar 4.677693 unit pertumbuhan ekonomi (pe). Koefisien desentralisasi fiskal sektor sisi pengeluaran (df1) sebesar 1.616 060 menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1 unit desentralisasi fiskal sektor sisi pengeluaran (df1) akan menaikkan pertumbuhan ekonomi sebesar 1.616060 unit pertumbuhan ekonomi (pe). Nilai koefisien determinasi sebesar 0.979551, artinya, variasi pertumbuhan ekonomi (pe) dijelaskan oleh model oleh model sebesar 97,9551% dan sisanya dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Rasio belanja total daerah terhadap total belanja pusat (df1) berpengaruh positif signifikan terhadap pertumbuhan. Hal ini bisa dipahami karena komponen dari df1 ini yang lebih mencerminkan APBD secara lebih menyeluruh, serta aspek pembelanjaan yang berhubungan dengan tingkat dinamika pembangunan di daerah. Artinya besarnya pembelanjaan tersebut mencerminkan besarnya APBD daerah secara keseluruhan dan anggaran yang disusun bisa menjelaskan apakah komponen-komponen kegiatan yang disusun langsung berhubungan dengan aspek-aspek pertumbuhan di daerah atau tidak. Faisal (2002) meneliti dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia untuk rentang waktu 1992-1999 menyimpulkan bahwa variable desentralisasi fiskal dari sisi pembelanjaan yang diukur dengan rasio belanja pemerintah daerah terhadap belanja pemerintah pusat berdampak negatif-signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Davoodi & Zou (1998) menyatakan dampak desentralisasi fiskal yang berbeda antara Negara sedang berkembang dan Negara maju, dimana pada Negara maju desentralisasi fiskal berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan pada Negara sedang berkembang desentralisasi fiskal berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal senada juga ditemukan oleh Zhang & Zou (1998) dalam penelitiannya terkait dampak desentralisasi terhadap pertumbuhan ekonomi di Cina. Mereka menemukan fakta empiris bahwa desentralisasi fiskal di China pada rentang tahun 19791990 berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun, analisis menggunakan data terkini yang dipakai oleh Felterstein & Iwata (2005) dan Iimi (2004) menunjukkan bahwa desentralisasi berdampak positif di China pasca reformasi menunjukkan relasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan uraian tersebut berarti bahwa perubahan kebijakan desentraliasi fiskal di Jawa Timur sudah berada pada arah yang benar, yaitu bila dilihat dari sisi pembelanjaan, dampak positif tersebut menunjukkan adanya efektifitas penganggaran. Hal itu mengindikasikan pembelanjaan 161 JESP Vol. 1, No. 3, 2009 yang dilakukan pemerintah daerah kabupaten/kota di Jawa Timur cenderung merupakan proyek-proyek pembangunan yang se- cara efektif mampu menggerakkan ekonomi lokal sehingga meningkatkan PDRB daerah yang bersangkutan. Gambar 1. Rata-Rata Belanja Total Kabupaten/Kota di Jawa Timur 2002-2006 394,416.00 2006 374,098.42 2005 349,017.79 2004 301,650.93 2003 2002 Belanja Total 252,208.33 Sumber : APBD Kabupaten/Kota Jawa Timur 2002-2006 (diolah) Tabel 2. APBD Propinsi dan APBD Kabupaten/Kota di Jawa Timur Serta Perananannya Terhadap PDRB Jawa Timur, Tahun 2002-2006 Keterangan 2002 2003 2004 1. Laju Pertumbuhan PDRB 3,80 4,78 5,83 ADHK (%) 2. PDRB ADHB (Juta 267.157.7 300.609.8 341.065.2 Rupiah) 17 58 51 3. APBD Propinsi Jawa 3.534.739 3.976.399 3.963.715 Timur (Juta Rupiah) 4. Peranan APBD Propinsi 1,32 1,32 1,16 Terhadap PDRB Jatim ADBH (%) 5. APBD Kab/Kota (Juta 13.257.74 14.873.22 14.132.16 Rupiah) 0 4 0 6. Peranan APBD (Propinsi 4,96 4,95 4,14 + Kabupaten/Kota) Propinsi terhadap PDRB Jatim ADBH (%) Sumber: BPS, Biro Keuangan Pemprop Jatim Keterangan *) angka sementara, **) tidak termasuk Kabupaten Sampang Kondisi kenaikan belanja daerah dan menurunnya peranan APBD terhadap PDRB mengindikasikan bahwa belanja daerah tersebut mempunyai daya ungkit yang baik bagi pertumbuhan perekonomian. Hal ini ditunjukkan adanya pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dari pada penambahan belanja daerah tiap tahunnya. PDRB per kapita Jawa timur dari tahun ke tahun meningkat terus. Namun demikian pada tahun 2006, peningkatan lebih lambat dibandingkan tahun 2005. Pada tahun 2002 162 2005 5,84 2006*) 5,79 403.419.2 97 4.609.954 470.627.49 4 4.680.517 1,14 0,99 15.689.94 7**) 3,89 20.284.718 4,31 PDRB per kapita jawa timur adalah sebesar Rp7.43 juta dan kemudian meningkat menjadi Rp8.30 juta pada tahun 2003. Pada tahun 2004 dan 2005 PDRB per kapita kembali mengalami kenaikan berturut-turut menjadi sebesar Rp9.30 juta and Rp10.88 juta. Selanjutnya pada tahun 2006 kembali mengalami kenaikan menjadi sebesar Rp12,56 juta. Jadi dapat disimpulkan kebijakan desentralisasi fiskal, khususnya menyangkut belanja pemerintah dapat meningkatkan JESP Vol. 1, No. 3, 2009 pertumbuhan. Perilaku fiskal (fiscal behavior) melalui Penganggaran yang muncul, yaitu belanja pembangunan dan belanja rutin, mempunyai korelasi dampak yang berbeda terhadap pertumbuhan. Untuk belanja rutin (current expenditure) diasosiasikan lebih kecil dam-paknya terhadap penguatan ekonomi daerah karena menimbulkan idle money, dianggap tidak produktif, cenderung konsumtif, dan mengarahkan inflasi membesar. Sedangkan pembelanjaan pembangunan (development expenditure), dimana melalui perencanaan yang matang berarti cenderung akan meningkatan efektifitas dan efisiensi pembangunan, diassosiasikan lebih bisa mempunyai dampak terhadap penguatan ekonomi daerah karena investasi di bidang pembangunan akan mempunyai multiplier yang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Kondisi ini berarti juga bisa menun- jukkan bahwa dalam implementasinya sudah merujuk pada sistem penganggaran yang akuntabel dan berdasarkan kinerja. Dampak Instabilitas Ekonomi Makro Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah Hasil temuan penelitian ini menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif signifikan antara variabel instabilitas makroekonomi (inflasi) dan pertumbuhan daerah Propinsi Jawa Timur. Instabilitas makroekonomi yang direpresentasikan dengan stabilitas angka GDP deflator berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur. Kondisi ini meskipun agak kelihatan aneh dengan merujuk temuan Buttler & Della Valle (2003), mempunyai kesamaan dengan pengalaman negara-negara less developed country (LDC) di Amerika latin. Persentase Gambar 2. Rata-Rata Pertumbuhan dan Inflasi (GDP Deflator) Kabupaten/Kota di Jawa Timur 2002-2006 7 6 5 4 3 2 1 0 2002 2003 2004 2005 2006 Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur (dalam angka) Dari PDRB atas dasar harga konstan 2000, diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi pada periode 2002-2006 berturut-turut sebesar 3,80 persen (2002), 4,78 persen (2003), 5,83 persen (2004), 5,84 persen (2005), dan 5,80 persen (2006), sedangkan GDP deflator pada periode 2002-2006 sebesar 1,22 (2002), 1,31 (2003), 1,40 (2004), 1,54 (2005), dan 1,74 (2006). Dari data tersebut terlihat bahwa bila dibandingkan dengan gambar 6.2, selama tahun 2003-2006 cenderung berarah positif antara deflator dan pertumbuhan ekonomi. Sehubungan dengan kaitan dampak yang positif antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi di daerah Jawa Timur tersebut, ada tiga pandangan yang menyatakan kemungkinan hubungan positif antara inflasi dan pertumbuhan daerah. Pandangan deliberate inflation, berargumen bahwa sebuah kenaikan tingkat harga memberikan stimulus bagi segmen-segmen ekonomi yang relatif produktif, memberikan profit yang lebih untuk faktor-faktor yang lebih mobile dan inovatif. Pandangan structuraly inflation, menganggap agregat permintaan (demand) menghasilkan kenaikan harga karena 163 JESP Vol. 1, No. 3, 2009 adanya faktor bottleneck, yaitu hambatan untuk menambah produksi dari sisi penawaran, seperti kuota pada perdagangan internasional (regulation barrier), aspek transportasi, keterbatasan raw material (technical barier), produksi makanan, dll. (natural barier). Pandangan surprise inflation, yang menyatakan bahwa surprise inflation menjadi bagian dari pertumbuhan, karena kenaikan harga tersebut akan dikuti oleh kenaikan produksi, dimana investor berharap kecepatan kenaikan harga belum berdampak pada sisi biaya, sehingga profit lebih meningkat. Untuk daerah jawa timur, data empiris Kinerja Ekonomi Regional (KER-BI) selama tahun pengamatan 2003-2006 menunjukkan hal-hal sebagai berikut: Dari tahun-ke-tahun (y-o-y), inflasi di Jawa Timur terutama dipacu oleh kelompok sektor pendidikan, rekreasi dan olah raga, perumahan, dan kesehatan. Dari hasil wawancara tim BI dengan pejabat BPS di 4 kota (Surabaya, Kediri, Jember, dan Malang), diperoleh informasi tentang penyebab inflasi antara lain: 1. Dampak langsung kebijakan pemerintah, seperti BOS (biaya operasional sekolah) dan pemberian kewenangan kepada dunia pendidikan untuk menentukan besarnya pungutan kepada siswa, Komoditi yang terkena dampak langsung kebijakan tersebut adalah pendidikan, transportasi dan energi. Komoditi yang terkena dampak tidak langsung kebijakan pemerintah adalah seragam sekolah, pensil, buku tulis. 2. Kebijakan kenaikan BBM, tarif jalan tol, dan tarif listrik. Dampak tidak langsung dari kebijakan pemerintah di atas akan meningkatkan biaya produksi dan transportasi. 3. Ekspektasi inflasi masyarakat terhadap kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga. Komoditas yang terkait dengan faktor ini adalah sewa rumah dan kontrak rumah. 4. Pengaruh musiman antara lain terdiri dari musim kemarau, penawaran terbatas, dan fluktuasi permintaan. Komo164 ditas yang terkait dengan faktor tersebut adalah hasil pertanian. 5. Kebijakan Perda; adanya penetapan tarif UMR, tarif puskesmas, biaya KB, dll. Komoditas yang terkait dengan faktor tersebut adalah terutama kesehatan. Dengan memperhatikan uraian di atas, faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi di Jawa Timur terutama adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan kebijakan pelaksanaan subsidi, yaitu pendidikan, kesehatan, perumahan, dan BBM. Dalam bidang pendidikan, kebijakan BOS (biaya operasional sekolah) dan kebebasan penyusunan biaya pungutan pendidikan meningkatkan pengaruh inflasi karena adanya peningkatan pembelanjaan melalui belanja buku, alat tulis dan seragam. Di bidang kesehatan, adanya penentuan tarif puskesmas melalui perda dan pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) meningkatkan daya beli masyarakat di bidang kesehatan dan memberi kontribusi yang cukup bagi inflasi di daerah untuk sektor kesehatan. Di bidang perumahan, adanya kebijakan proporsi antara rumah mewah dan rumah sederhana yang harus dibangun oleh pengembang, serta kebijakan subsidi bagi rumah sederhana memberikan stimulus bagi inflasi di bidang perumahan. Adanya kenaikan BBM menaikkan inflasi di sektor transportasi, tetapi mampu meningkatkan pembelanjaan di sektor lain (kesehatan, dan pendidikan) karena adanya kebijakan alih subsidi ke pendidikan, kesehatan, dan bantuan tunai langsung (BLT) kepada masyarakat. Berdasarkan deskripsi tersebut, dapat disimpulkan bahwa adanya hubungan yang positif signifikan antara inflasi dan pertumbuhan di Jawa Timur mengikuti pola deliberate inflation, dimana munculnya inflasi tersebut cenderung disengaja sebagai stimulus untuk sektor-sektor tertentu, terutama sektor-sektor yang cukup vital bagi masyarakat, dan pemerintah mempunyai perangkat untuk mengalihkan tingkat kesejahteraan antar golongan masyarakat untuk sektor tersebut melalui subsidi, seperti; pendidikan dengan BLT, kesehatan dengan JESP Vol. 1, No. 3, 2009 Jamkesmas, dan perumahan melalui subsidi bunga kredit untuk rumah RSH. Dampak Tidak Langsung Dampak tidak langsung kebijakan desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi ditransmisikan melalui kondisi instabilitas ekonomi daerah, berdasarkan persamaan (2) didapatkan hasil regresi sebagai berikut: Tabel 3. Dampak desentralisasi fiskal aspek pembelanjaan terhadap instabilitas makroekonomi Variabel DF1 Weighted Statistics R-squared Adjusted Rsquared Coefficient Std. Error -1.036682 0.066781 t-Statistic -15.52371 0.979077 Mean dependent var 0.972040 S.D. dependent var S.E. of regression 0.140243 DurbinWatson stat 1.705767 Sum squared resid Prob. 0.0000 1.823916 0.838721 2.222510 Sumber: data diolah (2008). Nilai kritis t tabel untuk α = 5%, dengan df 188 pada uji satu sisi masingmasing sebesar 1,686. Sedangkan t hitung untuk variabel desentralisasi pembelanjaan yang diukur melalui rasio belanja total daerah terhadap APBN (df1), sebesar 15.52371. Berdasarkan uji t ini, maka dapat disimpulkan bahwa untuk variabel desentralisasi pembelanjaan yang diukur melalui rasio belanja total daerah terhadap APBN (df1), berpengaruh signifikan terhadap kapasitas kelembagaan daerah (kkd), pada α = 5%. Koefisien variabel desentralisasi pembelanjaan yang diukur melalui rasio belanja total daerah terhadap APBN (df1) sebesar 1.036682 menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1 unit Df1 akan menurunkan pelanggaran sebesar 1.036682 unit. Nilai koefisien determinasi penyesuaian sebesar 0.979077 artinya, variasi instabilitas makroekonomi (sm), dapat dijelaskan oleh variabel desentralisasi pembelanjaan yang diukur melalui rasio belanja total daerah terhadap APBN (df1) dalam model l sebesar 97,907% dan sisanya dijelaskan oleh variabel lain diluar model. Dampak Desentralisasi Fiskal Aspek Pembelanjaan terhadap Instabilitas Makroekonomi Dari hasil pengolahan data yang dilakukan, diperoleh kesimpulan bahwa desentralisasi pembelanjaan yang direpresentasikan oleh rasio belanja total daerah terhadap belanja total pusat, berpengaruh negatif-signifikan terhadap instabilitas ekonomi di Jawa Timur. Hal ini mengindikasikan bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal yang telah berjalan bila dilihat dari aspek pembelanjaan justru mengakibatkan dampak positif terhadap stabilitas makroekonomi. Desentralisasi fiskal yang diyakini akan membawa dampak terhadap perbaikan tata kelola dan pemerintahan, berpengaruh positif bagi stabilitas makroekonomi daerah. Literatur terkait menunjukkan bahwa tata kelola makroekonomi tidak hanya dipengaruhi oleh desentralisasi fiskal namun juga oleh seberapa besar pembiayaan belnja pemerintah daerah dan bagaimana kebijakan cara memenuhi pembiayaan itu dilakukan. Vasquez (2001) berpendapat desentralisasi tidak menghasilkan ancaman terhadap stabilitas harga, baik di Negara berkembang maupun di Negara maju, jika diikuti kebijakan fiskal yang memadai. Desain dan implementasi kebijakan desentralisasi yang lemahlah yang mendorong pemerintah daerah untuk meminjam berlebih dibanding dengan kapasitas pembayaran utang, menciptakan potensi instabilitas makroekonomi. Potensi instabilitas justru muncul pada proses pembiayaan defisit anggaran yang ditempuh oleh pembuat kebijakan. Adanya hubungan positif antara desentralisasi fiskal dengan stabilitas makroekonomi ini di Jawa Timur menunjukkan bahwa desain sistem fiskal yang diimplementasikan dalam kebijakan tersebut cukup memadai, artinya pemerintah daerah dalam upaya pembiayaan kebijakan defisit anggaran relatif terkendali, tidak melakukan pe165 JESP Vol. 1, No. 3, 2009 paran konsepsi transmisi dampak tersebut memperkuat gambaran bahwa kebijakan desentralisasi tersebut sudah dilaksanakan dengan benar (right on the track), khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan pendapatan asli daerah dan utang daerah, meskipun masih memerlukan pembenahan di aspek lain yang bersifat penyempurnaan. nambahan utang tanpa kontrol pemerintah pusat. Pada kasus seperti itu, desentralisasi pembiayaan bisa mendorong terciptanya stabilitas harga. Sistem pengendalian fiskal daerah di Indonesia, meskipun sangat memungkinkan daerah otonom melakukan utang kepada fihak ketiga, tetapi hal itu belum bisa dilakukan secara leluasa oleh daerah karena belum memadainya aturan teknis yang menyertainya. Sedangkan dengan mengijinkan pemerintah pada level yang berbeda untuk memobilisasi pendapatan asli daerahnya, akan mengakibatkan harga lebih stabil. Kewenangan pemerintah daerah untuk melakukan mobilisasi pendapatan daerah, dan tidak membebani anggaran pemerintah pusat akan menghindarkan kebijakan defisit anggaran dan peningkatan jumlah uang yang beredar, dan inflasi. Program desentralisasi yang mendorong mobilisasi pendapatan daripada mengharapkan hibah, utang dan transfer dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi untuk membiayai belanja daerah, ditengarai menjadikan faktor inflasi lebih rendah. Kaitan data yang menyatakan hubungan yang positif antara desentralisasi fiskal dan stabilitas makroekonomi daerah, serta pa- Analisis Jalur Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Dalam gambar analisis jalur dijelaskan bahwa desentralisasi pembelanjaan (df1) dapat berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan ekonomi (pe), tetapi juga dapat berpengaruh tidak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi instabilitas makroekonomi (sm). Berdasarkan tabel regresi dampak tersebut, terlihat bahwa desentralisasi pembelanjaan berpengaruh negatip signifikan terhadap instabilitas makroekonomi (ism), dan berpengaruh positif signifikan terhadap pertumbuhan (Pe). Sedangkan instabilitas makroekonomi berpengaruh positif signifikan terhadap pertumbuhan (Pe). Sehingga dapat disusun jalur transmisi sebagai berikut: Gambar 3. Analisis Jalur Desentralisasi Pembelanjaan -1.036 Instabilitas Makroekonomi 1.68 Sumber: data diolah (2008). 166 4.67 Pertumbuha n Ekonomi JESP Vol. 1, No. 3, 2009 KESIMPULAN Berdasarkan pada hasil-hasil temuan dari penelitian ini, dapat disimpulan sebagai berikut: 1. Desentralisasi Fiskal aspek pembelanjaan di Jawa Timur berpengaruh positif-signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Kondisi ini berarti juga bisa menunjukkan bahwa dalam implementasinya sudah merujuk pada sistem penganggaran yang berdasarkan kinerja dan akuntabel. 2. Desentralisasi pembelanjaan berpengaruh negatif-signifikan terhadap in-stabilitas makroekonomi. Pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal di Jawa timur mampu menekan tingkat inflasi yang lebih rendah, dimana hal itu menunjukkan memadainya sistem kontrol bagi daerah, untuk mencukupi defisit anggarannya dipenuhi melalui tindakan bukan utang. 3. Instabilitas makroekonomi di Jawa Timur berpengaruh positif-signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Pola ini cenderung bersifat delibrate inflation karena kondisi empiris di Jawa Timur ditandai oleh adanya kebijakan yang menggeser kesejahteraan antar sektor melalui mekanisme pajak (tax) dan subsidi. Implikasi Kebijakan Dengan adanya dampak positif dari deliberate inflation bagi pertumbuhan, dianjurkan tetap melanjutkan kebijakan tersebut dengan lebih selektif dan mempertimbangkan efisiensi model transfernya antar dinas/unit kerja terkait yang ada di pemerintahan provinsi Jawa Timur. DAFTAR RUJUKAN Biro Pusat Statistik. 2006. Data Makro Sosial dan Ekonomi Jawa Timur 2002-2006. Surabaya. 5284. Butler, A. & Della Valle, P. 2003. Surprise Inflation, Growth, and Unemployment. EBSCO Publishing. Davoody, H & Zou, Z. 1998. Fiscal Decentralization and Economic Growth: A Cross Country Study. Journal of Urban Economics. Faisal. 2002. Fiscal decentralization and economic growth at provincial level in Indonesia. Georgia State university. Felterstein, A. & Iwata, S. 2005. Decentralization and Macroeconomic Performance In China; Regional Autonomy has its Costs. Journal of Economics .Vol. 76. 481 -50. Fischer, S. 1993. The Role of Macroeconomics Factor in Growth. Journal of Economis 32: 485-512. Gilivary, McMark & Morisay, O. 2001. Fiscal Efect of Aid. United Nation University. Glaser, E. et al. 2002. The Injustice of Inequality. Gramlich, E. 1993. A Policy Maker’s Guide to Fiscal Desentralization. National Tax Journal, 46, pp. 229 -35 Iimi, A. 2004. Desentralization and Economic Growth Revisted, An Empirical Note. JBIC Institute. Japan. KPPOD News. 2004. Desentralisasi Ekonomi. Jakarta Selatan. Musgrave, R. 1983. Who Should Tax, Where What? In C. Lure, Jr (ed): Tax Assigment in Federal Countries. Center For Research of Federal Financial Relation. Canberra: ANU. Oates, E.W. 2006. On the Theory and Practice Fiscal Decentralization. Universitiy of Maryland: Department of Economics. _______. 2008. Fiscal Federalism. New York: Harcourt Brace Jovanovich Phillips, K.L & Woller, G. 1997. Does Fiscal Decentralization Lead to Economic Gowth?, Working Paper. Shah, A. 1994. The Reform of Inter Governmental Fiscal Relation in Developing and Emerging Market Economics, Policy and Research. Series No. 23, 1- 90. Spahn, P. 1997. Decentralization Government and Macroeconomic Control Infrastructure. FM, 12, Washington D.C: World Bank. Tanzi, V. 1995. Fiscal Federalism and Decentralization : A Review of Some Efficiency and macroeconomics Aspects, Paper Prepared for the World Bank’s Annual Bank Conference on Development Economics. Washington, D.C. Tiebout, C. 1956. A Pure Theory of Local Expenditures. Journal of Political Economy, 64, October, 416-24. 167 JESP Vol. 1, No. 3, 2009 Vasquez, J.M. & McNab, J. 1997. Fiscal Desentralization, Macrostability and Growth. Georgia State University. Vasquez, J.M. et al. 2001. Growth and Equity Trade Off in Decentralization Policy: China Experience, Department of Economics. Georgia State University: Andrew Young School of Policy Studies. World Bank. 1997. On Line Source Book On Decentralization and Rural Development, Decentralization Thematic Team. Zhang, T. & Fu, H. 1998. Fiscal Decentralization, Public Spending and Economic Growth in China. Journal Public Economics, 67: 221– 240. 168