12 BAB II LANDASAN TEORI A. Kecerdasan Emosi 1. Pengertian

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kecerdasan Emosi
1. Pengertian Kecerdasan Emosi
Bar-On (dalam Goleman, 2000) mengatakan kecerdasan emosi sebagai
serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi
kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan
lingkungan.
Menurut Patton (2002), kecerdasan emosi itu mencakup beberapa
keterampilan yaitu menunda kepuasan dan mengendalikan impuls dalam diri,
tetap optimis jika menghadapi ketidakpastian atau kemalangan, menyalurkan
emosi secara efektif, mampu memotivasi dan menjaga semangat disiplin diri
dalam usaha mencapai tujuan , menangani kelemahan pribadi, menunjukkan rasa
empati kepada orang lain serta membangun kesadaran diri dan pemahaman
pribadi.
Goleman
(2000)
menyebutkan
bahwa
kecerdasan
emosi
adalah
kemampuan untuk mengenali perasaan diri kita sendiri dan perasaan orang lain,
kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan
baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.
Dari berbagai defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi
adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan emosi secara efektif dengan
cara mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain, mampu mengelola emosi
12
Universitas Sumatera Utara
dengan baik pada diri sendiri dan dalam berhubungan dengan orang lain sehingga
seseorang dapat berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan.
2. Komponen-komponen Kecerdasan Emosi
Bar-On (dalam Goleman, 2000) menjabarkan kecerdasan emosi menjadi 5
kemampuan pokok yang dibagi kedalam lima gugus umum yaitu :
1. Kemampuan Intrapersonal, meliputi :
a. Kesadaran diri emosional
Kemampuan untuk mengakui atau mengenal perasaan diri, memahami hal
yang sedang dirasakan dan mengetahui penyebabnya.
b. Asertivitas
Kemampuan untuk mengungkapkan perasaan, gagasan, keyakinan secara
terbuka, dan mempertahankan kebenaran tanpa berperilaku agresif.
c. Harga Diri
Kemampuan menghargai dan menerima diri sendiri sebagai sesuatu yang
baik, atau kemampuan mensyukuri berbagai aspek dan kemampuan positif
yang ada dan juga menerima aspek negatif dan keterbatasan yang ada
pada diri kita dan tetap menyukai diri sendiri.
d. Aktualisasi diri.
Kemampuan menyadari kapasitas potensial yang dimiliki. Aktualisasi diri
adalah suatu proses dinamis dengan tujuan mengembangkan kemampuan
dan bakat secara maksimal.
e. Kemandirian
13
Universitas Sumatera Utara
Kemampuan mengatur atau mengarahkan diri dan mengendalikan diri
dalam berfikir dan bertindak serta tidak tergantung pada orang lain secara
emosional.
2. Kemampuan Interpersonal, meliputi :
a. Empati
Kemampuan menyadari, memahami dan menghargai perasaan orang lain
dan juga kemampuan untuk peka terhadap perasaan dan pikiran orang lain.
b. Hubungan interpersonal
Kemampuan menjalin dan mempertahankan hubungan yang saling
memuaskan yang dicirikan dengan keakraban serta memberi dan
menerima kasih sayang.
c. Tanggung jawab sosial
Kemampuan menunjukkan diri sendiri dengan bekerjasama, serta
berpartisipasi dalam kelompok sosialnya. Komponen kecerdasan emosi ini
meliputi bertindak secara bertanggung jawab, meskipun kita tidak
mendapatkan keuntungan apapun secara pribadi.
3. Penyesuaian diri, meliputi :
a. Pemecahan masalah
Kemampuan mengenali masalah serta menghasilkan dan melaksanakan
solusi yang secara potensial efektif. Kemampuan ini juga berkaitan dengan
keinginan untuk melakukan yang terbaik dan tidak menghindari masalah
tetapi dapat menghadapi masalah dengan baik.
14
Universitas Sumatera Utara
b. Uji realitas
Kemampuan menilai kesesuaian antara apa yang dialami atau dirasakan
dan kenyataan yang ada secara objektif dan sebagaimana adanya, bukan
sebagaimana yang kita inginkan atau kita harapkan.
c. Fleksibilitas
Kemampuan mengatur emosi, pikiran dan tingkah laku untuk merubah
situasi dan kondisi. Sikap fleksibel ini juga mencakup seluruh kemampuan
kita untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan yang tidak terduga dan
dinamis.
4. Penanganan stress, meliputi :
a. Ketahanan menanggung stress
Kemampuan menahan peristiwa yang tidak menyenangkan dan situasi
stress dan dengan aktif serta sungguh-sungguh mengatasi stress tersebut.
Ketahanan menanggung stress ini berkaitan dengan kemampuan untuk
tetap tenang dan sabar.
b. Pengendalian impuls
Kemampuan menahan dan menunda gerak hati, dorongan dan godaan
untuk bertindak.
5. Suasana hati, meliputi :
a. Kebahagiaan
Kemampuan untuk merasa puas dengan kehidupannya, menikmati
kebersamaan dengan orang lain dan bersenang-senang.
15
Universitas Sumatera Utara
b. Optimisme
Kemampuan untuk melihat sisi terang dalam hidup dan membangun sikap
positif
sekalipun
dihadapkan
dengan
kesulitan.
Optimisme
mengasumsikan adanya harapan dalam menghadapi kesulitan.
3. Ciri-Ciri Kecerdasan Emosi
Goleman (2000) mengkarakteristikkan orang yang memiliki kecerdasan
emosi tinggi dan rendah atas ciri-ciri yang khas, yaitu :
a. Ciri-ciri individu dengan tingkat kecerdasan emosi yang tinggi.
1. Mampu melabelkan perasaannya daripada melabelkan perasaan orang lain
ataupun situasi.
2. Mampu membedakan mana yang pikiran dan mana yang merupakan
perasaan
3. Bertanggung jawab terhadap perasaan
4. Menggunakan perasaan untuk membantu dalam membuat suatu keputusan
5. Peduli terhadap apa yang dirasakan oleh orang lain
6. Bersemangat dan tidak mudah marah
7. Mengakui perasaan orang lain
8. Berupaya untuk memperoleh nilai-nilai positif dari emosi yang negatif
9. Tidak bertindak otoriter, menggurui ataupun memerintah.
16
Universitas Sumatera Utara
b. Ciri-ciri individu dengan tingkat kecerdasan emosi rendah
1. Tidak berani bertanggng jawab terhadap perasaan yang dimiliki tetapi
lebih menyalahkan orang lain terhadap hal yang terjadi pada dirinya.
2. Berlebih ataupun menekan perasaan yang dimiliki
3. Cenderung menyerang, menyalahkan atau menilai orang lain
4. Kurang memiliki rasa empati.
5. Cenderung kaku, kurang fleksibel, cenderung membutuhkan suatu aturan
yang sistematis agar merasa nyaman
6. Merasa tidak nyaman apabila berada disekitar orang lain
7. Menghindari tanggung jawab dengan membela diri
8. Sistematis dan cenderung menganggap bahwa dunia tidak adil
9. Sering merasa kurang dihargai, kecewa, hambar atau merasa menjadi
korban.
B. Perilaku Seksual Pranikah
1. Pengertian Perilaku Seksual Pranikah
Perilaku seksual pranikah adalah segala tingkah laku yang didorong oleh
hasrat seksual yang dilakukan oleh dua orang, pria dan wanita diluar perkawinan
yang sah (Sarwono,2005).
Mu’tadin (2002) mengatakan bahwa perilaku seksual pranikah merupakan
perilaku seks yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan yang resmi menurut
agama dan kepercayaan masing-masing individu.
17
Universitas Sumatera Utara
Menurut Lestari (1999), perilaku seksual pranikah merupakan perilaku
seksual yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan resmi menurut hukum
maupun agama dan kepercayaan masing-masing individu.
Berdasarkan
definisi-definisi
yang
dikemukakan
di
atas,
dapat
disimpulkan bahwa perilaku seksual pranikah adalah segala perilaku yang
didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan oleh dua orang, pria dan wanita tanpa
melalui proses pernikahan yang resmi menurut hukum maupun agama.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Pranikah
Menurut Mu’tadin (2002) bahwa perilaku seksual pranikah pada remaja
tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan dipengaruhi oleh faktor tertentu pada
diri remaja baik secara internal maupun eksternal.
1. Faktor internal
Pada seorang remaja, perilaku seksual pranikah tersebut didorong oleh rasa
sayang dan cinta dengan didominasi oleh perasaan kedekatan dan gairah yang
tinggi terhadap pasangannya, tanpa disertai komitmen yang jelas. Selain itu,
faktor lain yang dapat mempengaruhi seorang remaja melakukan seks
pranikah karena didorong oleh rasa ingin tahu yang besar untuk mencoba
segala hal yang belum diketahui. Hal tersebut merupakan ciri-ciri remaja pada
umumnya, remaja ingin mengetahui banyak hal yang hanya dapat dipuaskan
serta diwujudkannya melalui pengalaman sendiri, "Learning by doing".
18
Universitas Sumatera Utara
2. Faktor eksternal
a. Teman sebaya.
Pada masa remaja, kedekatannya dengan peer-groupnya sangat tinggi
karena selain ikatan peer-group menggantikan ikatan keluarga, mereka
juga merupakan sumber afeksi, simpati, dan pengertian, saling berbagi
pengalaman dan sebagai tempat remaja untuk mencapai otonomi dan
independensi.
b. Media dan televisi.
Pengaruh media dan televisi pun sering kali diimitasi oleh remaja dalam
perilakunya sehari-hari. Misalnya saja remaja yang menonton film remaja
yang berkebudayaan barat, melalui observational learning, mereka melihat
perilaku seks itu menyenangkan dan dapat diterima lingkungan. Hal ini
pun diimitasi oleh mereka, terkadang tanpa memikirkan adanya perbedaan
kebudayaan, nilai serta norma-norma dalam lingkungan masyakarat yang
berbeda.
c. Hubungan dalam keluarga khusunya orangtua.
Kurangnya dukungan keluarga seperti kurangnya perhatian orangtua
terhadap aktivitas anak, kurangnya kasih sayang orangtua dapat menjadi
pemicu munculnya perilaku seksual pranikah pada remaja. Bila orangtua
mampu memberikan pemahaman mengenai perilaku seksual kepada
remaja, maka remaja cenderung mengontrol perilaku seksualnya sesuai
dengan pemahaman yang diberikan orangtuanya (Sarwono, 2005).
Penelitian yang dilakukan oleh Gerald Patterson dan rekan-rekannya
19
Universitas Sumatera Utara
(dalam Santrock, 2003) juga menunjukkan bahwa pengawasan orangtua
yang tidak memadai terhadap keberadaan remaja dan penerapan disiplin
yang tidak efektif dan tidak sesuai merupakan faktor keluarga yang
penting dalam tingginya perilaku seksual pranikah pada remaja. Konflik
dalam keluarga, atau stress yang dialami keluarga juga berhubungan
dengan perilaku seksual pada remaja.
Menurut Sarwono (2005), perilaku seksual pranikah pada remaja
juga dipengaruhi oleh perbedaan jenis kelamin. Remaja laki-laki
cenderung mempunyai perilaku seksual yang lebih agresif, terbuka, serta
lebih sulit menahan diri dibandingkan remaja perempuan. Hal tersebut
sebagai wujud nilai jender dan adanya norma-norma yang memberikan
keleluasaan yang lebih besar pada laki-laki daripada perempuan. Hal ini
membuat laki-laki merasa lebih bebas untuk bereksplorasi dalam berbagai
macam bentuk perilaku seksual. Apalagi orientasi laki-laki berpacaran
lebih ke arah aktivitas seksual daripada mengutamakan afeksi, membuat
laki-laki cepat beraktivitas seksual tanpa melibatkan perasaan terlebih
dahulu.
20
Universitas Sumatera Utara
Hajcak & Garwood (dalam Dacey & Kenny, 1997) menyebutkan beberapa
motif yang digunakan oleh remaja untuk melakukan perilaku seksual, yaitu :
1. Menegaskan peran maskulin dan feminin
Bagi sebagian remaja, melakukan hubungan seks dengan lebih dari satu
pasangan, merupakan bukti bahwa identitas seksualnya utuh.
2. Mendapatkan kasih sayang
Beberapa aspek dari perilaku seksual termasuk di dalamnya kontak fisik
sebagai bentuk kasih sayang, seperti memeluk, membelai dan mencium.
Bagi remaja yang hanya sedikit memperoleh bentuk afeksi ini, maka
hubungan seks yang dilakukan setimpal dengan afeksi yang mereka
dapatkan.
3. Sebagai bentuk perlawanan terhadap orang tua atau figur otoritas lainnya.
Konflik yang dialami dengan orang tua atau figur otoritas lainnya,
membuat remaja menggunakan seks sebagai bentuk pemberontakan,
bahkan sampai pada terjadinya kehamilan.
4. Meraih harga diri yang lebih tinggi
Ada remaja yang menganggap jika ada orang yang bersedia berhubungan
seks dengannya, maka ia akan memperoleh rasa hormat dan penghargaan
dari orang lain.
5. Sebagai bentuk balas dendam atau untuk menghina seseorang
21
Universitas Sumatera Utara
Seks dapat digunakan untuk menyakiti perasaan orang lain, misalnya
mantan pacar. Pada kasus yang ekstrim, hubungan yang dilakukan
bertujuan untuk memperkosa pasangan sebagai bentuk penghinaan
untuknya.
6. Melampiaskan kemarahan
Perilaku seksual merupakan sarana melampiaskan emosi yang ada,
termasuk rasa marah yang dirasakan. Remaja umumnya melakukan
masturbasi dengan tujuan ini.
7. Menghilangkan rasa bosan
Masturbasi umumnya dilakukan untuk menghilangkan kebosanan yang
dirasakan remaja.
8. Membuktikan kesetiaan pasangan
Beberapa remaja terlibat dalam perilaku seksual bukan atas keinginan
mereka sendiri tapi lebih dikarenakan ketakutan akan ditinggalkan oleh
pasangan bila mereka tidak bersedia melakukannya.
Dengan demikian dapat disimpulkan dari beberapa pengertian di atas
bahwa perilaku seksual adalah segala bentuk perilaku yang didorong oleh hasrat
seksual, memiliki tujuan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan seksual secara
fisik tetapi juga berbagai kebutuhan lain seperti afeksi, yang objeknya bisa diri
sendiri, orang lain ataupun benda tertentu, dimana ekspresi perilaku yang
ditampilkan dapat dipengaruhi oleh peran seks serta nilai tertentu yang diterima
ataupun ditolak oleh individu tersebut.
22
Universitas Sumatera Utara
3. Bentuk-bentuk Perilaku Seksual Pranikah
Bentuk-bentuk perilaku seksual bisa bermacam-macam, mulai dari
perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu dan bersenggama
(Sarwono, 2004).
Sedangkan DeLamenter dan MacCorquodale (dalam Santrock, 2003),
mengemukakan ada beberapa bentuk perilaku seksual yang biasa muncul, yaitu :
a. Necking, yaitu berciuman sampai ke daerah dada.
b. Lip kissing, yaitu bentuk tingkah laku seksual yang terjadi dalam bentuk
ciuman bibir antara dua orang.
c. Deep kissing, yaitu berciuman bibir dengan menggunakan lidah.
d. Meraba payudara.
e. Petting, yaitu bentuk hubungan seksual dengan melibatkan kontak badan
antara dua orang dengan masih menggunakan celana dalam (alat kelamin
tidak bersentuhan secara langsung).
f. Oral sex, yaitu hubungan seksual yang dilakukan dengan menggunakan
organ oral (mulut dan lidah) dengan alat kelamin pasangannya.
g. Sexual intercourse (coitus), yaitu hubungan kelamin yang dilakukan antara
laki-laki dan perempuan, dimana penis pria dimasukkan ke dalam vagina
wanita hingga terjadi orgasme/ejakulasi.
23
Universitas Sumatera Utara
Dari uraian diatas perilaku seksual pada remaja dapat dilihat dalam
perilaku, berciuman di kening, dan pipi, lip kissing, deep kissing, necking, petting,
meraba payudara, oral sex, dan sexual intercourse.
C. Remaja
1. Pengertian Remaja
Menurut Papalia (2004) remaja adalah transisi perkembangan antara masa
kanak-kanak dan masa dewasa yang meliputi perubahan secara fisik, kognitif, dan
perubahan sosial. Lahey (2004) menyatakan bahwa remaja adalah periode yang
dimulai dari munculnya pubertas sampai pada permulaan masa dewasa.
Hurlock (1999) mengemukakan istilah Adolescence atau remaja
yang berasal dari bahasa latin adolescence yang berarti “tumbuh” atau
“tumbuh menjadi dewasa”. Istilah adolescence, seperti yang dipergunakan
saat ini juga mempunyai arti yang luas, mencakup kematangan mental,
emosional, sosial, atau fisik.
Menurut Monks (1998) batasan usia remaja adalah antara 12 tahun sampai
21 tahun. Monks membagi batasan usia remaja terbagi atas tiga fase, yaitu:
1. Fase remaja awal
: usia 12 tahun sampai 15 tahun
2. Fase remaja pertengahan
: usia 15 tahun sampai 18 tahun
3. Fase remaja akhir
: usia 18 tahun sampai 21 tahun
24
Universitas Sumatera Utara
Sementara itu, batasan usia remaja untuk masyarakat Indonesia adalah
antara 11 sampai 24 tahun dan belum menikah. Dengan pertimbangan bahwa usia
11 tahun adalah usia dimana pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder mulai
tampak, sedangkan batasan usia 24 tahun merupakan batas maksimal untuk
individu yang belum dapat memenuhi persyaratan kedewasaan secara sosial
maupun psikologis. Individu yang sudah menikah dianggap dan diperlakukan
sebagai individu dewasa penuh sehingga tidak lagi digolongkan sebagai remaja
(Sarwono, 2000).
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa remaja
adalah periode perkembangan dari anak-anak ke dewasa awal yang mencakup
perubahan fisik, sosial, kognitif, emosional dan mental yang berlangsung antara
usia 12 atau 13 tahun hingga 18 atau 21 tahun.
2. Tugas Perkembangan Masa Remaja
Dalam Hurlock (1999), semua tugas perkembangan pada masa remaja
dipusatkan pada penanggulangan sikap dan pola perilaku kekanak-kanakan dan
mengadakan persiapan untuk menghadapi masa dewasa. Adapun tugas
perkembangan masa remaja adalah :
a. Mencapai hubungan baru dan lebih matang dengan teman sebaya baik pria
maupun wanita.
b. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif.
c. Mencapai peran sosial pria dan wanita.
d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab.
25
Universitas Sumatera Utara
e. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang-orang dewasa
lainnya.
3. Ciri-ciri Masa Remaja Madya (15 – 18 tahun)
Pada tahap ini, remaja sangat membutuhkan teman-teman. Ada
kecenderungan narcisistik yaitu mencintai dirinya sendiri, dengan cara lebih
menyukai teman-teman yang mempunyai sifat-sifat yang sama dengan dirinya.
Pada tahap ini remaja berada dalam kondisi kebingungan karena masih ragu harus
memilih yang mana, peka atau peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis atau
pesimis dan sebagainya. Pada tahap inilah hubungan persahabatan dengan lawan
jenis mulai meningkat ( Genmbeck, Siebenbruner, Collins, 2004). Hubungan
persahabatan lawan jenis yang meningkat tersebut disebabkan karena adaptasi
remaja madya terhadap interaksi lawan jenis sudah berkembang dengan baik.
Interaksi lawan jenis yang dilakukan remaja madya dapat berupa teman
biasa, sahabat dan pacar. Umumnya pada usia remaja madya seseorang
berinteraksi dengan sebayanya. Demikian halnya untuk dijadikan sahabat, mereka
pada umumnya memilih teman sebaya, bisa teman di sekolah, di klub olah raga,
organisasi, dan komunitas lain dimana keduanya sering berkomunikasi ( Harvey,
2003)
4. Perkembangan emosi remaja
Secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode “storm and
stress” (badai dan tekanan), suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi
26
Universitas Sumatera Utara
sebagai akibat dari perubahan fisik. Meningginya keadaan emosi terutama karena
anak laki-laki dan wanita berada di bawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi
baru. Meskipun emosi remaja seringkali sangat kuat, tidak terkendali, dan
tampaknya irrasional, tetapi pada umumnya dari tahun ke tahun terjadi perbaikan
perilaku emosional (Hurlock, 1998).
Menurut Gessel dkk (Hurlock, 1998), remaja yang berusia empat belas
tahun sering kali mudah marah, mudah dirangsang, dan emosinya cenderung
meledak, tidak berusaha mengendalikan perasaannya. Sebaliknya, remaja enam
belas tahun mengatakan bahwa mereka tidak punya keprihatinan. Jadi adanya
badai dan tekanan dalam periode ini berkurang menjelang berakhirnya awal masa
remaja.
Masa remaja merupakan masa dimana emosi menjadi meningkat.
Intensitas emosi remaja biasanya terlihat tidak seimbang dengan keadaan mereka.
Seringnya remaja tidak bisa mengekspresikan perasaan mereka dengan baik.
Terkadang mereka menjadikan orang tua atau saudara sebagai sasaran kemarahan
atau perasaan mereka terhadap orang lain (Santrok, 2002).
5. Perkembangan Perilaku Seksual Remaja
Kematangan seksual pada remaja menyebabkan munculnya minat seksual
dan keingintahuan remaja tentang seksual. Perkembangan minat seksual ini
menyebabkan masa remaja disebut juga dengan ”masa keaktifan seksual” yang
tinggi, yang merupakan masa ketika masalah seksual dan lawan jenis menjadi
27
Universitas Sumatera Utara
bahan pembicaraan yang menarik dan penuh dengan rasa ingin tahu tentang
masalah seksual (Imran, 2000).
Perubahan dan perkembangan yang terjadi pada masa remaja, dipengaruhi
oleh berfungsinya hormon-hormon seksual (testosteron untuk laki-laki dan
progesteron & estrogen untuk wanita). Hormon-hormon inilah yang berpengaruh
terhadap dorongan seksual remaja (Imran, 2000). Hal ini didukung oleh pendapat
Monks (1999), dimana pertumbuhan kelenjar seks seseorang telah sampai pada
taraf matang saat akhir masa remaja, sehingga fokus utama pada fase ini biasanya
lebih diarahkan pada perilaku seksual dibandingkan pertumbuhan kelenjar seks itu
sendiri.
Pada kehidupan sosial remaja, perkembangan organ seksual mempunyai
pengaruh dalam minat remaja terhadap lawan jenis. Remaja dapat memperoleh
teman baru, dan mengadakan jalinan cinta dengan lawan jenisnya yang kemudian
dimunculkan dalam bentuk berpacaran. Menurut Rahman dan Hirmaningsih
(dalam Mayasari, 2000) adanya dorongan seksual dan rasa cinta membuat remaja
ingin selalu dekat dan mengadakan kontak fisik dengan pacar. Kedekatan fisik
inilah yang akan mengarah pada perilaku seksual dalam pacaran.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kematangan seksual pada
remaja menyebabkan munculnya minat seksual dan keingintahuan remaja tentang
seksual. Pada masa-masa seperti inilah remaja mulai menunjukkan perilakuperilaku seksual dalam upaya memenuhi dorongan seksualnya. Perilaku seksual
merupakan perilaku yang bertujuan untuk menarik perhatian lawan jenis dan
memperoleh teman baru kemudian dimunculkan dalam bentuk pacaran. Aktivitas
28
Universitas Sumatera Utara
seksual dianggap sebagai hal yang lazim dilakukan remaja yang berpacaran
sebagai ekspresi rasa cinta dan kasih sayang.
D. Hubungan Kecerdasan Emosi dan Perilaku Seksual pada Remaja
Fase usia remaja merupakan masa dimana manusia sedang mengalami
perkembangan begitu pesat, baik fisik, psikologis dan sosial. Perkembangan
secara fisik ditandai dengan semakin matangnya organ-organ tubuh termasuk
organ reproduksi. Kematangan secara seksual memiliki hubungan yang sejalan
dengan perkembangan fisik termasuk didalamnya aspek-aspek anatomis dan
fisiologis (Monks dkk, 1998).
Adanya kematangan fisik termasuk matangnya organ-organ seksual tanpa
diimbangi percepatan pematangan emosi dan adanya kebebasan yang kian
meningkat menyebabkan masalah seksualitas yang dialami remaja menjadi
semakin kompleks. Hal tersebut diperparah dengan maraknya pemberitaan di
media massa dan televisi yang menceritakan tentang pacaran dan cinta (Prihartini,
2002). Hal ini menyebabkan aktivitas seksual seolah-olah sudah menjadi hal yang
lazim dilakukan oleh remaja yang berpacaran. Hurlock (dalam Mayasari, 2000)
mengemukakan bahwa aktivitas seksual merupakan salah satu bentuk ekspresi
atau tingkah laku berpacaran dan rasa cinta. Hal-hal tersebut telah menempatkan
remaja pada posisi yang rentan. Menurut Pudjono (dalam Prihartini, 2002),
kematangan secara seksual membuat remaja menjadi mudah terangsang akan halhal yang berbau seksualitas karena dorongan seksual yang meningkat.
29
Universitas Sumatera Utara
Sebagian ahli mempertanyakan alasan keterlibatan remaja dalam berbagai
perilaku seksual yang membuatnya terjebak pada resiko yang berkaitan dengan
aspek sosial, emosional, maupun kesehatan. Turner dan Feldman (1996)
menemukan bahwa alasan yang melandasi perilaku remaja adalah berkaitan
dengan upaya-upaya
untuk pembuktian perkembangan identitas diri; belajar
menyelami anatomi lawan jenis, menguji kejantanan, menikmati perasaan
dominan, pelampiasan kemarahan (terhadap seseorang), peningkatan harga diri,
mengatasi depresi, menikmati perasaan berhasil menaklukkan lawan jenis,
menyenangkan pasangan, dan mengatasi rasa kesepian. Berbagai kegiatan yang
mengarah pada pemuasan dorongan seksual yang pada dasarnya menunjukan
tidak berhasilnya seseorang dalam mengendalikannya atau kegagalan untuk
mengalihkan dorongan tersebut ke kegiatan lain yang sebenarnya masih dapat
dikerjakan.
Menurut Mu’tadin (2002) salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku
seksual pranikah pada remaja adalah faktor internal, dimana remaja yang
melakukan perilaku seksual pranikah tersebut didorong oleh rasa sayang dan cinta
dengan didominasi oleh perasaan kedekatan dan gairah yang tinggi terhadap
pasangannya, tanpa disertai komitmen yang jelas. Rasa sayang dan rasa cinta
merupakan salah satu bentuk emosi yang dirasakan setiap orang. Remaja yang
perasaannya lebih didominasi oleh dorongan-dorongan seksual akan lebih
memudahkan mereka untuk melakukan perilaku seksual pranikah dengan
pasangannya sebagai wujud dari rasa sayang dan cinta tersebut.
30
Universitas Sumatera Utara
Remaja perlu untuk mengontrol semua bentuk perilaku negatif mereka,
salah satu hal yang dapat mengontrol perilaku negatif yang banyak dilakukan
remaja adalah dengan memiliki kecerdasan emosi yang tinggi, hal ini didukung
juga oleh penjelasan Gottman & DeClaire (1998) bahwa remaja yang cerdas
secara emosi akan mampu memecahkan masalah mereka sendiri maupun bersama
orang lain, mampu mengambil keputusan secara mandiri, lebih banyak mengalami
sukses di sekolah maupun dalam hubungannya dengan rekan-rekan sebaya, dan
terlindung dari resiko penggunaan obat terlarang, tindak kriminal dan perilaku
seks yang tidak aman.
Menurut Salovey dan Mayer (dalam Shapiro, 1997) kecerdasan emosi juga
akan mendukung terciptanya kemampuan pengendalian diri atau kontrol diri.
Pengendalian diri ini meliputi pengendalian perilaku terutama perilaku-perilaku
yang mengarah kepada konsekuensi negatif, pengendalian kognitif dan
pengendalian keputusan (Averill dalam Elfisa, 1995). Selain itu, kemampuan
mengontrol diri juga dapat diartikan sebagai kemampuan untuk membimbing,
mengatur, dan mengarahkan bentuk-bentuk perilaku melalui pertimbangan
kognitif, sehingga dapat membawa kearah konsekuensi positif (Lazarus, 1976).
Hal ini sejalan dengan Ekowarni (1993) bahwa ketegangan emosi yang tinggi,
dorongan emosi yang sangat kuat dan tidak terkendali akan membuat remaja
sering mudah meledak emosinya dan bertindak tidak rasional
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa remaja yang
mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan
dalam bergaul dan tidak dapat mengontrol emosi dan perilakunya. Sebaliknya
31
Universitas Sumatera Utara
remaja yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosi yang tinggi akan
terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti
kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas dan sebagainya.
E. Hipotesa Penelitian
Adapun hipotesa penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara
kecerdasan emosi dan perilaku seksual pranikah pada remaja. Semakin positif
kecerdasan emosi maka akan semakin rendah perilaku seksual pranikah pada
remaja.
32
Universitas Sumatera Utara
Download