Mencari Pinjaman Saat Krisis Ekonomi Global

advertisement
Pembiayaan APBN
Mencari Pinjaman Saat Krisis Ekonomi Global
Kompas : Rabu, 15 Oktober 2008 | 10:38 WIB
Krisis keuangan tahun 1998 terjadi di kawasan Asia dan sekarang dialami negara besar Amerika
Serikat. Nyaris tak terbayangkan sebelumnya kalau ekonomi Amerika akan mengalami kelesuan
seperti sekarang, menyusul bangkrutnya sejumlah lembaga keuangan internasional.
Jika dulu krisis di kawasan Asia tidak menjalar ke mana-mana, hanya terjadi di Thailand, Korea,
Malaysia, dan Indonesia, kini krisis keuangan yang berpusat di AS dampaknya bisa menyebar ke
mana-mana, termasuk ke sejumlah negara di Asia, tak terkecuali Indonesia.
Berbagai kalangan sudah memperkirakan bahwa dampak krisis keuangan di Negeri Paman Sam
ini akan menjadi krisis global. Efek dominonya akan melebar ke mana-mana. Maklum, negaranegara di dunia, termasuk Indonesia, banyak melakukan hubungan bisnis dan dagang dengan
AS, baik di pasar keuangan maupun kegiatan ekspor-impor.
Hal ini berbeda dengan krisis ekonomi yang melanda kawasan Asia tahun 1998 yang masih bisa
dilokalisir dan dampaknya lebih bersifat regional. Dampak dari krisis keuangan di AS sama
dengan yang pernah terjadi di Indonesia, di antaranya meningkatnya jumlah pengangguran.
Menghadapi itu, antisipasi yang seharusnya dilakukan Indonesia sekarang adalah memperkuat
ekonomi domestik serta memelihara kelangsungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN). Jika APBN terganggu, kegiatan pembangunan akan terpengaruh.
Dampak krisis keuangan di AS dipastikan akan memengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi
negara-negara di dunia. Konsekuensi dari turunnya tingkat pertumbuhan ekonomi itu adalah
terjadinya pengangguran dan peningkatan kemiskinan.
Oleh karena itu, yang harus dilakukan Pemerintah Indonesia adalah menjaga kelangsungan
program pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat miskin. Berbagai
kesulitan yang akan menghadang dengan adanya krisis keuangan kali ini sudah bisa diperkirakan
saat ini.
Jangan sampai pemerintah terlambat mengantisipasi dampak krisis keuangan global ini. Jangan
mentang-mentang pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu berakhir tahun depan, lalu antisipasi
serius hanya dilakukan sampai tahun 2009. Antisipasi yang dilakukan pemerintah seharusnya
minimal untuk lima tahun ke depan.
Langkah sensitif
Bukan lagi rahasia bahwa, akibat penggelembungan ekonomi (buble economic), saat ini
likuiditas keuangan menjadi permasalahan utama negara-negara di dunia, tidak terkecuali di
Indonesia. Di Tanah Air, perbankan sampai harus melakukan perang suku bunga untuk bisa
menarik dana dari masyarakat.
Praktik perang suku bunga tinggi ini agak mereda setelah beberapa bank dipanggil Bank
Indonesia dan pemerintah menaikkan nilai penjaminan dana nasabah di perbankan nasional 20
kali lipat, dari maksimal Rp 100 juta menjadi Rp 2 miliar.
Untuk tahun 2008, Pemerintah Indonesia, sebagaimana diungkapkan Menteri Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Paskah Suzetta di sela pertemuan Dana
Moneter Internasional (IMF)- Bank Dunia di Washington DC, AS, pekan lalu, yakin APBN tidak
akan terlalu banyak terkena dampak krisis keuangan di AS.
Meski demikian, kalau komitmen pinjaman lunak dari lembaga keuangan internasional seperti
Bank Dunia tidak ditepati, bukan mustahil kelangsungan APBN 2008 juga akan terganggu meski
tersisa tinggal dua setengah bulan lagi. Saat ini pemerintah sedang merampungkan pembahasan
tentang Rancangan APBN 2009 dengan DPR.
Dengan adanya krisis keuangan di AS, sejumlah asumsi dalam RAPBN 2009 dibicarakan
kembali oleh pemerintah dengan DPR. Pemerintah mengajukan asumsi baru tentang
pertumbuhan ekonomi tahun depan, yakni dari semula 6,3 persen menjadi 5,5 persen-6,1 persen.
Paskah Suzetta menyebutkan, jika pertumbuhan ekonomi tahun 2009 di bawah 6 persen,
pemerintah akan menggunakan pinjaman siaga dari Bank Dunia. Misi utama Menneg
PPN/Kepala Bappenas melakukan pertemuan bilateral dengan Bank Dunia dan lembaga
keuangan internasional lainnya di Washington adalah untuk mendapatkan komitmen pinjaman
lunak untuk menopang APBN 2009.
Hasilnya, Bank Dunia telah mengindikasikan untuk memberikan pinjaman siaga 2 miliar dollar
AS kepada Indonesia. Sebenarnya kebutuhan Indonesia 5 miliar dollar AS. Sebelum bertemu
dengan Bank Dunia, Paskah dan delegasi Indonesia lainnya yang datang ke Washington
melakukan gerakan tutup mulut.
Misi delegasi Indonesia ke AS kali ini bisa dianggap langkah yang sensitif karena, dengan
adanya krisis keuangan di AS, sumber pembiayaan APBN tidak bisa lagi hanya mengandalkan
surat berharga negara (SBN) yang diterbitkan pemerintah, tetapi juga harus menggunakan
instrumen pinjaman bilateral dan multilateral seperti dilakukan pemerintahan sebelumnya.
Langkah seperti ini niscaya akan mengundang kritik dari berbagai kalangan di dalam negeri
karena khawatir Indonesia bisa masuk lagi dalam perangkap utang (debt trap) seperti di era Orde
Baru. Indonesia belum lama ini baru selesai melunasi utang ke IMF dan berakhir dengan
menjalin hubungan dengan negara-negara donor yang tergabung dalam Consultative Group on
Indonesia (CGI).
Memang yang diupayakan pemerintah kali ini bukan mencari utang komersial ke IMF (biasanya
digunakan untuk mendukung neraca pembayaran/BOP), tetapi menjajaki pinjaman lunak kepada
lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Islam (IDB), yang
akan dipakai untuk mendukung APBN.
Meski demikian, pinjaman tetap pinjaman, harus dilunasi. Bisa dimaklumi, dengan adanya krisis
keuangan di AS, nafsu para investor dunia membeli SBN akan berkurang. Kalaupun ada
permintaan, investor meminta suku bunga yang tinggi, hingga 15 persen per tahun.
Sebelumnya, penerbitan SBN menjadi andalan untuk membiayai APBN. Namun, dengan pasar
yang lesu seperti sekarang, instrumen itu tidak bisa dijadikan satu-satunya andalan. Perlu ada
langkah dan instrumen lain untuk membiayai APBN.
Dari hasil pertemuan dengan Bank Dunia, tentang sisa 3 miliar dollar AS yang diperlukan
Indonesia, Bank Dunia menyanggupi untuk mengupayakan koordinasi penggalangan dana, baik
dari lembaga keuangan multilateral maupun bilateral. Dari IDB, Pemerintah Indonesia berharap
lembaga keuangan ini bisa membeli Sukuk yang diterbitkan Pemerintah Indonesia senilai 1
miliar dollar AS.
Apakah rencana pemerintah mendapatkan pinjaman lunak bisa dipenuhi Bank Dunia dan
lembaga keuangan internasional lainnya? Kita lihat nanti.
(Tjahja Gunawan Diredja, dari Washington DC, AS)
Download