BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kajian Paradigma adalah gambaran fundamental mengenai masalah pokok dalam ilmu tertentu. Paradigma membantu dalam menentukan apa yang mesti dikaji, pertanyaan apa yang mestinya diajukan, bagaimana cara mengajukannya dan apa aturan yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh. Paradigma adalah unit konsensus terluas dalam bidang ilmu tertentu dan membantu membedakan satu komunitas ilmiah (atau subkomunitas) tertentu dari komunitas ilmiah yang lain. Paradigma menggolongkan, menetapkan dan menghubungkan eksemplar, teori, metode dan instrumen yang ada di dalamnya (Ritzer dan Goodman, 2008: A-13). Istilah paradigma diperkenalkan oleh Thomas S. Kuhn dalam bukunya ―The Structure of Scientific Revolutions‖. Makna dari kata itu adalah pola, berasal dari paradeigma (bahasa latin). Mengenai istilah paradigma ini Lili Rasjidi (2003: 103) menulis sebagai berikut: Oleh Kuhn istilah ini dipergunakan untuk menunjuk dua pengertian utama. Pertama, sebagai totalitas konstelasi pemikiran, keyakinan, nilai, persepsi dan tekhnik yang dianut oleh akademisi maupun praktisi disiplin ilmu tertentu yang memengaruhi cara pandang realitas mereka. Kedua, sebagai upaya manusia untuk memecahkan rahasia ilmu pengetahuan yang mampu menjungkirbalikkan semua asumsi ataupun aturan yang ada. Adapun peneliti lebih condong mengartikan paradigma sebagai suatu kepercayaan atau prinsip dasar yang ada dalam diri seseorang tentang bagaimana memandang dunia (worldview) atau menggunakan sudut pandang tertentu dalam menyikapi dunia. Sedangkan, penelitian sejatinya merupakan suatu upaya untuk menemukan suatu kebenaran atau untuk lebih membenarkan suatu hal yang telah benar.Sedangkan, paradigma komunikasi adalah sudut pandang dalam melihat objek yang diamati. Thomas S. Kuhn menyatakan, paradigma adalah kerangka 6 Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 7 yang menjadi dasar kebijakan akan kebenaran. Paradigma juga merupakan kelanjutan cara berpikir perspektif (sudut pandang atau cara pandang terhadap fakta realitas). Dalam filsafat komunikasi ada sejumlah paradigma: 1. Paradigma Klasik/Positivistik, yang menempatkan ilmu sosial sebagai gejala alam atau fisik. Paradigma ini bertujuan untuk mencari kausalitas guna memprediksi gejala-gejala umum dari bentukan negara sosial. 2. Paradigma Konstruktivisme, yang memandang ilmu komunikasi sebagai analisis sistematis terhadap tindakan yang penuh kebermaknaan. 3. Paradigma Kritis, yang mendefinisikan ilmu sebagai suatu proses yang secara kritis berusaha mengungkapkan fenomena nyata, dibalik sebuah ilusi ataupun kesadaran palsu yang mencuat di permukaan. Tujuannya ialah untuk membentuk kesadaran sosial agar di kemudian hari dapat diperbaiki. Sejumlah hal mendasar yang membedakan ketiga paradigma di atas antara lain: Konsepsi tentang ilmu sosial, asumsi tentang masyarakat, manusia, realitas sosial, keberpihakan moral, dan juga komitmen terhadap hal-hal tertentu. 2.1.1 Paradigma Konstruktivisme Adapun peneliti dalam hal ini lebih condong menggunakan paradigma konstruktivisme, karena paradigma konstruktivisme memandang ilmu komunikasi sebagai analisis sitemastis terhadap tindakan yang penuh kebermaknaan.Asumsi dasar kalangan konstruktivisme menyatakan bahwa kebenaran tidak hanya dapat diukur dengan indra semata. Secara aksiologis, penelitian tidak bebas nilai, karena memang tidak ada aspek sosial yang benar-benar bebas nilai (Vardiansyah, 2008: 59-61). Paradigma konstruktivisme dalam ilmu sosial merupakan kritik terhadap paradigma positivis. Menurut paradigma konstruktivisme realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat digeneralisasikan pada semua orang yang biasa dilakukan oleh kaum positivis. Paradigma konstruktivisme yang ditelusuri dari pemikiran Weber, menilai perilaku manusia secaea fundamental berbeda dengan perilaku alam, karena manusia bertindak sebagaiagen yang mengkonstruksi dalam Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 8 realitas sosial mereka, baik itu melalui pemberian makna ataupun pemahaman perilaku. (http://id.wikipedia//org). Kajian paradigma konstruktivisme ini menempatkan posisi peneliti setara dan sebisa mungkin masuk dengan subjeknya, dan berusaha memahai dan mengkonstruksikan sesuatu yang menjadi pemahaman si subjek yang akan diteliti. Paradigma konstruktivisme merupakan respon terhadap paradigma positivis dan memiliki sifat yang sama dengan positivis, dimana yang membedakan keduanya adalah objek kajiannya sebagai awal dalam memandang realitas sosial. Positivis berangkat dari sistem dan struktur sosial, sedangkan konstruktivisme berangkat dari subjek yang bermakna dan memberikan makna dalam realitas tersebut. Dikategorikan ke dalam penelitian kualitatif konstruktivisme karena sangat mengandalkan kemampuan peneliti dalam menafsirkan makna yang ingin dibangun melalui realitas sosial sehingga dapat dikaitkan dengan konteks sosial, budaya, ekonomi, dan historis. 2.2 Kajian Pustaka Penelitian yang seirama dengan slogan sudah pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya, namun penelitian dengan fokus analisis semiotika slogan Yamaha Semakin Di Depan masih belum dilakukan oleh peneliti lain. Adapun literatur yang bisa dijadikan sebagai acuan ialah: 1. ―Konstruksi Realitas Kaum Perempuan Dalam Film 7 Hati 7 Cinta 7 Wanita (Analisis Semiotika Film)‖ karya Andi Muthmainnah Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Makassar 2012. 2. ―Makna Slogan You C1000 terhadap citra produk (Analisis Semiotika Makna Slogan You C1000 ―Healthy Inside, Fresh outside‖, milik Koncho Putra Adila; Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara 2012. Penelitian ini berjudul ―Analisis Semiotika Iklan Slogan Motor Yamaha Semakin Di Depan terhadap citra produk di televisi swasta), studi kualitatif dengan pendekatan konstruktivis mengenaiMakna Slogan Iklan MotorYamaha Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 9 Semakin Di Depan terhadap citra produk. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahuimakna slogan Iklan Motor Yamaha Semakin Di Depan terhadap citra produk. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan observasi dan studi dokumentasi, sedangkan teknik analisis data menggunakan model Semiotika Roland Barthes. Hasil penelitian menunjukkan bahwa slogan sebagai bagian dari identitas suatu produk, sebab merupakan salah satu asset yang utama dalam membangun citra produk tersebut. Slogan merupakan salah satu penyampaian pesan yang sangat efektif untuk membangun citra atau image sebuah produk yang ada kepada khalayak. Slogan sebagai tanda bahasa juga dapat digunakan sebagai alat utama untuk menciptakan gambaran realitas sesuai konstruksi pembuatnya. Salah satu cara untuk menyampaikan pesan kepada khalayak dengan cepat dan tepat adalah dengan cara meletakkan slogan dalam gambar produk tersebut. Dengan meletak tanda bahasa yang digunakan dalam iklan akan mempertegas gambaran citra yang dikonstruksikan atas suatu barang atau produk tersebut. Citra yang dimiliki khalayak atas sebuah produk yang ada dari iklan sesungguhnya merupakan bagian apa yang diharapakan oleh produk tersebut adalah hasil konstruksi dari pembuat iklan ini. Jadi, terdapat banyak kesamaan dengan penelitian yang akan diteliti peneliti, seperti dalam hal pengunaan teori yang dapat digunakan sebagai pegangan, dan acuan dalam pengerjaan skripsi. Namun, terdapat beberapa perbedaan seperti penelitian ini hanya berfokus pada tujuan untuk mengetahui Analisis Semiotika Iklan Slogan Motor Yamaha Semakin Di Depan terhadap citra produk. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 10 2.2.1 Kerangka Teori 2.2.2. Komunikasi Komunikasi adalah proses penyampaian pesan yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberi tahu atau merubah sikap, pendapat, atau perilaku, baik langsung secara lisan maupun tidak angsung melalui media. Istilah komunikasi atau dalam bahasa inggris Communication berasal dari bahasa latin, communicatio dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. sama disini maksudnya adalah kesamaan makna (Effendy, 2002: 9) Menurut Harold D. Lasswell, sebagaimana dikutip oleh Sendjaja (1999: 7) cara yang baik untuk menggambarkan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan berikut : Who Says what In which Channel To Whom With What Effect? (Siapa mengatakan apa dengan saluran apa kepada siapa dengan efek bagaimana?) (Wiryanto, 2004: 6) .Model komunikasi Laswell diperjelas oleh (Wiryanto, 2004: 17) sebagai berikut : Unsur sumber (who) mengundang pertanyaan mengenai pengendalian pesan Unsur pesan (says what) merupakan bahan untuk analisis isi. Saluran komunikasi (in which channel) menarik untuk mengkaji mengenai analisis media. Unsur penerima (to whom) banyak digunakan untuk studi analisis khalayak. Unsur pengaruh (with what effect) berhubungan erat dengan kajian mengenai efek pesan pada khalayak 2.2.3 Komunikasi Massa Salah satu bentuk komunikasi adalah komunikasi massa yang menyampaikan informasi, ide, gagasan kepada komunikan yang jumlahnya banyak dan menggunakan media. Aneka pesan melalui sejumlah media massa dengan menyajikan beragam peristiwa baik itu yang sifatnya sederhana menunjukkan bahwa komunikasi massa telah menjadi bagian kehidupan manusia. Komunikasi massa dapat didefinisikan sebagai proses komunikasi yang Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 11 berlangsung dimana pesannya dikirim dari sumber yang melembaga kepada khalayak yang sifatnya massal melalui alat-alat yang bersifat mekanis seperti radio, televisi dan film (Cangara, 2006: 36). Joseph A. Devito (Wiryanto, 2004: 3) mengemukakan definisi komunikasi massa dalam dua pengertian : 1. Komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa, kepada khalayak yang luar biasa banyaknya. 2. Komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancarpemancar audio atau visual, seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, film atau buku. Media massa merupakan sumber kekuatan, alat kontrol, manajemen dan inovasi dalam masyarakat yang dapat didayagunakan sebagai pengganti kekuatan atau sumber daya lainnya. Media massa seringkali berperan sebagai wahana pengembangan budaya, bukan saja dalam pengertian bentuk seni dan simbol, Dalam banyak hal, proses komunikasi massa dan jenis komunikasi lain bentuknya sama yaitu seseorang menyusun sebuah pesan, pada dasarnya itu merupakan tindakan intarpersonal. Pesan tersebut kemudian disandikan (encoding) ke dalam kode umum misalnya bahasa. Bahasa tersebut ditransmisikan dan orang lain akan menerima pesan tersebut, menguraikan sandinya (decoding) lalu mendalaminya. Proses pendalaman pesan tersebut juga merupakan tindakan intrapersonal. Namun sifat komunikasi massa lebih khusus. Untuk dapat menyampaikan pesan dengan efektif kepada ribuan orang dengan latar belakang dan ketertarikan yang berbeda membutuhkan keahlian yang tersendiri dibandingkan hanya bicara dengan teman di seberang meja. Menyandi pesan jauh lebih kompleks karena selalu menggunakan alat, contohnya kamera, alat perekam atau media cetak (Vivian, 2009: 368). Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 12 Fungsi komunikasi massa bagi masyarakat menurut Joseph R. Dominick terdiri atas (Effendy, 2006: 29-31): 1. Pengawasan peringatan (surveillance) Pengawasan mengacu kepada yang kita kenal sebagai peranan berita dan informasi dari media massa. Media mengambil tempat para pengawal yang mempekerjakan pengawasan. 2. Interpretasi (Interpretation) Media massa tidak hanya menyajikan fakta dan data, tetapi juga informasi beserta interpretasi mengenai suatu peristiwa tertentu. Contoh yang paling nyata dari fungsi ini adalah tajuk rencana surat kabar dan komentar radio atau televisi siaran. Pada kenyataannya fungsi interpretasi ini tidak selalu berbentuk tulisan, adakalanya juga berbentuk kartun atau gambar lucu yang bersifat sindiran. 3. Hubungan (Linkage) Media massa mampu menghubungkan unsur-unsur yang terdapat di dalam masyarakat yang tidak bisa dilakukan secara langsung oleh saluran perseorangan. Misalnya kegiatan periklanan yang menghubungkan kebutuhan dengan produkproduk penjual. 4. Sosialisasi Sosialisasi merupakan transmisi nilai-nilai (transmission of values) yang mengacu kepada cara-cara dimana seseorang mengadopsi perilaku dan nilai-nilai dari suatu kelompok. Media massa menyajikan penggambaran masyarakat, dan dengan membaca, mendengarkan dan menonton maka seseorang mempelajari bagaimana khalayak berperilaku dan nilai-nilai apa yang penting. 5. Hiburan (Entertainment) Fungsi ini jelas tampak pada televisi dan radio, dimana sebahagian besar programnya bersifat menghibur (to entertain). Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 13 2.2.4 Iklan Iklan atau advertising dapat didefinisikan sebagai tiap bentuk komunikasi nonpersonal mengenai suatu organisasi, produk, servis, atau ide yang dibayar oleh satu sponsor yang diketahui. Yang dimaksud ‗dibayar‘ disini menunjukkan fakta bahwa ruang atau waktu bagi suatu pesan iklan pada umumnya harus dibeli, sedangkan maksud kata ‗nonpersonal‘ berarti suatu iklan melibatkan media massa (Morrisan, 2010: 17). Iklan berasal dari bahasa Arab iqlama, yang dalam bahasa Indonesia artinya pemberitahuan, dalam bahasa Inggris advertising berasal dari kata Latin abad pertengahan advertere, ―mengarahkan perhatian kepada‖, sedangkan reklame berasal dari bahasa Perancis ―reklame‖ yang berarti berulang-ulang (Danesi, 2010: 362). Sebenarnya semua istilah di atas mempunyai pengertian yang sama yaitu memberi informasi tentang suatu barang/jasa kepada khalayak. Iklan dikategorisasikan sebagai iklan non komersial dan iklan komersial. Iklan non komersial adalah iklan yang bersifat pelayanan masyarakat. Iklan komersial ditandai dengan syarat imajinasi dalam proses pencitraan dan pembentukan nilai-nilai estetika untuk memperkuat citra terhadap objek iklan itu sendiri. Sehingga terbentuk image, semakin tinggi estetika dan citra objek iklan, maka semakin komersial objek tersebut (Bungin, 2008:65). Sejatinya tugas utama iklan adalah untuk mengubah produk menjadi sebuah citra, dan apapun pencitraannya yang digunakan dalam sebuah iklan, baik itu citra kelas sosial, citra seksualitas, dan sebagainya, yang terpenting pencitraan itu memiliki efek terhadap produk dan akan menambah nilai ekonomisnya (Bungin, 2008: 126). Jib Fowles (dalam Bungin, 2008: 81) mengatakan, iklan tidak sekedar media komunikasi, namun terpenting adalah muatan konsep komunikasi yang terkandung di dalamnya, terlebih lagi konsep itu harus mampu mewakili maksud produsen untuk mempublikasikan produk-produknya, serta konsep tersebut harus dipahami oleh pemirsa sebagaimana yang dimaksud oleh si pencipta iklan. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 14 Salah satu bagian dari industri periklanan selain pengiklan dan agen periklanan, adalah media massa. Media berperan sebagai penghubung antara perusahaan dengan konsumennya. Media untuk pengiklan antara lain adalah radio, televisi, koran, majalah, internet, direct mail, billboard dan sebagainya. Dari seluruh media massa yang memungkinkan untuk menjadi media massa periklanan, televisi seringkali difavoritkan menjadi media periklanan yang utama karena efektivitas dan efisiensi dalam penyampaian pesan dan pembentukan citra di dalamnya. Televisi menjadi pilihan utama oleh banyak pemasar karena karakteristiknya yang unik dan mampu menampilkan imajinasi nyata dari iklan tersebut dalam bentuk gambar dan suara. Iklan televisi lahir dari proses panjang penggarapan sebuah iklan. Banyak kalangan tidak mengetahui kalau iklan televisi umumnya berdurasi beberapa detik, membutuhkan proses kerja yang sangat rumit dan panjang. 2.2.5 Tanda Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia (Sobur, 2004: 15). Tanda ini bisa tampil dalam bentuk sederhana seperti kata, atau dalam bentuk kompleks seperti novel atau acara siaran radio (Danesi, 2010: 27). Aristoteles (384-322 SM) meletakkan dasar-dasar teori penandaan yang sampai sekarang menjadi dasar. Tanda didefenisikan sebagai yang tersusun atas tiga dimensi: (1) bagian fisik dari tanda itu sendiri (suara yang membentuk kata seperti ―komputer‖); (2) referen yang dipakai untuk menarik perhatian (satu jenis alat tertentu); (3) pembangkitan makna (yang diisyarakatkan oleh referen baik secara psikologis maupun sosial). Sebagaimana dalam konteks semiotika, semua hal ini disebut sebagai (1) ‗penanda‘. (2) ‗petanda‘, dan (3) ‗signifikasi‘ (Danesi, 2010: 34). Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna (meaning) ialah hubungan antara suatu objek atau idea dan suatu tanda (Littlejohn, 1996: 64). Konsep dasar ini mengikat bersama seperangkat teori yang amat luas berurusan dengan simbol, bahasa, wacana, dan bentuk-bentuk Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 15 nonverbal, teori-teori yang menjelaskan bagaimana tanda berhubungan dengan maknanya dan bagaimana tanda disusun (Sobur, 2004: 15-16). Ada dua pendekatan penting yang tentang tanda, yakni pendekatan yang disampaikan Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Peirce. Menurut Saussure, tanda merupakan wujud konkret dari citra bunyi dan sering diidentifikasi sebagai penanda, sedangkan konsep-konsep dari bunyi-bunyian atau gambar, disebut sebagai petanda. Dapat dikatakan, di dalam tanda terungkap citra bunyi ataupun konsep sebagai dua komponen yang tak terpisahkan. Hubungan penanda dan petanda juga bersifat arbitrer (bebas), baik secara kebetulan maupun ditetapkan (Sobur, 2004: 32). Saussure menyatakan bahwa telaah tanda dapat dibagi menjadi duasinkronik dan diakronik (Danesi, 2010: 36). Sinkornik terkait dengan tanda pada suatu waktu, dan diakronik merupakan telaah bagaimana perubahan makna dan bentuk tanda dalam waktu. Selain itu, Saussure melihat sebuah ‗gejala biner‘sebagai tanda, yaitu bentuk yang tersusun atas dua bagian yang saling terkait satu sama lain, yakni penanda (signifier) yang berguna untuk menjelaskan ‗bentuk‘ dan ‗ekspresi‘ dan petanda (signified) yang berguna untuk menjelaskan ‗konsep‘ atau ‗makna‘. Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep atau makna tersebut dinamakan dengan signification. Saussure menegaskan bahwa diperlukan semacam konvensi sosial untuk mengatur pengkombinasian tanda dan maknanya, dalam mencermati hubungan pertandaan tersebut. Pendekatan kedua disampaikan Charles Sanders Peirce, bermakna kurang lebih sama dimana ia mengartikan tanda sebagai yang terdiri atas representamen (sesuatu yang melakukan representasi) yang merujuk ke objek (yang menjadi perhatian representamen), membangkitkan arti yang disebut sebagai interpretant (apapun artinya bagi seseorang dalam konteks tertentu) (Danesi, 2010: 36). Hubungan diantara ketiganya bersifat dinamis, dengan yang satu menyarankan yang lain dalam pola siklis. Artinya, tanda-tanda berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan sebab-akibat dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda-tanda tersebut. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 16 Menurut Peirce, sebuah analisis tentang esesnsi tanda mengarah pada pembuktian bahwa setiap tanda ditentukan oleh objeknya. Pertama, dengan mengikuti sifat objeknya, ketika kita menyebut tanda sebuah ikon. Kedua, menjadi kenyataan dan keberadaannya berkaitan dengan objek individual, ketika kita menyebut tanda sebuah indeks. Ketiga, kurang lebih, perkiraan yang pasti bahwa hal itu diinterpretasikan sebagai objek denotatif sebagai akibat dari suatu kebiasaan ketika kita menyebut tanda sebuah simbol (Sobur, 2004: 35). Di mana-mana terdapat tanda, kata, demikian pula dengan gerak isyarat tubuh, lampu lalu lintas, bendera, warna dan sebagainya dapat pula menjadi tanda. Semua hal dapat menjadi tanda, sejauh seseorang memaknainya sebagai sesuatu yang menandai suatu objek yang merujuk pada atau mewakili sesuatu yang lain diluarnya. Kita menafsirkan sesuatu sebagai tanda umumnya seara tidak sadar dengan menghubungkannya dengan suatu sistem yang kita kenal hasil konvensi sosial di sekitar kita. Tidak semua suara, gerakan bisa menjadi tanda, namum hal tersebut bisa menjadi tanda ketika diberi makna tertentu. 2.2.6 Semiotika Semiotika berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti ―tanda‖ atau seme, yang berarti ―penafsiran tanda‖. Pada masa itu, ―tanda‖ masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Jika diterapkan pada tanda-tanda bahasa, maka huruf, kata, kalimat, tidak memiliki arti (significant) dalam kaitannya dengan pembacanya. Pembaca itulah yang menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan (signifie) sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan (Sobur, 2004: 17). Semiotika adalah ilmu tentang tanda. Secara terminologis, semiotika dapat diidentifikasikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda (Wibowo, 2013: 7). Tradisi semiotika mencakup teori utama mengenai bagaimana mewakili objek, ide, situasi, keadaan, perasaan dan sebagainya yang berada di luar diri. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 17 Fiske mengatakan, bahwa semiotika mempunyai tiga bidang studi utama yaitu: 1. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang berbeda, cara tanda-tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara-cara tanda itu terkait menggunakannya. Tanda adalah konstruksi dengan manusia yang manusia dan hanya bisa dipahami dalam artian manusia yang menggunakannya. 2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi yang tersedia untuk mentransmisikannya. 3. Kebudayaan tempat kode dan bergantung tanda bekerja. Ini pada gilirannya pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk keberadaan dan bentuknya sendiri. Di lain pihak, menurut Littlejohn (2009: 55-56) semiotika dapat dibagi ke dalam tiga dimensi kajian, yaitu semantik, sintaktik, dan pragmatik. Adapun penjabarannya adalah sebagai berikut: 1. Semantik, berkenaan dengan makna dan konsep. Dalam hal ini membahas bagaimana tanda memiliki hubungan dengan referennya, atau apa yang diwakili suatu tanda. Prinsip dasar dalam semiotika adalah bahwa representasi selalu diperantara atau dimediasi oleh kesadaran interpretasi seorang individu dan setiap interpretasi ataumakna dari suatu tanda akan berubah dari suatu situasi ke situasi lainnya (Morrisan, 2009: 29). 2. Sintaktik, berkenaan dengan keterpaduan dan keseragaman, studi ini mempelajari mengenai hubungan antara tanda. Tanda di lihat sebagai bagian dari sistem tanda yang lebih besar atau kelompok yang diorganisir melalui cara tertentu. Sistem tanda seperti ini biasa disebut dengan kode. Menurut pandangan semiotika, tanda selalu dipahami dalam hubungan dengan tanda lainnya (Morrisan, 2009: 30). Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 18 3. Pragmatik, berkenaan dengan teknis dan praktis. Aspek ini mempelajari bagaimana tanda menghasilkan perbedaan dalam kehidupan manusia dengan kata lain adalah studi yang mempelajari penggunaan tanda serta efek yang dihasilkan tanda. Berkaitan pula dengan mempelajari bagaimana pemahaman atau kesalahpahaman terjadi dalam berkomunikasi (Morrisan, 2009: 30). Ada dua pendekatan penting tentang tanda-tanda yang biasa menjadi rujukan para ahli. Pendekatan pertama adalah pendekatan tanda yang didasarkan pada pandangan seorang filsuf dan pemikir Amerika yang cerdas, Charles Sanders Pierce (1839-1914). Pierce (dalam Berger, 2000: 14) menandaskan bahwa tandatanda berkaitan dengan objek-objek yang menyerupainya, keberadaannya memiliki hubungan sebab-akibat dengan tanda-tanda atau karena ikatan konvensional dengan tanda-tanda tersebut. Ia menggunakan istilah ikon untuk kesamaannya, indek untuk hubungan sebab-akibat, dan simbol untuk asosiasi konvensional. Sebuah tanda atau repesentamen menurut Charles S Peirce adalah sesuatu yang bagi seseorang mewakili sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Interpretant dinamakan Peirce sebaai interpretan dari tanda yang pertama, pada gilirannya akan mengacu pada objek tertentu. Dengan demikian menurut Peirce, sebuah tanda atau representamen memiliki relasi ‗triadik‘ langsung dengan interpretan dan objeknya. Apa yang dimaksud dengan proses ‗semiosis‘ merupakan suatu proses yang memadukan entitas (berupa representamen) dengan entitas lain yang disebut sebagai objek. Proses ini disebut sebagai signifikasi oleh Peirce (Wibowo, 2013: 18). Pendekatan kedua adalah pendekatan yang didasarkan pada pandangan Ferdinand de Sausurre (1857-1913) yang mengatakan bahwa tanda-tanda disusun dari dua elemen, yaitu aspek citra tentang bunyi (semacam kata atau representasi visual) dan sebuah konsep di mana citra bunyi disandarkan (Sobur, 2004: 31). Menurut pandangan Saussure, tanda tersebut merupakan manifestasi konkret dari citra bunyi dan sering diidentifikasi dengan citra bunyi itu sebagai Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 19 penanda. Jadi, penanda dan petanda merupakan unsur-unsur mentalistik. Bagi Saussure, hubungan antara penanda dan petanda bersifat bebas, baik secara kebetulan maupun ditetapkan. Ini tidak berarti ―bahwa pemilihan penanda sama sekali meninggalkan pembicara‖ namun lebih dari itu adalah ―tak bermotif yakni arbitrer dalam pengertian penanda tidak mempunyai hubungan alamiah dengan petanda (Sobur, 2004: 31-32). Semiotika memisahkan kandungan teks menjadi bagian-bagian, lalu menghubungkan mereka dengan wacana-wacana yang lebih luas. Sebuah analisis semiotik menyediakan cara menghubungkan teks tertentu dengan sistem pesan dimana ia beroperasi. Hal ini memberikan konteks intelektual pada isi: ia mengulas cara-cara beragam unsur bekerja sama dan berinteraksi dengan pengetahuan kultural kita untuk menghasilkan makna. Semiotika memiliki keuntungan dalam menghasilkan apa yang disebut Clifford Geertz (1973) sebagai ―deskripsi tebal‖ (thick descriptions) yang berstruktur serta analisis-analisis yang kompleks. Karena sangat subjektif, semiotika tidak reliable dalam konteks pemahaman ilmu pengetahuan sosial tradisional—peneliti lain yang mempelajari teks yang sama dapat saja mengeluarkan sebuah makna yang berbeda (Stokes, 2006: 78). Analisis semiotik biasanya diterapkan pada citra atau teks visual. Metode ini melibatkan pernyataan dalam kata-kata tentang bagaimana citra bekerja, dengan mengaitkan mereka pada struktur ideologis yang mengorganisasi makna (Stokes, 2006: 78). 2.2.6.1 Makna Para ahli mengakui, istilah makna (meaning) memang merupakan kata dan istilah yang membingungkan (Sobur, 2004: 255). Istilah pesan dan makna sering digunakan secara bergantian. Akan tetapi, dari sudut semantik hal tersebut tidaklah benar. Dapat dikatakan, ‗pesan‘ itu tidak sama dengan ‗makna‘, pesan bisa memiliki lebih dari satu makna dan beberapa pesan bisa memiliki satu makna. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 20 Berdasarkan ilmu semiotika, pesan adalah penanda; dan maknanya adalah petanda. Pesan adalah sesuatu yang dikirimkan secara fisik dari satu sumber ke penerimanya. Sedangkan makna dari pesan yang dikirimkan hanya bisa ditentukan dalam kerangka-kerangka makna lainnya. Tak perlu lagi dijelaskan bahwa hal ini juga akan menghasilkan berbagai masalah interpretasi dan pemahaman (Danesi, 2010: 22). Ada beberapa pandangan yang menjelaskan teori atau konsep dari makna. Model proses makna Wendell Johnsosn (dalam Sobur, 2004: 258) menawarkan sejumlah implikasi bagi komunikasi antar manusia: 1. Makna ada dalam diri manusia. Makna tidak terletak pada kata-kata. Kita menggunakan kata-kata untuk mendekati makna yang ingin kita komunikasikan. Komunikasi adalah proses yang kita gunakan untuk mereproduksi, di benak pendengar, apa yang ada di benak kita. Reproduksi ini hanyalah sebuah proses parsial dan selalu bisa salah. 2. Makna berubah. Kata-kata relatif statis. Banyak dari kata-kata yang kita gunakan berumur 200 atau 300 tahun. Tapi makna dari kata-kta tersebut mengalami perubahan yang dinamis, teruatama pada dimensi emosional dari makna. Seperti kata-kata hubungan di luar nikah, obat, agama, hiburan, dan perkawinan (di Amerika Serikat, kata-kata ini diterima secara berbeda pada saat ini dan di masa-masa yang lalu). 3. Makna membutuhkan acuan. komunikasi hanya masuk akal bilamana ia mempunyai kaitan dengan dunia atau lingkungan eksternal. Obsesi seorang paranoid yang selalu merasa diawasi dan teraniaya merupakan contoh makna yang tidak mempunyai acuan yang memadai. 4. Penyingkatan yang berlebihan akan mengubah makna. Berkaitan erat dengan gagasan bahwa makna membutuhkan acuan adalah masalah komunikasi yang timbul akibat penyingkatan berlebihan tanpa mengaitkannya dengan acuan yang konkret dan dapat diamati. Bila kita berbicara tentang cinta, persahabatan, kebahagiaan, kebaikan, kejahatan, dan konsep-konsep lain yang serupa tanpa mengaitkannya dengan sesuatu yang spesifik, kita tidak akan bisa berbagi makna dengan lawan bicara. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 21 Mengatakan kepada seorang anak untuk ―manis‖ dapat mempunyai banyak makna. Penyingkatan perlu dikaitkan dengan objek, kejadian, dan perilaku dalam dunia nyata: ―Berlaku manislah dan bermain sendirilah sementara ayah memasak.‖ Bila Anda telah membuat hubungan seperti ini, Anda akan bisa membagi apa yang Anda maksudkan dan tidak. 5. Makna tidak terbatas jumlahnya. Pada suatu saat tertentu, jumlah kata dalam suatu bahasa terbatas, tetapi maknanya tidak terbatas. Karena itu, kebanyakan kata mempunyai banyak makna. Ini bisa menimbulkan masalah bila sebuah kata diartikan secara berbeda oleh dua orang yang sedang berkomunikasi. Bila ada keraguan, sebaiknya Anda bertanya dan bukan membuat asumsi; ketidaksepakatan akan hilang bila makna yang diberikan masing-masing pihak diketahui. 6. Makna dikomunikasikan hanya sebagian. Makna yang kita peroleh dari suatu kejadian (event) bersifat multiaspek dan sangat kompleks, tetapi hanya sebagian saja dari makna-makna ini yang benar-benar dapat dijelaskan. Banyak dari makna tersebut tetap tinggal dalam benak kita. Karenanya, pemahaman yang sebenarnya–pertukaran makna secara sempurna–barangkali merupakan tujuan ideal yang ingin kita capai tetapi tidak pernah tercapai Selain model makna di atas, terdapat juga teori makna yang dikemukakan oleh Alston, mencakup teori acuan (referential theory), teori ideasi (ideasional theory), dan teori tingkah laku (behavioral theory) (Sobur, 2004: 259). 1. Teori Acuan (Referential Theory), salah satu jenis teori makna yang mengenali atau mengidentifikasikan makna suatu ungkapan dengan apa yang diacunya atau dengan hubungan acuan itu. Referen atau acuan boleh saja benda, peristiwa, proses, atau kenyataan. Referen adalah sesuatu yang ditunjuk oleh lambang. 2. Teori Ideasional (The Ideational Theory), salah satu jenis teori makna yang menawarkan alternatif lain untuk memecahkan masalah makna ungkapan ini. Menurut Alston, teori ideasional ini adalah suatu jenis teori makna yang mengenali atau mengidentifikasi makna ungkapan dengan gagasan-gagasan yang berhubungan dengan ungkapan tersebut. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 22 3. Teori Tingkah Laku (Behavioral Theory), salah satu jenis teori makna mengenai makna suatu kata atau ungkapan bahasa dengan rangsangan (stimuli) yang menimbulkan ucapan tersebut, dan atau tanggapantanggapan yang ditimbulkan oleh ucapan tersebut. teori ini menanggapi bahasa sebagai semacam kelakuan yang, mengembalikannya kepada teori stimulus dan respons. Makna menurut teori ini, merupakan rangsangan untuk menimbulkan perilaku tertentu sebagai respons kepada rangsangan itu tadi. Menurut Saussure, tanda terdiri dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau penanda dan konsep dari bunyi-bunyian atau gambar tersebut, disebut sebagai signified atau petanda. Hubungan antara gambaran mental atau konsep tersebut dinamakan dengan signification atau pemaknaan. 2.2.6.2 Semiotika Komunikasi Visual Semiotika sebagai sebuah cabang keilmuan memperilahkan pengaruh terhadap bidang-bidang seni rupa, seni tari, seni film, desain produk, arsitektur, termasuk desain komunikasi visual. Menurut Tinarbuko (Piliang, 2012: 339-340) semiotika komunikasi visual yaitu semiotika sebagai metode pembacaan karya komunikasi visual. Dilihat dari sudut pandang semiotika, desain komunikasi visual adalah sistem semiotika khusus, dengan pembendaharaan kata (vocabulary) dan sintaks (sintagm) yang khas, yang berbeda dengan sistem semiotika seni. Fungsi signifikasi adalah fungsi di mana penanda yang bersifat konkrit dimuati dengan konsep-konsep abstrak, atau makna, yang secara umu disebut petanda. Objek utama dari komunikasi visual adalah elemen-elemen komunikasi yang bersifat visual, yaitu garis, bidang, ruang, warna, bentuk dan tekstur, akan tetapi perkembangannya, desain komunikasi visual juga melibatkan elemenelemen non visual, seperti tulisan, bunyi atau bahasa verbal. Meskipun semua muatan komunikasi dari bentuk-bentuk komunikasi visual di tiadakan, ia sebenarnya masih mempunyai muatan signifikasi, yaitu muatan makna. Efektivitas pesan sebagai tujuan utama dari desain komunikasi visual. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 23 Berbagai bentuk desain komunikasi visual: iklan, fotografi jurnalistik, poster, kalender, brosur, film animasi, karikatur, acara televisi, video klip, web design, cd interaktif adalah diantara bentuk-bentuk komunikasi visual, yang melaluinya pesan-pesan tertentu disampaikan dari pihak pengirim (desainer, produser, copywritter) kepada penerima (pengamat, penonton, pemirsa). Semiotika komunikasi mengkaji tanda konteks komunikasi yang lebih luas, yang melibatkan berbagai elemen komunikasi, seperti saluran, sinyal, media, pesan, kode. Semiotika komunikasi menekankan aspek produksi tnada di dalam berbagai rantai komunikasi, saluran dan media, ketimbang sistem tanda. Di dalam semiotika komunikasi, tanda ditempatkan di dalam rantai komunikasi, sehingga mempunyai peran yang penting dalam penyampaian pesan. Pesan yang dikemukakan dalam karya desain komunikasi, pesan disosialisasikan kepada khalayak sasaran melalui tanda. Secara garis besar, tanda dapat dilihat dari dua aspek, yaitu tanda verbal dan tanda visual. Tanda verbal akan didekati pada aspek ragam bahasa, tema dan pengertian yang didapatkan. Sedangkan tanda visual akan dilihat dari cara menggambarkannya, apakah secara ikonis, indeksikal atau simbolis dan bagaimana cara mengungkapkan idiom estetiknya. Tanda-tanda yang telah dilihat dan dibaca dari dua aspek secara terpisah, kemudian diklasifikasikan dan dicari hubungan antara yang satu dengan yang lainnya. 2.2.6.3 Semiotika Roland Barthes Roland Barthes dikenal sebagai seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Ia berpendapat bahwa bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu (Sobur, 2004: 63). Barthes melontarkan konsep tentang konotasi dan denotasi sebagai kunci dari analisisnya. Sebuah sistem tanda primer dapat menjadi sebuah elemen dari sebuah sistem tanda yang lebih lengkap dan memiliki makna yang berbeda ketimbang semula. Dengan begitu, primary sign adalah denotative sedangkan secondary sign adalah satu dari connotative semiotics (Wibowo, 2013: 21). Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 24 Salah satu bagian penting yang di bahas Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca. Konotasi walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes mengulas apa yang sering disebutnya sebagai sistem pemaknaan tataran kedua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sistem kedua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, yang di dalam Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama. 1. Signifier 2. Signified (Penanda) (Petanda) 3. Denotative Sign (Tanda Denotatif) 4. Connotative Signifier (Penanda Konotatif) 6. Connotative Sign (Tanda Konotatif) Gambar 2.1 Peta Tanda Roland Barthes. 5. Connotative Signified (Penanda Konotatif) (Sumber: Cobley dan Jansz dalam Sobur, 2004 : 69) Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif terdiri atas penanda dan petanda. Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif. Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material: hanya jika anda mengenal tanda ―Singa‖, barulah kontasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin (Sobur, 2004: 69). Pada dasarnya terdapat perbedaan diantara denotasi dan konotasi, denotasi sebagai makna harfiah, makna yang ―sesungguhnya,‖ bahkan kadang kala juga dirancukan dengan referensi. Sedangkan konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebut sebagai ‗mitos‘, dan berfungsi mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu (Sobur, 2004: 70-71). Bagi Roland Barthes, didalam teks beroperasi lima kode pokok (five major code) yang di dalamnya terdapat penanda teks (leksia). Lima kode yang ditinjau Barthes yaitu (Sobur, 2004: 65-66): 1. Kode Hermeneutik atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan ―kebenaran‖ bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 25 Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Didalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita. 2. Kode Semik atau kode konotatif banyak menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan satuan konotasi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu. Perlu dicatat bahwa Barthes menganggap denotasi sebagai konotasi yang paling kuat dan paling ―akhir‖. 3. Kode Simbolik, merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes pascastruktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan-baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara, maupun pada taraf oposisi psikosesksual yang melalui proses. Dalam suatu teks verbal, perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini dapat dikodekan melalui istilah-istilah retoris seperti antitesis, yang merupakan hal yang istimewa dalam sistem simbol Barthes. 4. Kode Proaretik atau kode tindakan/lakuan dianggapnya sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang; artinya, antara lain, semua teks yang bersifat naratif. Pada praktiknya, ia menerapkan beberapa prinsip seleksi. Kita mengenai kode lakuan atau peristiwa karena kita dapat memahaminya. Pada kebanyakan fiksi, kita selalu mengharap lakuan di-―isi‖ sampai lakuan utama menjadi perlengkapan utama suatu teks (seperti pemilahan ala Todorov). 5. Kode Gnomik atau kode kultural yang merupakan acuan teks ke bendabenda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barhtes, realisme tradisional didefinisi oleh acuan ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi yang diatasnya para penulis bertumpu. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 26 Di samping penanda teks (leksia) dan lima kode pembacaan yang telah dijabarkan di atas, beberapa konsep penting dalam analisis semiotika Roland Barthes adalah: 1. Penanda dan Petanda Menurut Sausurre, bahasa merupakan sebuah sistem tanda dan setiap tanda tersusun dari dua bagian, yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Tanda adlaah kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah ―bunyi yang bermakna‖ atau ―coretan yang bermakna‖. Jadi penanda merupakan aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan apa yag ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Menurut Saussure, penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas. Sausurre menggambarkan tanda yang terdiri atas signifier dan signified itu sebagai berikut: Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 27 Sign Composed of Signifier plus signification signified external reality of meaning Gambar 2.2 Elemen-Elemen Makna Sausurre (Sumber: Sobur, Alex: 2004) Media.). Analisis Teks Media. Remaja Rosdakarya Pada dasarnya apa yang disebut signifier dan signified tersebut adalah produk kultural. Setiap tanda kebahasaan, menurut Sausurre, pada dasarnya menyatukan sebuah konsep (concept) dan suatu citra suara (sound image), bukan menyatakan sesuatu dengan sebuah nama. Penanda (signifier) adalah suara yang muncul dari sebuah kata yang diucapkan sedangkan konsepnya adalah petanda (signified). Dua unsur ini tidak bisa dipisahkan sama sekali. Pemisahan hanya akan menghancurkan ‗kata‘ tersebut. 2. Denotasi dan Konotasi Makna harfiah biasanya disebut sebagai denotasi, makna yang ―sesungguhnya‖, bahkan kadangkala juga dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi yang secara tradisional disebut sebagai denotasi ini biasanya mengacu kepada penggunaan bahasa dengan arti sesuai dengan apa yang terucap. (Sobur, 2004: 70). Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 28 Denotasi adalah hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama pada sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting di dalam ujaran. Denotasi bersifat langsung, dapat diartikan sebagai makna khusus yang terdapat dalam sebuah tanda, sehingga sering disebut sebagai gambaran sebuah petanda. Makna dari kata yang biasa kita temukan dalam kamus adalah makna denotatif. Makna konotatif merupakan makna denotatif ditambah dengan segala gambaran, ingatan dan perasaan yang ditimbulkan oleh kata itu. Kata konotasi berasal dari bahasa Latin connotare yang berarti ―menjadi tanda‖ dan mengarah kepada makna-makna kultural yang terpisah/berbeda dengan kata (dan bentukbentuk lain dari komunikasi). Hubungan yang digunakan di dalam tingkat pertama dan sebuah kata yang secara bebas memegang peranan penting di dalam ujaran adalah denotasi. Makna denotasi bersifat langsung, yaitu makna khusus yang terdapat dalam sebuah tanda, dan pada intinya dapat disebut sebagai gambaran sebuah petanda. Harimurti Kridalaksana (2001: 40) mendefinisikan denotasi (denotation) sebagai ―makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukkan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu; sifatnya objektif‖ (Sobur, 2004: 263). Sedangkan konotasi (connotation, evertone, evocatory) diartikan sebagai ―aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca)‖. Dengan kata lain, ―makna konotatif merupakan makna leksikal + X‖ (Sobur, 2004: 263). Makna denotatif (denotative meaning) disebut juga dengan beberapa istilah lain seperti makna denotasional, makna kognitif, makna konseptual, makna ideasional, makna refenrensial atau makna proporsional (Keraf, 1994: 28). Makna itu menunjuk (denote) kepada suatu referen, konsep, atau ide tertentu dari suatu referen, maka dari itu disebut makna denotasional, referensial, konseptual, atau ideasional. Disebut makna kognitif karena makna itu beratlian dengan kesadaran atau pengetahuan; stimulus (dari pihak pembicara) dan respons (dari pihak Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 29 pendengar) menyangkut hal-hal yang dapat diserap pancaindra (kesadaran) dan rasio manusia. Makna ini disebut juga makna proporsional karena ia bertalian dengan informasi-informasi atau pernyataan-pernyataan yang bersifat faktual. Makna ini, yang diacu dengan bermacam-macam nama, adalah makna yang paling dasar pada suatu kata (Sobur, 2004: 265). Makna konotatif sebuah kata dipengaruhi dan ditentukan oleh dua lingkungan, yaitu lingkungan tekstual dan lingkungan budaya (Sumardjo & Saini, 1994: 126). Yang dimaksud dengan lingkungan tekstual ialah semua kata di dalam paragraf dan karangan yang menentukan makna konotatif itu. Pengaruh lingkungan budaya menjadi jelas kalau kita meletakkan kata tertentu di dalam lingkungan budaya yang berbeda (Sobur, 2004: 266). Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan makna konotasi adalah bagaimana cara menggambarkannya. Konotasi bekerja dalam tingkat subjektif sehingga kehadirannya tidak disadari. Pembaca mudah sekali membaca makna konotatif sebagai fakta denotatif (Wibowo, 2013: 22). Makna konotatif bersifat subjektif dalam pengertian bahwa ada pergeseran dari makna umum (denotatif) karena sudah ada penambahan rasa dan nilai tertentu. Kalau makna denotatif hampir bisa dimengerti banyak orang, maka makna konotatif ini hanya bisa dicerna oleh mereka yang jumlahnya relatif lebih sedikit (kecil). Jadi, sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai ―nilai rasa‘, baik positif maupun negatif. Jika tidak mempunyai nilai rasa, maka dikatakan tidak memiliki konotasi tetapi dapat juga disebut berkonotasi negatif (netral) (Sobur, 2003: 264). Di dalam semiologi Roland Barthes, Fiske menyebut model denotasi dan konotasi sebagai signifikasi dua tahap (two order of signification). Lewat model ini Barthes menjelaskan bahwa signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara Signifier (ekspresi) dan Signified (content) di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Itu yang disebut Barthes sebagai denotasi yaitu makna paling Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 30 nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilainilai dari kebudayaannya (Wibowo, 2013: 21). Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna dan, dengan demikian, sensor atau represi politis. Sebagai reaksi yang paling ekstrem melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif, Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya, yang ada hanyalah konotasi semata-mata. Penolakan ini mungkin terasa berlebihan, namun ia tetap berguna sebagai sebuah koreksi atas kepercayaan bahwa makna ―harfiah‖ merupakan sesuatu yang bersifat alamiah Budiman (1999: 22) dalam (Sobur, 2004: 71). 3. Mitos Mitos umumnya diartikan sebagai suatu sikap lari dari kenyataan dan mencari ―perlindungan dalam dunia khayal‖. Sebaliknya dalam dunia politik, mitos sering dijadikan alat untuk menyembunyikan maksud yang sebenarnya, yaitu membuka jalan, mengadakan taktik untuk mendapat kekuasaan dalam masyarakat yang bersangkutan dengan ―melegalisasikan‖ sikap dan jalan antisosial. Tujuan dari suatu mitos politik adalah selalu kekuasaan dalam negara, karena dianggap bahwa tanpa kekuasaan keadaan tidak dapat diubahnya (Susanto, 1985: 220). Demikianlah mitos mudah menjadi ―alat kekuasaan‖ yang sukar dibuktikan kebenarannya selama tujuan mitos belum menjadi kenyataan, maka apa yang dijanjikan oleh mitos masih saja dapat diproyeksikan ke masa ―lebih ke depan‖ (Sobur, 2004: 223-224). Mitos menurut Lapper dan Collins (dalam Rahardjo, 1996: 192) dimengerti sebagai sesuatu yang oleh umum dianggap benar, tetapi sebenarnya bertentangan dengan fakta, sekalipun perlu dicatat bahwa penafsiran fakta oleh Lappe dan Collins itu belum tentu benar atau disetujui oleh masyarakat ilmiah pada umumnya. Mitos yang disebut Lappe dan Collins adalah ―mitos modern‖. Di dalam bukunya Mythology (1991), dikutip dalam Rahardjo, (1996: 192), Fernand Comte membagi mitos menjadi dua macam, mitos tradisional dan mitos modern. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 31 Mitos modern itu dibentuk oleh dan mengenai gejala-gejala politik, olahraga, sinema, televisi dan pers. Mitos dalam pemahaman semitoika Barthes adalah pengkodean makna dan nilai-nilai sosial (yang sebetulnya arbitrer atau konotatif) sebagai sesuatu yang dianggap alamiah. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda. Namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran kedua. Barthes menempatkan ideologi dengan mitos karena baik di dalam mitos maupun ideologi, hubungan antara penanda konotatif antara penanda konotatif dan petanda konotatif terjadi secara termotivasi (Budiman, 2003: 28). 2.2.7 Video Video berasal dari bahasa Latin, video-vidi-visum yang artinya melihat (mempunyai daya penglihatan); dapat melihat (K. Prent dkk, 1969: 926). Kamus Besar Bahasa Indonesa mengartikan video dengan 1) bagian yang memancarkan gambar pada pesawat televisi; 2) rekaman gambar hidup untuk ditayangkan pada pesawat televisi. Smaldino (2008: 374) mengartikannya dengan ―the storage of visuals and their display on television-type screen‖ (penyimpanan/perekaman gambar dan penayangannya pada layar televisi) (Amien & Lamere, 2010). Video, dilihat sebagai media penyampai pesan, termasuk media audiovisual atau media pandang-dengar (Setyosari & Sihkabuden, 2005: 117). Media audiovisual dapat dibagi menjadi dua jenis: pertama, dilengkapi fungsi peralatan suara dan gambar dalam satu unit, dinamakan media audio-visual murni; dan kedua, media audio-visual tidak murni. Film bergerak (movie), televisi, dan video termasuk jenis yang pertama, sedangkan slide, opaque, OHP dan peralatan visual lainnya yang diberi suara termasuk jenis yang kedua (Munadi, 2008: 113). Lahirnya teknologi dan seni gambar bergerak (motion picture) yang mungkin merupakan sebentuk seni paling berpengaruh dalam abad yang lalu. Jika saat ini hidup dalam dunia yang 'termediasi-secara-visual'— sebuah dunia tempat citra visual membentuk gaya hidup dan mengajarkan pelbagai nilai perilaku, Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 32 kebiasaan dan gaya hidup—kita berhutang pertama-tama dan yang terutama pada film. Media berbasis penglihatan dan yang diperkuat oleh penglihatan menjadi begitu umum dan kita hampir tidak menyadari betapa mereka menjadi demikian intrinsik di dalam tatanan signifikasi modern (Danesi, 2010: 133). Film juga sebetulnya tidak jauh beda dengan televisi. Namun, film dan televisi memiliki bahasa yang berbeda (Sardar & Loon, 2001: 156). Tata bahasa itu terdiri atas semacam unsur yang akrab, seperti pemotongan (cut), pemotretan jarak dekat (close-up), pemotretan dua (two shot), pemotretan jarak jauh (Long Shot), pembesaran gambar (zoom-in), pengecilan gambar (zoom-out), memudar (fade), pelarutan (dissolve), gerakan lambat (sLow motion), gerakan yang dipercepat (speeded-up), efek khusus (special effect). Namun, bahasa tersebut juga mencakup kode-kode representasi yang lebih halus, yang tercakup dalam kompleksitas dari penggambaran visual yang harfiah hingga simbol-simbol yang paling abstrak dan arbitrer serta metafora. Metafora visual sering menyinggung objek-objek dan simbol-simbol dunia nyata serta mengonotasikan makna-makna sosial dan budaya. Berbeda dari permasalahan ―tanda‖ bahasa di mana hubungan bersifat arbitrer (semena) antara tanda (demikian pun antara significant dan signifie) dan benda (choses), penanda (significant) sinematografis memiliki hubungan ―motivasi‖ atau ―beralasan‖ (motivation) dengan penanda yang tampak jelas melalui hubungan penanda dengan alam yang dirujuk. Petanda sinematografis selalu kurang lebih, kata Christian Metz, ―beralasan‖ dan tidak pernah semena. Hubungan motovasi itu berada baik pada tingkat denotatif maupun konotatif. Hubungan denotatif yang beralasan itu lazim disebut analogi, karena memiliki persamaan perseptif/auditif antara penanda/petanda dan referen. Perlu diketahui bahwa analogi ini hanyalah salah satu bentuk dari motivasi karena konotasi sinematografis juga termasuk di dalamnya. Meskipun analogi perseptif/auditif bukanlah prasyarat keberadaannya, Metz menggarisbawahi tesis tentang polisemi motivasi dari Eric Buyyens dengan mengatakan bahwa konotasi sinematografis bersifat simbolis: petanda memotivasi penanda, tetapi melampauinya Masak, 2000: 283 dalam (Sobur, 2004: 13). Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 33 2.2.7.1 Teknik Pengambilan Gambar Teknik pengambilan suatu gambar dapat memiliki kode-kode yang mempunyai makna tersendiri. Kode-kode tersebut menginformasikan hampir seluruh aspek tentang keberadaan kita dan menyediakan konsep yang bermanfaat bagi analisis seni popular dan media. Berbagai elemen terdapat dalam kode, terutama yang berhubungan dengan bahasa gambar yang biasa dilihat secara lebih detail. Jelasnya dapat diperlihatkan melalui tabel berikut: Tabel 2.1 Teknik Dalam Pengambilan dan Penyutingan Gambar Penanda (Signifier) Petanda (Signified) Pengambilan Gambar Extrem Long Shot Kesan luas dan keluarbiasaan Full Shot Hubungan Sosial Big Close Up Emosi, dramatik, momen penting Close Up Intim atau dekat Medium Shot Hubungan personal dengan subjek Long Shot Konteks perbedaan dengan publik Sudut Pandang (angle) pengambilan gambar High dominasi, kekuasaan dan otoritas Eye Level Kesejajaran, kesamaan dan sederajat Low Didominasi, dikuasai dan kurang otoritas Tipe Lensa Wide angle Dramatis Normal Normalitas dan keseharian Telephoto Tidak personal, voyeuristik Fokus Selective focus Meminta perhatian (tertuju pada satu objek) Soft focus Romantis serta nostalgia Deep focus Semua unsur adalah penting (melihat secara keseluruhan objek) Pencahayaan High key Riang dan ceria Low key Suram dan muram High contrast Dramatikal dan teatrikal Low contrast Realistik serta terkesan seperti dokumenter Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 34 Pewarnaan Warm (kuning, oranye, merah dan abu- Optimisme, harapan, hasrat dan agitasi abu) Cool (biru dan hijau) Pesimisme, tidak ada harapan Black and white (hitam dan putih) Realisme, aktualisme dan faktual (Sumber: Arthur Asa Berger, Media Analysis Techniques, 2000: 33) Pengambilan gambar yang dapat menandakan sesuatu merupakan salah satu elemen penting. Pengambilan gambar akan menentukan hasil akhir dari foto atau film yang dihasilkan. Teknik pengambilan gambar terdiri atas: 1. Pengambilan gambar secara Extrem Long Shot dapat menggambarkan wilayah luas yang diambil dari jarak yang jauh. Pengambilan gambar secara Long Shot membuat subjek hanya sebagian kecil saja dari objek yang ditampilkan dalam gambar. Pengambilan gambar ini seperti mengesampingkan subjek. Penonjolan dari subjek atau orang tersebut tidak ada apabila Long Shot yang dipilih. Kecuali jika ada sebuah kejadian atau suatu peristiwa yang nampak dari gambar tersebut. 2. Pengambilan gambar secara medium shot, bentuk subjek yang ditampilkan sama ukurannya dengan objek yang menjadi latar. Ukuran gambar subjeknya memiliki ukuran yang sama dengan latar. Kesan yang nampak dari pengambilan gambar seperti ini adalah kesan personal. 3. Pengambilan gambar dalam bentuk Close Up, ukuran subjek lebih besar daripada latar. Kesan intim dan dekat dengan subjek yang dimunculkan oleh pengambilan gambar ini. Pembaca atau orang yang melihat diajak untuk memperhatikan. 4. Pengambilan dalam bentuk Big Close Up, subjek bukan hanya ditampilkan dalam ukuran besar tetapi juga detail ditonjolkan dalam gambar. Selain pengambilan gambar, sudut pandang pengambilan gambar (angle) juga menjadi bagian penting dalam memaknai suatu gambar. Sudut pengambilan gambar bukan hanya persoalan teknis tetapi teknik ini akan memberi makna pada gambar dan menghadirkan penafisran berbeda dari khalayak yang melihatnya. Sudut pengambilan gambar dapat dibagi menjadi: Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 35 1. Gambar yang diambil dari atas (High angle shot), memposisikan khalayak atau orang berada di atas subjek. Secara tidak langsung, angle ini memposisikan orang yang ada di atas lebih powerfull (kekuasaan) dan lebih mempunyai otoritas. 2. Subjek yang diambil dari bawah (Low angle shot), membuat subjek lebih besar dan memposisikan subjek yang ditampilkan dalam gambar mempunyai posisi lebih tinggi dari mata penonton. Subjek lebih terkesan powerfull, lebih otiritatif dibandingkan dengan posisi penonton atau khalayak. 3. Gambar yang diambil dengan Eye Level shot, memposisikan subjek dan khalayak sama. Tingkat sejajar dan setara antara khalayak dan subjek menjadi kesan yang muncul dari pengambilan gambar ini. Fokus dari pengambilan gambar merupakan elemen lain yang perlu diperhatikan dalam menganalisis video. Fokus berhubungan dengan tipe lensa yang dipakai ketika objek diambil, yaitu: tele, standart dan wide focus. Dalam standar pengambilan fokus suatu gambar jika memakai lensa standar akan menghasilkan suasana yang natural, dikarenakan fokus yang tidak jauh dan juga tidak dekat, sehingga komposisi dan perbandingan antara objek menjadi merata. Hal ini berbeda dengan gambar yang diambil dengan menggunakan lensa tele ataupun wide karena objek akan nampak lebih besar dibandingkan dengan objek lain. Pencahayaan gambar juga akan menciptakan suasana dan mood yang berbeda. Selain cara pengambilan gambar, ada hal lain yang perlu diperhatikan dalam membuat iklan media internet (berdurasi) yaitu teknik dalam penyuntingan suatu gambar. Kerja kamera dan teknik penyuntingan gambar akan memperlihatkan ―tata bahasa‖ media baru. Teknik tersebut memiliki arti tersendiri sebagai penanda dan petanda dalam semiotika, hal ini dapat dijelaskan dengan bagan di bawah ini: Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 36 Tabel 2.2 Kerja Kamera dan Teknik Penyuntingan Pan Down Kamera mengarah ke Kekuasaan dan bawah kewenangan Pan Up Kamera mengarah ke Kelemahan, pengecilan atas Dolly In Kamera bergerak ke Observasi dan fokus dalam Fade In Gambar kelihatan pada Permulaan gambar layar kosong Fade Out Gambar di layar menjadi Penutupan hilang Cut Pindah dari gambar satu Kebersambungan, menarik ke gambar yang lain Wipe Gambar terhapus dari Penentuan dan layar kesimpulan. (Sumber: Arthur Asa Berger, Media Analysis Techniques, 2000: 34) Dalam teknik penyuntingan terdapat efek gambar yang blank (hilang) yang disebut efek Deep to black, gambar yang tercipta dari teknik fade in dan fade out. Teknik pencahayaan, penggunaan warna, efek suara dan musik juga merupakan hal lain yang juga menarik. Semua penanda tersebut menolong kita menterjemahkan apa yang kita lihat di dunia maya. Selain televisi, media internet juga dapat menjadi media yang menggunakan bahasa verbal, bahasa gambar dan suara untuk menghasilkan impresi dan ide-ide penting pada orang. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 37 2.3 Model Teoritis Model Teoritis merupakan acuan konseptual yang didasari pada prediksi data yang diamati melalui fluktuasi fenomena secara garis besar. Dengan adanya model teoritis diharapkan agar peneliti dapat menjalankan penelitian kualitatif secara terstruktur dan efektif. ANALISIS SEMIOTIKA SLOGAN YAMAHA SEMAKIN DI DEPAN Semiologi Roland Barthes Untuk mengetahui Analisis Semiotika Slogan Motor Yamaha Semakin Di Depan terhadap citra produk Gambar 2.4 Model Teoritis Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara