pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi di

advertisement
Arifin Akhmad, Rika Ramadiyansari: Analisis Perbandingan…
PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP
PERTUMBUHAN EKONOMI DI PROVINSI SUMATERA UTARA
Freddy Situngkir*, Sirojuzilam**, Erlina** dan Agus Suriadi**
*Alumni PWD SPs USU/BPS Sumatera Utara
**Dosen PWD SPs USU
Abstract: The purpose of this study was to look at the influence of fiscal
decentralization on the economic growth in the Province of Sumatera Utara. The
variables of fiscal desentralization used were the indicators of expenditure, income
and autonomy. The influence of fiscal decentralization on economic growth will be
seen along with the other variables functioning as the factors of economic growth,
which in this case are called control variables, namely investment, human capital
accumulation, and the initial level of economic growth. The data used in this study
were the panel data from 30 districts/cities in the Province of Sumatera Utara from
2009 to 2012 (4 years). The data obtained were analyzed through multiple
regression analysis model using fixed effect estimation model.The result of this
study showed that fiscal decentralization with the indicators of expenditure and
income had negative influence on the economic growth in the Province of
Sumatera Utara, while the indicators of income and autonomy, if the revenue
derived from the balance fund was not taken into account, did not have any
significant influence on the economic growth in the Province of Sumatera Utara.
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh desentralisasi fiskal
terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara. Variabel desentralisasi
fiskal yang digunakan adalah indikator pengeluaran, indikator pendapatan, dan
indikator otonomi. Pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi
akan dilihat bersama-sama dengan variabel lain yang merupakan faktor-faktor
pertumbuhan ekonomi, dalam hal ini disebut variabel kontrol yaitu investasi,
akumulasi modal manusia, dan level awal pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini
menggunakan data panel 30 kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara selama 4
tahun (2009-2012). Analisis dilakukan dengan model analisis regresi berganda
dengan metode estimasi fixed effect. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
desentralisasi fiskal dengan indikator pengeluaran dan indikator pendapatan
berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara.
Sedangkan indikator pendapatan apabila tidak memperhitungkan penerimaan yang
bersumber dari dana perimbangan, demikian juga dengan indikator otonomi tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi
Sumatera Utara.
Kata kunci: desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi
PENDAHULUAN
Dillinger (1994) dalam Hirawan
(2007) tentang pelaksanaan desentralisasi di
berbagai belahan dunia menemukan bahwa
pemicu dilakukannya kebijakan ini adalah
keinginan atau upaya untuk memperoleh
layanan publik yang lebih baik. Kebijakan
desentralisasi penerimaan dan pengeluaran
merupakan bagian dari cara untuk
meningkatkan efisiensi sektor publik,
mengurangi
defisit
anggaran,
dan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Bird,
1993; Bird dan Wallich, 1993; Bahl dan
Linn, 1992; Gramlich, 1993; dan Oates,
1993, dalam Zhang dan Zou 1998).
Beberapa penelitian yang pernah
dilakukan
untuk
melihat
pengaruh
desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan
ekonomi, menghasilkan kesimpulan yang
berbeda. Hasil penelitian dari Davoodi dan
Zou (1998), Zhang dan Zou (1998), dan Xie
et al. (1999) menunjukkan bahwa
desentralisasi fiskal berpengaruh negatif
terhadap pertumbuhan ekonomi. Sedangkan
125
Jurnal Ekonom, Vol 17, No 3, Juli 2014
hasil penelitian Akai dan Sakata (2002),
Desai et al. (2003), dan Thiessen (2003)
menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal
berpengaruh positif terhadap pertumbuhan
ekonomi. Sementara hasil penelitian Woller
dan Phillips (1998), Baskaran dan Feld
(2009) gagal mendapatkan pengaruh
desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan
ekonomi.
Breuss dan Eller (2004) menyatakan
bahwa ada efek embivalen dalam hubungan
antara
desentralisasi
fiskal
dengan
pertumbuhan ekonomi, sehingga sulit untuk
menarik rekomendasi yang jelas mengenai
desentralisasi yang optimal.Hasil penelitian
Breuss dan Eller menunjukkan bahwa tidak
ada kejelasan, hubungan otomatis antara
desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan
ekonomi.Oates (1993) menyatakan bahwa
tidak ada teori formal mengenai hubungan
antara
desentralisasi
fiskal
dengan
pertumbuhan ekonomi.
Beberapa penelitian yang dilakukan
di Indonesia untuk melihat pengaruh
desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan
ekonomi, juga menghasilkan kesimpulan
yang berbeda.Hasil penelitian Swasono
(2007) menyatakan bahwa desentralisasi
fiskal berpengaruh negatif terhadap
pertumbuhan ekonomi.Sedangkan hasil
penelitian Wibowo (2008) menunjukkan
bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh
positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Wibowo (2008) menyatakan bahwa
potensi kontribusi desentralisasi fiskal
terhadap
laju
pembangunan
akan
bergantung kepada ruang dan waktu.
Artinya, dampak positif desentralisasi fiskal
yang terjadi pada suatu negara atau daerah
dalam periode tertentu belum bisa dijadikan
tolok ukur bahwa transfer keuangan publik
antarpemerintah akan memberikan imbas
positif pula di daerah lain pada waktu yang
sama.
Otonomi daerah dan desentralisasi
fiskal
di
Indonesia
baru
efektif
dilaksanakan pada tahun 2001. Dalam
pelaksanaannya dilakukan penyempurnaan
terhadap Undang-Undang Otonomi Daerah
sebelumnya, yaitu dikeluarkannya UndangUndang Nomor 32 tahun 2004 mengganti
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dan UndangUndang Nomor 33 tahun 2004 mengganti
Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999
126
tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Desentralisasi menurut UndangUndang Nomor 33 tahun 2004 adalah
penyerahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada daerah otonom untuk
mengatur
dan
mengurus
urusan
pemerintahan dalam sistem Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia.Dalam
Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004
disebutkan bahwa pembentukan UndangUndang tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah dimaksudkan untuk mendukung
pendanaan atas penyerahan urusan kepada
Pemerintah Daerah yang diatur dalam
Undang-Undang tentang Pemerintahan
Daerah. Pendanaan tersebut menganut
prinsip money follows function, yang
mengandung makna bahwa pendanaan
mengikuti fungsi pemerintahan yang
menjadi kewajiban dan tanggung jawab
masing-masing
tingkat
pemerintahan.
Sumber-sumber pendanaan pelaksanaan
Pemerintahan
Daerah
terdiri
atas
Pendapatan
Asli
Daerah,
Dana
Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan Lainlain
Pendapatan
Yang
Sah.Dana
Perimbangan merupakan pendanaan daerah
yang bersumber dari APBN yang terdiri
atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi
Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus
(DAK).Dana
Perimbangan
selain
dimaksudkan untuk membantu daerah
dalam mendanai kewenangannya, juga
bertujuan untuk mengurangi ketimpangan
sumber pendanaan pemerintahan antara
pusat dan daerah serta untuk mengurangi
kesenjangan pendanaan pemerintahan
antar-daerah. Ketiga komponen Dana
Perimbangan ini merupakan sistem transfer
dana dari pemerintah serta merupakan satu
kesatuan yang utuh.
Kebijakan perimbangan keuangan
pusat dan daerah merupakan derivatif dari
kebijakan
otonomi
daerah
sebagai
pelimpahan
sebagian
wewenang
pemerintahan dari pusat ke daerah.Semakin
banyak wewenang yang dilimpahkan,
semakin besar biaya yang dibutuhkan oleh
daerah.Oleh karena itu, dalam pengelolaan
desentralisasi prinsip efisiensi menjadi
suatu ketentuan yang harus dilaksanakan.
Anggaran untuk pelaksanaan tugas-tugas
pemerintahan atau layanan publik harus
Freddy Situngkir, Sirojuzilam, Erlina dan Agus Suriadi: Pengaruh Desentralisasi…
dikelola
secara
efisien,
namun
menghasilkan output yang maksimal. Hal
penting lainnya yang harus dipahami adalah
desentralisasi fiskal di Indonesia adalah
desentralisasi fiskal di sisi pengeluaran
yang didanai terutama melalui transfer ke
daerah (Rochjadi 2006, dalam Badrudin
2012).
Implementasi desentralisasi fiskal di
Indonesia
ditandai
dengan
proses
pengalihan sumber keuangan dalam jumlah
yang sangat signifikan bagi daerah.
Transfer ke
daerah
berupa
dana
perimbangan pada awal desentralisasi fiskal
tahun 2001 sebesar Rp.81,1 triliun. Tahun
2012, dana perimbangan telah mencapai
Rp.411,2 triliun.
Dana perimbangan yang ditransfer
kepada pemerintah daerah sebagian besar
adalah berupa DAU, kemudian diikuti oleh
DBH dan DAK. Besarnya DAU hingga
tahun 2012 mencapai Rp.273,8 triliun
rupiah atau sekitar 66,59 persen dari total
dana perimbangan pada tahun yang sama.
Sementara itu, porsi DBH cenderung
semakin baik dimana tahun 2012 DBH
mencapai Rp.111,5 triliun atau jauh lebih
besar dibandingkan DBH tahun 2001
sebesar Rp.20,0 triliun. Secara proporsi,
DBH juga mengalami peningkatan, yakni
dari 24,66 persen pada tahun 2001 menjadi
27,12 persen dari total dana perimbangan
pada tahun 2012. Demikian juga pada
transfer DAK tahun 2012 yang telah
mencapai Rp.25,9 triliun, jumlahnya jauh
lebih besar dibanding DAK tahun 2001
yang hanya sebesar Rp.0,7 triliun.
Besarnya dukungan pendanaan untuk
menjalankan urusan/kewenangan yang
diserahkan kepada daerah, harus disertai
dengan diskresi untuk membelanjakan dana
tersebut sesuai dengan kebutuhan dan
prioritas daerah, sehingga penyelenggaraan
pemerintahan dan pelayanan publik akan
lebih efisien dan efektif. Keberhasilan
daerah dalam mewujudkan kesejahteraan
masyarakat sangat tergantung pada
pemerintah daerah dalam mengalokasikan
belanjanya untuk program dan kegiatan
yang berorientasi pada kepentingan publik,
sehingga akan bermanfaat dan menjadi
stimulus bagi pertumbuhan ekonomi
daerah.
Setelah berlakunya Undang-Undang
Nomor 32 dan Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2004, dana yang berasal dari
pemerintah
pusat
sebagian
besar
dilimpahkan ke daerah dalam bentuk dana
alokasi umum (DAU) dan dana alokasi
khusus (DAK) sehingga penentuan proyek
sebagian besar sudah berada di tangan
pemerintah kabupaten atau kota. Justru hal
ini membuat pemerintah kabupaten atau
kota memiliki tanggung jawab yang lebih
besar dalam menentukan proyek-proyek
yang diprioritaskan dan keahlian di bidang
perencanaan wilayah makin dibutuhkan
karena kegagalan pembangunan sudah
menjadi tanggung jawab pemerintah
kabupaten atau kota. Artinya, mereka harus
lebih arif dalam mengalokasikan dana yang
tersedia dan lebih mampu dalam
menetapkan skala prioritas (Tarigan, 2010).
Menurut Kuncoro (2004) dalam
Badrudin (2012), titik tolak desentralisasi
fiskal di Indonesia adalah kabupaten dan
kota. Hal ini berdasarkan pertimbangan (1)
dimensi politik bahwa kabupaten dan kota
dipandang kurang mempunyai fanatisme
kedaerahan sehingga resiko gerakan
separatisme dan tuntutan federalisme relatif
minimum; (2) dimensi administratif bahwa
kabupaten dan kota dipandang lebih efektif
dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
layanan kepada masyarakat; (3) kabupaten
dan kota sebagai ujung tombak pelaksanaan
pembangunan sehingga kabupaten dan kota
lebih mengetahui kebutuhan dan potensi
rakyat di daerahnya; dan (4) dapat
meningkatkan
local
accountability
pemerintah kabupaten dan kota terhadap
rakyatnya.
Oates (1972) dalam Wibowo (2008)
menegaskan bahwa tingkat kemajuan
ekonomi
merupakan
outcome
dari
kesesuaian preferensi masyarakat dengan
pemerintah daerah yang tercipta karena
makin pentingnya peran pemerintah daerah
dalam otonomi daerah. Secara teori,
pendelegasian fiskal kepada pemerintah
yang berada di level bawah diperkirakan
memberikan
peningkatan
ekonomi
mengingat pemerintah daerah memiliki
kedekatan dengan masyarakatnya dan
mempunyai
keunggulan
informasi
dibanding pemerintah pusat, sehingga dapat
memberikan pelayanan publik yang benarbenar dibutuhkan di daerahnya. Respon
yang diberikan oleh pemerintah daerah
terhadap tuntutan masyarakat jauh lebih
127
Jurnal Ekonom, Vol 17, No 3, Juli 2014
cepat karena mereka berhadapan langsung
dengan penduduk daerah/kota yang
bersangkutan.Oates
(1993)
juga
berpendapat bahwa desentralisasi fiskal
berpotensi memberikan kontribusi dalam
bentuk peningkatan efisiensi pemerintahan
dan laju pertumbuhan ekonomi.
Prud’homme (1994) menyatakan
bahwa
desentralisasi
fiskal
dapat
berpengaruh positif terhadap perkembangan
ekonomi daerah di masa datang. Secara
eksplisit dinyatakan bahwa pengeluaran
publik
terutama
untuk
penyediaan
infrastuktur bagi masyarakat akan lebih
efektif dilaksanakan oleh Pemerintah
Daerah karena lebih mengetahui keinginan
dan kebutuhan masyarakatnya.
Kuznets dalam Jhingan (2013)
mendefinisikan pertumbuhan ekonomi
sebagai kenaikan jangka panjang dalam
kemampuan
suatu
negara
untuk
menyediakan semakin banyak jenis barangbarang ekonomi kepada penduduknya,
kemampuan ini tumbuh sesuai dengan
kemajuan teknologi dan penyesuaian
kelembagaan
dan
ideologis
yang
diperlukannya.Sirojuzilam dan Hahalli
(2011) menyatakan bahwa pertumbuhan
ekonomi
merupakan ukuran utama
keberhasilan pembangunan, dan hasil
pertumbuhan ekonomi akan dapat pula
dinikmati masyarakat sampai dilapisan
paling bawah, baik dengan sendirinya
maupun dengan campur tangan pemerintah.
Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu
gambaran mengenai dampak kebijaksanaan
pemerintah yang dilaksanakan khususnya
dalam bidang ekonomi.
Produk domestik bruto sering
dianggap sebagai ukuran terbaik dari
kinerja perekonomian.Produk domestik
bruto (GDP) adalah nilai pasar semua
barang dan jasa akhir yang diproduksi
dalam perekonomian selama kurun waktu
tertentu. Ukuran kemakmuran ekonomi
yang lebih baik akan menghitung output
barang dan jasa perekonomian dan tidak
akan dipengaruhi oleh perubahan harga.
Untuk
tujuan
ini,
para
ekonom
menggunakan GDP riil (real GDP), yang
nilai barang dan jasanya diukur dengan
menggunakan harga konstan (Mankiw,
2007).
Salah satu indikator penting untuk
mengetahui kondisi ekonomi di suatu
128
negara atau wilayah dalam satu periode
tertentu adalah data Produk Domestik Bruto
(PDB)/Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB), baik atas dasar harga berlaku
maupun atas dasar harga konstan. PDRB
perkapita diperoleh dengan cara membagi
total nilai PDRB dengan jumlah penduduk
pertengahan tahun. PDRB dan Pendapatan
Regional Perkapita atas dasar harga berlaku
menunjukkan nilai PDRB dan Pendapatan
Regional per kepala atau per satu orang
penduduk.PDRB dan Pendapatan Regional
Perkapita atas dasar harga konstan berguna
untuk mengetahui pertumbuhan nyata
ekonomi perkapita penduduk suatu wilayah
(BPS 2013a).
Woller
dan
Philips
(1998)
menyatakan bahwa dari beberapa penelitian
yang meneliti faktor-faktor pertumbuhan
ekonomi, seperti yang dilakukan Barro
(1996), Sachs dan Warner (1997), Sala-iMartin (1997), Knight et al. (1993),
Mankiw et al. (1992), serta Levine dan
Renelt (1992), ditemukan tiga variabel yang
memiliki hubungan signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi, yaitu: rasio
investasi terhadap PDB, akumulasi modal
manusia, dan level awal PDB (level awal
pertumbuhan ekonomi).
Harrod-Domar dalam Todaro dan
Smith (2006) menyatakan bahwa setiap
perekonomian pada dasarnya harus
mencadangkan atau menabung sebagian
tertentu dari pendapatan nasionalnya untuk
menambah atau menggantikan barangbarang modal (gedung, alat-alat, dan bahan
baku) yang telah susut atau rusak. Namun,
untuk memacu pertumbuhan ekonomi,
dibutuhkan investasi baru yang merupakan
tambahan neto terhadap cadangan atau stok
modal (capital stock).
Model
Pertumbuhan
Solow
menyatakan bahwa pada setiap momen,
persediaan modal adalah determinan output
perekonomian yang penting, karena
persediaan modal bisa berubah sepanjang
waktu, dan perubahan itu bisa mengarah ke
pertumbuhan ekonomi. Biasanya, terdapat
dua
kekuatan
yang
mempengaruhi
persediaan modal: investasi dan depresiasi.
Investasi mengacu pada pengeluaran untuk
perluasan usaha dan peralatan baru, dan hal
itu menyebabkan persediaan modal
bertambah.Depresiasi
mengacu
pada
penggunaan
modal,
dan
hal
itu
Freddy Situngkir, Sirojuzilam, Erlina dan Agus Suriadi: Pengaruh Desentralisasi…
menyebabkan persediaan modal berkurang
(Mankiw, 2007).
Pengertian konsep pembentukan
modal tetap bruto dalam suatu region
adalah semua barang modal baru yang
digunakan atau dipakai sebagai alat untuk
proses produksi di suatu region itu sendiri.
Jenis barang yang dikategorikan ke dalam
barang-barang modal adalah barang-barang
yang mempunyai umur satu tahun atau
lebih, dan yang dimaksud pemakaian
adalah penggunaan barang-barang modal
tersebut sebagai alat yang tetap dalam
proses produksi (BPS 2013b).
Modal manusia (human capital)
adalah istilah yang sering digunakan oleh
para ekonom untuk pendidikan, kesehatan,
dan kapasitas manusia yang lain yang dapat
meningkatkan produktivitas jika hal-hal
tersebut ditingkatkan. Pendidikan dan
kesehatan merupakan tujuan pembangunan
yang mendasar, keduanya adalah hal yang
fundamental untuk membentuk kemampuan
manusia yang lebih luas yang berada pada
inti makna pembangunan. Pada saat yang
sama, pendidikan memainkan peran utama
dalam membentuk kemampuan sebuah
negara berkembang untuk menyerap
teknologi
modern
dan
untuk
mengembangkan kapasitas agar tercipta
pertumbuhan serta pembangunan yang
berkelanjutan (Todaro dan Smith, 2006).
Rata-rata lama sekolah merupakan
salah satu indikator untuk mengukur
pendidikan.Semakin tinggi angka rata-rata
lama sekolah berarti semakin lama/tinggi
jenjang pendidikan yang ditamatkannya.
Hasil penelitian Hauoas dan Yagoubi
(2005) di 16 negara Timur Tengah dan
Afrika Utara (MENA) periode 1965-2000
menunjukkan bahwa modal manusia yang
diukur dengan rata-rata lama sekolah
penduduk usia 15 tahun ke atas
berpengaruh positif terhadap pertumbuhan
ekonomi.
Todaro
dan
Smith
(2006)
mengatakan bahwa pertumbuhan penduduk
itu bukanlah merupakan suatu masalah,
melainkan justru merupakan unsur penting
yang akan memacu pembangunan ekonomi.
Populasi yang lebih besar adalah pasar
potensial yang menjadi sumber permintaan
akan berbagai macam barang dan jasa yang
kemudian akan menggerakkan berbagai
macam kegiatan ekonomi sehingga
menciptakan skala ekonomi (economies of
scale)
dalam
produksi
yang
menguntungkan semua pihak, menurunkan
biaya-biaya produksi, dan menciptakan
sumber pasokan atau penawaran tenaga
kerja murah dalam jumlah yang memadai
sehingga pada gilirannya akan merangsang
tingkat output atau produksi agregat yang
lebih tinggi lagi.
Penelitian Akai dan Sakata (2002)
yang menggunakan modal manusia sebagai
variabel kontrol dalam meneliti pengaruh
desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan
ekonomi di Amerika Serikat dalam priode
waktu 1992-1996, menunjukkan bahwa
kuantitas dan kualitas dari sumber daya
manusia regional berpengaruh positif dan
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi
Amerika Serikat.
Beberapa
penelitian
yang
menggunakan level awal pertumbuhan
ekonomi sebagai variabel yang berpengaruh
terhadap
pertumbuhan
ekonomi,
menghasilkan kesimpulan yang berbeda.
Hasil penelitian Woller dan Phillips (1998)
dan Thiessen (2003) menyatakan bahwa
semakin tinggi level awal pertumbuhan
ekonomi (initial percapita regional GDP)
maka pertumbuhan ekonomi akan semakin
rendah pada tahun berikutnya. Sedangkan
hasil penelitian Akai dan Sakata (2002)
menyatakan bahwa pertumbuhan GDP riil
perkapita periode sebelumnya merupakan
determinan penting dan berpengaruh positif
terhadap pertumbuhan ekonomi dalam
periode berjalan.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui implementasi desentralisasi
fiskal
di
Provinsi
Sumatera
Utara,mengetahui pengaruhdesentralisasi
fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi di
Provinsi Sumatera Utara, dan mengetahui
pengaruh variabel kontrol yang terdiri dari
variabel investasi, variabel akumulasi
modal manusia, dan variabel level awal
pertumbuhan
ekonomi
terhadap
pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera
Utara.
METODE
Ukuran desentralisasi fiskal yang
digunakan meliputi Indikator Pengeluaran,
Indikator Pendapatan, dan Indikator
Otonomi.
Untuk
melihat
pengaruh
desentralisasi fiskal secara bersama-sama
129
Jurnal Ekonom, Vol 17, No 3, Juli 2014
dengan faktor-faktor pertumbuhan ekonomi
lainnya, maka digunakan variabel kontrol
yang meliputi investasi, akumulasi modal
manusia, dan level awal pertumbuhan
ekonomi.
Data
yang
digunakan
dalam
penelitian ini adalah data panel30
kabupaten/kota selama 4 tahun yaitu tahun
2009-2012. Kabupaten Nias Utara, Nias
Barat, dan Kota Gunung Sitoli tidak ikut
dianalisis karena data tahun 2009 belum
tersedia secara lengkap.
Spesifikasi model ekonometrika yang
digunakan untuk menganalisis pengaruh
desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan
ekonomi di Provinsi Sumatera Utara
mengadopsi
spesifikasi
model
ekonometrika yang digunakan Akai dan
Sakata (2002) dan Wibowo (2008).Dalam
penelitian
ini,
modifikasi
model
ekonometrika yang digunakan adalah:
Ln(PDRB_PK)it = α0 + βXit + γDFit + ɛit
dimana,
Ln(PDRB_PK)
adalah
pertumbuhan PDRB riil perkapita, X adalah
variabel kontrol yang terdiri dari:
Investasi=nilai Pembentukan Modal Tetap
Bruto
(PMTB),
Akumulasi
Modal
Manusia=Pertumbuhan Penduduk (PP) dan
Rata-rata Lama Sekolah (RLS), dan Level
Awal Pertumbuhan Ekonomi = PDRB riil
perkapita periode sebelumnya (PDRB_PS),
DF adalah Indikator Desentralisasi Fiskal
yang dalam penelitian ini terdiri dari
variabel Indikator Pengeluaran, Indikator
Pendapatan, dan Indikator Otonomi, β dan γ
= parameter vektor, ɛ = error term, i =
cross section, dan t = time series.
Dari spesifikasi model di atas, untuk
melihat pengaruh desentralisasi fiskal
terhadap pertumbuhan ekonomi di Provinsi
Sumatera Utara, digunakan 2 regresi utama,
yaitu:
1) Regresi atas variabel kontrol
Untuk melihat pengaruh variabel kontrol
terhadap pertumbuhan ekonomi di
Provinsi Sumatera Utara, dilakukan
regresi atas variabel kontrol, dengan
model persamaan:
Ln(PDRB_PK)it = α0 + α1Ln(PMTB) it +
α2Ln(RLS) it + α3PPit +
α4Ln(PDRB_PS)it + ԑit
2) Regresi penuh dengan memasukkan
indikator desentralisasi fiskal
130
Untuk melihat pengaruh masing-masing
indikator desentralisasi fiskal terhadap
pertumbuhan ekonomi di Provinsi
Sumatera Utara, dilakukan regresi
dengan memasukkan satu persatu secara
bergantian indikator desentralisasi fiskal
bersama-sama dengan variabel kontrol,
sehingga model persamaannya menjadi:
Ln(PDRB_PK)it = α0 + α1Ln(PMTB)it +
α2Ln(RLS)it + α3PPit +
α4Ln(PDRB_PS)it + γDFit + ԑit
HASIL DAN PEMBAHASAN
Implementasi Desentralisasi Fiskal di
Provinsi Sumatera Utara
Desentralisasi fiskal yang efektif
dilaksanakan mulai tahun 2001 dengan
prinsip money follows function berimplikasi
terhadap peningkatan pendapatan dan
belanja pemerintah kabupaten/kota di
Provinsi Sumatera Utara.Selama periode
2001-2012, total realisasi pendapatan
pemerintah kabupaten/kota di Provinsi
Sumatera Utara meningkat tajam yaitu dari
4,16 triliun rupiah pada tahun 2001 menjadi
24,81 triliun rupiah pada tahun 2012.
Sedangkan total realisasi belanja daerah
meningkat dari 3,85 triliun rupiah pada
tahun 2001 menjadi 24,21 triliun rupiah
pada tahun 2012.
Pendapatan
pemerintah
kabupaten/kota se Sumatera Utara masih
didominasi oleh dana perimbangan yang
berasal dari transfer pemerintah pusat.
Persentase
total
dana
perimbangan
pemerintah kabupaten/kota di Provinsi
Sumatera Utara terhadap total pendapatan
pemerintah kabupaten/kota di Provinsi
Sumatera Utara masih sangat besar, yaitu di
atas 70 persen. Hal ini menunjukkan bahwa
pemerintah kabupaten/kota di Provinsi
Sumatera Utara masih sangat tergantung
dengan pemerintah pusat dalam melakukan
pembangunan.
Freddy Situngkir, Sirojuzilam, Erlina dan Agus Suriadi: Pengaruh Desentralisasi…
(Persen)
100
80
60
40
20
0
PAD
2010
7.22
2011
9.00
2012
9.55
Dana Perimbangan
80.06
73.12
73.39
Lain-lain
12.71
17.88
17.06
Sumber:BPS,
Statistik
Keuangan
Pemerintah Daerah Sumatera
Utara, 2011-2012 (Data Diolah)
Gambar 1. Persentase pendapatan daerah
pemerintah kabupaten/kotadi
Provinsi Sumatera Utara tahun
2010-2012
Namun
demikian,
pendapatan
pemerintah kabupaten/kota yang bersumber
dari Pendapatan Asli Daerah (PAD)
cenderung mengalami peningkatan baik
secara nominal maupun kontribusinya
terhadap total pendapatan pemerintah
kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara.
Pada tahun 2010, kontribusi total PAD
terhadap total pendapatan pemerintah
kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara
sebesar 7,22 persen dan pada tahun 2012
meningkat menjadi 9,55 persen.
(Miliar Rupiah)
25,000
20,000
15,000
10,000
5,000
0
Belanja Modal
Belanja Daerah
2010
3,274
17,387
2011
4,661
21,380
2012
5,697
24,207
Sumber : BPS,
Statistik
Keuangan
Pemerintah Daerah Sumatera
Utara, 2011-2012
Gambar 2. Belanja modal dan belanja
daerah
pemerintah
kabupaten/kota di Provinsi
Sumatera Utara, 2010-2012
Total belanja daerah pemerintah
kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara
dari tahun ke tahun juga mengalami
peningkatan. Pada tahun 2012 total belanja
pemerintah kabupaten/kota mengalami
peningkatan 13,22 persen dibandingkan
tahun 2011. Demikian juga dengan total
belanja modal pemerintah kabupaten/kota
di Provinsi Sumatera Utara yang nilainya
mengalami kenaikan dari tahun ke tahun.
Selain peningkatan nilai total belanja
modal, persentasenya terhadap total belanja
daerah juga mengalami peningkatan.
Persentase total belanja modal terhadap
total belanja daerah pada tahun 2010
sebesar 18,83 persen, pada tahun 2011
meningkat menjadi sebesar 21,80 persen,
dan tahun 2012 meningkat menjadi sebesar
23,53 persen. Peningkatan persentase
realisasi belanja modal ini diharapkan akan
meningkatkan kinerja perekonomian di
Provinsi Sumatera Utara.
PengaruhVariabel Kontrol Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi
Sumatera Utara
Berdasarkan hasil Uji-F dan Uji
Hausman yang dilakukan untuk regresi atas
variabel kontrol maupun untuk regresi
penuh dengan memasukkan masing-masing
indikator desentralisasi fiskal disimpulkan
bahwa metode fixed effect merupakan
metode analisis yang terbaik digunakan
dalam penelitian ini.
Tabel 1. Hasil regresi atas variabel kontrol
Variable
Coefficient Prob.
C
-0.483981 0.0000
LOG(PMTB?)
0.013884 0.0002
LOG(RLS?)
0.039085 0.0244
PP?
-0.009491 0.0000
LOG(PDRB_PS?) 1.017426 0.0000
Adjusted R-squared
0.999980
Prob(F-statistic)
0.000000
Sumber: Output Eviews 6
Hasil regresi atas variabel kontrol
menunjukkan bahwa nilai koefisien regresi
variabel investasi yang diproxy dengan
PMTB adalah sebesar 0,014 dengan
probabilitas t-statistic sebesar 0,0002. Hal
ini menunjukkan bahwa investasi memiliki
pengaruh positif dan signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera
Utara. Setiap kenaikan 1 persen investasi,
ceteris paribus, akan berpengaruh terhadap
131
Jurnal Ekonom, Vol 17, No 3, Juli 2014
pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera
Utara sebesar 0,014 persen.
Variabel akumulasi modal manusia
diproxy dengan variabel rata-rata lama
sekolah
dan
variabel
pertumbuhan
penduduk.Hasil regresi atas variabel kontrol
menunjukkan bahwa nilai koefisien regresi
variabel rata-rata lama sekolah adalah
sebesar 0,039 dengan probabilitas t-statistic
sebesar 0,024.Hal ini menunjukkan bahwa
rata-rata lama sekolah memiliki pengaruh
positif
dan
signifikan
terhadap
pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera
Utara. Setiap kenaikan 1 persen rata-rata
lama sekolah, ceteris paribus, akan
berpengaruh
terhadap
pertumbuhan
ekonomi di Provinsi Sumatera Utara
sebesar 0,039 persen.
Sedangkan nilai koefisien regresi
variabel pertumbuhan penduduk adalah
sebesar -0,009 dengan probabilitas tstatistic
sebesar
0,0000.
Hal
ini
menunjukkan
bahwa
pertumbuhan
penduduk memiliki pengaruh negatif dan
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi
di Provinsi Sumatera Utara. Setiap
kenaikan 1 persen pertumbuhan penduduk,
ceteris paribus, akan berpengaruh terhadap
penurunan pertumbuhan ekonomi di
Provinsi Sumatera Utara sebesar 0,009
persen. Peningkatan jumlah penduduk dapat
Tabel 2.
Pengaruh
Desentralisasi
Fiskal
Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di
Provinsi Sumatera Utara
Hasil penghitungan regresi dengan
memasukkan
indikator
desentralisasi
fiskalmenggunakan metode fixed effect
dengan cross section weights adalah:
Hasil regresi atas indikator desentralisasi fiskal
Variable
1. Indikator Pengeluaran
C
LOG(PMTB?)
LOG(RLS?)
PP?
LOG(PDRB_PS?)
IK?
Adjusted R-squared
Prob(F-statistic)
2. Indikator Pendapatan
a. Pendapatan Daerah Kotor
C
LOG(PMTB?)
LOG(RLS?)
PP?
LOG(PDRB_PS?)
ID1?
Adjusted R-squared
Prob(F-statistic)
b. Pendapatan Daerah Netto
C
LOG(PMTB?)
LOG(RLS?)
132
menurunkan produktivitas karena adanya
efek diminishing returns. Apabila jumlah
penduduk terus meningkat melebihi titik
maksimum, maka pertumbuhan penduduk
akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi
menurun.
Variabel level awal pertumbuhan
ekonomi yang diproxy dengan variabel
PDRB riil perkapita periode sebelumnya
menunjukkan bahwa nilai koefisien
regresinya
sebesar
1,017
dengan
probabilitas t-statistic sebesar 0,0000. Hal
ini menunjukkan bahwa PDRB riil
perkapita periode sebelumnya memiliki
pengaruh positif dan signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera
Utara. Setiap kenaikan 1 persen PDRB riil
perkapita periode sebelumnya, ceteris
paribus, akan berpengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera
Utara sebesar 1,017 persen.
Coefficient
Prob.
-0.466674
0.011865
0.035645
-0.009727
1.018741
-7.534717
0.0000
0.0025
0.0243
0.0000
0.0000
0.0819
0.999983
0.000000
-0.511579
0.009044
0.020159
-0.009985
1.026366
-15.05310
0.0000
0.0053
0.1135
0.0000
0.0000
0.0000
0.999988
0.000000
-0.475956
0.013787
0.039810
0.0000
0.0002
0.0259
Freddy Situngkir, Sirojuzilam, Erlina dan Agus Suriadi: Pengaruh Desentralisasi…
PP?
LOG(PDRB_PS?)
ID2?
Adjusted R-squared
Prob(F-statistic)
3. Indikator Otonomi
a. Rasio PAD terhadap Pendapatan Daerah
C
LOG(PMTB?)
LOG(RLS?)
PP?
LOG(PDRB_PS?)
IO1?
Adjusted R-squared
Prob(F-statistic)
b. Rasio PAD terhadap Pengeluaran Daerah
C
LOG(PMTB?)
LOG(RLS?)
PP?
LOG(PDRB_PS?)
IO2?
Adjusted R-squared
Prob(F-statistic)
Variable
c. Rasio PAD thdp Dana Perimbangan Daerah
C
LOG(PMTB?)
LOG(RLS?)
PP?
LOG(PDRB_PS?)
IO3?
Adjusted R-squared
Prob(F-statistic)
-0.009497
1.016891
0.698479
0.0000
0.0000
0.8879
0.999979
0.000000
-0.490320
0.013873
0.038151
-0.009503
1.017975
-0.002680
0.0000
0.0002
0.0366
0.0000
0.0000
0.8259
0.999979
0.000000
-0.497771
0.013871
0.036822
-0.009518
1.018643
-0.005365
0.0000
0.0002
0.0443
0.0000
0.0000
0.6621
0.999979
0.000000
Coefficient
Prob.
-0.464357
0.013790
0.042290
-0.009467
1.015798
0.003778
0.0000
0.0002
0.0197
0.0000
0.0000
0.4293
0.999980
0.000000
Sumber: Output Eviews 6
Indikator Pengeluaran
Indikator
Pengeluaran
yang
merupakan rasio pengeluaran pemerintah
kabupaten/kota terhadap total pengeluaran
pemerintah pusat menunjukkan hubungan
negatif dan signifikan (α=10%) terhadap
pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera
Utara. Hal tersebut menunjukkan bahwa
peningkatan rasio belanja pemerintah
kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara
berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan
ekonomi di Provinsi Sumatera Utara.
Desentralisasi fiskal di Indonesia saat
ini menitikberatkan pada sisi pengeluaran,
maka esensi otonomi pengelolaan fiskal di
daerah
adalah
kebebasan
untuk
membelanjakan dana sesuai prioritas dan
kebutuhan masing-masing daerah sehingga
pengaruh
belanja
daerah
terhadap
perekonomian
daerah
akan
sangat
tergantung pada alokasi dan komposisi
belanja daerah.
Realisasi
belanja
modal
kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara
tahun 2012 hanya 23,53 persen dari total
belanja pemerintah kabupaten/kota di
Provinsi Sumatera Utara. Sementara belanja
pegawai pemerintah kabupaten/kota, pada
tahun 2012 mencapai 56,35 persen dari
total belanja pemerintah kabupaten/kota di
Provinsi Sumatera Utara. Abimanyu (2005)
dalam Zulyanto (2010) menyatakan bahwa
anggaran belanja daerah akan tidak logis
jika proporsi anggarannya lebih banyak
untuk belanja rutin, terutama untuk belanja
pegawai.
Tabel 3. Nilai koefisien fixed effects hasil
regresi atas indikator pengeluaran
Kab/Kota
Nias
Madina
Tapsel
Tapteng
Taput
Coefficient
0,023634
0,019115
-0,007943
0,026448
0,008209
Kab/Kota
Pakpak.B
Samosir
Sergai
Batu Bara
Paluta
Coefficient
0,040597
0,000361
-0,008927
-0,037278
0,029444
133
Jurnal Ekonom, Vol 17, No 3, Juli 2014
Tobasa
L.Batu
Asahan
Simalungun
Dairi
Karo
D.Serdang
Langkat
Nisel
-0,012884
-0,007142
-0,012076
-0,006983
-0,008037
-0,011042
-0,017465
-0,007292
0,015203
Humbahas
0,011477
Palas
Labusel
Labura
Sibolga
T.Balai
P.Siantar
T.Tinggi
Medan
Binjai
P.Sidimpua
n
0,024589
-0,010525
-0,007327
0,004812
-0,014786
-0,011566
0,005851
-0,033332
-0,005304
0,010170
Sumber: Output Eviews 6
Nilai koefisien fixed effect yang ada
pada tabel di atas, menunjukkan adanya
perbedaan pertumbuhan ekonomi masingmasing kabupaten/kota
di
Provinsi
Sumatera Utara dengan memperhitungkan
pengaruh indikator pengeluaran dan
variabel kontrol. Nilai koefisien fixed effect
terbesar dimiliki oleh Kabupaten Pakpak
Bharat. Kondisi ini mengindikasikan bahwa
pengaruh indikator pengeluaran dan
variabel kontrol terhadap pertumbuhan
ekonomi terbesar terjadi di Kabupaten
Pakpak Bharat. Sementara itu, nilai
koefisien fixed effect terendah dimiliki oleh
Kabupaten Batu Bara dan Kota Medan. Hal
ini mengindikasikan bahwa pengaruh
indikator pengeluaran dan variabel kontrol
terhadap pertumbuhan ekonomi terendah
terjadi di Kabupaten Batu Bara dan Kota
Medan.PDRB perkapita Kabupaten Batu
Bara dan Kota Medan merupakan yang
tertinggi di Provinsi Sumatera Utara.
Indikator Pendapatan
Indikator
Pendapatan
yang
merupakan rasio pendapatan pemerintah
kabupaten/kota
terhadap
pendapatan
pemerintah pusat menunjukkan hubungan
negatif dan signifikan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa semakin besar rasio
pendapatan pemerintah kabupaten/kota di
Provinsi
Sumatera
Utara
dengan
memperhitungkan
dana
perimbangan
terhadap pendapatan pemerintah pusat akan
berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan
ekonomi di Provinsi Sumatera Utara.
Nilai koefisien fixed effect yang ada
pada tabel di bawah, menunjukkan adanya
perbedaan pertumbuhan ekonomi masingmasing kabupaten/kota
di
Provinsi
Sumatera Utara dengan memperhitungkan
pengaruh indikator pendapatan dan variabel
kontrol. Nilai koefisien fixed effect terbesar
dimiliki oleh Kabupaten Pakpak Bharat.
134
Kondisi ini mengindikasikan bahwa
pengaruh indikator pendapatan dan variabel
kontrol terhadap pertumbuhan ekonomi
terbesar terjadi di Kabupaten Pakpak
Bharat. Sementara itu, nilai koefisien fixed
effect terendah dimiliki oleh Kabupaten
Batu Bara. Hal ini mengindikasikan bahwa
pengaruh indikator pendapatan dan variabel
kontrol terhadap pertumbuhan ekonomi
terendah terjadi di Kabupaten Batu Bara.
Tabel 4. Nilai koefisien fixed effects hasil
regresi atas indikator pendapatan
Kab/Kota
Nias
Madina
Tapsel
Tapteng
Taput
Tobasa
L.Batu
Asahan
Simalungun
Dairi
Karo
D.Serdang
Langkat
Nisel
Coefficient
0.026910
0.019576
-0.007662
0.026989
0.008213
-0.015460
-0.008107
-0.011449
-0.001474
-0.009429
-0.011244
-0.006381
-0.002575
0.010831
Humbahas
0.009611
Kab/Kota Coefficient
Pakpak.B 0.034996
Samosir
-0.004193
Sergai
-0.006429
Batu Bara -0.045308
Paluta
0.030128
Palas
0.025429
Labusel
-0.014990
Labura
-0.011323
Sibolga
-0.001237
T.Balai
-0.018789
P.Siantar -0.010629
T.Tinggi
0.002806
Medan
-0.016060
Binjai
-0.005021
P.Sidimpua
0.012270
n
Sumber: Output Eviews 6
Berbeda
dengan
indikator
pendapatan netto yang merupakan rasio
pendapatan pemerintah kabupaten/kota
tanpa memperhitungkan dana perimbangan
terhadap pendapatan pemerintah pusat
menunjukkan hubungan positif tetapi tidak
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi
di Provinsi Sumatera Utara. Hal tersebut
menunjukkan bahwa semakin besar
pendapatan pemerintah kabupaten/kota di
Provinsi Sumatera Utara tanpa dana
perimbangan, tidak berpengaruh secara
signifikan meningkatkan pertumbuhan
ekonomi di Provinsi Sumatera Utara.
Pada tahun 2012, total dana
perimbangan pemerintah kabupaten/kota di
Provinsi Sumatera Utara mencapai 73,39
persen dari total belanja pemerintah
kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara.
Besarnya porsi dana perimbangan dalam
pendapatan daerah menunjukkan bahwa
tingkat
ketergantungan
pemerintah
kabupaten/kota terhadap pemerintah pusat
masih tinggi. Hasil penelitian ini
menunjukkan
bahwa
pemberian
kewenangan yang lebih luas kepada daerah
Freddy Situngkir, Sirojuzilam, Erlina dan Agus Suriadi: Pengaruh Desentralisasi…
untuk menggali sumber-sumber penerimaan
daerah belum memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi
di Provinsi Sumatera Utara.
Handoyo (2010) dalam Badrudin
(2012) menyatakan bahwa penggalian
sumber-sumber penerimaan perpajakan
khususnya
pajak
daerah
perlu
memperhatikan dasar pengenaan pajak dan
tarif pajak.Pengenaan tarif pajak yang
tinggi
tidak
selalu
menghasilkan
penerimaan pajak yang tinggi karena
tergantung respon wajib pajak serta
permintaan dan penawaran barang yang
dikenai pajak tersebut. Model Leviathan
menunjukkan
bahwa
peningkatan
penerimaan pajak daerah tidak harus
dicapai dengan pengenaan tarif pajak yang
terlalu tinggi, tetapi dengan pengenaan tarif
pajak yang lebih rendah dikombinasikan
dengan struktur pajak yang meminimalkan
penghindaran pajak dan respon harga dan
kuantitas barang terhadap pengenaan pajak
sedemikian rupa sehingga dicapai total
penerimaan pajak maksimum.
Indikator Otonomi
Indikator
otonomi
(IO1)yang
merupakan rasio total PAD terhadap total
pendapatan masing-masing pemerintah
kabupaten/kota
dan
indikator
otonomi(IO2)yang merupakan rasio total
PAD terhadap total pengeluaran masingmasing
pemerintah
kabupaten/kota
menunjukkan hubungan negatif tetapi tidak
signifikanterhadap pertumbuhan ekonomi
di Provinsi Sumatera Utara.Hubungan
negatif tersebut memberi gambaran bahwa
otonomi fiskal di daerah menjadi
penghambat pertumbuhan ekonomi di
Provinsi Sumatera Utara walaupun tidak
secara signifikan.Sedangkan indikator
otonomi(IO3)yang merupakan rasio PAD
terhadap total dana perimbangan masingmasing
pemerintah
kabupaten/kota
menghasilkan hubungan positif tetapi tidak
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi
di Provinsi Sumatera Utara.
Pemerintah
kabupaten/kota
di
Provinsi Sumatera Utara masih sangat
tergantung
terhadap
sumber-sumber
penerimaan yang berasal dari dana
perimbangan karena masih rendahnya
pendapatan yang bersumber dari PAD.
Kuncoro (2004) dalam Zulyanto (2010)
menjelaskan penyebab ketergantungan
daerah terhadap transfer dari pusat, antara
lain: (1) kurang berperannya perusahaan
daerah sebagai sumber penerimaan daerah;
(2) tingginya derajat sentralisasi dalam
bidang perpajakan; (3) kendatipun pajak
daerah cukup beragam, hanya sedikit yang
dapat
diandalkan
sebagai
sumber
penerimaan; dan (4) adanya kekhawatiran
akan terjadi disintegrasi dan separatisme
bila daerah mempunyai sumber keuangan
yang tinggi.
Kuncoro (2004) dalam Badrudin
(2012), menyatakan terdapat beberapa isu
sentral dalam implementasi otonomi
daerah, diantaranya adalah tendensi
masing-masing daerah untuk saling
bersaing dan mementingkan daerahnya
sendiri terutama dalam pengumpulan
Pendapatan Asli Daerah yang berujung
dengan munculnya pungutan daerah
melalui
Peraturan
Daerah
yang
menimbulkan high cost economy. Menurut
Kuncoro (2010) dalam Badrudin (2012),
selama implementasi otonomi daerah yang
dimulai pada tahun 2001, telah terjadi
kecenderungan yang menyedihkan, yaitu
kuatnya semangat memungut retribusi,
pajak, ataupun pungutan lainnya dengan
kurang memperhatikan layanan publik
secara optimal.
Davoodi dan Zou (1998) menyatakan
beberapa faktor yang menyebabkan
desentralisasi fiskal dalam beberapa hal
menjadi kurang menguntungkan bagi
pembangunan antara lain komposisi
pengeluaran
pemerintah,
penetapan
pendapatan yang kurang tepat oleh
pemerintah daerah, keuntungan efisiensi
desentralisasi fiskal yang kurang materiil di
negara-negara
berkembang
dan
ketidakcakapan aparatur daerah.
KESIMPULAN
1. Implementasi desentralisasi fiskal telah
membawa
perubahan
terhadap
pendapatan dan belanja pemerintah
kabupaten/kota di Provinsi Sumatera
Utara. Total realisasi pendapatan
pemerintah kabupaten/kota meningkat
dari 4,16 triliun rupiah pada tahun 2001
menjadi 24,81 triliun rupiah pada tahun
2012. Total realisasi belanja pemerintah
kabupaten/kota meningkat dari 3,85
135
Jurnal Ekonom, Vol 17, No 3, Juli 2014
triliun rupiah pada tahun 2001 menjadi
24,21 triliun rupiah pada tahun 2012.
2. Desentralisasi fiskal dengan indikator
pengeluaran dan indikator pendapatan
berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi di
Provinsi Sumatera Utara, sedangkan
indikator
pendapatan
tanpa
memperhitungkan penerimaan dari dana
perimbangan berpengaruh positif tetapi
tidak signifikan. Indikator otonomi
dengan ukuran rasio PAD terhadap total
pendapatan
masing-masing
kabupaten/kota dan rasio PAD terhadap
total
pengeluaran
masing-masing
kabupaten/kota berpengaruh negatif dan
tidak signifikan, sedangkan rasio PAD
terhadap total dana perimbangan
masing-masing
kabupaten/kota
berpengaruh positif dan tidak signifikan.
3. Pengaruh variabel kontrol terhadap
pertumbuhan ekonomi di Provinsi
Sumatera Utara,yaitu: variabel investasi,
variabel akumulasi modal manusia
dengan
indikator
rata-rata
lama
sekolah,dan
variabel
level
awal
pertumbuhan
ekonomi
memiliki
pengaruh positif dan signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi di Provinsi
Sumatera Utara.Sedangkan variabel
akumulasi modal manusia dengan
indikator
pertumbuhan
penduduk
berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi di
Provinsi Sumatera Utara.
SARAN
1. Untuk
meningkatkan
pengaruh
desentralisasi
fiskal
terhadap
pertumbuhan
ekonomi,
maka
pemerintah
kabupaten/kota
perlu
mengalokasikan belanja pada program
dan kegiatan yang berorientasi kepada
kepentingan publik, sehingga menjadi
stimulus bagi pertumbuhan ekonomi di
kabupaten/kota.
2. Penelitian ini masih terbatas hanya
melihat pengaruh desentralisasi fiskal
pada level kabupaten/kota yang ada di
Provinsi Sumatera Utara terhadap
pertumbuhan ekonomi di Provinsi
Sumatera Utara. Sementara pengaruh
desentralisasi fiskal pada level provinsi
belum
diperhitungkan.
Penelitian
selanjutnya
dapat
menggabungkan
136
pengaruh desentralisasi fiskal pada level
kabupaten/kota dan level provinsi
terhadap pertumbuhan ekonomi di
Provinsi Sumatera Utara.
DAFTAR RUJUKAN
Akai, Nobuo and Sakata, Masayo. 2002.
Fiscal Decentralization Contributes
To Economic Growth: Evidence
From State-Level Cross-Section
Data For The United States.
Journal of Urban Economics 52
(2002) 93-108.
Badrudin, Rudy. 2012. Ekonomika Otonomi
Daerah. UPP STIM YKPN.
Yogyakarta.
Baskaran, T. and Feld, P. Lars. 2009. Fiscal
Decentralization and Economic
Growth in OECD Countries: Is
there a Relationship? CESifo
Working Paper No. 2721.
[BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi
Sumatera Utara. 2012. Statistik
Keuangan Pemerintah Daerah
Sumatera
Utara
2011-2012.
Medan.
_________,
2013a.Produk
Domestik
Regional Bruto Menurut Lapangan
Usaha Provinsi Sumatera Utara
2008-2012. Medan.
_________,
2013b.Produk
Domestik
Regional
Bruto
Menurut
Penggunaan Provinsi Sumatera
Utara 2008-2012. Medan.
Breuss, Fritz and Eller, Markus. 2004.
Fiscal
Decentralisation
and
Economic Growth: Is There Really
a Link? CESifo DICE Report,
Journal
for
Institutional
Comparisons, Volume 2 No.1,
Spring 2004.
Davoodi, Hamid and Zou, Heng-fu. 1998.
Fiscal
Decentralization
and
Economic Growth: a CrossCountry Study. Journal of Urban
Economics 43, 244-257 (1998).
Desai, R. M., Freinkman, L.M., and
Goldbrg, I. 2003. Fiscal Federalism
and Regional Growth Evedience
from Russion Federation in the
1990s.World Bank Policy Research
Working Paper 3138, World Bank,
Washington DC.
Haouas, Ilham and Yagoubi, Mahmoud.
2005. Openness and Human Capital
Freddy Situngkir, Sirojuzilam, Erlina dan Agus Suriadi: Pengaruh Desentralisasi…
as Sources of Productivity Growth:
An Empirical Investigation from
the
MENA
Countries.
IZA
Discussion Paper No. 1461 January
2005.
Hirawan, Susiyati Bambang. 2007.
Desentralisasi Fiskal Sebagai Suatu
Upaya Meningkatkan Penyediaan
Layanan Publik (Bagi Orang
Miskin) di Indonesia. Pidato pada
Upacara Pengukuhan sebagai Guru
Besar Tetap dalam Bidang Ilmu
Ekonomi pada Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia. Jakarta.
Mankiw, N. Gregory. 2007. Makreokonomi
(Fitria Liza dan Imam Nurmawan,
Alih Bahasa), Edisi Keenam.
Erlangga. Jakarta.
Oates,
Wallace
E.
1993.
Fiscal
Decentralization and Economic
Development.National Tax Journal
Vol. 46 No. 2 (June, 1993) 237243.
Prud’homme, R. 1994. On the Dangers of
Decentralization.Policy Research
Working Paper 1252.World Bank,
Washington DC.
Sirojuzilam dan Hahalli, Kasyful. 2011.
Regional:
Pembangunan,
Perencanaan, dan Ekonomi. USU
Press. Medan.
Swasono,
Fauziah.
2007.
Fiscal
Decentralization and Economic
Growth: Evidence from Indonesia.
Economic
and
Finance
in
Indonesia, Vol.55(2).
Tarigan, Robinson. 2010. Perencanaan
Pembangunan
Wilayah. Edisi
Revisi. Bumi Aksara. Jakarta.
Thiessen,
Ulrich.
2003.
Fiscal
Decentralization and Economic
Growth in High Income OECD
Countries. Fiscal Studies Vol. 24
No. 3.
Todaro, Michael P. dan Smith, Stephen C.
2006.Pembangunan
Ekonomi
(Haris Munandar dan Puji A.L.,
Alih Bahasa). Edisi 9 Jilid
1.Erlangga. Jakarta.
Undang-Undang
Republik
Indonesia
Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah.
Wibowo, Puji. 2008. Mencermati Dampak
Desentralisasi Fiskal Terhadap
Pertumbuhan
Ekonomi
Daerah.Journal Keuangan Publik
Vol. 5, No. 1, Oktober 2008.
Woller, Gary M. and Phillips, Kerk. 1998.
Fiscal Decentralisation and LDC
Economic Growth; An Empirical
Investigation. The Journal of
Development Studies Vol.34(4).
Xie, D., Zou, H., and Davoodi, H. 1999.
Fiscal
Decentralization
and
Economic Growth in the United
States.Journal of Urban Economics
45:228-239.
Zhang, Tao and Zou, Heng-fu. 1998. Fiscal
Decentralization, Public Spending,
and Economic Growth in China.
Journal of Public Economics
67:221-240.
Zulyanto. A. 2010. Pengaruh Desentralisasi
Fiskal Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi di Provinsi Bengkulu
[Tesis]. Semarang: Universitas
Diponegoro, Program Pascasarjana.
137
Download