BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Premedikasi Premedikasi adalah

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Premedikasi
Premedikasi adalah penggunaan obat-obatan sebelum induksi anestesi.
Obat analgesik akan menghilangkan rasa sakit, sementara obat tranquilliser akan
menenangkan hewan untuk memudahkan penanganan (Boden, 2005). Tujuan dari
pemberian premedikasi
yaitu (a) untuk menenangkan hewan sehingga
memudahkan penanganan, (b) untuk relaksasi otot sehingga terjadi immobilisasi
dan hiporefleksi, (c) untuk memberikan analgesia (menghilangkan rasa sakit), (d)
untuk memperoleh induksi anestesi yang perlahan dan aman, stadium anestesi
yang stabil dan pemulihan dari anestesi yang baik, dan (e) untuk mengurangi
dosis obat anestesi sehingga efek samping dapat dikurangi.
Obat-obat yang bersifat sedatif dan anxiolitik berperan besar dalam
meningkatkan kualitas anestesi dan pemulihan, serta meminimalisir efek samping
dari obat-obat anestesi yang tidak diinginkan (Lee, 2006a). Obat-obat premedikasi
yang umum diberikan untuk anjing adalah (a) tranquilliser seperti acepromazin,
diazepam, midazolam, xilazin dan medetomidin, (b) narkotik seperti morfin,
oksimorfon, meperidin dan (c) antikolinergik seperti atropin dan glikopirolat.
2.1.1
Atropin
Atropin merupakan agen antimuskarinik yang menghambat asetilkolin
atau stimulan kolinergik lain. Dengan dosis yang tinggi atropin dapat memblokir
reseptor nikotin. Penggunaan dengan dosis rendah atropin akan menghambat
produksi saliva, menghambat sekresi bronkus serta keringat. Pada dosis medium
atropin menyebabkan dilatasi pupil mata dan meningkatkan denyut jantung.
5
6
Penggunaan dosis tinggi akan mengurangi motilitas gastrointestinal dan saluran
urinaria, sedangkan untuk dosis yang sangat tinggi atropin akan menghambat
sekresi lambung (FKH IPB, 2012).
Atropin dapat diabsorbsi dengan baik apabila diberikan secara oral, injeksi
dan inhalasi. Jika atropin diberikan secara injeksi intravena, efek terhadap denyut
jantung akan tampak dalam 3 – 4 menit setelah pemberian, lalu akan diikuti
dengan blokade kolinergik. Atropin terdistribusi dengan baik di dalam tubuh dan
melalui sistem saraf pusat, dimetabolisme di hati dan diekskresikan melalui urin
(Plumb, 2008).
2.1.2
Xilazin
Xilazin sering digunakan pada anjing untuk tujuan sedasi dengan periode
analgesia yang lebih singkat, juga digunakan sebagai obat premedikasi sebelum
anestesi lokal atau anestesi umum. Xilazin memberikan relaksasi otot, dan pada
anjing obat ini dapat menyebabkan muntah. Xilazin juga menekan mekanisme
pengaturan suhu sehingga kemungkinan bisa menyebabkan hypothermia atau
hyperthermia, tergantung pada temperatur udara sekitar, berpengaruh terhadap
sistem kardiovaskuler yang meliputi tekanan darah, ritme jantung dan frekuensi
denyut jantung. Pada anjing xilazin dapat memberikan efek samping seperti
tremor otot, bradikardia dengan blokade A-V dan mengurangi frekuensi respirasi
(FKH IPB, 2012).
Mulai kerja xilazin yang diberikan pada anjing secara intramuskuler
mencapai 10 – 15 menit dan 3 – 5 menit apabila diberikan secara intravena. Efek
analgesik xilazin bisa bertahan selama 15 – 30 menit, namun efek sedasinya bisa
bertahan hingga 1 – 2 jam tergantung pada dosis yang diberikan, sedangkan waktu
7
pemulihan sempurna setelah pemberian xilazin pada anjing membutuhkan waktu
antara 2 – 4 jam (Plumb, 2008).
2.2 Anestesi
Anestesi adalah suatu keadaan temporer dimana terjadinya relaksasi otot,
hilangnya rasa sakit dan hilangnya rasa terhadap rangsangan, tanpa atau disertai
dengan hilangnya kesadaran (Wikipedia, 2014). Pemberian anestesi bertujuan
untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan rasa sakit saat dilakukan tindakan
medis
seperti
operasi.
Penggunaan
anestesi
juga
dimaksudkan
untuk
menenangkan hewan sehingga memudahkan dalam melakukan diagnosa,
transportasi bagi hewan liar dan eksotik, dan prosedur pengobatan. Di samping itu
anestesi dapat juga digunakan untuk menjalankan prosedur etanasi (Tranquilli et
al., 2007).
2.2.1
Penggolongan anestesi
Anestesi umumnya digolongkan berdasarkan cara penggunaan obatnya
dan berdasarkan luas pengaruh obat. Berdasarkan cara penggunaan obat anestesi
dibagi menjadi (a) anestesi inhalasi yaitu obat anestesi berupa gas/uap
diaplikasikan melalui respirasi dengan kombinasi oksigen; (b) anestesi injeksi
yaitu obat anestesi diberikan dengan cara injeksi/suntikan, bisa melalui IV, IM
dan SC; (c) anestesi oral atau rektal yaitu obat yang diberikan melalui saluran
pencernaan (gastrointestinal); dan (d) anestesi topikal yaitu anestesi yang
diberikan melalui kutaneus atau membran mukosa untuk tujuan anestesi lokal
(Tranquilli et al., 2007).
8
Berdasarkan luas pengaruh obat anestesi dibagi menjadi:

Anestesi lokal
Anestesi lokal adalah tindakan menghilangkan rasa sakit terbatas pada
area yang diberikan obat yang mampu menghambat konduksi saraf perifer
tanpa mengakibatkan kerusakan pada saraf yang berkaitan. Anestesi lokal
bekerja dengan cara blokade saluran ion natrium saraf perifer sehingga
konduksi saraf terhambat dan respon terhadap stimulasi hilang secara lokal.
Anestesi lokal dilakukan dengan cara pemberian obat melalui permukaan
tubuh, subkutan dan infiltrasi. Anestesi ini tidak disertai dengan hilangnya
kesadaran;

Anestesi regional
Anestesi regional adalah tindakan menghilangkan rasa sakit pada regio
tertentu dengan cara pemberian obat anestesi pada lokasi saraf yang
menginervasi regio tertentu sehingga terjadi hambatan konduksi impuls saraf
yang reversibel tanpa disertai dengan hilangnya kesadaran. Anestesi regional
diberikan secara epidural, spinal dan paravertebral (Sudisma et al., 2006).
Anestesi epidural menghambat sensasi dan kontrol motorik daerah pelvis,
ekor, abdominal dan kaki belakang;

Anestesi umum
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa sakit dan refleks
otot di seluruh tubuh, disertai dengan hilangnya kesadaran yang bersifat
sementara. Anestesi ini diberikan dengan cara inhalasi, injeksi, atau gabungan
injeksi dan inhalasi. Tujuan utama dilakukannya anestesi umum adalah untuk
9
memperoleh kondisi sedasi, analgesia, relaksasi dan tidak adanya refleks
sehingga memudahkan dalam melakukan diagnosa atau tindakan pembedahan.
2.2.2
Ketamin
Ketamin merupakan obat anestesi umum yang memiliki efek analgesik
yang kuat. Ketamin umumnya tidak menghilangkan refleks pinnal (telinga) dan
pedal (kaki), juga refleks terhadap cahaya, refleks kornea, laryng atau pharyng.
Efek ketamin terhadap sistem kardiovaskuler meliputi peningkatan output jantung,
denyut jantung, tekanan aorta dan arteri pulmoner. Menurut Stawicki (2007),
ketamin memiliki efek klinik yang bervariasi yakni analgesik, anestesi, halusinasi,
neurotoksisitas, hipertensi arteri dan bronkodilatasi.
Setelah diberikan secara injeksi intramuskuler ketamin akan dengan cepat
didistribusikan ke semua jaringan tubuh dan mengikat protein plasma sekitar 53%
pada anjing (Plumb, 2008). Obat ini kemudian dimetabolisme di hati dan
dieliminasi melalui urin.
2.3 Monitoring Pasien
Monitoring terhadap pasien selama teranestesi sangat penting dilakukan
untuk mempertahankan kestabilan anestesi dan untuk mencegah gangguan fungsi
kardiovaskuler, respirasi dan sistem saraf pusat (Lee, 2006c). Monitoring
dilakukan terhadap kedalaman anestesi dan fungsi fisiologis pasien. Kedalaman
anestesi dapat diukur dengan melakukan pemeriksaan terhadap beberapa aspek
seperti ada atau tidaknya refleks/respon terhadap stimulasi, tonus otot, refleks
palpebra, refleks kornea, nystagmus, lakrimasi, denyut jantung, respirasi dan
tekanan darah (Lee, 2006b). Monitoring terhadap fungsi fisiologis pasien
10
mencakup pemeriksaan terhadap denyut dan ritme jantung, pulsus, CRT, warna
membran mukosa, darah, respirasi dan temperatur tubuh, oksigenasi, EKG dan
tekanan darah.
2.4 Leukosit
Leukosit atau sel darah putih adalah salah satu jenis sel yang membentuk
komponen darah dan berfungsi sebagai sel pertahanan tubuh yang akan membantu
tubuh melawan berbagai agen asing yang dapat menginfeksi tubuh. Sel darah
putih berperan sebagai penanda ada atau tidaknya infeksi dan menggambarkan
tingkat stres pada hewan. Kondisi hewan yang mengalami infeksi atau stres akan
menigkatkan risiko anestesi.
Sel darah putih tidak berwarna dan memiliki inti. Di dalam tubuh leukosit
bekerja secara independen, bergerak bebas dan akan mengeliminasi agen asing
yang dapat menginfeksi. Sel darah putih merupakan produk dari sel pluripoten
pada sumsum tulang dimana granulosit mengalami fase proliferasi mitosis yang
disusul dengan fase pematangan (Marsika, 2002). Secara umum, sel darah putih
dibedakan menjadi dua jenis yaitu sel darah putih yang bergranula yang disebut
granulosit atau polimorfonuklear dan sel darah putih yang tidak bergranula yang
disebut agranulosit atau monomorfonuklear (Colville dan Bassert, 2008).
Granulosit terdiri dari tiga jenis sel yaitu basofil, eosinofil dan neutrofil,
sedangkan agranulosit terdiri dari dua jenis yaitu limfosit dan monosit.
Basofil berperan pada beberapa tipe reaksi alergi, karena tipe antibodi
yang menyebabkan reaksi alergi, yaitu immunoglobulin E (IgE) mempunyai
kecenderungan khusus untuk melekat pada basophil dan sel mast (Guyton, 2008).
11
Eosinofil berhubungan dengan infeksi parasit, apabila jumlah eosinofil meningkat
maka itu berarti terjadi infeksi parasit dalam tubuh. Neutrofil dikenal sebagai garis
pertahanan pertama (Junqueira dan Caneiro, 2005), merupakan sel darah putih
yang paling banyak jumlahnya dalam darah perifer dan berhubungan dengan
pertahanan tubuh terhadap infeksi bakteri dan proses peradangan. Neutrofil
bersama dengan makrofag memiliki kemampuan fagositosis untuk menelan
organisme patogen dan sel debris (Lee et al., 2003). Limfosit berperan dalam
pembentukan antibodi sebagai respon terhadap benda asing (Tizard, 2000),
limfosit juga berperan dalam ketahanan tubuh terhadap infeksi virus dan bakteri
intraseluler. Sel monosit memiliki peran yang serupa dengan sel neutrofil yaitu
sebagai sel fagosit, dikenal juga sebagai makrofag saat meninggalkan aliran darah
dan masuk ke dalam jaringan.
Jumlah leukosit anjing di dalam darah berkisar antara 6.000 – 17.000/µL
(Jain, 1986; Rizzi et al., 2010). Namun nilai tersebut dapat berubah, bisa menjadi
lebih tinggi dari 17.000/µL atau lebih rendah dari 6.000/µL, hal tersebut bisa
dikarenakan adanya gangguan pada fisiologis tubuh. Gangguan total leukosit yang
ditandai dengan peningkatan jumlah leukosit dalam sirkulasi darah disebut dengan
leukositosis, sedangkan gangguan total leukosit yang ditandai dengan penurunan
jumlah leukosit dalam sirkulasi darah disebut dengan leukopenia.
Leukositosis dan leukopenia bisa terjadi karena beberapa faktor seperti
gangguan produksi, distribusi atau pemanfaatan basofil, eosinofil, neutrofil,
limfosit, monosit dan sel mast. Kejadian leukositosis seringkali berhubungan
dengan neutrofilia (peningkatan jumlah neutrofil dalam darah) dan monositosis
12
(peningkatan jumlah monosit dalam darah). Kondisi yang dapat menyebabkan
leukositosis
adalah
adanya
peradangan,
respon
glukokortikoid,
respon
katekolamin, neoplasia, infeksi bakteri, nekrosis pada jaringan dan kondisi
herediter (Weltan, 2007; Freeman, 2014). Tidak berbeda jauh dengan leukositosis,
yang memiliki pengaruh besar dalam penurunan jumlah leukosit adalah
menurunnya jumlah neutrofil dalam darah atau yang disebut juga neutropenia.
Leukopenia terjadi karena adanya infeksi virus (akut), septicemia (infeksi bakteri),
anafilaksis, toxemia, pengaruh bahan kimia atau obat-obatan, infeksi fungi
sistemik, dan depresi sumsum tulang akibat tumor tertentu (Freeman, 2014).
Download