tinjauan pustaka

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Fosfat sebagai Hara Tanaman dan Kontaminan Perairan
Fosfat memiliki peran besar dalam kimia tanah dan telah banyak
dipelajari. Para ahli kimia menemukan fakta bahwa pemupukan fosfat sangat
diperlukan untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Akan tetapi kehadiran
fosfat dalam air dapat menimbulkan permasalahan terhadap kualitas air, misalnya
terjadi eutrofikasi (Dewi dan Masduqi, 2003).
Eutrofikasi merupakan salah satu masalah lingkungan hidup yang
mengakibatkan kerusakan ekosistem perairan khususnya di air tawar. Hal tersebut
disebabkan oleh fosfat (PO3-) sebagai limbah rumah tangga seperti detergen,
limbah peternakan, limbah industri, dan limbah pertanian. Permintaan air bersih
dan meningkatnya kesadaran akan efek samping pencemaran pada kesehatan
manusia dan ekosistem mendorong pengembangan teknologi dan bahan yang
efektif dan terjangkau untuk pengendalian pencemaran dan pengolahan air (Yuan
dan Wu, 2007).
Pemanfaatan Mineral Liat sebagai Nanomaterial Penjerap Fosfat Perairan
Karena ketersediaannya yang melimpah di dalam tanah dan sedimen, liat
telah lama digunakan sebagai flokulan dan adsorbent partikel tersuspensi dan
senyawa beracun dalam air. Penggunaan liat dan mineral liat (secara alami atau
setelah dimodifikasi kimia permukaannya) untuk pengolahan air telah banyak
diselidiki selama tiga dekade terakhir. Contoh aplikasi tersebut adalah dalam
remediasi air tercemar minyak, konstruksi lapisan liat (clay-liners), pencegahan
pelindihan leachates organik dari situs pembuangan sampah, inaktivasi logam
berat serta pemulihan limbah kaya nitrogen.
Beberapa mineral liat memiliki partikel primer dengan setidaknya satu
dimensinya berskala nanometer, sehingga dianggap sebagai nano material
geologis atau pedologis. Lapisan dasar smektit memiliki dimensi ratusan
nanometer panjang dan lebarnya dengan ketebalan sekitar 1 nm. Unit partikel dari
alofan terdiri atas nanoballs aluminosilikat berongga dengan diameter luar 3.5-5.0
nm, dan tabung imogolit berdiameter 2 nm. Karena ukuran partikel yang kecil dan
4
dengan luas permukaan spesifik (eksternal dan internal) mencapai beberapa ratus
m2/g, mineral liat allophane dapat dimanfaatkan untuk memflokulasi fosfat dari
larutan serta meremediasi perairan eutrofik. Allophane tidak terdispersi dalam air,
sehingga dapat dipulihkan setelah digunakan (Yuan dan Wu, 2007).
Penerapan allophane pada penanganan air yang tercemar oleh ion fluorida
telah dilakukan oleh Kaufhold et al. (2009). Hasil eksperimen tersebut
menunjukkan bahwa allophane memiliki prospek lebih baik untuk diterapkan
sebagai penjerap ion fluorida dibandingkan dengan zeolit alam (clinoptilolite),
goethite ataupun viscogel (R). Bila dibandingkan dengan material komersial
penjerap fluorida seperti Fluorolith, daya serap allophane sedikit lebih rendah.
Namun demikian, kemudahan mendapatkan allophane dari lingkungan tanah
memungkinkan allophane memiliki nilai lebih dibandingkan Fluorolith.
Mineral Liat
Mineral liat merupakan mineral yang berukuran kurang dari 2µ. Mineral
liat hanya dapat dilihat dengan bantuan mikroskop elektron. Sifat mineral liat
ditentukan dari: (1) susunan kimia pembentuknya yang tetap dan tertentu,
terutama berkaitan dengan penempatan internal atom-atomnya, (2) sifat fisikakimia dengan batasan waktu tertentu, dan (3) kecenderungan membentuk
geometris tertentu (Madjid, 2009).
Mineral liat adalah lapisan silikat yang biasanya terbentuk sebagai produk
dari pelapukan kimia mineral primer silikat lainnya di permukaan bumi. Mereka
ditemukan paling sering pada serpihan, jenis yang paling umum dari batuan
sedimen. Pada iklim dingin, kering, atau sedang, mineral liat cukup stabil dan
merupakan komponen penting dari tanah. Mineral liat bertindak sebagai "spons
kimia" yang memegang air dan nutrisi tanaman terlarut dari mineral lainnya. Hal
ini berkaitan dengan kehadiran muatan listrik tidak seimbang pada permukaan
partikel liat, dimana beberapa permukaan bermuatan positif (menarik ion negatif),
sedangkan permukaan lainnya bermuatan negatif (menarik ion positif). Mineral
liat juga memiliki kemampuan untuk menarik molekul air. Karena penarikan ini
merupakan fenomena permukaan, hal itu disebut adsorpsi (yang berbeda dari
penyerapan, karena ion dan air tidak tertarik jauh di dalam partikel liat). Mineral
5
liat menyerupai mika dalam komposisi kimia, kecuali mereka memiliki ukuran
sangat halus. Seperti mika, mineral liat berbentuk seperti serpihan dengan tepi
tidak teratur dan satu sisi halus (Al-Ani dan Sarapää, 2008).
Asal Muatan Negatif pada Mineral Liat
Liat tanah biasanya membawa muatan elektronegatif, yang menimbulkan
reaksi pertukaran kation. Dua sumber utama untuk asal muatan negatif ialah:
1. Substitusi isomorfik, yaitu penggantian kation dalam struktur kristal oleh
kation lain yang mempunyai ukuran yang sama tetapi muatan (valensi) yang
berbeda. Subtitusi isomorfik merupakan sumber utama muatan negatif dalam
liat tipe 2:1. Kation yang menggantikan mempunyai muatan yang lebih rendah
daripada yang digantikan, misalnya Mg2+ atau Fe2+ menggantikan Al3+ dalam
Al-oktahedra, atau Al3+ menggantikan Si4+ dalam Si-tetrahedra sehingga terjadi
kelebihan muatan negatif pada liat. Muatan negatif yang dihasilkan dianggap
sebagai muatan permanen, karena tidak berubah dengan berubahnya pH.
Kemudahan terjadinya substitusi isomorfik tergantung pada ukuran dan valensi
ion-ion yang terlibat. Proses ini hanya terjadi antara ion-ion berukuran
sebanding. Perbedaan dalam dimensi ion-ion yang saling berganti dilaporkan
tidak lebih dari 15%, dan valensi ion-ion yang saling berganti seharusnya tidak
berbeda lebih dari satu satuan (Paton, 1978).
2. Disosiasi H+ dari gugus OH yang terdapat pada tepi atau ujung kristal juga
dapat menimbulkan muatan negatif. Pada pH tinggi, hidrogen dari hidroksil
terurai sedikit dan permukaan liat menjadi bermuatan negatif yang berasal dari
ion oksigen. Muatan negatif ini disebut muatan berubah-ubah atau muatan
tergantung pH. Besaran dari muatan berubah-ubah ini beragam tergantung pH
dan tipe koloid. Jenis muatan ini sangat penting pada liat tipe 1:1, liat oksida
besi dan aluminium, dan koloid organik (Tan, 1998).
Asal Muatan Positif pada Mineral Liat
Koloid tanah dapat juga menunjukkan muatan positif seperti halnya
muatan negatif.
Proton tidak hanya dapat terdisosiasi dari gugus OH yang
terbuka, tetapi yang disebut belakangan dapat juga menjerap atau memperoleh
6
proton. Proses ini, yang hanya penting pada media sangat masam, menghasilkan
muatan positif. Ion-ion H+ dan OH-, yang menyebabkan timbulnya muatan
permukaan, juga bertanggung jawab atas potensial permukaan listrik. Oleh karena
itu, mereka disebut ion-ion penentu potensial.
Muatan positif memungkinkan terjadinya reaksi pertukaran anion dan
sangat penting dalam retensi fosfat. Muatan tersebut diperkirakan berasal dari
protonasi atau penambahan ion H+ ke gugus hidroksil. Mekanisme ini tergantung
pada pH dan valensi dari ion logam. Biasanya proses ini hanya berarti pada liat
oksida Al dan Fe, tetapi hal ini kurang penting pada oksida Si (Tan, 1991).
Alofan dan Imogolit
Allophane dan imogolite sudah ditemukan lebih dari 40 tahun yang lalu,
yaitu pada tahun 60-an. Namun, penelitian mendalam mengenai keduanya masih
jarang dilakukan. Hal ini dikarenakan beberapa faktor, seperti struktur kimianya
yang masih sulit dianalisis menggunakan difraksi sinar-X (XRD) dan metode
sintesisnya yang hanya bisa dilakukan pada konsentrasi rendah. Analisis XRD
pada sampel nano-ball allophone akan memberikan suatu difraktogram yang
hampir tanpa atau tidak ada puncak. Sementara para ahli mineralogi liat dan
kristalografi selalu menyatakan bahwa mineral liat memiliki suatu keteraturan
dalam struktur kristalnya sehingga dapat dideteksi menggunakan XRD yang
ditandai oleh adanya puncak-puncak pada difraktogramnya. Oleh karena itu,
nano-ball allophane sebelum ini selalu didefinisikan oleh para ahli mineralogi liat
dan kristalografi sebagai mineral yang tidak memiliki keteraturan atom dalam
penyusunan struktur kristalnya atau dikenal sebagai mineral amorf.
Nama alofan pertama kali diperkenalkan oleh Stromeyer dan Hausmann
pada tahun 1861 untuk hidrous aluminosilikat yang terjadi di alam. Alofan
sebelumnya diklasifikasikan sebagai liat kaolin karena memiliki struktur lembaran
yang mirip dengan kaolinit (Tan, 1998). Wada (1989) menyatakan alofan adalah
nama yang digunakan untuk mendeskripsikan bahan yang bersifat “short-range
ordered” aluminosilikat berukuran liat hasil dari pelapukan abu volkan dan gelas
volkan. Alofan merupakan mineral liat tanah yang paling reaktif karena
mempunyai luas permukaan khas yang sangat luas dan mempunyai banyak gugus
7
fungsional aktif. Adanya alofan memberikan sifat-sifat unik pada Andisol. Hal ini
karena alofan mempunyai muatan bervariasi yang besar, bersifat amfoter, dengan
kapasitas tukar kation (KTK) sekitar 10-40 cmol.kg-1 pada pH 7.0, kapasitas tukar
anion (KTA) 5-30 cmol.kg-1 pada pH 4.0, struktur acak dan terbuka, serta dapat
mengikat fosfat (Tan, 1992; van Ranst, 1995; Wada, 1989). Akibat kuatnya fiksasi
fosfat oleh mineral ini, maka ketersediaan fosfat yang mudah larut akan
berkurang.
Saat ini morfologi dan struktur kimia alofan yang ditemukan dalam tanah
yang berkembang dari abu volkan atau batu apung telah ditemukan (Henmi, 1980;
Henmi dan Wada, 1976; Shimizu et al., 1988). Abidin (2003 dalam Sugiarti et al.,
2010) membuktikan bahwa alofan adalah suatu mineral liat yang memiliki
struktur kimia dan bukan mineral amorf dengan didapatkannya suatu keteraturan
polyhedral untuk membuat struktur kimia yang bulat. Dengan ditemukannya
keteraturan tersebut, struktur alofan dapat disusun menjadi berbagai macam
diameter sebagai isomorfiknya.
Wada (1977) melaporkan bahwa alofan adalah nama kelompok untuk
hydrous alluminosilicate dengan komposisi yang ditandai dengan rasio molar
Si/Al 1:2 atau 1:1, serta mempunyai struktur mineral yang acak dan
terbuka/berpori. Antara lembar tetrahedral dan oktahedral terdapat banyak daerah
kosong sehingga molekul air dapat dengan mudah keluar masuk, dan anion seperti
fosfat dan nitrat dapat terjerap. Alofan mempunyai luas permukaan spesifik yang
mencapai 1100 m2.g-1. Luas permukaan yang besar ini mengakibatkan sistem
koloid tanah menjadi sangat reaktif sehingga pertukaran kation, anion, jerapan air,
dan fiksasi menjadi lebih tinggi (Tan, 1992).
Hasil pengamatan mikroskop elektron menunjukkan bahwa alofan terdiri
atas bola berongga atau polyhedra dengan diameter 3.5-5.0 nm (Henmi dan Wada,
1976) dengan ketebalan dinding sekitar 0.7 nm (Paterson 1977, Wada dan Wada,
1977). Lebih lanjut, hasil simulasi perhitungan teoretikal terhadap nilai densitas
spesifiknya, volume bagian dalam struktur dan luas permukaannya menunjukkan
bahwa ukuran dari isomorphic struktur nano-ball allophone yang ideal mirip
dengan yang ditemukan di lingkungan alam adalah berdiameter 4.25 nm (Abidin
et al., 2005).
8
Struktur kimia alofan dicirikan oleh “short-range order” dan dominasi SiO-Al (van Olpen, 1971; Wada, 1977). Komposisi kimia dari alofan bervariasi
dengan rasio Si/Al sekitar 0.5 sampai 1. Alofan dengan rasio Si/Al 0.5 memiliki
struktur dasar yang terdiri atas lembar gibsit [Al(OH)3] dengan SiO4 tetrahedral,
dan mempunyai morfologi berongga untuk tempat SiO4 tetrahedra dalam bola.
Alofan dengan rasio Si/Al lebih dari 0.5 memiliki kondensasi SiO4 yang terikat
lemah pada struktur (Hanudin, 2009). Alofan yang mempunyai rasio molar Al/Si
2.0 telah diidentifikasi pada Andisol di Selandia Baru dan Jepang serta tanah
Podzol di Skotlandia (Parfitt dan Henmi, 1980).
Henmi Research Group dari Ehime University Japan telah lama
melakukan penelitian tentang nano-ball allophane dan nano-ball imogolite yang
sebagian besar menggunakan material yang diambil dari tanah. Berdasarkan data
informasi spectra NMR untuk Si dan Al, gambar TEM dan reaksi serapan air,
kation dan anion, Henmi menyimpulkan bahwa allophane memiliki dasar struktur
kimia yang sama dengan nano-ball imogolite dan terdapat suatu keteraturan
poyhedra pada strukturnya sehingga membentuk suatu bulatan. Allophane
memiliki beragam ratio mol Si/Al dengan kisaran nilai antara 0.6 sampai dengan
1.2. Hal ini disebabkan oleh faktor curah hujan dan suhu yang mempengaruhi laju
pelarutan silikon dari suatu proses pelapukan batuan dasar di lingkungan
pembentukannya. Namun demikian, Henmi menyatakan bahwa pada dasarnya
allophane memiliki struktur dasar yang sama dengan imogolite. Yang
membedakan adalah asesoris silika yang terikat pada bagian lubang allophane
(Henmi dan Wada, 1976).
Disamping memiliki bentuk yang sangat unik yaitu berbentuk seperti bola,
allophane merupakan mineral liat yang sempurna sebagai satu unit partikel.
Dengan demikian telah dibuktikan bahwa allophane merupakan sebuah unit
partikel dengan posisi atom-atom penyusun yang telah diketahui dengan jelas.
Oleh karena itu, maka dilakukan pendefinisian baru pada nama allophane sebagai
mineral liat yaitu nano-ball allophane (Abidin, 2003). Penemuan ini adalah yang
pertama kali di dunia dan struktur kimia nano-ball allophone ini masih terus
divalidasi. Abidin et al. (2007) menyatakan perbedaan dalam mekanisme
pembentukan imogolit dan alofan pada metode eksperimental dan teoritis. Dengan
9
asumsi bahwa ion logam alkali dan alkali tanah lebih terkonsentrasi di bagian
dalam batu apung daripada di bagian luar, pembentukan imogolit lebih mudah di
bagian luar batu apung dan pembentukan alofan lebih mudah di bagian dalam batu
apung. Penambahan ion logam alkali dan alkali tanah menghambat pembentukan
imogolit dan memfasilitasi pembentukan alofan. Ion-ion logam mempengaruhi
disosiasi dari kelompok silanol asam orthosilik. Disosiasi atau non-disosiasi asam
orthosilik menyebabkan perbedaan formasi imogolit dan alofan (Abidin, Matsue,
dan Henmi, 2009).
Berdasarkan hasil kajian eksperimental, nano-ball allophane memiliki
sifat permukaan yang khas yaitu muatan yang bervariasi (variable charge)
berdasarkan nilai pH kondisinya. Hal ini dikarenakan pada struktur allophane
terdapat gugus silanol dan gugus aluminol (Elsheik et al., 2008). Pada pH tinggi
(6-10), nano-ball allophane memiliki muatan negatif yang berasal dari
deprotonisasi gugus silanol sehingga kation dan logam berat mudah terikat,
sedangkan pada pH rendah (4-6), nano-ball allophane memiliki muatan positif
dari protonasi pada gugus aluminol sehingga anion dan ligan mudah terikat.
Abidin et al. (2008) menunjukkan sifat permukaan nano-ball allophane dengan
simulasi perhitungan kimia yang menunjukkan adanya perpindahan atom H pada
struktur kimianya. Simulasi pada pH netral menunjukkan atom H yang terikat
pada gugus silanol dan gugus aluminol dari nano-ball allophane mudah
mengalami
perpindahan
antar
kedua
gugus
tersebut.
Ketika
kondisi
kesetimbangan ini diganggu dengan mengubah nilai pH sistem, maka atom H
yang terikat pada gugus silanol atau gugus aluminol menjadi tidak stabil dan
mudah terdeprotonasi atau terprotonisasi.
Andisol
Andisol merupakan tanah yang berkembang dari bahan volkanik, yaitu abu
volkan, batuan basaltik, batuan andesitik, serta horizon-horison tanahnya yang
memenuhi persyaratan sifat andik sesuai dengan “Taksonomi Tanah”.
Nama
internasionalnya secara umum yaitu Andosol (FAO, Peta Tanah Dunia), Andisol
(Taksonomi Tanah, USDA), Andosol dan Vitrisol (Prancis) dan tanah abu
vulkanik (FAO, 2008).
10
Nama Ando, yang biasanya dikaitkan dengan tanah abu vulkanik,
diperkenalkan pada tahun 1974 oleh para ahli tanah Amerika Serikat untuk tanahtanah di Jepang yang terbentuk dari abu vulkanik dan memiliki horizon
permukaan gelap (Simonson, 1979 dalam Leamy et al., 1980). Istilah Ando
diambil dari bahasa Jepang, Anshokudo, dimana an berarti gelap, shoku berarti
berwarna, dan do berarti tanah (Leamy et al., 1980).
Andisol memiliki bobot isi yang rendah, kandungan bahan organik,
kapasitas menahan air, porositas, dan kapasitas fiksasi fosfat yang tinggi,
mengalami dehidrasi tak balik saat dikeringkan (Tan, 1998), afinitas yang tinggi
terhadap bahan organik, dan muatannya bersifat bergantung pH. Andisol dicirikan
oleh adanya salah satu dari horizon vitrik atau horizon andik. Horison andik
banyak mengandung alofan (dan mineral serupa) atau kompleks Al-humus,
sedangkan horison vitrik banyak mengandung gelas volkan (FAO, 2008).
Tuf Volkan
Gunung api yang sedang meletus melontarkan bahan hamburan dari dalam
bumi ke permukaan. Dengan demikian endapan yang dihasilkan selalu bertekstur
klastika. Apabila bahan hamburan itu dihasilkan oleh letusan non-magmatik maka
endapannya disebut endapan hidroklastika. Bahan hamburan yang langsung
berasal dari magma (primary magnetic materials) disebut piroklas (Fischer dan
Schmincke, 1984); onggokan piroklas disebut endapan piroklastika (pyroclastic
deposits) dan setelah mengalami litifikasi menjadi batuan piroklastika (pyroclastic
rocks). Istilah pyroclast berasal dari kata pyro (bahasa Yunani) yang berarti api
dan clast yang berarti bahan hamburan, butiran, fragmen, kepingan atau pecahan.
Oleh sebab itu piroklas adalah fragmen pijar atau butiran yang mengeluarkan api
(berpendar/membara) pada saat
dilontarkan dari dalam bumi ke permukaan
melalui kawah gunung api. Terbentuknya api tersebut dikarenakan magma yang
mempunyai temperatur tinggi (900-1200oC) tiba-tiba dilontarkan ke permukaan
bumi dimana temperatur rata-ratanya kurang dari 35oC.
Berdasarkan ukuran butirnya piroklastika dan hidrioklastika dibagi
menjadi abu volkanik yang berukuran ≤2 mm, lapili yang memiliki diameter 2–64
11
mm, dan bom volkanik atau blok volkanik yang berukuran diameter ≥64 mm. Abu
volkanik apabila sudah membatu menjadi tuf (Bronto, 2001).
Penyebaran bahan abu volkan ditentukan oleh ukuran butirnya. Tuf volkan
hasil erupsi dari berbagai gunung api menunjukkan sifat yang beragam. Di
Indonesia, abu volkan ditemukan berupa riolitik, dasitik, andesitik, basaltik dan
ultra-basaltik. Di Jawa Barat, Gunung Salak menghasilkan lahar basalto-andesitik.
Gunung Salak
Menurut Tan (1964), bahan induk tanah-tanah di Pulau Jawa dari arah
Timur ke Barat berubah dari tipe basa ke masam. Lebih lanjut, Whitford (1975
dalam van Ranst et al., 2004) juga menyatakan bahwa bahan induk tanah di Pulau
Jawa berevolusi menjadi bertipe semakin masam dari arah timur ke barat. Secara
lebih spesifik, hasil penelitian van Ranst et al. (2004) menunjukkan bahwa bahan
induk tanah-tanah yang berkembang dari abu volkan di Jawa Timur bersifat basa
(calc-alkaline basaltic ash), sedangkan ke arah barat bersifat lebih masam, yaitu
tipe basalt-andesitic ash (Jawa Tengah) dan andesitic-tuffaceous ash (Jawa
Barat). Hal ini menunjukkan bahwa kondisi iklim (suhu dan curah hujan) dan
lingkungan pencucian yang semakin hebat ke arah Jawa Barat lebih mendukung
pembentukan dan perkembangan mineral-mineral aluminosilikat sebagai hasil dari
proses pelapukan bahan induk abu volkan. Di antara mineral liat yang terbentuk
tersebut adalah Alofan dan Imogolit (Abidin, 2003 dalam Sugiarti et al., 2010).
Mineral fraksi pasir pada tuf volkan di sekitar Bogor mengandung
mineral-mineral magnetit, kuarsa keruh, konkresi besi, hidrargilit, benda hancuran
lain berupa lapukan, plagioklas intermedier (andesin), gelas volkan dan hiperstein,
sedangkan pada fraksi beratnya dijumpai mineral magnetit, amfibol hijau, augit
dan hiperstein (Kholik, 1984). Susunan mineral fraksi pasir ini menunjukkan
bahwa tuf volkan tersebut bersusunan andesitik.
Dari sampel tuv volkan TV-3 dari G. Salak, Bogor (Sherlie, 2010) dapat
diekstraksi fraksi nano positif dengan kadar lebih tinggi daripada dari tuf volkan
G. Talagabodas, Garut (Nursyirwan, 2010) dan G. Lawu, Karanganyar (Setiawan,
2010).
12
Teknologi dan Material Nano
Pertama kali konsep nanoteknologi diperkenalkan oleh Richard Feynman
pada sebuah pidato ilmiah yang diselenggarakan oleh American Physical Society
di Caltech (California Institute of Technology), 29 Desember 1959, dengan judul
“There’s Plenty of Room at the Bottom”. Richard Feynman adalah seorang ahli
fisika dan pada tahun 1965 memenangkan hadiah Nobel dalam bidang fisika.
Istilah nanoteknologi pertama kali diresmikan oleh Profesor Norio Taniguchi dari
Tokyo Science University tahun 1974 dalam makalahnya yang berjudul “On the
Basic Concept of ‘Nano-Technology’”.
Pada tahun 1980an definisi Nanoteknologi dieksplorasi lebih jauh lagi oleh
Dr. Eric Drexler melalui bukunya yang berjudul “Engines of Creation: The
coming Era of Nanotechnology”. Teknologi-Nano adalah pembuatan dan
penggunaan materi atau devais pada (divice) ukuran sangat kecil. Materi atau
devais ini berada pada ranah 1 hingga 100 nanometer (nm). Satu nm sama dengan
satu per-milyar meter (0.000000001 m), yang berarti 50.000 lebih kecil dari
ukuran rambut manusia. Saintis menyebut ukuran pada ranah 1 hingga 100 nm ini
sebagai skala nano (nanoscale), dan material yang berada pada ranah ini disebut
sebagai kristal-nano (nanocrystals) atau material-nano (nanomaterials). Skala
nano terbilang unik karena tidak ada struktur padat yang dapat diperkecil. Hal
unik lainnya adalah bahwa mekanisme dunia biologis dan fisis berlangsung pada
skala 0.1 hingga 100 nm. Pada dimensi ini material menunjukkan sifat fisis yang
berbeda, sehingga saintis berharap akan menemukan efek yang baru pada skala
nano dan memberi terobosan bagi teknologi.
Nanomaterial seperti nanoclays banyak terdapat di alam. Nanomaterial
didefinisikan berdasarkan standar ukuran suatu materi, baik yang tersusun dari
unsur organik maupun inorganik, pada tingkat satuan nanometer. Nanomaterial
didefinisikan memiliki dimensi <100 nm. Penelitian pada nanomaterial sangat
menarik karena dengan ukuran yang sudah mendekati ukuran suatu atom, maka
sifat permukaan dan reaktivitas serta efisiensi dan efektivitas reaksi kimia yang
melibatkan suatu nanomaterial dapat dikaji lebih rinci dan lebih mendalam
(Sugiarti et al., 2010).
13
Metode Ekstraksi
Untuk memisahkan fraksi nano dan liat dari sampel tuf volkan dilakukan
ekstraksi. Henmi dan Wada (1976) melakukan ekstraksi sampel dengan
menggunakan H2O2 untuk menghilangkan bahan organik, kemudian didispersikan
pada pH 4 (HCl) atau pH 10 (NaOH) dengan perlakukan gelombang sonik (20
kHz). Pertama, liat (<2 µm) dikumpulkan dengan cara sedimentasi, diikuti dengan
flokulasi menggunakan NaCl. Aliquot dari suspensi liat ini dicuci dengan dialysis
dalam aquadest (Parfitt et al., 1977 dalam Parfitt dan Henmi, 1980) sampai liat
terdispersi kembali, kemudian liat halus (<0.2 µm) dan liat kasar (0.2 hingga 2
µm) dikumpulkan dengan cara sentrifugasi. Suspensi liat ini selanjutnya
digunakan untuk analisis baik dalam bentuk sebagai suspensi atau setelah
dikering-bekukan. Ghoneim et al. (2007) juga memakai metode yang sama tetapi
pada pemisahan fraksi dilakukan menggunakan ultrasonik pada frekuensi 28 kHz.
Calabi et al. (2010) melakukan ekstraksi dengan menggunakan 5 g liat
disuspensikan dalam 100 ml 1 M NaCl dan kemudian didispersikan menggunakan
214 J ultrasonik. Suspensi liat selanjutnya disentrifugasi pada 3000 rpm selama 40
menit. Pelet yang terbentuk dikumpulkan dan dicuci sembilan kali dengan 50 ml
aquadest (supernatan ini adalah suspensi liat-nano). Sebelum setiap kali
pencucian, suspensi liat-nano diaduk selama 40 menit. Suspensi liat-nano
selanjutnya didialisis (dengan ukuran membran 1000 kDa) dalam aquadest sampai
mencapai nilai konduktivitas 0.8-0.5 NS, dan terakhir divakum secara lyofilik.
Metode Jerapan Fosfat
Penetapan jerapan fosfat dilakukan dengan menggunakan metode
isothermal Langmuir. Contoh tanah ditimbang 3 g dan dimasukkan ke dalam
tabung plastik, kemudian diekuilibrasi selama 6 hari dalam 30 ml 0.011 M CaCl2
yang
mengandung
sederet
konsentrasi
Ca(H2PO4)2.
Dua
tetes
toluene
ditambahkan per sample. Selama ekuilibrasi tabung dikocok mendatar
menggunakan mesin pengocok dua kali sehari selama 30 menit. Setelah
sentrifugasi dengan kecepatan supertinggi, kadar P dalam supernatan diukur.
Fosfor yang hilang dari larutan dianggap telah dierap (Fox dan Kamprath, 1970).
14
Parfitt
dan
Henmi
(1980)
menentukan
jerapan
fosfat
dengan
mengekuilibrasikan sebagian suspensi yang mengandung 10-25 mg sampel
dengan sejumlah Ca(H2PO4)2 yang diperlukan dan ditambah 20 cc larutan CaCl2
dan aquadest sehingga terbentuk larutan dengan kadar 0.01 M P terhadap CaCl2.
Tabung dikocok selama 16 jam, disentrifugasi, dan P dalam larutan supernatan
diukur secara colorimetry.
Yuan dan Wu (2007) menentukan jerapan P secara duplo menggunakan
metode batch equilibrium. Singkatnya, 30 ml larutan yang mengandung 200-700
mg P/L (dibuat dari KH2PO4) dan 1 mM CaCl2 sebagai background elektrolit
ditambahkan ke serangkaian tabung sentrifusi berisi 0.0500 g liat-nano alofan.
Tabung-tabung yang telah ditutup rapat tersebut dikocok selama 24 jam pada 20
o
C dan kemudian disentrifugasi selama 12 menit pada 5000 rpm. Kadar P dalam
larutan supernatan diukur secara colorimetry menggunakan instrumen Lachart.
Fosfor yang terjerap dihitung dari perbedaan antara jumlah P awal yang
ditambahkan ke liat-nano alofan dan yang terukur pada kondisi kesetimbangan.
Pada penelitian Sherlie dan Nursyirwan (2010), jerapan fosfat ditentukan
menggunakan metode isothermal Langmuir. Pada 10 ml sampel suspensi yang
ditambahkan 1 ml 1 mM CaCl2 dan mengandung sederet konsentrasi P
diekuilibrasi selama tiga hari dan dilakukan pengocokan dua kali sehari dengan
menggunakan magnetic stirrer, kemudian P diukur menggunakan metode Murphy
dan Riley.
Download