BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) adalah salah satu produk samping dari pabrik minyak kelapa sawit yang berasal dari kondensat dari proses sterilisasi, air dari proses klarifikasi, air hydrocyclone (claybath), dan air pencucian pabrik. LCPKS mengandung berbagai senyawa terlarut termasuk, serat-serat pendek, hemiselulosa dan turunannya, protein, asam organik bebas dan campuran mineral-mineral. Tabel 2.1 menyajikan sifat dan komponen LCPKS secara umum. Tabel 2.1. Sifat dan Komponen LCPKS Parameter pH Minyak BOD COD Total Solid Suspended Solid Total Volatile Solid Total Nitrogen Rata-rata 4,7 4000 25000 50000 40500 18000 34000 750 Mineral Kalium Magnesium Kalsium Besi Tembaga Rata-rata 2270 615 439 46,5 0,89 Semua dalam mg/l, kecuali pH (Ngan, 2000). Limbah cair dari pabrik minyak kelapa sawit ini umumnya bersuhu tinggi 7080oC, berwarna kecoklatan, mengandung padatan terlarut dan tersuspensi berupa Universitas Sumatera Utara koloid dan residu minyak dengan BOD (biological oxygen demand) dan COD (chemical oxygen demand) yang tinggi. Apabila limbah cair ini langsung dibuang ke perairan dapat mencemari lingkungan. Jika limbah tersebut langsung dibuang ke perairan, maka sebagian akan mengendap, terurai secara perlahan, mengkonsumsi oksigen terlarut, menimbulkan kekeruhan, mengeluarkan bau yang tajam dan dapat merusak ekosistem perairan. Sebelum limbah cair ini dapat dibuang ke lingkungan terlebih dahulu harus diolah agar sesuai dengan baku mutu limbah yang telah di tetapkan. Tabel 2.2. berikut ini adalah baku mutu untuk limbah cair industri minyak kelapa sawit berdasarkan Keputusam Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 1995. Tabel 2.2. Baku Mutu Limbah Cair Industri Minyak Kelapa Sawit Parameter BOD 5 COD TSS Minyak dan lemak Nitrogen total (sebagai N) Nikel (Ni) Kobal (Co) pH Debit limbah maksimum Kadar Maksimum Beban Pencemaran (mg/l) Maksimum (Kg/ton) 100 0,25 350 0,88 250 0,63 25 0,063 50,0 0,125 0,5 mg/l 0,6 mg/ L 6,0 – 9,0 2,5 m3 per ton produk minyak sawit (CPO) (Kep Men LH No.51, 1995) Limbah cair kelapa sawit merupakan nutrien yang kaya akan senyawa organik dan karbon, dekomposisi dari senyawa-senyawa organik oleh bakteri anaerob dapat menghasilkan biogas (Deublein dan Steinhauster, 2008). Jika gas-gas tersebut tidak dikelola dan dibiarkan lepas ke udara bebas maka dapat menjadi salah satu penyebab pemanasan global karena gas metan dan karbon dioksida yang dilepaskan Universitas Sumatera Utara adalah termasuk gas rumah kaca yang disebut-sebut sebagai sumber pemanasan global saat ini. Emisi gas metan 21 kali lebih berbahaya dari CO 2 dan metan merupakan salah satu penyumbang gas rumah kaca terbesar (Sumirat dan Solehudin, 2009). 2.2. Pengolahan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Pengolahan limbah cair pabrik kelapa sawit yang umum dilakukan adalah dengan menggunakan unit pengumpul (fat pit) yang kemudian dialirkan ke deoiling ponds (kolam pengutipan minyak) untuk diambil kembali minyaknya serta menurunkan suhunya, kemudian dialirkan ke kolam anaerobik atau aerobik dengan memanfaatkan mikroba sebagai perombak BOD dan menetralisir keasaman limbah. Teknik pengolahan ini dilakukan karena cukup sederhana dan dianggap murah. Namun teknik ini dirasakan tidak efektif karena memerlukan lahan pengolahan limbah yang luas dan selain itu emisi metan yang dihasilkan dari kolam-kolam tersebut merupakan masalah yang saat ini harus ditangani. Saat ini telah banyak dikembangkan penelitian dalam pengolahan LCPKS, seperti yang dikembangkan oleh Pusat Penelitian Kelapa Sawit dengan menggunakan reaktor anaerobik unggun tetap (RANUT). Prosesnya diawali dengan pemisahan lumpur atau padatan yang tersuspensi, kemudian limbah cair dipompakan ke dalam reaktor anaerobik untuk perombakan bahan organik menjadi biogas. Kemudian untuk memenuhi baku mutu lingkungan, limbah diolah lebih lanjut secara aerobik (activated sludge system) hingga memenuhi baku mutu lingkungan untuk dibuang ke Universitas Sumatera Utara sungai (Departemen Pertanian, 2006). Selain itu ada juga pengolahan LCPKS yang dikembangkan oleh Novaviro Tech Sdn Bhd, prosesnya adalah dengan mengendapkan limbah cair pada kolam pengendapan selama 2 hari lalu dimasukkan ke dalam tangki anaerobik berpengaduk untuk diolah dengan waktu retensi 18 hari (Novaviro, 2008). Proses anaerobik merupakan proses yang dapat terjadi secara alami yang melibatkan beberapa jenis mikroorganisme yang berperan dalam proses tersebut. Proses yang terjadi pada pengolahan secara anaerobik ini adalah hidrolisis, asidogenik dan metanogenesis. Beberapa jenis bakteri bersama-sama secara bertahap mendegradasi bahan-bahan organik dari limbah cair (Deublein dan Steinhauster, 2008). Pada pengolahan secara anaerobik ini bakteri yang berperan adalah bakteri fermentasi, bakteri asetogenik dan bakteri metanogenik yang memiliki peranan masing-masing dalam mendegradasi senyawa organik menjadi produk akhir berupa gas metan. Tiap fase dari proses fermentasi metan melibatkan mikroorganisme yang spesifik dan memerlukan kondisi hidup yang berbeda-beda. Bakteri pembentuk gas metan merupakan bakteri yang tidak memerlukan oksigen bebas dalam metabolismenya, bahkan adanya oksigen bebas dapat menjadi racun atau mempengaruhi metabolisme bakteri tersebut (Deublein dan Steinhauster, 2008). Universitas Sumatera Utara 2.3.Proses Pengolahan Limbah Secara Anaerobik Proses anerobik melibatkan penguraian senyawa organik dan anorganik oleh mikroorganisme tanpa adanya molekul oksigen bebas. Tahapan yang terjadi dalam proses perombakan senyawa organik menjadi gas metan ditunjukkan pada Gambar 2.1. Senyawa Organik Karbohidrat Hidrolisis 1 Lemak 1 1 Gula Asidogenesis Protein 1 Asam Amino As. Lemak Volatile Fatty Acids Etanol alkohol 1 Asetogenesis 2 3 CH3COO- 4 5 Metanogenesis CO2/ H2 CH4 (Jiang, 2006) 1. 2. 3. 4. 5. Bakteri Fermentasi Bakteri Asetogenik penghasil hidrogen Bakteri Asetogenik pengguna hidrogen Bakteri Metanogenik pereduksi karbon dioksida Bakteri Metanogenik asetoclastic Gambar 2.1. Konversi Bahan Organik Menjadi Metan Secara Anaerobik Universitas Sumatera Utara 2.3.1. Hidrolisis Hidrolisis merupakan langkah pertama pada proses anaerobik, di mana bahan organik yang kompleks (polimer) terdekomposisi menjadi unit yang lebih kecil (mono-dan oligomer). Selama proses hidrolisis, polimer seperti karbohidrat, lipid, asam nukleat dan protein diubah menjadi glukosa, gliserol, purin dan piridine. Mikroorganisme hidrolitik mengeskresi enzim hidrolitik, mengkonversi biopolimer menjadi senyawa sederhana dan mudah larut seperti yang ditunjukkan di bawah ini: Lipid Lipase Polisakarida Protein asam lemak, gliserol selulase,selubinase,xylanase,amilase protease (2.1) monosakarida asam amino (2.2) (2.3) Senyawa tidak larut, seperti selulosa, protein, dan lemak dipecah menjadi senyawa monomer (partikel yang larut dalam air) oleh exo-enzime (enzim ekstraselular) secara fakultatif oleh bakteri anaerob. Seperti yang ditunjukkan pada persamaan 2.1 di mana lipid diurai oleh enzim lipase membentuk asam lemak dan gliserol sedangkan poliskarida diurai menjadi monosakarida seperti pada persamaan 2.2. Dan protein diurai oleh protease membentuk asam amino. Produk yang dihasilkan dari hidrolisis diuraikan lagi oleh mikroorganisme yang ada dan digunakan untuk proses metabolisme mereka sendiri (Seadi et al, 2008). Universitas Sumatera Utara Hidrolisis karbohidrat dapat terjadi dalam beberapa jam sedangkan hidrolisis protein dan lipid terjadi dalam beberapa hari. Sedangkan lignoselulosa dan lignin terdegradasi secara perlahan-lahan dan tidak sempurna. Mikroorganisme anaerob fakultatif mengambil oksigen terlarut yang terdapat dalam air sehingga untuk mikroorganisme anaerobik diperlukan potensial redoks yang rendah. Solubilisasi melibatkan proses hidrolisis di mana senyawa-senyawa organik kompleks dihidrolisis menjadi monomer-monomer. Sebagai contoh, polisakarida diubah menjadi monosakarida. Protein dibagi menjadi peptida dan asam amino. Lemak dihidrolisis menjadi asam-asam lemak gliserol (Deublein dan Steinhauster, 2008). 2.3.2. Asidogenesis Selama proses asidogenesis, produk yang dihasilkan dari proses hidrolisis akan dikonversi oleh bakteri acidogenic (fermentasi) menjadi substrat bagi bakteri methanogenic. Gula sederhana, asam amino dan asam lemak terdegradasi menjadi asetat, karbon dioksida dan hidrogen (70%) juga menjadi asam lemak volatil (VFA) dan alkohol (30%) (Seadi et al, 2008). Asam amino terdegradasi melalui reaksi Stickland oleh Clostridium botulinum yaitu reaksi reduksi oksidasi yang melibatkan dua asam amino pada waktu yang sama, satu sebagai pendonor hidrogen dan yang satu lagi sebagai akseptor. (Deublein dan Steinhauster, 2008). Tabel 2.3. memperlihatkan degradasi senyawa pada tahap asetogenesis Universitas Sumatera Utara Tabel 2.3. Degradasi Asetogenesis Substrat Asam Propionat Reaksi CH 3 (CH 2 )COOH + 2H 2 O - CH 3 COOH + CO 2 + 3H 2 Asam Butirat CH 3 (CH 2 ) 2 COO + 2H 2 O 2CH 3 COO- + H+ + 2H 2 Asam Kapronik CH 3 (CH 2 ) 4 COOH + 4H 2 O 3CH 3 COO- + H+ + 5H 2 Karbon dioksida/ 2 CO 2 + 4H 2 CH 3 COO- + H+ + 2H 2 O hidrogen Gliserin C3H8O3 + H2O - Asam Laktat CH 3 CHOHCOO + 2H 2 O Etanol CH 3 (CH 2 )OH + H 2 O CH 3 COOH + 3H 2 + CO 2 CH 3 COO- + HCO 3 - + H+ + 2H 2 CH 3 COOH + 2H 2 (Deublein dan Steinhauster, 2008) Produk akhir dari aktivitas metabolisme bakteri ini tergantung dari substrat awalnya dan pada kondisi lingkungannya. Bakteri yang terlibat dalam asidifikasi ini merupakan bakteri yang bersifat anaerobik dan merupakan penghasil asam yang dapat tumbuh pada kondisi asam. Bakteri penghasil asam menciptakan suatu kondisi anaerobik yang penting bagi mikroorganisme penghasil metan (Deublein dan Steinhauster, 2008). 2.3.3. Asetogenesis Produk dari proses asidogenesis yang tidak dapat langsung diubah menjadi metan oleh bakteri methanogenic, akan dikonversi menjadi substrat bagi methanogenic pada proses asetogenesis. VFA yang memiliki rantai karbon lebih dari dua dan alkohol yang rantai karbonnya lebih dari satu akan teroksidasi menjadi asetat Universitas Sumatera Utara dan hidrogen. Pada fase metanogenesis, hidrogen akan dikonversi menjadi metan (Seadi et al, 2008). Bakteri asetogenic adalah penghasil H 2 . Pembentukan asetat melalui oksidasi asam lemak rantai panjang (seperti asam propionat atau butirat) akan berjalan sendiri dan hanya mungkin terjadi dengan tekanan hidrogen parsial yang sangat rendah. Bakteri asetogenic bisa mendapatkan energi yang diperlukan untuk kelangsungan hidup dan untuk pertumbuhan hanya pada konsentrasi H 2 yang sangat rendah. Mikroorganisme asetogenic dan methanogenic hidup dalam simbiosis yang saling memerlukan. Organisme methanogenic dapat bertahan hidup dengan tekanan hidrogen parsial yang lebih tinggi. Maka harus terus-menerus mengeluarkan produkproduk dari metabolisme bakteri acetogenic dari substrat untuk menjaga tekanan parsial hidrogen pada tingkat yang rendah sehingga cocok untuk bakteri acetogenic (Deublein dan Steinhauster, 2008). 2.3.4. Metanogenesis Produksi metan dan karbon dioksida dilakukan oleh bakteri methanogenic. Sebanyak 70% dari metan yang terbentuk berasal dari asetat, sedangkan sisanya 30% dihasilkan dari konversi hidrogen (H) dan karbon dioksida (CO 2 ), menurut persamaan berikut: Asam asetat bakteri methanogenic Hidrogen + karbon dioksida metan + karbon dioksida bakteri methanogenic (2.4) metan + air (2.5) Universitas Sumatera Utara Metanogenesis merupakan langkah penting dalam proses pengolahan anaerobik secara keseluruhan, karena proses ini adalah yang paling lambat pada proses reaksi biokimia. Metanogenesis sangat dipengaruhi oleh kondisi operasi. Komposisi bahan baku, laju pengumpanan, suhu, dan pH adalah faktor yang mempengaruhi proses metanogenesis. Overloading pada digester, perubahan suhu atau masuknya oksigen dalam jumlah besar dapat mengakibatkan penghentian produksi metan (Seadi et al, 2008). Jalur untuk pembentukan metan dari asetat dan/ atau CO 2 oleh mikroorganisme dapat dilihat pada Gambar 2.2. Rantai hidrokarbon panjang terlibat dalam proses ini seperti methanofuran (misalnya R – C 24 H 26 N 4 O 8 ) dan H 4 TMP (tetrahydromethanopterin) sebagai Co-faktor. Corrinoids adalah molekul yang memiliki empat cincin pirol dalam cincin yang besar dengan rumus empiris C 19 H 22 N 4 . Ketika pembentukan metan bekerja, fase asetogenesis juga bekerja tanpa masalah. Masalah dapat terjadi ketika bakteri asetogenic hidup bersimbiosis bukan dengan spesies methanogenic tetapi dengan organisme lain dan menggunakan H 2 . Dalam teknologi pengolahan air limbah, simbiosis dapat terjadi dengan mikroorganisme pengurai sulfat menjadi hidrogen sulfide. Sehingga kadang terjadi persaingan dalam penggunaan hidrogen. Terdapat dua kelompok organisme metanogenik yang terlibat dalam pembentukan metan. Kelompok pertama merupakan aceticlastic methanogens yang memecah asetat menjadi metan dan karbon dioksida. Kelompok kedua antara lain Universitas Sumatera Utara Methanobacterium yang menggunakan hidrogen dan karbon dioksida untuk membentuk metan (Deublein dan Steinhauster dan Steinhauster, 2008). (CoA = Koenzim A, CoM = Koenzim M) (Jiang, 2006) Gambar 2.2. Pembentukan Metan Dari Asetat dan Dari Karbon Dioksida Metanogen dan asidogen membentuk suatu hubungan yang saling menguntungkan di mana metanogen mengubah hasil dari proses asidogen seperti hidrogen, asam format dan asetat menjadi metan dan karbon dioksida. Mikroorganisme yang membentuk metan diklasifikasikan sebagai archaea yang bekerja tanpa adanya oksigen. Mikroorganisme non metanogenik yang berperan dalam hidrolisis dan fermentasi merupakan bakteri fakultatif (Deublein dan Steinhauster, 2008). Pengolahan secara anaerobik dalam reaktor dapat diaplikasikan untuk mengolah limbah cair dalam jumlah yang besar karena menggunakan reaktor Universitas Sumatera Utara tertutup dan waktu tinggal cairan limbah saat ini bisa lebih singkat dengan menggunakan sistem termofilik, maka kebutuhan lahan yang luas untuk mengolah limbah cair dapat dikurangi. Selain itu pengolahan limbah cair secara anaerobik juga dapat memberikan sumber energi berupa gas metan yang merupakan produk akhir dari proses anaerobik ini. Gas metan yang dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan bakar yang relatif terhadap ramah lingkungan. Pengolahan anaerobik untuk menghasilkan biogas ini sangat bermanfaat dalam mengurangi limbah biomassa organik namun tahap awal pembangunan reaktornya membutuhkan biaya yang lebih besar jika dibandingkan dengan pengolahan secara aerobik. Beberapa kelebihan dan kekurangan proses anaerobik ditunjukkan pada tabel 2.4. Tabel 2. 4. Keuntungan Dan Kerugian Fermentasi Anaerobik Keuntungan Kerugian - Energi yang dibutuhkan sedikit - Biaya konstruksi yang mahal - Produk samping yang dihasilkan sedikit - Membutuhkan penambahan senyawa alkalinity - Menghasilkan senyawa methana yang merupakan sumber energi yang potensial - Sangat sensitif terhadap perubahan temperatur - Baik untuk operasi skala besar karena menggunakan reaktor - Menghasilkan senyawa yang - Sludge hasil buangannya dapat beracun seperti H 2 S digunakan sebagai pupuk - Penyimpanan pupuknya sulit (Metcalf & Eddy, 2003) Universitas Sumatera Utara Pengolahan secara anerobik adalah metode yang paling sesuai untuk mengolah buangan industri yang mengandung karbon atau senyawa organik yang tinggi (Bocher dan Angler, 2008). Pengolahan LCPKS dengan menggunakan reaktor anaerobik dilakukan dengan mensubtitusi proses yang terjadi di kolam anaerobik pada sistem konvensional kedalam tangki digester. Selain menghasilkan biogas, pengolahan limbah cair dengan proses anaerobik dapat dilakukan pada lahan yang sempit dan memberi keuntungan berupa penurunan jumlah padatan organik, jumlah mikroba pembusuk yang tidak diinginkan, serta kandungan racun dalam limbah (Speece, 1996). Disamping itu buangan dari proses fermentasi anaerobik dapat menjadi pupuk yang baik karena kandungan nitrogennya yang tinggi (Weiland. 2010). 2.4. Biogas Biogas merupakan produk akhir dari degradasi anaerobik bahan organik oleh bakteri-bakteri anaerobik dalam lingkungan dengan sedikit oksigen. Komponen terbesar yang terkandung dalam biogas adalah methana 55 – 70 % dan karbon dioksida 30 – 45 % serta sejumlah kecil, nitrogen dan hidrogen sulfida (Deublein dan Steinhauster, 2008). Tapi metan (CH 4 ) yang dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Apabila kandungan metan dalam biogs lebih dari 50% maka biogas tersebut telah layak digunakan sebagai bahan bakar. Tabel 2.5 menunjukan komposisi biogas secara umum. Universitas Sumatera Utara Tabel 2.5. Komposisi Biogas Secara Umum Komposisi Biogas Jumlah Metan (CH 4 ) 55 – 70 % Karbon dioksida (CO 2 ) 30 – 45 % Nitrogen (N 2 ) 0 – 0,3 % Hidrogen Sulfida (H 2 S) 1–5% (Deublein dan Steinhauster, 2008) Kandungan yang terdapat dalam biogas dapat memperngaruhi sifat dan kualitas biogas sebagai bahan bakar. Kandungan yang terdapat dalam biogas merupakan hasil dari proses metabolisme milroorganisme. Biogas yang kandungan metannya lebih dari 45% bersifat mudah terbakar dan merupakan bahan bakar yang cukup baik karena memiliki nilai kalor bakar yang tinggi. Tetapi jika kandungan CO 2 dalam biogas sebesar 25 – 50 % maka dapat mengurangi nilai kalor bakar dari biogas tersebut. Sedangkan kandungan H 2 S dalam biogas dapat menyebabkan korosi pada peralatan dan perpipaan dan nitrogen dalam biogas juga dapat mengurangi nilai kalor bakar biogas tersebut. Sealin itu juga terdapat uap air yang juga dapat menyebabkan kerusakan pada pembangkit yang digunakan. (Deublein dan Steinhauster, 2008). Tabel 2.6 menunjukkan beberapa komponen dalam biogas yang dapat mempengaruhi sifat biogas itu sendiri. Universitas Sumatera Utara Tabel 2.6. Komponen Pengganggu Dalam Biogas Komponen CO 2 Jumlah Pengaruh Terhadap Biogas 25 – 50 % per - Menurunkan nilai kalor bakar volume Meningkatkan methane number Menyebabkan korosi Menyebabkan kerusakan pada sel bahan bakar alkali H2S 0 – 0,5 % per - Menyebabkan korosif pada peralatan dan sistem volume perpipaan Menyebabkan emisi SO 2 bila dibakar NH 3 0 – 0,05 per - volume Merusak katalis yang digunakan pada reaksi Menyebabkan emisi NO 2 setelah pembakaran Dapat merusak sel bahan bakar Uap Air 1 – 5% per - volume Menyebabkan korosif pada peralatan Kondensatnya dapat menyebabkan kerusakan pada peralatan dan pembangkit Terdapat resiko pembekuan pada sistem perpipaan N2 0 – 5% per - volume Siloxane Menurunkan nilai kalor bakar Meningkatkan sifat anti-knocking pada mesin 3 0 – 50 mg/ m - Menyebabkan kerusakan pada mesin (Deublein dan Steinhauster, 2008) 2.5. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Biogas Untuk mendapatkan produksi biogas yang optimum, perlu diperhatikan beberapa faktor dan kondisi yang dapat mempengaruhi perkembangan mikroorganisme di dalam fermentor. Beberapa faktor yang harus diperhatikan dan dijaga agar proses produksi biogas berjalan dengan stabil adalah sebagai berikut: Universitas Sumatera Utara a. pH Nilai pH merupakan ukuran dari keasaman/ kebasaan suatu larutan (campuran dari substrat) dan dinyatakan dalam bagian per juta (ppm). Nilai pH dari substrat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme methanogenic dan mempengaruhi disosiasi beberapa senyawa penting untuk proses anaerobik. Pembentukan metan terjadi pada interval pH yang relatif sempit, dari sekitar 5,5 sampai 8,5, dengan interval optimal antara 7,0 - 8,0 untuk bakteri metanogen pada umumnya. Interval pH optimum untuk proses mesofilik adalah antara 6,5 dan 8,0 dan proses ini akan terhambat jika nilai pH menurun hingga di bawah 6,0 atau naik di atas 8,3. Nilai pH dalam reaktor anaerobik umumnya dikendalikan oleh sistem buffer bikarbonat. Oleh karena itu, nilai pH di dalam digester tergantung pada konsentrasi komponen alkali dan asam dalam fase cair. Jika akumulasi basa atau asam terjadi, kapasitas buffer akan menetralkan perubahan pH, sampai tingkat tertentu (Seadi et al, 2008). b. Temperatur Proses anaerobik dapat berlangsung pada temperatur yang berbeda, rentang suhunya dapat dibagi menjadi tiga: psichrofilik (di bawah 25oC), mesofilik (25oC – 45oC), dan termofilik (45oC – 70o C). Stabilitas suhu sangat menentukan pada proses anaerobik. Banyak industri biogas modern beroperasi pada suhu termofilik karena proses termofilik memberikan banyak keuntungan, dibandingkan dengan proses Universitas Sumatera Utara mesofilik dan psichrofilik diantaranya adalah sebagai berikut: • Efektif untuk penghilangan patogen • Tingkat pertumbuhan bakteri methanogenic lebih tinggi pada suhu yang lebih tinggi • Waktu retensi berkurang, membuat proses lebih cepat dan lebih efisien • Degradasi substrat padat menjadi lebih baik sehingga pemanfaatan substrat menjadi lebih baik (Seadi et al, 2008). c. Organic Loading Rate (OLR) OLR adalah jumlah bahan organik yang masuk dan tersedia dalam fermentor. Apabila OLR terlalu rendah maka proses fermentasi akan berjalan lambat sedangkan jika terlalu tinggi maka terjadi overlaod dan substrat yang ada dapat menjadi penghambat pertumbuhan mikroorganisme. (Speece, 1996). d. Total Solid (TS), dan Volatile Solid (VS). Total solid (TS) adalah jumlah padatan yang terdapat dalam substrat baik padatan yang terlarut maupun yang tidak terlarut. Sedangkan volatile solid (VS) adalah padatan-padatan organik yang terdapat dalam substrat. Dari TS dan VS inilah dapat diketahui berapa banyak produksi gas yang akan dihasilkan (U.S Environmental Protection, 2001). Universitas Sumatera Utara e. Makro dan Mikronutrien Mikro-nutrien (trace elements) seperti besi, nikel, kobal, selenium, molibdenum atau tungsten sama pentingnya dengan makro-nutrients seperti karbon, nitrogen, fosfor, dan belerang untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup mikroorganisme anaerobik. Rasio optimal makro-nutrien untuk karbon, nitrogen, fosfor, dan belerang (C: N: P: S) kurang lebih 600:15:5:1. Kurangnya penyediaan nutrisi dan trace elements serta kecepatan fermentasi yang terlalu tinggi dari substrat dapat menghambat dan mengganggu proses anaerobik (Seadi et al, 2008). f. Hydraulic Retention Time (HRT) HRT atau waktu tinggal merupakan waktu rata-rata yang dibutuhkan oleh limbah cair untuk tinggal di dalam fermentor. Nilai HRT merupakan perbandingan antara volume reaktor dengan laju alir umpan yang masuk (Speece 1996). HRT berhubungan dengan volume digester dan volume substrat yang masuk per satuan waktu, meningkatnya organic loading rate akan mengurangi HRT, waktu retensi harus cukup lama untuk memastikan bahwa jumlah mikroorganisme yang keluar bersama dengan efluen tidak lebih tinggi dari jumlah mikroorganisme yang direproduksi. HRT yang singkat memberikan laju aliran substrat yang baik, namun hasil gas yang diperoleh akan lebih rendah. Dengan mengetahui HRT yang ditargetkan, Universitas Sumatera Utara jumlah input substrat dan laju dekomposisi substrat maka dapat dibuat perhitungan untuk volume tangki digesternya (Seadi et al, 2008). 2.6. Trace Metal Sebagai Nutrisi Esensial Pada Mikroorganisme Logam tertentu memainkan peranan penting dalam pertumbuhan dan metabolisme mikroba, tetapi logam-logam tersebut dapat juga menjadi racun bila berada pada konsentrasi yang tinggi. Kebutuhan akan trace metal tersebut tergantung pada kinerjanya dalam enzim sebagai kofaktor tertentu dalam metabolism mikroba. Tabel 2.7. menunjukkan trace metal yang umum dan dibutuhkan pada pertumbuhan methanogenic arcaea. Tabel 2.7. Unsur Yang Berperan Dalam Metabolisme Methanogenic Archaea Enzim Logam Reaksi Methyltransferase Co MeOH + CoM Methyl-CoM Ni CH 3 -CoM + 2 H reductase Formylmethanofuran CH 3 -CoM CH 4 + CoM W,(Se, Fe) Mo,(Se, Fe) CO 2 + MFR CHO-MFR + H 2 O dehydrogenase Carbon Monoxide Ni, Fe CO 2 + 2e- + 2H+ CO + H 2 O dehydrogenase Hydrogenase Fe H2 2e- + 2H+ Fe, Ni, Se (Jiang, 2006) Diantara logam-logam tersebut seperti cobalt, nikel, tungsten dan molybdenum merupakan logam yang berperan penting dalam metabolisme Universitas Sumatera Utara metanogenik dan homoasetogenik. Logam-logam tersebut berperan sebagai co-faktor dalam enzim, misalnya seperti kobal dalam corronoid, nikel dalam F430, hidrogenase dan dehidrogenase karbon monoksida. Kedua logam ini tidak dapat diganti dengan logam lain (Jiang, 2006). Trace metal diperlukan bagi hampir semua mikroorganisme, tetapi ketersediaannya secara alami bagi proses anaerobik tidak mencukupi sehingga perlu dilakukan penambahan agar proses fermentasi dapat berlangsung secara optimum. Kurangnya konsentrasi trace metal dalam proses anaerobik menyebabkan berkurangnya konversi propionate dan senyawa volatile fatty acid (VFA) lainnya menjadi metan sehingga menghambat proses anaerobik karena menumpuknya VFA dalam sistem (Osuna et al, 2003). Metan diproduksi oleh berbagai macam bakteri metanogen yang masing-masing membutuhkan trace metal dan kondisi yang berbeda-beda. Kurangnya konsentrasi salah satu trace metal dalam proses anaerobik dapat menghambat keseluruhan proses. Walaupun trace metal bukan merupakan kebutuhan pokok pada proses anerobik tetapi keberadaannya dapat meningkatkan produksi metan (Speece, 1996). Kebutuhan akan trace metal tersebut tergantung pada kinerja dalam enzim sebagai kofaktor tertentu dalam metabolisme mikroba. Kofaktor 430 dan koenzim-M merupakan senyawa yang dibutuhkan dalam proses pembentukan metana, dan kedua senyawa tersebut perlu asupan trace metal dalam reaksinya. Gambar 2.3 merupakan siklus pembentukan metan yang dikatalisis oleh kofaktor F430 dan koenzim-M. Universitas Sumatera Utara (Jones et al, 1985) Gambar 2.3. Jalur Pembentukan Metan Gambar 2.3 memperlihatkan jalur pembentukan metan di mana metanogen tumbuh pada substrat metanogenik yang berbeda dari jalur metanogenik. Jalurnya berbeda karena memiliki beberapa koenzim yang unik seperti koenzim-M (HS-CoM), faktor F420 dan F430, methanofuran, tetrahydromethanofuran and 7- mercaptoheptanonylthreonine phosphate, yang tidak terdapat pada kelompok mikroorganisme lain. Aktifasi methanol pada jalur ini dilakukan oleh dua corrinoid yang mengandung methyltransferases, menghasilkan methylated coenzyme-M. pembentukan metan dari methyl-CoM dikatalisa oleh methyl CoM reductase, yaitu enzim yang mengandung F430 (Jiang, 2006). Universitas Sumatera Utara 2.7. Berbagai Penelitian Tentang Penggunaan Trace Metal Pada Pengolahan Limbah Secara Anaerobik Pengolahan limbah secara anarobik adalah salah satu metode yang digunakan untuk mengolah limbah organik dan dapat menurunkan nilai COD yang tinggi dari limbah tertentu. Pengolahan limbah secara anorganik ini menghasilkan gas metan sebagai produk akhir reaksi. Proses anarobik dapat berlangsung secara alami di alam, tetapi gas metan yang dihasilkan dari proses ini merupakan salah satu gas rumah kaca yang cukup berbahaya bagi lingkungan. Maka saat ini banyak dilakukan pemanfaatan gas metan dari proses pengolahan limbah secara anarobik. Selain dapat megurangi dampaknya terhadap lingkungan, metan yang diperolah juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi yang cukup ramah lingkungan. Oleh karena itu banyak penelitian yang dilakukan untuk mengoptimumkan pengolahan limbah secara anaorganik, beberapa diantaranya adalah dengan menambahkan sejumlah mikronutrien seperti trace metal. Berbagai penelitian tentang kebutuhan trace metal oleh metanogen telah banyak dilakukan, di antaranya oleh Zitomer dengan hasil penelitian bahwa penambahan trace metal meningkatkan biogas dari 14% menjadi 50%. Selain itu penggunaan trace metal juga dapat meningkatkan penurunan COD seperti hasil penelitian oleh Oleszkiewicz yang ditampilkan pada Tabel 2.8. Universitas Sumatera Utara Tabel 2.8. Penelitan Yang Menggunakan Trace Metal dalam Proses Anaerobik Peneliti Bahan Baku Hasil Penelitian Streicher. C dan. Milande. B Whey Laju penurunan COD meningkat dari 6 kg/m3d menjadi 40 kg/m3d dengan penambahan Fe, Co dan Ni Oleszkiewicz. J.A Limbah industri makanan beku Penurunan COD meningkat hingga 95% dengan menambahkan Co, Fe dan Ni Kida, Ikbal dan Sonods Limbah industri bir VFA meningkat ketika penambahan Ni dan Co dihantikan, dan jumlah biogas menurun Espinosa Molase Penurunan COD meningkat dari 44% menjadi 58%, dan biogas meningkat dengan penambahan trace metal Takashima Glukosa Konsentrasi minimum untuk Ni 0,40 mg/l dan Co 0,45 mg/l Zitomer Sampah kota Penambahan trace metal menigkatkan produksi biogas dari 14% menjadi 50% Irvan dan Lembaga Penelitan USU LCPKS Diperoleh biogas sebanyak 8,7 Liter/ hari dari fermentasi LCPKS secara anaerobik termofilik dengan menggunakan trace metal sebagai mikronutrien Penulis LCPKS Pengurangan trace metal berpengaruh pada produksi biogas, tetapi pada konsentrasi Ni 0,08 mg/l dan Co 0,07 mg/l masih dapat diperoleh biogas yang optimum Universitas Sumatera Utara Penelitian yang dilakukan oleh penulis merupakan pengembangan dari penelitian yang telah dilakukan oleh Irvan dan LP3M USU, di mana trace metal yang ditambahkan pada penelitian yang dilakukan oleh Irvan tersebut adalah sebanyak Ni 0,49 mg/l dan Co 0,42 mg/l dan pada penelitian ini penulis mengurangi konsentrasi trace metal hingga 90% dan 97% dari penelitian terdahulu. Universitas Sumatera Utara