wacana pemidanaan pelaku nikah siri menurut kajian hukum islam

advertisement
WACANA PEMIDANAAN PELAKU NIKAH SIRI
MENURUT KAJIAN HUKUM ISLAM
Zulham Wahyudani
Fakultas Hukum
Universitas Sains Cut Nyak Dhien
Email: [email protected]
Abstract: There are some different opinions about the discourse of Nikah Siri criminalization that due
to Nikah Siri is official and valid under Islamic jurisprudence. However, it is seen as unregistered
marriage under Indonesia governmental law and has caused many problems for people who are
engaged with it. This research aims to find out the fundamental problems and the perspectives of
religious law towards criminalization of the perpetrators Nikah Siri. In order to answer the problems,
the researcher collects the literature reviews based on primary and secondary data. Both data is
analyzed by descriptive method. According to the results, the government can criminalize the
perpetrators of Nikah Siri by jarimah ta‟zir. It is done to prevent the practice that will impact for other
people. This prevention is called by saddudz az-zari‟ah.
Keywords: Nikah siri, Islamic jurisprudence, Ta‟zir
Abstrak: Wacana pemidanaan pelaku nikah siri terdapat perbedaan pendapat karena Nikah siri sah
dan halal secara hukum Islam, akan tetapi nikah siri menurut UU perkawinan di Indonesia adalah
illegal dan banyak menimbulkan masalah dan kemudharatan bagi pelaku nikah siri. Penelitian ini
bertujuan untuk mencari jawaban dari persoalan pokok, pandangan hukum Islam terhadap wacana
pemidanaan pelaku nikah siri. Untuk memperoleh jawaban tersebut peneliti menggunakan kajian
kepustakaan dengan data primer dan data sekunder. Kedua data tersebut dianalisis dengan
mengunakan metode deskriptif. Berdasarkan kajian yang dilakukan, ditemukan pemerintah dapat
memidanakan pelaku nikah siri dengan jarimah ta‟zir. Dengan pertimbangan memidanakan pelaku
nikah siri untuk mencegah terjadinya perbuatan yang merugikan orang lain. Upaya pencegahan
tersebut disebut saddudz az-zari‟ah.
Kata kunci: nikah siri, hukum islam, Ta‟zir
Pendahuluan
Sebuah pernikahan dipandang sah apabila telah memenuhi rukun nikah, yaitu
calon mempelai pria, calon mempelai wanita, wali mempelai perempuan, dua orang
saksi, dan ijab qabul, serta memenuhi syarat-syarat nikah. Yaitu syarat calon suami
yang meliputi beragama Islam, laki-laki, jelas orangnya, dapat memberikan
persetujuan dan tidak terdapat halangan perkawinan. Syarat calon istri yang meliputi
beragama (meskipun yahudi atau nasrani), perempuan, jelas orangnya, dapat dimintai
persetujuannya, dan tidak terdapat halangan perkawinan. Syarat wali nikah yaitu lakilaki, dewasa, mempunyai hak perwalian, dan tidak terdapat halangan perwalian.
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
107
Syarat saksi nikah adalah minimal dua orang laki-laki, hadir dalam ijab Kabul, dapat
mengerti maksud akad, Islam, dan dewasa. Syarat ijab qabul adalah adanya peryataan
mengawinkan dari wali, adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai,
memakai kata-kata nikah, antara ijab dan qabul bersambungan dan jelas maksudnya,
tidak sedang ihram haji dan umrah, dan majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri
minimum empat orang.1 Sedangkan menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974
tentang perkawinan pasal 2 ayat 2 “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku”. Jadi selain memenuhi rukun dan syarat
perkawinan, Pernikahan haruslah dicatat petugas nikah, jika pernikahan memenuhi
kedua aturan itu, maka pernikahan itu disebut legal wedding, jika sebaliknya disebut
illegal wedding
Nikah siri termasuk dalam illegal wedding karena nikah siri yang telah
memenuhi rukun dan syarat yang ditetapkan dalam hukum Islam, namun tanpa
pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur oleh peraturan perundangundangangan yang berlaku. Di samping itu nikah siri juga menambah daftar praktik
diskriminasi yang dilakukan laki-laki (suami) terhadap hak-hak perempuan. Pihak
perempuan sering mendapat perlakuan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) akibat
pernikahan secara siri ini. Tidak hanya itu, anak-anak juga menjadi korban
pernikahan siri yang tidak bertanggung jawab2. Sehingga nikah siri menjadi praktik
pernikahan yang melanggengkan penindasan terhadap hak-hak perempuan.
Adapun langkah pemerintah untuk menjawab persoalan ini dengan Draf
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hukum Materiil Peradilan Agama
Bidang Perkawinan yang masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
tahun 2010-2013. Beberapa isi draft RUU tersebut adalah3:
1
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafido Persada, 2003), 72.
Asghar Ali Engneer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, (Yogyakarta: Bentang, 1994), 151.
3
Ingateros.com, RUU Nikah Siri-Draft Ruu Nikah Siri, februari 2010. diakses pada
tanggal 4 Desember 2010 dari situs : www.Ingateros.com/2010/02/ RUU Nikah Siri-Draft Ruu
Nikah Siri
2
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
108
1. Pasal 142 ayat 3 menyebutkan, calon suami yang berkewarganegaraan asing harus
membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp 500
juta.
2. Pasal 143, setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di
hadapan pejabat pencatat nikah dipidana dengan ancaman hukuman bervariasi.
Mulai dari enam bulan hingga tiga tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga
Rp 12 juta. Selain kawin siri, draf RUU juga menyinggung kawin mut‟ah atau
kawin kontrak.
3. Pasal 144, setiap orang yang melakukan perkawinan mut‟ah dihukum penjara
selama-lamanya 3 tahun dan perkawinannya batal karena hukum. RUU itu juga
mengatur
soal
perkawinan
campur
(antara
dua
orang
yang
berbeda
kewarganegaraan).
Wacana pemerintah untuk memidanakan pelaku nikah siri dengan
mengundang-undangkan pernikahan siri tersebut memancing perdebatan antara yang
setuju dan ada pula yang menolak aturan tersebut. Pihak yang setuju dengan wacana
ini dengan melihat dari perspektif perempuan sebagai korban, dan terlepas dari
perdebatan soal sah tidaknya nikah siri dalam agama tersebut kiranya bisa memberi
kemaslahatan bagi masyarakat, mereka mendukung adanya sanksi bagi pelaku nikah
siri dalam RUU itu.
Bahkan dalam Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2
ayat 2, Nikah Siri tidak lengkapnya suatu perbuatan hukum karena tidak tercatat
secara resmi dalam catatan resmi pemerintah. Demikian juga anak yang lahir dari
pernikahan siri ini, dianggap tidak dapat dilegalisasi oleh Negara melalui akte
kelahiran. Praktek Nikah Siri seperti inilah memberikan banyak dampak negatif bagi
pelaku nikah siri. Pengadilan tidak bisa banyak membantu, karena tidak ada catatan
hukumnya di negara. Perkawinan siri juga membawa kemudharatan secara sosial,
karena tanpa terdaftar secara administratif di KUA dan tidak mempunyai Akta
Perkawinan, maka status perkawinan tersebut melemahkan posisi kaum wanita jika
suatu waktu terjadi persengketaan rumah tangga. Apalagi jika nikah siri itu hanya
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
109
dijadikan senjata untuk perselingkuhan dengan memanfaatkan rukun dan syarat
perkawinan yang baku. Namun apabila kembali pada tujuan pernikahan menurut AlQur‟an Surat Ar-Ruum ayat 21 “Supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang”, maka pencatatan
pernikahan diwajibkan agar tidak mengusik ketentraman berumah tangga di
kemudian hari.
Dalam tinjauan fiqh, kemaslahatan merupakan tujuan yang akan dicapai.
Sebagai sebuah tujuan, tentu kemaslahatan tidak dapat dicapai begitu saja tanpa
melalui suatu proses hukum yang dijalankan secara syara‟. Apabila syari‟at
dijalankan pasti akan timbul kemaslahatan baik di dunia maupun di akhirat. Begitu
pula dengan pernikahan, agar tujuan dapat dicapai tentu membutuhkan proses yang
baik dengan mengikuti peraturan yang berlaku. Sebaliknya, sesuatu yang dilarang
hendaklah ditinggalkan untuk menghindari kerusakan yang lebih besar daripada
mengambil manfaat yang bersifat sementara seperti nikah siri. Kaidah fiqh:
4
‫درء املفاسد أوىل جلب املصاحل‬
“Meninggalkan kerusakan (hakiki) lebih diutamakan dari pada mengambil
manfaat sementara.”
Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat disimpulkan umat Islam dituntut untuk
patuh pada peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah selama bertujuan untuk
menciptakan kemaslahatan. Kepatuhan pada pemerintah merupakan bagian dari
syari‟ah agama. Namun berbeda dengan bentuk kepatuhan kepada Allah dan rasulNya yang bersifat mutlak, kepatuhan kepada pemerintah bersifat relatif, yaitu selama
dalam kerangka kemaslahatan yang tidak bertentangan agama.
4
Ahmad Bin Muhammad bin Muhammad „Uthman al-Zarqa, ‟Sharh al-Qāwa‟id al-Fiqhiyyah,
cet.IV,(Damsyik: Dār al-Qalam, 1996), 205; Muhammad Syidqi Bin Ahmad Bin Muhammad al-Burnu
Abi al-Harath al-Qazi, al-Wajiz fi Idahi Qawa‟id al-Fiqh al-Kulliyah, (Beirut: Muasasah al-Risalah,
1998), 265.
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
110
Adapun pihak yang tidak setuju dengan melihat bahwa nikah siri dalam ajaran
Islam sudah sah memenuhi persyaratan. pernikahan merupakan hak manusia yang
legalitasnya diatur dalam agama, bukan pemerintah. Dengan begitu, Rancangan
Undang-Undang
(RUU) yang memidanakan pernikahan tanpa dokumen resmi.
pemerintah mungkin khawatir terhadap dampak dari pernikahan siri, misalnya tidak
adanya dokumen pencatatan anak hasil pernikahan tersebut. Tapi, bukan berarti dapat
memasukan nikah siri sebagai sebuah tindak pidana. Akan tetapi pemerintah hanya
dapat mengatur tentang persoalan administrasi (dalam pernikahan).
Kenyataannya nikah bukanlah semata-mata mengikat hubungan antara satu
orang laki-laki dengan satu orang perempuan, tetapi menimbulkan konsekuensi yang
luas, tidak hanya bagi pasangan suami isteri tersebut, tetapi juga bagi anak-anak,
keluarga luas, dan bagi masyarakat dan negara. Dengan demikian, pernikahan tidak
selesai hanya dengan berlangsungnya akad nikah, melainkan harus juga dicatat.
Persoalan tersebut telah penulis lihat dan telaah di beberapa buku dan karya
ilmiah yang lain, serta penulis yakin permasalahan ini merupakan persoalan yang
kontemporer dan menarik untuk dikaji dan dibahas dalam sebuah jurnal.
Nikah Siri dan kaitannya dengan Pencatatan Perkawinan
Dalam khazanah ilmu fiqh, istilah nikah siri bukanlah suatu yang baru dalam
pembahasan tentang fungsi saksi dalam pernikahan. Terbukti dalam beberapa kitab,
para ulama sudah lebih dahulu membahas tentang nikah jenis ini. Terbukti dengan
ditemukannya lafadz nikah siri dalam bebarapa kitab-kitab karangan ulama Hadits
dan fiqh, diantaranya dalam kitab al-Muwatha‟ imam Mālik disebutkan:
"Muhammad meriwayatkan kepada kami, kemudian Mālik bin Anas
meriwayatkan kepada kami dari Abi Zabir al-Maki, bahwa „Umar bin Khattab ra.
dihadapkan kepadanya perihal nikah dimana tidak ada yang menyaksikan, kecuali
seorang laki dan seorang perempuan (kedua mempelai) lalu ia berkata ini adalah
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
111
nikah siri dan aku tidak membolehkannya, dan jikalau aku mengetahui hal ini niscaya
akan aku rajam" (H.R. Imam Mālik).5
Berdasarkan hadist yang diriwayatkan imam Mālik ini, nikah siri yang
dimaksud adalah pernikahan yang hanya memiliki saksi satu orang laki-laki dan satu
orang perempuan. Para fuqaha seperti imam Hanafi, imam Mālik, imam Syafi‟i dan
imam Ahmad bin Hambal sepakat bahwa nikah siri ini adalah haram. Karena mereka
sepakat bahwa fungsi kesaksian merupakan bagian dari pernikahan.6Alasan mereka
bahwa saksi adalah bukti untuk mencegah dari pengingkaran terhadap keturunan
mereka7 serta untuk menolak fitnah zina dengan bukti yang dapat dibenarkan melalui
perkataan saksi. Perbedaan mereka terdapat dalam dua hal, yaitu: pertama, apakah
saksi ini menjadi syarat atau rukun.
Mazhab Hanafiah dan Hanabilah berpendapat saksi merupakan syarat.
Sedangkan mazhab Syafi‟iah menetapkan sebagai rukun.8Sedangkan mazhab
Mālikiah berpendapat bahwa saksi merupakan anjuran.
Pengikut
mazhab
Mālikiah
berpendapat
bahwa
kesaksian
hanyalah
disyaratkan kesaksian ketika dukhul, apabila disaksikan oleh kedua saksi sebelum
dukhul maka sah nikah serta tidak dirahasiakan akad. Apabila keduanya sengaja tidak
mengakui pernikahan tersebut, berdasarkan hadist Nabi tentang larangan terhadap
nikah siri9 diperintahkan untuk menceraikan isterinya kemudian melakukan akad
lagi.10
5
Hasan „Abdul Manan, al-Muwatha‟ lil Imām Mālik bin Ānas, (tt: Baitul Afkār, 2003),
321.
6
Ahmad bin Rāsyid al-Qarthabi, Bidāyatul Mujtahid wa Nihāyatul Muqtasid, juz II, cet. IV,
(Damascus: Dārul Ma‟arif, 1982), 17.
7
Syamsudīn Muhammad bin Abdullah Zarkasyi, Syarhu Zarkasyi „alā Mukhtasar Khurqi ,
juz V, (Riyadh: Maktabatul „Abikan, 1993), 324.
8
Wazāratul Auqāf wa Syu‟ūn al-Islamiyah, Mawsū‟ah Fiqhiyah …, 295.
9
)‫عن أيب ىريرة أن النيب صلى اهلل عليو وسلم هنى عن نكاح السر (رواه الطرباىن‬
10
Wazāratul Auqāf wa Syu‟ūn al-Islamiyah, Mawsū‟ah Fiqhiyah…, 295.
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
112
Akar permasalahan ini berdasarkan pada riwayat hadist dari „Aisyah:
12
)‫ و البيهقي‬11‫ (رواه ابن حبان‬.‫ال نكاح إالبويل وشاىدي عدل‬
“Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi adil”.
Imam Syafi‟i dalam kitab al-Umm menjelaskan pentingnya peran dari dua
saksi yang adil ini.
“Syafi‟i berkata jika nikah disaksikan oleh orang banyak baik itu seluruh
muslim atau seluruh penduduk, tetap nikah tersebut tidak diperbolehkan kecuali
nikah tersebut disaksikan oleh dua saksi yang adil”13
Hadist dari „Aisyah yang mengisyaratkan bahwa nikah haruslah disaksikan
dua orang saksi yang adil karena yang membedakan nikah dengan perzinaan adalah
adanya kesaksian. Adanya kesaksian sebagai kepentingan untuk menghindari fitnah
zina.14 Yang kita kenal dalam ilmu ushul dengan sadd adz-dzarī‟ah, yakni
menghindari bahaya yang lebih besar. Dapat dipahami bahwa dua saksi yang adil
terhadap pernikahan adalah pembeda dengan perzinaan. Sedangkan, jika dikaitkan
dengan nikah siri, maka dengan adanya dua orang saksi yang adil telah membuat
nikah itu tidak siri lagi. Hasan Syaibani berpendapat demikian, bahwa „Umar bin
Khattab melarang nikah siri ini, karena tidak terpenuhinya saksi. Namun jika
terpenuhi saksi maka nikah tersebut diperbolehkan.15
Hal ini juga seperti yang diutarakan Abu Hanifah:
“Abu Hanifah mengatakan nikah siri boleh apabila disaksikan oleh orang yang adil
meskipun diminta untuk merahasiakan”. 16
Perbedaan para fuqaha yang kedua adalah kedudukan dalam saksi yang adil
yang diminta untuk merahasiakan, apakah itu termasuk dalam nikah siri atau tidak?
11
Ibnu Hiban, Shahih Ibnu Hiban, juz IX, (tt: Mu‟sasatur Risālah, tt), 386
Baihaqi, Sunnanul Kubra, juz VII, (tt: Dārul Ma‟arif Ustmaniyah, tt), 124
13
Imam Muhammad Idris Syafi‟i, al-Umm, juz VI, (tt: Darul Wafai, 2001), 57.
14
„Alaudin Abu Bakar bin Mas‟ud al-Kasani Hanfi, Badā‟i Shanā‟i fi Tartibi Syara‟ juz 2,
(Beirut: Dārul Kutub „Ilmiyah, 1986), 253.
15
Abū Abdullah Muhammad bin Hasan Syaibani, Hujjatul „alā Ahli Madinah, juz III, (tt,
„Alīmul Kutub, 1983), 229.
16
Abu Abdullah Muhammad bin Hasan Syaibani, Hujjatul „alā Ahli Madinah, juz III, (tt,
„Alīmul Kutub, 1983), 222.
12
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
113
Imam Mālik memandang bahwa pernikahan yang dipesan tidak dipublikasi adalah
sama dengan nikah siri sehingga harus di-fasakh. Karena menurutnya yang menjadi
syarat mutlak sahnya perkawinan adalah pengumuman (i‟lan).17Ini disebabkan, Imam
Mālik menjadikan publikasi sebagai rukun dari akad nikah. Berdasarkan hadist Nabi:
‫ " أعلنوا ىذا النكاح‬:‫عن عائشة رضي اهلل عنها أن النيب صلى اهلل عليو وسلم قال‬
18
(‫ وحسنو‬،‫ والرتمذي‬،‫) رواه أمحد‬." ‫واجعلوه يف املساجد واضربوا عليو الدقوف‬
Berdasarkan hadist „Aisyah, Nabi Muhammad memberi pesan agar nikah itu
dipublikasikan, diwalimahkan, dan disebarluaskan kepada keluarga dan tetangga.
Pada saat permulaan Islam, mesjid-mesjid adalah tempat yang sangat tepat untuk
tersampainya publikasi, karena masjid adalah tempat orang ramai berkumpul bahkan
menjadi tempat pertemuan umum. Hikmah yang diperoleh dari publikasi nikah adalah
agar terhindar dari fitnah dan buruk sangka orang lain kepada yang bersangkutan,
sekaligus menutup adanya kemungkinan yang bersangkutan (khususnya isteri)
diminati orang lain.
Jumhur mazhab Mālikiah memberi pandangan status hukum nikah siri ini
dengan haram. Dengan alasan, jika terjadi kejahatan atau penipuan dalam pernikahan
ini, tidak ada perlindungan dan tidak dapat dibatalkan pernikahannya. Meskipun tidak
terjadi kejahatan dalam nikah siri ini maka nikah siri itu tetap haram berdasarkan
hadist Nabi larangan nikah siri. Pernikahan siri ini bisa dibatalkan
sebelum
berlangsung dukhul. Namun, apabila sudah dukhul maka mereka berbeda pendapat,
hal ini pernah ditanyakan oleh Ibnu Syihab tentang seorang laki-laki yang menikah
secara siri dan disaksikan oleh dua laki-laki, maka Mālikiah menjawab: apabila telah
dukhul maka pisahkan sampai habis masa iddah dan diberi hukuman kepada dua saksi
karena merahasiakan ini. Kemudian memulai untuk menikah lagi secara pernikahan
17
Muhammad Abū Zahrah, Muhādarat fi „Aqdi al-Ziwaj wa Atharuhu, (ttp: Dār al-Fikr al„Arabiyah, tt), 92.
18
Sayyid Sabīq, Fiqh Sunnah, juz II, (al-Qāhirah: Fathul Islām ar-Rabi, tt), 149. Lihat juga alTirmidhī, Sunan al-Tirmidhī, “kitāb nikāh”, hadist No. 1009. Ahmad, Musnad Ahmad, “Musnad alMadanīyīn”, hadist 15545.
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
114
yang sah setelah habis masa iddah. Apabila belum dukhul tidak diberi mahar bagi
perempuan, dan penguasa harus memisahkan mereka berdua dengan memberi sanksi
kepada dua orang saksi tersebut ini karena hukum pernikahan siri ini tidak sah.19
Jadi Imam Mālik menganggap sebuah pernikahan yang disaksikan oleh dua
orang saksi adil pun namun diminta untuk dirahasiakan pernikahan tetap dinamakan
nikah siri. Namun, Abu Hanifah, Imam Syafi‟i, Imam dan Ahmad bin Hambal,
berbeda pendapat, pernikahan tersebut, bukanlah pernikahan siri. Ahmad bin Hambal,
ketika ditanya tentang pernikahan seperti ini apakah termasuk nikah siri apa bukan,
beliau menjawab:
“Lebih baik untuk mempublikasi nikah dan bukanlah nikah siri jika ada wali serta
adanya dipukul rebana sehingga dapat disaksikan dan diketahui”.
Hanafiah berpendapat:
“Nikah siri yaitu nikah yang tidak dihadiri dua orang saksi, adapun nikah yang
dihadiri saksi maka itu adalah nikah biasa (yang terbuka dan diketahui umum)
karena rahasia jika melebihi dua orang, maka itu bukan lagi dinamakan rahasia". 20
Sedangkan Hanabilah berpendapat:
“tidak membatalkan nikah dengan dipesan untuk merahasiakan karena persaksian
tidak menjadi rahasia meskipun dirahasiakan oleh kedua suami isteri, wali, dan
saksi”.21
Syafi‟i dan Abu Hanifah sepakat berpendapat:
“Apabila menikah dengan dua orang saksi dan merahasiakannya, pernikahan tetap
diperbolehkan”22
Syafi‟i berpendapat bahwa para fuqaha telah berselisih tentang hadist yang
diriwayatkan imam Mālik yang disebutkan „Umar, bahwa nikah siri ini fasikh dan
tidak ada toleransi maka mereka telah salah paham terhadap „Umar, sebenarnya
„Umar di sini menganggap jika ada yang mengajukan nikah yang hanya disaksikan
oleh seorang laki-laki dan perempuan, maka akan dia rajam. Maksudnya adalah
jikalau „Umar mengetahui ada yang berbuat seperti ini „Umar tidak akan
19
Wazāratul Auqāf wa Syu‟ūn al-Islāmiyah, Mawsū‟ah Fiqhiyah.., 301.
Wazāratul Auqāf wa Syu‟ūn al-Islāmiyah, Mawsū‟ah Fiqhiyah.., 300.
21
Wazāratul Auqāf wa Syu‟ūn al-Islāmiyah, Mawsū‟ah Fiqhiyah.., 301
22
Abdul Mu‟thi Amīn Qul‟aji, al-Istidhkar…, 208.
20
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
115
membolehkan sehingga orang tersebut tidak melakukan nikah seperti ini. „Umar
merajam orang yang tetap melakukan perbuatan itu karena melakukan perbuatan yang
dilarangnya.23
Kembali pada pernikahan yang dipesan untuk dirahasiakan, menurut Ibnu
Hazm dalam bukunya al-Muhallā menerangkan bahwa nikah tersebut bukanlah nikah
siri, karena dua alasan. Pertama, karena nikah itu telah disaksikan oleh dua orang
saksi yang adil. Kedua, bukanlah rahasia apabila terdapat lima pihak yaitu wali,
penganti pria, penganti wanita, dua orang saksi. Seperti yang dikatakan penyair:
“Rahasia disembunyikan oleh dua orang dan setiap rahasia melewati dua
orang menjadi publikasi”24
Dapat dipahami bahwa nikah siri ini belum mencukupi dua orang saksi, maka
apabila telah ada dua saksi maka nikah ini telah sempurna. Karena tidak ada rahasia
apabila telah melebihi dua orang. Semua ulama sepakat bahwa pernikahan harus
dipersaksikan supaya dapat menghindari pengingkaran. Mencegah pengingkaran
dengan efektif yaitu dipersaksikan oleh banyak orang serta adanya izin dari pihakpihak yang terlibat dalam akad nikah. Prosedur ini menjadi bukti yang dapat
mencegah dari kelupaan atau pengingkaran pada hari kemudian.25
Rasulullah
memerintahkan
untuk
mempublikasi
pernikahan
dengan
menghadirkan dua saksi, kemudian Nabi juga menyuruh untuk memukul rebana. Ini
memberi isyarat tambahan dalam publikasi. Sebagaimana hadist berikut:
26
‫ يكره نكاح السر حىت يضرب بدف‬،‫كان صلى اهلل عليو وسلم‬
“Rasulullah membenci nikah siri sampai dipukul rebana”
23
Imām Muhammad Idris Syafi‟i, al-Umm…, 57
Ibnu Hazm, al-Muhalla, juz IX, (Mesir: Muniriyah, tt), 466.
25
„Alaudīn Abū Bakar bin Mas‟ūd al-Kasani Hanfi, Badā‟i Shāna‟i fi.., 253.
26
Ibrāhim bin Muhammad bin Salīm bin Dhawyan, Manār Sabīl fi Syarhi Dalīl, juz II,
(Beirut: Maktabul Islāmiyah, 1982), 219. Lihat Imam As-Syaukani. Nailul Author Syarhu Muntaqal
Akhbar, Juz 1, 465
24
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
116
‫وقد روي عن رسول اللَّو صلى اللَّو عليو وسلم أنو هنى عن نكاح السر والنهي عن‬
‫السر يكون أمرا باالعالن ألن النهي عن الشيء أمر بضده وروي عنو صلى اللَّو‬
27
‫عليو وسلم أنو قال أعلنوا النكاح ولو بالدف‬
“Telah diriwayatkan dari Rasulullah, bahwasanya beliau melarang terhadap nikah
siri, dan larangan merahasiakan pernikahan tersebut seharusnya menjadi perintah
untuk disebarluaskan karena larangan terhadap sesuatu perintah dengan sebaliknya
dan diriwayatkan dalam sebuah hadist nabi bersabda; publikasilah pernikahan
meskipun dengan pukul rebana”
Menurut syara‟ lebih baik untuk dipublikasi pernikahan. Upaya ini untuk
keluar dari status nikah siri yang dilarang untuk mencapai apa yang telah Allah
halalkan dari perbuatan yang baik-baik. Bila hal tersebut merupakan perbuatan yang
hakikatnya adalah publikasi, untuk diketahui baik secara khusus dan umum, dekat
maupun jauh menjadi publikasi yang anjurkan terhadap pernikahan.28Seperti
disebutkan dalam hadist:
‫وعن علي بن أيب طالب رضي اللَّو تعاىل عنو " أن رسول اللَّو صلى اللَّو عليو وسلم‬
‫ نكاح فالن يا‬: ‫ ما ىذا ؟ فقالوا‬: ‫ فقال‬، ‫مر وأصحابو بين زريق فسمعوا غناء ولعبا‬
‫نكاح السر حىت‬
‫ ىذا النكاح ال السفاح وال‬، ‫ كمل دينو‬: ‫ فقال‬. ‫رسول اللَّو‬
29
.‫يسمع دف أو يرى دخان‬
"Dari Ali bin Abi Thalib ra: bahwa Rasulullah SAW sedang berjalan dangan para
shahabat bani Zariq, lalu mereka mendengar nyanyian dan permainan, baliau
berkata: apa ini, mereka berkata ini pernikahan si fulan ya Rasulullah. Beliau
berkata lagi sempurna agamanya, inilah yang dinamakan nikah bukan zina ataupun
nikah siri, sehingga terdengar suara rebana atau terlihat asap"
27
„Alaudīn Abū Bakar bin Mas‟ūd al-Kasani Hanfi, Badā‟i Shāna‟i fi ..,. 252.
Sayyid Sabīq, Fiqh .., 149.
29
Sayid Sabiq, fiqh.., 149. Lihat juga Imam Baihaqy. Sunan Baihaqy, Juz 2, 160. Maktabah
Syamilah.
28
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
117
Kebanyakan para ulama sepakat bahwa pernikahan harus dipersaksikan,
dipublikasikan dan haram terhadap nikah siri yang hanya disaksikan oleh seorang
laki-laki dan seorang perempuan. Para ulama berselisih tentang hukum keharusan
adanya saksi dalam pernikahan. Di sini penulis merincikan sebab terjadinya
perselisihan pendapat tersebut. Pada dasarnya perselisihan ulama dalam masalah ini
berkisar dalam hal apakah keberadaan saksi dalam pernikahan siri termasuk hukum
syari‟at yang harus dipenuhi atau anjuran yang hanya sekadar menghindari fitnah agar
masyarakat tidak mengingkari pernikahan tersebut:
1. Mazhab Hanafiah dan Hanabilah berpendapat saksi merupakan syarat. Sedangkan
mazhab Syafi‟iah menetapkan sebagai rukun.
2. Sedangkan mazhab Mālikiah berpendapat bahwa saksi merupakan anjuran.
Dari pembahasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama,
sebagian para ulama sepakat mengharuskan saksi untuk sahnya akad nikah. Mayoritas
ulama menekankan pada kehadirannya, sementara imam Mālik lebih menekankan
pada fungsinya, yakni sarana publikasi. Kedua, semua ulama sepakat bahwa publikasi
merupakan sarana pengumuman dan bukti terjadinya transaksi (akad nikah). Sebagai
sebuah transaksi, akad nikah tentu akan melahirkan akibat-akibat hukum di antara
para pihak maupun keturunan yang lahir dari perkawinan kelak.
Dari penjelasan ini, dapat dipahami bahwa nikah siri yakni nikah yang ada
usaha dari para pihak untuk merahasiakan. Oleh karena itu, unsur pokok yang
menjadikan haramnya nikah siri adalah adanya usaha merahasiakan pernikahan oleh
para pihak. Karena unsur pengumuman kepada khalayak menjadi unsur penentu sah
atau tidaknya pernikahan. Pada prinsipnya tujuan dan fungsi saksi dalam hal ini
adalah untuk menjamin hak dan tanggung jawab pihak-pihak dalam pernikahan.
Nikah siri yang terjadi sekarang dalam masyarakat Indonesia tidak dapat
dibenarkan. Perubahan waktu, tempat dan kondisi inilah yang menjadikan hukum
Islam (fiqh) yang sebelumnya boleh, namun, menjadi haram di waktu, tempat dan
kondisi yang berbeda. Pada awalnya nikah siri ini diperbolehkan karena kondisi
masyarakat yang masih menjunjung tinggi tanggung jawab dan konteks lisan masih
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
118
dapat dipercaya. Namun, seiring perjalanan waktu, nikah siri ini berbeda seperti yang
diterapkan pada masa lalu. Nikah siri sekarang hanya dimanfaatkan oleh oknum yang
tidak bertanggungjawab untuk memenuhi hawa nafsu mereka. Hal di atas tentunya
tidak sesuai dengan kemaslahatan yang hendak dituju oleh hukum syar‟i, yaitu
kemaslahatan hakikiyah. Seperti firman Allah:
“dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi
semesta alam.”(QS: 21: 107)
Kemaslahatan itu ialah sesuatu yang membawa kepada kebaikan manusia.
Karena setiap kebaikan yang dikaitkan dengan manusia dianggap sebagai
kemaslahatan walaupun kemaslahatan itu kadangkala tidak membawa manfaat
sepenuhnya kepada semua manusia. Singkatnya kemaslahatan adalah segala usaha
yang dilakukan untuk mendapatkan kebaikan dan menolak kemudharatan yaitu
memelihara dan meraih tujuan-tujuan syara‟ sekalipun ia bertentangan dengan
kehendak individu atau golongan.
Kemaslahatan dalam pencatatan nikah dimaksudkan untuk mewujudkan
ketertiban perkawinan umat manusia jelas akan membawa kepada kemaslahatan umat
itu sendiri. Pencatatan merupakan bentuk pengakuan dan jaminan hak dalam
perkembangan masyarakat, kemajuan administrasi, dan ketatanegaraan. Ketika
dihubungkan dengan nikah siri yang tidak dilakukan pencatatan oleh Pegawai
Pencatat Nikah, maka tidaklah menjadi sebuah bukti yang diterima oleh masyarakat
dan pemerintah. Bentuk jaminan dan pengakuan di masa sekarang muncul dalam
bentuk tulisan (hitam di atas putih). Dengan ungkapan lain, pada masa ulama fuqaha
terdahulu, konteks dari publikasi sebagai sarana pengakuan dan jaminan dalam
masyarakat komunal adalah terbiasa dengan lisan. Sementara konteks dari publikasi
pengakuan dan jaminan hak pada zaman sekarang adalah tertulis.
Tujuan dari sertifikasi dengan dokumentasi yang resmi termasuk dalam alumūru dharūriyah yaitu pemeliharaan hak-hak suami isteri dan hak-hak anak, seperti
garis keturunan, nafkah dan lain sebagainya, dan penetapan semua itu di kala terjadi
konflik dan pengingkaran, serta pemeliharaan hubungan suami isteri dari terpaan
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
119
keragu-raguan, kecuriagaan dan prasangka buruk. Seluruh perkara ini (pemeliharaan
akan semua perkara di atas) akan terwujud dengan persaksian saksi-saksi,
pemberitahuan umum tentang pernikahan, publikasinya melalui acara pesta dan
walimah30 serta acara-acara lain yang serupa, dalam bentuk yang lebih sempurna lagi
mendapatkan sertifikasi dari pihak yang berwenang pada saat ini. Maka sudah
menjadi kewajiban apabila terjadi perubahan hukum karena disebabkan berubahnya
zaman dan keadaan serta pengaruh dari gejala-gejala kemasyarakatan itu sendiri. Hal
itu sesuai dengan kaidah yang berbunyi:
‫تغري الفتوي (احلكم) بتغري األزمنة واألمكنة واألحوال‬
31
”Suatu ketetapan fatwa (hukum) dapat berubah disebabkan berubahnya waktu,
tempat, dan situasi (kondisi)”.
Kaidah ini menetapkan suatu prinsip bahwa pemerintah harus mempunyai
kemampuan melihat fenomena sosial yang mungkin berubah dan berbeda karena
perubahan zaman dan perbedaan tempat. Karena pemerintah berperan untuk
32
melindungi agama serta mengatur urusan keduniaan.
Dengan demikian, secara
sederhana kemaslahatan dalam pencatatan pernikahan dapat dinyatakan sebagai
meraih semua kebaikan untuk manusia yang diatur oleh pemerintah dengan
berdasarkan kemaslahatan serta mencegah semua keburukan yang sesuai dengan
syari‟ah. Landasan metodelogi secara al-mashlahat al-mursalah, menjadikan
pencatatan perkawinan dengan status hukum yang jelas, maka berbagai macam
bentuk kemudharatan seperti ketidakpastian status bagi wanita dan anak-anak akan
dapat dihindari.
30
Yusuf ad-Duraiwisy, Nikah Siri, Mut‟ah & Kontrak dalam timbangan al-Qur‟ān .., 94.
Abdullah bin Abdul Muhsin, Ushul al-Madzhab al-Imām Ahmad, Cet III, (Beirut: Dār alFikr,1980), 164
32
Abu al-Hasan 'Ali Ibn Muhammad Ibn Habib al-Basri aI-Baghdadi al-Mawardi, al-Ahkam
al-Sultaniyyah wa al-Wilāyah al-Diniyyah. (Beirut: Dār al-Kutub al- 'I1miyyah, tt), 3.
31
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
120
Wacana Ta’zir dalam Bentuk Pemidanaan Terhadap Pelaku Nikah Siri.
Pertimbangan paling mendasar adalah nikah siri yang tidak tercatat oleh
pejabat yang berwenang kerap menimbulkan diskriminasi terhadap hak-hak
perempuan,33karena dalam nikah siri ini posisi perempuan sangat lemah, mudah
ditindas, dan banyak dirugikan. Lebih tepatnya, nikah siri ini menjadi ladang
diskriminasi hak dan kepentingan perempuan. Dalam hubungan sebuah pernikahan,
posisi perempuan tidak bisa dinafikan, hak-hak perempuan juga harus dipenuhi,
seperti kesamaan hak dalam penggunaan atau pemeliharaan harta benda.34
Pemerintah sangat mengkhawatirkan terhadap praktik nikah siri, karena
perempuan selalu menjadi korban. Ketika sepasang manusia menikah secara siri, jika
di kemudian hari tidak mendapatkan kecocokan, biasanya perempuan akan
ditinggalkan
begitu
saja,
tanpa
adanya
penyelesaian
perceraian
secara
bertanggungjawab, dan pada akhirnya pihak perempuan tidak bisa menuntut haknya.
Lebih parah lagi, kalau perempuan tersebut sedang mengandung atau sudah
mempunyai anak, pengadilan tidak dapat memberi sanksi terhadap suaminya.
Di samping perempuan (isteri), pihak anak juga bisa dirugikan karena tidak
mendapatkan hak semestinya, termasuk dalam pengurusan dokumen-dokumen akta
lahir, administrasi sekolah, dan sebagainya. Kewajiban suami isteri adalah memberi
pendidikan yang baik bagi anak-anaknya. Sebelum memberi pendidikan formal di
sekolah bagi anak-anak, orang tua harus mendaftarkan anaknya di kantor
kependudukan untuk memperoleh akta kelahiran, sehingga anak-anaknya dianggap
sebagai anak yang sah. Di antara syarat untuk mendapatkan akta kelahiran anak
adalah bahwa orang tua menikah secara sah yang dibuktikan dengan akta nikah.
Dengan demikian ayah ibu yang tidak menikah dengan sah, tidak dapat memperoleh
akta kelahiran bagi anaknya, sehingga salah satu hak anak untuk memperoleh
pendidikan formal jelas menjadi kendala.
33
34
Happy Susanto, Nikah Siri Apa Untungnya?, (Jakarta : Visi Media, 2007), 93
Fachruddin Hasballah, Psikologi Keluarga dalam Islam, (Banda Aceh: Yayasan PENA,
2007), 97
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
121
Wacana pemidanaan pelaku nikah siri yang tercantum dalam draf rancangan
undang-undang tentang hukum materiil peradilan agama dalam bidang perkawinan
yang masuk dalam daftar program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2010 tidak
bertentangan dalam hukum Islam. Malah, mengandung semangat dari syari‟at Islam
dan sejalan dengan maqāshid al-syari‟ah yang ingin melindungi agama, akal,
keturunan, jiwa dan harta. Wacana pemidanaan ini termasuk dalam ranah siyāsah
syar‟iyah, karena segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada
kemaslahatan dan lebih jauh dari kemafsadatan, sekalipun Rasulullah tidak
menetapkannya
dan
(bahkan)
Allah
tidak
menentukkannya.35Pemerintah
bertanggungjawab memimpin umat manusia dengan memberi pedoman ke jalan yang
benar dan menyelesaikan masalah serta mampu membuat keputusan mengikut dasardasar yang telah ditetapkan oleh syara‟. Upaya ini untuk menutup jalan terjadinya
perbuatan yang merugikan pihak lain. Dalam fiqh, jalan yang membawa upaya
pencegahan tersebut biasa disebut sadd adz-dzarī‟ah36.
Untuk mengantisipasi mudharat yang diakibatkan dari nikah siri, pemerintah
menganjurkan agar nikah siri dicatatkan secara resmi pada lembaga yang berwenang.
Karena menurut syari‟at, nikah siri bisa jadi haram apabila ada mudharatnya.37
Maksudnya, nikah siri yang hukumnya sah karena memenuhi syarat-syarat dan rukunrukun nikah, bisa menjadi haram karena ada pihak yang dirugikan atau menjadi
korban. Sejalan dengan ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah mengeluarkan
Fatwa mengenai hal ini pada Tahun 2006, "Pernikahan di bawah tangan hukumnya
sah kalau telah terpenuhi syarat dan rukun nikah, tetapi haram jika menimbulkan
mudharat atau dampak negatif".38
35
Mahmud „Abdur Rahman „Abdul Mun‟im, Mu‟jam Musthalat wal…, 307.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2008), 398
37
Fatwa Tarjih Muhammadiyah Hukum Nikah Siri, 8 jumadal ula 1428 hijriah/ 25 Mei 2007,
diperkuat dengan naskah Kepribadian Muhammadiyah sebagaimana diputuskan dalam Muktamar
Muhammadiyah ke-35
38
www.detik.com. Komisi Fatwa MUI Ma'ruf Amin dalam jumpa pers di kantor MUI lantai
dasar Masjid Istiqlal, Jl Veteran, Jakarta, Selasa (30/5/2006).
36
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
122
Perbuatan melanggar hukum atau tindak pidana dalam syari‟ah Islam disebut
al-jinayah atau al-jarimah. Kedua istilah ini menurut jumhur fuqaha mempunyai
pengertian yang sama yaitu perbuatan yang dilarang syara‟, baik perbuatan itu
mengenai jiwa, harta benda maupun yang lain.39Al-Jarimah dilarang karena perbuatan
tersebut dapat merugikan hak-hak individu dan tata aturan yang berlaku dalam suatu
masyarakat. Sedangkan manusia sebagai makhluk individu tidak dapat mewujudkan
stabilitas kehidupannya ketahap yang sempurna, apabila tidak dipenuhi hak-hak dan
aspek pengembangan dirinya. Hak yang paling utama dijamin oleh Islam adalah, hak
hidup, hak pemilikan, hak pemelihara kehormatan, dan hak menuntut ilmu
pengetahuan. Dengan demikian tujuan dilarangnya jarimah oleh syara‟ adalah untuk
memelihara kemashlahatan manusia yang mencakup agama, jiwa, akal, keturunan dan
harta.40
Menurut teori siyāsah syar‟iyah dengan metode al-mashlahah al-mursalah
yang digunakan dalam mengatur dan mengendalikan persoalan-persoalan yang tidak
diatur oleh syari‟at al-Qur‟ān dan Hadist.41 Negara setelah melalui sejumlah
pertimbangan termasuk dari MUI di Indonesia memang bisa membuat undangundang yang memuat ketentuan sanksi terhadap pelaku. Dalam Islam disebut ta‟zir.
42
Ta‟zir adalah hukuman yang bersifat pengajaran terhadap kesalahan-kesalahan yang
tidak diancam dengan hukuman had atau kejahatan-kejahatan yang sudah pasti
ketentuan hukumnya, tetapi syarat-syaratnya tidak cukup. Sesuai dengan pengertian
bahasa, maka pelaksanaan ta‟zir tidak dikhususkan pada hukuman pemukulan, tetapi
dapat juga berbentuk lain, seperti penamparan. Secara harfiah, ta‟zir bermakna
memuliakan atau menolong. Namun pengertian berdasarkan istilah hukum Islam,
ta‟zir adalah hukuman yang bersifat mendidik yang tidak mengharuskan pelakunya
39
Ahmad Hanafi, Azas-Azas Hukum Pidana cet 5, (Jakarta :Bulan Bintang, 1993). 1.
Hasbi Ash Shiddieqy, Penganta Ilmu Hukum, cet II, ed II, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2001), 345.
41
Ahmad Djazuli, Fiqh Siyasah: Imlementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu
Syariah, (Jakarta: Kencana, 2003), 32
42
Bisri Muhammad Djaelani, Ensiklopedi Islam, (Yogyakarta: Panji Pustaka, 2007), 381
40
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
123
dikenai had dan tidak pula harus membayar kaffarah atau diyat.43 Tindak pidana yang
dikelompokkan atau yang menjadi objek pembahasan ta‟zir adalah tindak pidana
ringan seperti pelanggaran seksual yang tidak termasuk zina,
tuduhan berbuat
kejahatan selain zina dan lain-lain.
Ta‟zir berbeda dengan hukuman had yang jenis dan berat ringannya telah
ditentukan oleh nash. Pelaksanaan ta‟zir diserahkan kepada imam atau penguasa yang
akan menetapkan atau menjatuhkan hukuman. Hakim memiliki kebebasan untuk
menetapkan ta‟zir kepada pelaku tindak pidana atau pelanggaran yang ancaman
hukumannya tidak ditentukan oleh nash al-Qur‟ān dan Hadist. Karena itu, ta‟zir dapat
berubah sesuai dengan kepentingan dan kemaslahatan. Pemberian hak penentuan
ta‟zir kepada penguasa itu bermaksudkan agar mereka dapat mengatur kehidupan
masyarakat secara tertib dan mampu mengantisipasi berbagai kemungkinan yang
terjadi secara tiba-tiba. Kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah sebagai ūlil amri
berdasarkan pada asas mashlahah yang harus dipenuhi sesuai dengan kaidah fiqh:
‫تصرف االمام على الرعية منوط باملصلحة‬
44
Landasan ta‟zir antara lain adalah surah al-Fath ayat 9:
“Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan
(agama)Nya, membesarkan-Nya, dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan
petang”. (QS. Al-Fath: 9)
Sebagian ahli tafsir mengartikan kata tersebut dengan mengokohkan agama.
Sejalan dengan penafsiran ini, maka ta‟zir merupakan salah satu cara untuk
menegakkan agama, yaitu dengan memberikan hukuman kepada para pelanggar
hukum sehingga ajaran agama tetap kokoh. Para ulama sepakat tentang prinsip ta‟zir
ini, walaupun mereka berbeda pendapat mengenai perlunya ta‟zir dilaksanakan dan
ketentuan maksimalnya.
43
Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Beirut: Dār al-Fikr, 1984), 5591
”Kebijakan imām tergantung pada kemaslahatan rakyat”. Jalal al-Din „Abd al-Rahman b.
Abi Bakr Al-Suyuti, al-Asybah wa al-Naza‟ir fi Qawa‟id wa Furu‟ al-Syafiiyyah, juz.I, (Qaherah: Dar
al-Salam, 2004), 278
44
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
124
Untuk memberlakukan sanksi hukum nikah siri, sangat ditentukan oleh sebab
terjadinya nikah siri itu sendiri. Karena menurut kaidahnya, yang namanya hukum itu
akan dapat berlaku kalau ada sebab tertentu. Artinya, jika nikah siri itu hanya
disebabkan oleh faktor tidak tercatat secara resmi di Kantor Urusan Agama, maka
sanksi hukum berupa pidana hudud45 tidak bisa berlaku. Tetapi apabila nikah siri
disebabkan karena ketiadaan saksi atau wali dalam suatu pernikahan, maka sanksi
pidana hudud dapat berlaku. Dikatakan demikian, karena orang yang menikah tanpa
kehadiran saksi atau wali sama dengan melegalkan perzinaan46.
Di antara bentuk pelanggaran peraturan yang memungkinkan pemerintah
untuk memberlakukan sanksi adalah berupa jarimah ta‟zir. Meskipun tetap mengacu
kepada syari‟at dari Allah SWT, jarimah ta‟zir adalah hukuman yang semua
ketentuannya ditetapkan oleh penguasa (pemerintah) untuk menghindari kerusakan
yang lebih besar dari pada mengambil manfaat yang bersifat sementara dalam nikah
siri. Sesuai dengan kaidah fiqh: “Menghindari kerusakan harus lebih diutamakan
dari meraih manfaat”.47
Jenis hukuman yang termasuk jarimah ta‟zir antara lain: hukuman penjara,
skors atau pemecatan, ganti rugi, pukulan, teguran dengan kata-kata dan jenis-jenis
hukuman lainnya yang dipandang sesuai dengan pelanggaran dari pelakunya. Dalam
hukum Islam, jenis hukuman yang berkaitan dengan hukuman ta‟zir diserahkan
sepenuhnya kepada kesepakatan manusia. Menurut Iman Abu Hanifah, pelanggaran
ringan yang dilakukan oleh seseorang berulang kali dapat dilakukan atau dapat
dijatuhi hukuman oleh hakim dengan hukuman mati. Misalnya pencuri yang
dimasukkan ke lembaga pemasyarakatan, lalu mengulangi perbuatannya yang tercela
45
Jarimah hudud adalah sanksi hukum yang telah ditetapkan Allah dalam Al-Qur‟ān dan
Sunnah. Berlakunya hukum ini bersifat mutlah, sehingga tidak dapat digantikan dengan yang lain.
Berbeda dengan jarimah lainnya, seperti qishas dan ta‟zir yang masih memberikan hak kepada
manusia untuk menentukan pilihan hukum. Lihat : As-Suyuti, al-Asbah wa an-Nazair fi al-Furu‟
(Beirut : Dār Al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1983), 84
46
Burhanuddin, Nikah Siri: Menjawab Semua Pertanyaan Tentang Nikah Siri, . 90
47
‫„ درءالمفاسد اولي من جلب المصالح‬Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawā‟id al-fiqhiyyah, (Damaskus:
Dar al-Qalam, 1994), 207
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
125
itu ketika ia sudah dikenai sanksi hukum penjara, maka hakim berwenang menjatuhi
hukuman mati kepadanya. 48
Kesimpulan
Pemerintah berhak membuat undang-undang pemidanaan nikah siri dengan
alasan bahwa pelaku nikah siri tidak memenuhi persyaratan administratif yaitu
pencatatan pernikahan. Adanya pemidanaan ini karena kerap kali pihak istri dan anak
menjadi korban dalam pernikahan siri ini. Karena tidak diakui oleh Negara secara
hukum sehingga banyak menimbulkan masalah bagi pelaku nikah siri.
Pandangan hukum Islam, terhadap wacana pemidanaan pelaku nikah siri
dalam Rancangan Undang- Undang Tentang Hukum Materil Peradilan Agama
Bidang Perkawinan (RUU-HMPAP) adalah wajib. Dengan alasan dalam hukum
pidana Islam dikenal salah satu jarimah yaitu ta‟zir. Pemerintah bisa membuat
undang-undang yang memuat ketentuan sanksi terhadap pelaku dengan sanksi ta‟zir.
Pemidanaan pelaku nikah siri tidak dapat dimaknai lain selain dalam rangka tertib
hukum di mana semua warganegara harus mematuhi. Upaya ta‟zir adalah untuk
mencegah terjadinya perbuatan yang merugikan orang lain. Bagi para pelaku nikah
siri dianjurkan untuk mendaftarkan pernikahannya kepada pihak yang berwenang
supaya mendapat legaslitas dari pemerintah.
48
Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2006), 129.
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
126
Bibliography
Books
„Alaudin Abu Bakar bin Mas‟ud al-Kasani Hanfi, Badā‟i Shanā‟i fi Tartibi Syara‟
juz 2, Beirut: Dārul Kutub „Ilmiyah, 1986.
„Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawā‟id al-fiqhiyyah, Damaskus: Dar al-Qalam, 1994.
Abdullah bin Abdul Muhsin, Ushul al-Madzhab al-Imām Ahmad, Cet III, Beirut: Dār
al-Fikr,1980.
Abu Abdullah Muhammad bin Hasan Syaibani, Hujjatul „alā Ahli Madinah, juz III,
tt, „Alīmul Kutub, 1983.
Abū Abdullah Muhammad bin Hasan Syaibani, Hujjatul „alā Ahli Madinah, juz III,
tt, „Alīmul Kutub, 1983.
Abu al-Hasan 'Ali Ibn Muhammad Ibn Habib al-Basri aI-Baghdadi al-Mawardi, alAhkam al-Sultaniyyah wa al-Wilāyah al-Diniyyah., Beirut: Dār al-Kutub al'I1miyyah, tt.
Ahmad Bin Muhammad bin Muhammad „Uthman al-Zarqa, ‟Sharh al-Qāwa‟id alFiqhiyyah, cet.IV,(Damsyik: Dār al-Qalam, 1996)
Ahmad bin Rāsyid al-Qarthabi, Bidāyatul Mujtahid wa Nihāyatul Muqtasid, juz II,
cet. IV, Damascus: Dārul Ma‟arif, 1982.
Ahmad Djazuli, Fiqh Siyasah: Imlementasi Kemaslahatan Umat dalam Ramburambu Syariah, Jakarta: Kencana, 2003.
Ahmad Hanafi, Azas-Azas Hukum Pidana cet 5, Jakarta :Bulan Bintang, 1993.
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafido Persada, 2003.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, Jakarta: Kencana, 2008.
Asghar Ali Engneer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, Yogyakarta: Bentang, 1994.
As-Suyuti, al-Asbah wa an-Nazair fi al-Furu‟, Beirut: Dār Al-Kutub al-„Ilmiyyah,
1983.
Baihaqi, Sunnanul Kubra, juz VII, tt: Dārul Ma‟arif Ustmaniyah, tt.
Bisri Muhammad Djaelani, Ensiklopedi Islam, Yogyakarta: Panji Pustaka, 2007.
Fachruddin Hasballah, Psikologi Keluarga dalam Islam, Banda Aceh: PENA, 2007.
Fatwa Tarjih Muhammadiyah Hukum Nikah Siri, 8 jumadal ula 1428 hijriah/ 25 Mei
2007, diperkuat dengan naskah Kepribadian Muhammadiyah sebagaimana
diputuskan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-35
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
127
Happy Susanto, Nikah Siri Apa Untungnya?, Jakarta : Visi Media, 2007.
Hasan „Abdul Manan, al-Muwatha‟ lil Imām Mālik bin Ānas, tt: Baitul Afkār, 2003.
Hasbi Ash Shiddieqy, Penganta Ilmu Hukum, cet II, ed II, Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 2001.
Ibnu Hazm, al-Muhalla, juz IX, Mesir: Muniriyah, tt.
Ibnu Hiban, Shahih Ibnu Hiban, juz IX, tt: Mu‟sasatur Risālah, tt.
Ibrāhim bin Muhammad bin Salīm bin Dhawyan, Manār Sabīl fi Syarhi Dalīl, juz II,
Beirut: Maktabul Islāmiyah, 1982.
Imam Muhammad Idris Syafi‟i, al-Umm, juz VI, tt: Darul Wafai, 2001.
Jalal al-Din „Abd al-Rahman b. Abi Bakr Al-Suyuti, al-Asybah wa al-Naza‟ir fi
Qawa‟id wa Furu‟ al-Syafiiyyah, juz.I, Qaherah: Dar al-Salam, 2004.
Muhammad Abū Zahrah, Muhādarat fi „Aqdi al-Ziwaj wa Atharuhu, ttp: Dār al-Fikr
al-„Arabiyah, tt.
Muhammad Syidqi Bin Ahmad Bin Muhammad al-Burnu Abi al-Harath al-Qazi, alWajiz fi Idahi Qawa‟id al-Fiqh al-Kulliyah, Beirut: Muasasah al-Risalah, 1998.
Sayyid Sabīq, Fiqh Sunnah, juz II, al-Qāhirah: Fathul Islām ar-Rabi, tt.
Syamsudīn Muhammad bin Abdullah Zarkasyi, Syarhu Zarkasyi „alā Mukhtasar
Khurqi , juz V, Riyadh: Maktabatul „Abikan, 1993.
Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Beirut: Dār al-Fikr, 1984
Wazāratul Auqāf wa Syu‟ūn al-Islamiyah, Mawsū‟ah Fiqhiyah juz 41, cet II, Kuwait:
Dzātus Salāsal, 1983.
Yusuf ad-Duraiwisy, Nikah Siri, Mut‟ah & Kontrak dalam timbangan al-Qur‟ān dan
as-Sunnah, Jakarta: Darul Haq, 2010.
Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum di Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika, 2006.
Deliberatif Vol 1, No 1, Juni 2017
128
Download