Efek Fotovoltaik Pada Persambungan CdS/P3HT

advertisement
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Semikonduktor
Material zat padat dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bagian utama yaitu
isolator, semikonduktor dan konduktor. Isolator memiliki konduktivitas yang
rendah yang berkisar antara 10-18 sampai 10-8 S/cm sedang konduktor seperti
aluminium dan perak memiliki konduktivitas yang tinggi yang berkisar antara 105
sampai 107 S/cm. Bahan semikonduktor memiliki konduktivitas antara isolator
dan konduktor. Konduktivitas dari bahan semikonduktor secara umum peka
terhadap temperatur, iluminasi, medan magnet, dan jumlah partikel pengotor
(impuritas). Kepekaan bahan semikonduktor ini menyebabkan bahan ini banyak
digunakan dalam aplikasi fisika. Studi tentang semikonduktor dimulai pada abad
ke-19.
Setiap atom memiliki elektron. Elektron mengorbit di dalam atom dengan
tingkatan energi tertentu. Kulit-kulit yang ada pada atom menunjukkan tingkatan
energi elektron. Elektron pada atom tunggal menempati orbital atom. Orbital atom
elektron akan membelah ketika atom-atom mengumpul saling berdekatan.
Mengumpulnya atom-atom tersebut menyebabkan jumlah orbital atom menjadi
besar dan perbedaan energi di antara orbital atom tersebut mengecil sehingga akan
terbentuk pita energi.
Konsep pita energi sangat penting dalam mengelompokkan material
sebagai konduktor, semikonduktor dan isolator. Besarnya lebar celah energi dapat
menentukan apakah suatu material termasuk konduktor, semikonduktor atau
isolator. Celah energi memisahkan pita valensi dengan pita konduksi. Elektron
pada pita valensi dapat loncat menuju pita konduksi dengan cara menyerap
sejumlah energi yang melebihi celah energi. Celah energi masing-masing material
ditunjukkan pada Gambar 1 (Goetzberger 1998).
Semikonduktor adalah bahan yang memiliki konduktivitas listrik diantara
konduktor dan isolator. Resistivitas semikonduktor berkisar di antara 10-6 sampai
104 ohm-m. Pada semikonduktor, terdapat pita energi yang memperbolehkan
keberadaan elektron, yaitu pita valensi berenergi rendah yang terisi penuh oleh
elektron dan pita konduksi yang berenergi tinggi yang kosong.
6
Gambar 1
Pita energi bahan (a) isolator, (b) semikonduktor dan (c) konduktor
Celah energi yang memisahkan kedua pita tersebut yaitu pita terlarang atau
disebut
juga
sebagai
bandgap
(E g ).
Salah
satu
karakteristik
penting
semikonduktor adalah memiliki celah energi yang relatif kecil yaitu berkisar
antara 0,2-2,5 eV. Energi celah pita yang kecil ini memungkinkan suatu elektron
memasuki level energi yang lebih tinggi. Perpindahan elektron ini dapat terjadi
karena pengaruh suhu dan penyinaran (Gambar 2) (Wijaya 2007).
Gambar 2 Pada pita valensi, elektron menyerap foton (hν) dan pindah ke pita
konduksi meninggalkan hole
Ketika semikonduktor diradiasi dengan cahaya yang energinya lebih besar
dari energi gap semikonduktor (hν ≥ E g ), elektron dari pita valensi dapat
tereksitasi ke pita konduksi. Elektron yang melompat dari pita valensi ke pita
konduksi disebut pembawa muatan negatif, sedangkan lubang (hole) pada pita
valensi merupakan pembawa muatan positif.
7
Jika jalur terlarang sempit, elektron bebas mudah dibangkitkan hanya
dengan energi kecil. Bila lebar, maka elektron bebas jarang dibangkitkan seperti
halnya pada isolator. Celah energi untuk beberapa semikondutor dapat dilihat
pada Tabel 2.1. Dari daftar ini terbukti bahwa intan merupakan isolator yang
paling baik karena celah energinya 6 eV. InSb dan semacamnya mempunyai
kondukivitas yang besar pada temperatur kamar karena celah energinya kecil.
Tabel 1
Celah Energi Pada Berbagai Semikonduktor
Semikonduktor
Si
Ge
GaAs
GaSb
InSb
CdTe
CdS
ZnO
Intan
Celah energi (eV) pada suhu 300 K
1,11
0,67
1,39
0,67
0,17
1,45
2,45
3,2
6
(Rio 1999)
Hanya sedikit bahan yang disebut sebagai semikonduktor dalam keadaan
tidak murni. Oleh karena itu, dalam pembuatannya semikonduktor yang murni
dicampurkan dengan bahan lain. Bahan ini disebut sebagai bahan pengotor atau
dopan. Semikonduktor yang tidak dikotori oleh bahan lain disebut semikonduktor
intrinsik, sedangkan yang diberi pengotor disebut semikonduktor ekstrinsik (Soga
2006).
Semikonduktor ekstrinsik terdiri dari dua tipe yaitu tipe-n dan tipe-p
(Gambar 3). Atom-atom yang dapat dijadikan impuritas (pengotor) berasal dari
atom golongan IIIA dan VA dalam sistem periodik unsur. Penambahan impuritas
dari golongan VA (atom pentavalen) ke dalam semikonduktor intrinsik akan
menghasilkan semikonduktor tipe-n. Semikonduktor tipe-n dapat dibuat dengan
menambahkan sejumlah kecil atom pengotor yaitu atom pentavalen seperti
antimoni (Sb), fosfor (P) atau arsenik (As) pada silikon murni. Atom-atom
pengotor ini memiliki lima elektron valensi sehingga secara efektif memiliki
muatan sebesar +5q. Saat sebuah atom pentavalen menempati posisi atom silikon
dalam kisi kristal maka hanya ada empat elektron valensi yang dapat membentuk
ikatan kovalen lengkap dan tersisa satu elektron yang tidak berpasangan (Gambar
8
3a). Karena hasil penggabungan silikon dengan atom pentavalen menghasilkan
satu elektron yang tidak berpasangan, maka atom pentavalen disebut atom donor.
Penambahan atom donor ini akan mengubah keadaan energi Fermi mendekat di
bawah pita konduksi (Gambar 3b). Semikonduktor jenis ini atom pengotornya
memiliki kelebihan elektron (atom donor), hal ini menyebabkan kelebihan
elektron di dalam kristal sehingga semikonduktor bermuatan negatif.
Gambar 3 a) Struktur kristal silikon dengan sebuah atom pengotor valensi lima
menggantikan posisi salah satu atom silikon dan b) struktur pita energi
semikonduktor tipe-n (Sze dan Kwok 2007)
Penambahan impuritas dari golongan IIIA ke dalam semikonduktor
intrinsik akan menghasilkan semikonduktor tipe-p. Semikonduktor tipe-p dapat
dibuat dengan menambahkan atom trivalen (Aluminium (Al), Boron (B), Galium
(Ga) atau Indium (In)) pada semikonduktor murni. Atom pengotor ini mempunyai
tiga elektron valensi sehingga secara efektif hanya dapat membentuk tiga ikatan
kovalen. Saat sebuah atom trivalen menempati posisi atom silikon dalam kisi
kristal maka hanya ada empat elektron valensi yang dapat membentuk ikatan
kovalen lengkap dan tersisa satu elektron yang tidak berpasangan (Gambar 4a).
Karena hasil penggabungan silikon dengan atom trivalen menghasilkan satu
elektron yang tidak berpasangan, maka atom trivalen disebut atom aseptor.
Penambahan atom aseptor ini akan mengubah keadaan energi Fermi mendekat di
atas pita valensi (Gambar 4b). Semikonduktor tipe-p memiliki lubang (hole)
sebagai pembawa muatan mayoritas. Semikonduktor jenis ini atom pengotornya
kekurangan elektron, hal ini menyebabkan kekosongan di dalam kristal sehingga
semikonduktor bermuatan positif (Soga 2006).
9
Gambar 4 a) Struktur kristal silikon dengan sebuah atom pengotor valensi tiga
menggantikan posisi salah satu atom silikon dan b) struktur pita
energi semikonduktor tipe-p (Sze dan Kwok 2007)
Jika disinari cahaya, bahan semikonduktor akan mengalami efek
fotovoltaik, yaitu penyerapan energi cahaya sehingga membangkitkan elektron
untuk tereksitasi ke pita konduksi dan menghasilkan arus listrik. Dari sifatnya
tersebut maka bahan semikonduktor ini banyak digunakan sebagai bahan dasar
untuk berbagai macam piranti optoelektronik diantaranya fotodioda dan sel surya.
Peristiwa hantaran listrik pada semikonduktor adalah akibat adanya dua partikel
masing-masing bermuatan positif dan negatif yang bergerak dengan arah yang
berlawanan akibat adanya pengaruh medan listrik.
2.2 Cadmium Sulfida (CdS)
Selain silikon, yang merupakan bahan semikonduktor yang paling sering
digunakan untuk aplikasi sel surya, banyak bahan semikonduktor lain yang
sedang dikembangkan saat ini. Diantaranya bahan semikonduktor yang banyak
dikembangkan sebagai sel surya adalah senyawa II-IV dan I-III-VI. Beberapa
tahun terakhir, terjadi perkembangan yang sangat pesat dalam pengembangan
semikonduktor II-IV yang digunakan pada sel surya. CdS merupakan bahan
semikonduktor logam chalcogenide (II-IV) yang memiliki celah energi sebesar
2,45 eV, indeks bias 2,5 dan termasuk semikonduktor tipe-n. CdS secara luas
digunakan untuk sel surya heterojunction CdS/CdTe dan CdS/Cu 2 S. Hal ini
disebabkan karena CdS memiliki energi bandgap menengah,
efisiensi
konversinya cocok digunakan sebagai bahan sel surya, stabilitas dan biaya
10
produksinya rendah. Cadmium sulfida (CdS) sangat berguna dalam hal
optoelektronika, piezo-elektronika, dan bahan semikonduktor. Film tipis CdS
sangat menarik terutama masalah efisiensi pengunaannya dalam pembuatan sel
surya (Patidar et al. 2004 dan Devi 2007)
Penelitian tentang sifat fisika film CdS merupakan hal yang menarik. Film
tipis CdS juga menarik jika digunakan untuk meningkatkan efisiensi sel surya.
Beberapa tahun terakhir, banyak bahan semikonduktor subgroup II–VI digunakan
sebagai bahan pembuatan sel surya. Ada beberapa teknik pendeposisian yang
digunakan untuk menumbuhkan lapian CdS sehingga sifat optik, listrik dan
strukturnya sesuai dengan yang diinginkan. Beberapa diantaranya menggunakan
pendeposisian secara kimia, physical vapour deposition, spray pyrolysis (Hiie et
al. 2006), electro deposition, chemical bath deposition (Hiie et al. 2006, Khallaf
et al. 2008 dan 2009, Zhou et al. 2008, Cetinorgu et al. 2006, Metin et al. 2008),
teknik brush plating (Murali et al. 2007), hidrotermal (Jinxin et al. 2007) dan lainlain. Dari semua teknik di atas, Chemical Bath Deposition (CBD) merupakan
teknik yang biasanya digunakan untuk menumbuhkan film tipis CdS. Teknik
CBD memiliki banyak keuntungan seperti sederhana, tidak membutuhkan
peralatan yang canggih, bahan yang terbuang sedikit, merupakan cara yang
ekonomis teknik pendeposisian pada area yang luas untuk semikonduktor
golongan II–VI seperti CdS, dan tidak menghasilkan gas yang beracun (Cetinorgu
et al. 2006). Metode CBD merupakan proses yang lambat, sehingga orientasi
kristalnya dapat diatur dengan peningkatan struktur bulirnya. Film CdS yang
ditumbuhkan dengan metode CBD memiliki stoikiometri yang tinggi dan
resistansi dark yang tinggi.
Teknik deposisi yang digunakan untuk menumbuhkan CdS telah banyak
dilakukan dengan metode yang beragam. Penggunaan setiap metode ini akan
mempengaruhi sifat optik, listrik dan struktur CdS yang dihasilkan. Menurut
beberapa literatur, struktur film tipis CdS yang dibuat dengan menggunakan
metode CBD dapat bermacam-macam tergantung pada kondisi deposisi.
Strukturnya dapat berbentuk kubik, hexagonal atau campuran kedua fasa tersebut
(Haider et al. 2008 dan Malinowska et al. 2005). Selain itu, banyak peneliti
mencatat bahwa terjadi pengotoran oleh oksigen dan nitrogen pada film tipis CdS
11
jika menggunakan metode penumbuhan dengan CBD. Selain itu, penggunaan
complexing agent juga dapat mempengaruhi sifat fisis CdS. Penambahan
complexing agent ammonium dapat memperbesar jumlah cadmium sulfida yang
terbentuk dibanding molekul pengotor lainnya (Malinowska et al. 2005).
Suhu annealing mempengaruhi ukuran kristal, sifat optik dan sifat listrik
film CdS. Jika film CdS dianneling pada suhu kamar atau pada suhu rendah maka
akan terdapat molekul pengotor lain yang terbentuk seperti Cadmium sianida
(CdSN) (Gambar 5) (Haider 2008).
K.R. Murali et al. (2007) menunjukkan bahwa ukuran kristal CdS
meningkat jika CdS dideposisi pada suhu yang semakin tinggi. Karena ukuran
kristalnya berbeda, maka energi gapnyapun berbeda (Gambar 6). Doping CdS
dengan unsur pada golongan IIIA seperti aluminum, indium, boron, dan galium
dapat dilakukan untuk mengubah sifat listrik dan gap energi CdS. Pola difraksi
XRD yang diperoleh ketika CdS didoping Boron tidak terlihat adanya puncak
baru yang menunjukkan bahwa ion B3+ tidak mengubah kristal CdS. Semakin
besar perbandingan konsentrasi Galium dan Cadmium maka energi gap CdSpun
berubah. Ion Ga3+ mungkin malah menggantikan ion Cd2+. Hasil foto SEM
menunjukkan morfologi CdS doping Galium tidak mengalami perubahan (Khallaf
et al. 2009). Selain itu pula dilakukan doping dengan unsur golongan IIIA lainnya
yaitu Boron dan diperoleh hasil yang sama (Khallaf et al. 2009).
Gambar 5 Difraksi sinar X film CdS pada suhu anneling yang berbeda (Murali et
al. 2007)
12
Gambar 6
Energi gap film CdS doping Galium sebagi fungsi perbandingan
[Ga]/[Cd] (Khallaf et al. 2009)
2.3 Polytiophene
Polimer tiophene relatif stabil di udara bebas maupun di lingkungan air dan
memiliki mobilitas hole yang tinggi (Lin 2005). Polythiophene dapat dibuat dari
monomer 3-methylthiophene secara klasik maupun elektrokimia. Thiophene
merupakan salah satu polimer konduktif jenis aromatik heterocylic yang hampir
mirip dengan pyrrole. Rumus kimianya adalah C 4 H 4 S, dimana sulfur merupakan
heteroatom. Polimer poly3-heksiltiophene merupakan turunan dari polytiophene.
Struktur polimer poly3-heksiltiophene ditunjukkan pada Gambar 9.
Gambar 7 Struktur polimer poly3-heksilthiophene (Ge 2009)
13
2.4 Kitosan
Kitosan merupakan bahan dasar suatu polielektrolit yang mengandung
gugus amina dan gugus hidroksil, yang banyak digunakan sebagai bahan molekul
transpor aktif suatu anion dalam larutan. Kitosan memiliki sifat mudah
terdegradasi, biokompetibel dan tidak beracun. Sifat-sifat kitosan dihubungkan
dengan adanya gugus amina dan kardoksil yang terikat. Adanya gugus tersebut
menyebabkan kitosan mempunyai reaktifitas kimia yang baik dan penyumbang
sifat elektrolit kation sehingga dapat berperan sebagai amino exchange. Gambar 8
menunjukkan struktur kitosan.
Gambar 8
Struktur Kitosan (Hirano 2000)
2.5 Sel Surya
Pada sekitar akhir abad 19, aliran listrik surya diketemukan oleh ahli fisika
Jerman bernama Alexandre Edmond Becquerel secara kebetulan dimana berkas
sinar matahari jatuh pada larutan elektro kimia bahan penelitian, sehingga muatan
elektron pada larutan meningkat. Pada awal abad 20, Albert Einstein menamakan
penemuan ini dengan ‘photoelectric effect’, yang kemudian menjadi pengertian
dasar pada ‘photovoltaic effect’, dimana selempeng metal melepaskan ‘photon’
partikel energi cahaya ketika terkena sinar matahari.
Gelombang cahaya sinar lembayung (ultraviolet) adalah sinar yang
bermuatan energi foton tinggi dan panjang gelombangnya pendek, sedangkan
sinar merah (infrared) adalah sinar yang bermuatan energi foton rendah dan dalam
bentuk gelombang panjang. Sekitar tahun 1930, ditemukan konsep ‘Quantum
Mechanics’ untuk menciptakan teknologi baru “solid-state”, dimana perusahaan
Bell Telephone Research Laboratories menciptakan sel surya padat yang pertama.
14
Tahun 1950 - 1960, teknologi disain dan efisiensi sel surya terus berlanjut dan
diaplikasikan ke pesawat ruang angkasa (photovoltaic energies). Tahun 1970-an,
dunia menggalakkan sumber energi alternatif yang terbarukan dan ramah
lingkungan, maka PV mulai diaplikasikan ke ‘low power warning systems’ dan
‘offshore buoys’ (tetapi produksi PV tidak dapat banyak karena masih
“handmade”). Baru pada tahun 1980-an, perusahaan-perusahaan PV bergabung
dengan instansi energi pemerintah agar dapat lebih memproduksi PV sel dalam
jumlah besar, sehingga harga sel surya dapat serendah mungkin.
Sel surya diproduksi dari bahan semikonduktor yaitu silikon berperan
sebagai isolator pada temperatur rendah dan sebagai konduktor bila ada energi dan
panas. Sebuah silikon sel surya adalah sebuah diode yang terbentuk dari lapisan
atas silikon tipe n (silicon doping of ‘phosphorous’), dan lapisan bawah silikon
tipe p (silicon doping of ’boron’) seperti Gambar 9.
Gambar 9
Diagram sebuah potongan Sel Surya (PV sel)
(http://rhazio.files.wordpress.com/2007/09/sry2.jpg)
Elektron-elektron bebas terbentuk dari jutaan foton atau benturan atom
pada lapisan penghubung (junction = 0.2-0.5 micron4) yang menyebabkan
terjadinya aliran listrik.
Pengembangan
sel
surya
semakin
banyak
menggunakan
bahan
semikonduktor yang bervariasi dan silikon yang secara individu (chip) banyak
digunakan, diantaranya :
a. Mono-crystalline (Si), dibuat dari silikon kristal tunggal yang didapat dari
peleburan silikon dalam bentukan bujur. Sekarang mono-crystalline dapat
dibuat setebal 200 mikron, dengan nilai efisiensi sekitar 24%.
15
b. Polycrystalline/Multi-crystalline (Si), dibuat dari peleburan silikon dalam
tungku keramik, kemudian pendinginan perlahan untuk mendapatkan bahan
campuran silikon yang akan timbul di atas lapisan silikon. Sel ini kurang
efektif dibanding dengan sel mono-crystalline (efektivitas 18%), tetapi biaya
pembuatannya lebih murah.
c. Gallium Arsenide (GaAs). Galium Arsenide pada unsur periodik III-V
berbahan semikonduktor ini sangat efisien dan efektif dalam menghasilkan
energi listrik sekitar 25%. Banyak digunakan pada aplikasi pemakaian sel
surya (Rahardjo 2008).
Sampai saat ini modul sel surya komersial memiliki efisiensi berkisar antara
5 hingga 15 persen tergantung material penyusunnya. Tipe silikon kristal
merupakan jenis piranti sel surya yang memiliki efisiensi tinggi meskipun biaya
pembuatannya relatif lebih mahal dibandingkan sel surya jenis lainnya. Tipe
modul sel surya inilah yang banyak beredar di pasaran.
Sebenarnya ada produk sel surya yang efisiensinya bisa mencapai 40%,
namun belum dijual secara massal. Prestasi ini dicapai oleh DoE yang sudah
mengembangkannya sejak awal tahun 1980. Pencapaian efisiensi hingga 40%
tersebut dilakukan dengan mengkonsentrasikan cahaya matahari. Teknologi ini
menggunakan konsentrator optik yang mampu meningkatkan intensitas cahaya
matahari sehingga konversi listriknya pun juga meningkat. Sedangkan pada
umumnya teknologi sel surya hanya mengandalkan cahaya matahari alami atau
dikenal dengan "one sun insolation" yang hanya mampu menghasilkan efisiensi
12 hingga 18 persen (Suhono 2009).
2.4.1 Sel Surya Persambungan Semikonduktor p-n (Solid State p-n Junction)
Ketika bahan semikonduktor diiluminasi cahaya (misalkan dari cahaya
matahari)
dengan
energi
yang
lebih
besar
daripada
energi
bandgap
semikonduktor, maka akan terjadi eksitasi elektron dari pita valensi ke pita
konduksi (Hummel 2001). Dengan kata lain terbentuk pasangan hole-elektron
karena elektron meninggalkan hole di pita valensi (Gambar 10).
Cahaya (foton) yang jatuh pada permukaan sel surya akan diserap dan
dikonversikan menjadi energi listrik. Tetapi tidak semua energi foton yang diserap
16
dikonversikan menjadi energi listrik. Hanya foton yang mempunyai energi foton
cukup (hν>E g ) untuk mengatasi celah energi yang dapat dikonversikan. Dalam
pertidaksamaan di atas h adalah konstanta Planck (6,626 x 10-34 J.s.), ν adalah
frekuensi foton (Hz) dan E g adalah energi celah energi (eV).
Semakin tinggi intensitas cahaya dengan energi foton hν > E g , maka
semakin banyak jumlah foton yang diterima sel surya, sehingga jumlah pasangan
elektron dan hole yang dibangkitkan semakin besar. Karena pengaruh medan
listrik ( ε ) maka pembawa muatan bebas (elektron dan hole) yang terdapat di
daerah lapisan deplesi akan mendapat gaya listrik sebesar
F = qε
(1)
dimana q adalah muatan elektron atau hole (Yani 2008).
Ketika persambungan dihubung singkat (short-circuit) maka pemisahan
muatan yang terjadi menyebabkan timbulnya arus pada kawat penghubung
(disebut arus hubung singkat, Isc pada Gambar 11a). Ketika kawat penghubung
dibuka (open circuit), maka hole akan bergerak dari daerah deplesi menuju sisi p,
demikian pula elektron bergerak menuju sisi n menghasilkan perbedaan potensial
antara kedua sisi (disebut tegangan open circuit, V oc pada Gambar 11b).
Karakteristik arus-tegangan persambungan p-n setelah diiluminasi cahaya
didapatkan pada persamaan (4) dikurangi rapat arus short-circuit.
Gambar 10 Semikonduktor yang diiluminasi cahaya dengan energi foton yang
lebih besar daripada bandgap semikonduktor (Soga 2006)
17
Gambar 11 Diagram energi pada persambungan p-n ketika diiluminasi cahaya
dengan energi foton (hν) yang lebih besar dari bandgap (a) ketika
dihubung singkat (short circuit) dan (b) ketika hubung singkat dibuka
(open circuit) (Soga 2006)
sebagai berikut:
(
)
J = J o e qV / nkT − 1 − J SC
(2)
Jika diasumsikan luas permukaan sel surya adalah satu satuan luas, maka
karakteristik arus-tegangan dapat dinyatakan oleh persamaan berikut :
(
)
I = I o e qV / nkT − 1 − I SC
(3)
Ketika dihubung-buka (open circuit), arus yang mengalir I = 0 , sehingga
tegangan open circuit bisa dinyatakan sebagai
VOC =
nkT  I SC 
ln
+ 1
q
 IO

(4)
Pemanfaatan persambungan semikonduktor seperti ini menghasilkan
perubahan energi dari energi foton cahaya menjadi energi listrik secara langsung.
Sehingga persambungan ini disebut juga sel photovoltaic atau lebih sering disebut
sebagai sel surya (solar cell). Karena kedua tipe semikonduktor yang digunakan
umumnya zat padat, maka sel surya yang dibuat dari persambungan p-n sering
pula disebut sebagai solid-state solar cell. Dan karena telah banyak diaplikasikan,
sel surya jenis ini sering juga disebut sel surya konvensional untuk
membedakannya dengan jenis sel surya baru yang memiliki prinsip kerja yang
berbeda (Fonash 2010).
18
2.5.2 Sel Surya Hibrid
Transpor muatan pada semikonduktor organik bergantung pada kemampuan
pembawa muatan untuk melintas dari satu molekul ke molekul lain. Loncatan
muatan pembawa dari satu molekul ke molekul lain ditentukan oleh celah energi
antara tingkat energi HOMO (high occupied molecule orbital) dan LUMO (lowest
unoccupied molecule orbital). Gambar 12 menunjukkan tingkat energi HOMO
dan LUMO pada semikonduktor organik. Transpor muatan pada semikonduktor
organik lebih ditentukan oleh orbit ikatan π daripada orbit ikatan σ. Hal ini terjadi
karena energi eksitasi yang dibutuhkan oleh elektron pada orbital π menuju orbital
π* yang lebih kecil dibandingkan dengan elektron yang berada pada orbital ikatan
σ.
Bahan semikonduktor organik yang digunakan sebagai lapisan aktif sel
surya dapat berbentuk molekul atau polimer konjugat.
Gambar 12 Level energi molekul konjugat-π (eksitasi elektron dari orbital π ke
π*)
Penemuan penting untuk menemukan sel surya organik dengan efisiensi
tinggi yaitu dengan menciptakan sel surya heterojunction dimana material organik
menerima elektron dan hole yang lebih banyak jika dibandingkan piranti tunggal
saja yang menunjukkkan nilai efisiensi yang lebih baik. Dengan menggunakan
heterojunction, eksiton
(ikatan pasangan elektron-hole) yang mengalami
fotogenerasi pada polimer dapat secara efisien dipisahkan menjadi pembawa
muatan pada interface, sedangkan pada piranti tunggal banyak elektron yang
19
mengalami rekombinasi dalam waktu singkat. Pemisahan muatan terjadi pada
interface antara molekul donor dan aseptor, yang dimediasi oleh penurunan
potensial yang besar. Setelah terjadi foto-eksitasi elektron dari HOMO ke LUMO,
elektron dapat melompat dari LUMO donor (bahan dengan LUMO yang tinggi)
ke LUMO aseptor jika terdapat perbedaan potensial ΔΦ antara potensial ionisasi
donor dan afinitas elektron aseptor yang lebih besar dari energi ikat eksiton
(Gambar 13). Proses ini disebut sebagai transfer muatan terfotoinduksi, dapat
mempermudah mobilitas muatan bebas jika hole tertinggal pada donor karena
tingkat HOMOnya yang lebih besar. Sebaliknya, jika HOMO aseptor lebih besar,
transfer eksiton sepenuhnya terjadi pada bahan dengan bandgap kecil yang
disertai dengan kehilangan energi.
Pemisahan eksiton yang efisien pada heterojunction, bahan donor dan
aseptor sangat berhubungan. Skala jarak optimum berhubungan dengan panjang
difusi eksiton, besarnya sekitar dalam skala nanometer. Selain itu, ketebalan
lapisan aktif harus sebanding dengan panjang penetrasi cahaya dimana pada
semikonduktor organik, nilainya berkisar antara 80–200 nm (Kietzke 2007).
Gambar 13
Interface antara dua semikonduktor polimer yang berbeda (D =
donor, A = aseptor) yang dapat memfasilitasi transfer muatan oleh
pemisahan eksiton atau transfer energi, dimana semua eksiton
ditransfer dari donor ke aseptor (Keitzke 2007)
Bahan organik yang dikonjugasikan dengan polimer menujukkan suatu sifat
optoelektronik semikonduktor seperti sifat mekanik dan manfaat yang diharapkan
pada bahan polimer. Diantara berbagai jenis sel surya organik, sel surya organikinorganik merupakan jenis yang sangat menjanjikan dimana tidak hanya memiliki
area interface yang luas dimana eksiton, ikatan antara pasangan elektron-hole,
20
yang dapat dipisahkan secara efektif tetapi juga memiliki dua saluran yang
terpisah untuk transport elekron dan hole, yaitu masing-masing semikonduktor
nanorod dan lapisan polimer (Yang et al. 2006).
Kajian tentang sel surya hibrid organik-inorganik heterojunction diawali
dengan fotovoltaik organik berbasis molekul-molekul kecil, kemudian diikuti oleh
sel fotovoltaik berbasis polimer. Lu et al. (2009) membuat sel surya hibrid dengan
menyambungkan CdS dengan polimer poly3-octylthiophene (P3OT) yang
merupakan turunan dari polythiophene dan diperoleh efisiensi konversi sebesar
0,015 % dengan intensitas penyinaran 100 mW/cm2. Dari penelitian ini diperoleh
rapat arus short circuit yang kecil yang diakibatkan oleh P3OT yang tebal dan
mobilitas pembawa muatannya yang rendah. Ketebalan lapisan P3OT ternyata
sangat mempengaruhi besarnya I SC dan V OC . Doping bahan HgCl 2 pada CdS
mengubah energi gap CdS dan meningkatkan konduktifitas listrik lapisan tipis
(Salinas et al. 2006).
Aktifitas fotofoltaik pada persambungan dua semikonduktor organik tipe-n
dan semikonduktor anorganik tipe-p telah dilakukan oleh banyak peneliti. S.A.
Mohammad (2007) telah meneliti efek fotofoltaik pada persambungan ZnTe dan
polimer konduktif (PEO/polyethilene oxide-kitosan). Di dalam polimer itu
ditambahkan larutan NH 4 I sebagai elektrolit. Penambahan konsentrasi NH 4 I yang
beragam menunjukkan efek fotofoltaik yang beragam pula. Dimana semakin besar
konsentrasi NH 4 I yang ditambahkan maka semakin besar I sc dan V oc yang
dihasilkan. Hal ini terjadi karena elektrolit berfungsi sebagai aseptor elektron yang
bertanggung jawab terhadap terjadinya reaksi redoks dalam polimer.
Download